Share

Bab 2

"Mira! Sepatu saya mana?" tanya Mba Sinta keluar dari kamarnya.

"Mau Mira ambilin, Mba?" tanyaku berbasa basi. Harapannya Mba Sinta ambil sendiri.

"Boleh, tolong ya, Mir," pintanya.

"Eh, Iya, Mba." Dengan berat hati aku mengambil sepatunya. Udah persis babu beneran. 

"Mba Sinta mau pergi?" tanyaku sambil memberikan sepatunya. 

"Kelihatannya gimana? Emang kamu gak bisa lihat?" jawabnya ketus. Nyebelin banget si. Lagian aku juga cuma basa-basi. Uh, ingin sekali kuberi racun.

"Mau kemana kamu, Sinta?" tanya Mas Lengga yang baru saja pulang kantor. 

"Bukan urusan kamu! Awas deh aku mau ketemu teman," ketusnya pada Mas Lengga. 'ckckckck sukurin kamu, Mas. Emang enak di ketusin'

"Ngapain cengengesan?" Mas Lengga terlihat merah padam.

"Seneng aja." Aku mulai berlendot di bahunya yang kekar.

"Iya, kenapa?"

"Gak apa-apa. Ayo kita makan udah kusiapkan makanan favoritnya.

****

"Mas … pindah yuk," rengekku manja.

"Lho, kenapa?" 

"Ya aku capek tinggal di sini. Mana enggak ada pembantu. Masa iya aku semua yang kerjakan," protesku.

"Kamu lupa? Kamu sendiri yang menyetujui syaratnya jadi terima aja resikonya." jawabnya sambil terus memasukkan makanan ke mulut seksinya.

"Iya tapi kan, Mas. Aku kira engga jadi babu begini!" 

"Kan kamu enggak kerja, ya udah gak masalah kalau kamu urus pekerjaan rumah, Sinta kan kerja." 

"Iya … iya …." Ku menjerit … membayangkan, jadi babu di rumah Kaka madu. ' Jadi nyanyi kan gue'

"Mas mau masuk kamar dulu, mau mandi gerah," ucapnya sambil berlalu. Sedangkan aku, seperti biasa, cuci piring lagi …. Besok pagi, cuci baju lagi! Enak banget jadi Mba Sinta, jalan-jalan aja kerjanya.

Akhirnya setelah berperang di dapur selesai juga pekerjaanku. Capek …. 

***

Sudah jam segini kok Mba Sinta dan Revan belum pulang. Dasar buah gak jauh dari pohonnya, suka keluyuran kaya Mamanya. Eh tapi gak keluyuran si, paling Revan di rumah Kakek dan Neneknya. Entahlah, dia tidak betah berada di rumahnya sendiri. Tapi, bagus juga kalau mereka enggak balik. Kalau perlu tidak usah kembali untuk selamanya, 'hahahhaah' daripada aku terus di aniayaya. Seandainya benar Mba Sinta pergi dari sini, merdeka hidupku, Mba. 

"Woy, Mira! Ngapain cengengesan sendiri kaya orang gila! bentaknya. Baru juga dipikirkan tidak usah kembali, Mereka sudah berada di hadapanku. Kaka maduku ini memang luar biasa. 

"Itu lagi nonton tivi, judulnya Kaka maduku kejam. Jadi inget Mba Sinta," ucapku polos. 

"Emang Mama kejam, Tan?" samber Revan.

"Hehehe, enggak juga si, eh iya, eh enggak." Sebenarnya bukan kejam lagi tapi dia mampu menyiksa batin ini, sungguh aku tidak tahan. Terlalu.

"Ya udah, Revan mau masuk kamar dulu, Papa mana?" 

"Ada di kamarnya. Bilangin Papa jangan lupa, bola malam ini, ya Tan." Aku hanya mengangguk.

"Pelakor, kalau di kasih hati ngelunjak!" cetus Mba Sinta sambil berlalu. Enak saja pelakor, memang aku ngerebut Mas Lengga, kalau ngomong sembarangan. Boleh dia sebut aku pelakor, asalkan aku menendangnya keluar dari rumah ini. Orang masih jadi istrinya kok bilang aku pelakor. Aku pelakor tapi kalau aku merebut suamimu Mba. Ini aku gak ngerebut, dia aja masih jadi istri Mas Lengga. Bikin gemas saja, awas saja nanti, kukerjain kamu.

***

"Mas … bola … bola … di tunggu anakmu di ruang keluarga!" Aku mengetuk pintu kamar. Syukur alhamdulillah, Mas Lengga betah di kamarku. Di kamar Mba Sinta selalu di suruh keluar ckckck. Mba Sinta judes-judes the best.

"Emang udah mulai? Jam berapa sekarang!" triaknya dari dalam. 

"Buka apa! Emang di tanganmu gak ada jam, Mas?" Ganteng-ganteng nyebelin.

"Iya ini, Mas keluar!" sahutnya lagi. Kamar aku dan Mba Sinta tidak berjauhan, masih berhadapan dan sama-sama di lantai satu. Kamar Revan, di atas sendirian.

***

"Mira!" Baru kaki ini hendak melangkah, suara macan mengaum kembali berteriak. Siapa lagi kalau bukan Sintahe. 

"Iya, Mba." Segera aku menghampiri ke kamarnya. Dia itu tidak bisa berbicara pelan kali ya, masa deketan gini masih berteriak, semakin lama bisa setroke itu perempuan akibat darting.

"Ada apa, Mba?" Sumpah di dalam hati ingin rasanya aku mencabik wajahnya yang mulus tidak berkerikil. 

"Tolong buatkan saya susu coklat panas." pintanya. Enak banget ya, tinggal nyuruh. Emangnya gue babu lo. Songong banget! mentang-mentang jadi istri tua. Tentu saja aku hanya mengucapkan di dalam hati. Sabar … sabar. Kata orang, sabar itu bikin bokong lebar. Waduh … gak imbang dong dengan tubuhku yang ramping dan seksi.

"Lah, kok masih berdiri? Buruan! malah bengong! Lama-lama bisa gila kamu kebanyakan ngehalu!"cetusnya.

"Iya, Mba, nanti Mira antar." Aku berlalu ke dapur. Obat menceret … aha, aku punya ide, yesss … sukurin kamu Mba, hahahaha.

"Mau kemana, Mir?" tanya suami tampanku ketika aku berjalan melewatinya.

"Mau buat susu panas buat Mba Sinta," ucapku. 

"Sekalian, Mas mau susu panas putih," pintanya. "Revan juga, Tan," lanjut anak tiriku yang wajahnya tampan seperti Papanya. Aha, kebetulan, bikin aja empat gelas.

"Siap, boskuh. Mami otw dapur dulu," bahagianya aku kalau Mba Sinta dead cepet. 

***

Aku membuat empat gelas susu coklat, dua putih dan dua coklat. Milik Mba Sinta kubedakan dari gelas yang lain. Satu bungkus obat menceret, tercampur sudah di susunya. Sempurna … lemes- lemes kamu, Mba. Sukur … jahat si. 

"Sudah siap …!" triaku menghampiri Revan dan Papanya. Dengan cepat mereka mengambil gelasnya masing-masing. Mba Sinta juga sudah duduk bergabung dengan mereka, ikut agh. 

"Mba, susunya di minum." Ayok, Mba minum … udah gak sabar mau lihat Mba Sinta mencret.

"Hem …." Ya gitu doang. Usahaku tidak boleh gagal ini.

"Mba … nanti dingin," ucapku lagi sambil menyodorkan gelasnya. 

"Loh, kok kamu bawel banget si? Jangan-jangan kamu mau ngasih saya racun, ya?" tuduhnya. Waduh enak saja racun, orang cuma obat menceret. Kan fitnah lagi.

"Sembarangan racun, jangan fitnah dong, Mba. Mira cuma kasih susu aja udah," kilahku.

"Kalau gak di kasih racun, coba tukar sini minumannya, saya minum punya kamu aja," pintanya. Eh gagal dong kalau begini. 

"Kalian bisa diam gak si? Berisik banget," protes Mas Lengga.

"Ini istri kamu! Mau kasih saya racun di minumannya," tuduh Mba Sinta. 

"Wah finah itu, Mas. Bohong! Dosa lo, Mba fitnah saya gitu."

"Ya udah tinggal tukeran aja repot." Mba Sinta mengambil susu milikku, aku terpaksa minum susu miliknya. Masa senjata makan Mira, eh senjata makan tuannya.

"Cepet minum," cetus Mba Sinta. Mas Lengga dan Revan menatap cengengesan.

Dengan terpaksa aku meminumnya.

"Kan, Mba abis. Fitnah si," kesalku setelah menghabiskanya.

****

Selang beberapa menit, perutku mulai menandakan gejala yang seharusnya terjadi. 

Duuuuutttttt …. Suara kentutku memecahkan keheningan. Tidak kuat aku segera berlari ke kamar. Aku mengabaikan kata-kaat Mba Sinta yang memakiku jorok. Aku tak peduli. Kamar mandi yang di kamar adalah tempat yang pas.

****

Haduh … lega. Apes lagi, apes lagi. Bolak balik aku ke kamar mandi sampai lemes dan tak berdaya. 

Brukkk! Kubaringkan tubuhku di ranjang sambil terus mengelus perut.

"Kenapa kamu?" tanya Mas Lengga setelah memasuki kamar tanpa mengetuk pintu.

"Mules, Mas. Mencret," jawabku lemas.

"Jangan-jangan susu Sinta kamu kasih racun beneran, ya. Emang enak senjata makan tuan, sukur … sukur …," godanya sambil cengengesan. Sungguh menyebalkan melihat wajahnya seeprti itu. Setelah mengambil sesuatu, dia kembali keluar dari kamar.

"Mau kemana kamu, Mas?" tanyaku sebelum dia menutup pintu.

"Ke kamar Sinta, hari ini kan jatah Sinta."

"Paling nanti gak di bukain pintu lagi. Hahaha, sukur … sukur …." Aku balas menggodanya, dia tidak menjawab dan berlalu begitu saja. Bodo agh, mending tidur ngantuk lemes gak karuan.

****

Baru saja mata ini akan tertutup setelah berperang di kamar mandi. Eh Mas Lengga balik lagi.

"Kok balik lagi, Mas?" Padahal aku tahu, Mba Sinta tidak membuka pintu kamarnya. Hihihihi rasain.

"Sinta udah tidur." ketusnya lalu membaringkan tubuhnya di ranjang.

"Hahahahhaha! Rasain!" ledekku.

"Berisik!" Tepak …  dia menjitak kepalaku. Tak kupedulikan perutku kembali terasa mules dan menyakitkan. Hik … hik.

Ku menjerit …. membayangkan semalaman nyatpamin kamar mandi. 

  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status