"Mira! Sepatu saya mana?" tanya Mba Sinta keluar dari kamarnya.
"Mau Mira ambilin, Mba?" tanyaku berbasa basi. Harapannya Mba Sinta ambil sendiri.
"Boleh, tolong ya, Mir," pintanya.
"Eh, Iya, Mba." Dengan berat hati aku mengambil sepatunya. Udah persis babu beneran.
"Mba Sinta mau pergi?" tanyaku sambil memberikan sepatunya.
"Kelihatannya gimana? Emang kamu gak bisa lihat?" jawabnya ketus. Nyebelin banget si. Lagian aku juga cuma basa-basi. Uh, ingin sekali kuberi racun.
"Mau kemana kamu, Sinta?" tanya Mas Lengga yang baru saja pulang kantor.
"Bukan urusan kamu! Awas deh aku mau ketemu teman," ketusnya pada Mas Lengga. 'ckckckck sukurin kamu, Mas. Emang enak di ketusin'
"Ngapain cengengesan?" Mas Lengga terlihat merah padam.
"Seneng aja." Aku mulai berlendot di bahunya yang kekar.
"Iya, kenapa?"
"Gak apa-apa. Ayo kita makan udah kusiapkan makanan favoritnya.
****
"Mas … pindah yuk," rengekku manja.
"Lho, kenapa?"
"Ya aku capek tinggal di sini. Mana enggak ada pembantu. Masa iya aku semua yang kerjakan," protesku.
"Kamu lupa? Kamu sendiri yang menyetujui syaratnya jadi terima aja resikonya." jawabnya sambil terus memasukkan makanan ke mulut seksinya.
"Iya tapi kan, Mas. Aku kira engga jadi babu begini!"
"Kan kamu enggak kerja, ya udah gak masalah kalau kamu urus pekerjaan rumah, Sinta kan kerja."
"Iya … iya …." Ku menjerit … membayangkan, jadi babu di rumah Kaka madu. ' Jadi nyanyi kan gue'
"Mas mau masuk kamar dulu, mau mandi gerah," ucapnya sambil berlalu. Sedangkan aku, seperti biasa, cuci piring lagi …. Besok pagi, cuci baju lagi! Enak banget jadi Mba Sinta, jalan-jalan aja kerjanya.
Akhirnya setelah berperang di dapur selesai juga pekerjaanku. Capek ….
***
Sudah jam segini kok Mba Sinta dan Revan belum pulang. Dasar buah gak jauh dari pohonnya, suka keluyuran kaya Mamanya. Eh tapi gak keluyuran si, paling Revan di rumah Kakek dan Neneknya. Entahlah, dia tidak betah berada di rumahnya sendiri. Tapi, bagus juga kalau mereka enggak balik. Kalau perlu tidak usah kembali untuk selamanya, 'hahahhaah' daripada aku terus di aniayaya. Seandainya benar Mba Sinta pergi dari sini, merdeka hidupku, Mba."Woy, Mira! Ngapain cengengesan sendiri kaya orang gila! bentaknya. Baru juga dipikirkan tidak usah kembali, Mereka sudah berada di hadapanku. Kaka maduku ini memang luar biasa.
"Itu lagi nonton tivi, judulnya Kaka maduku kejam. Jadi inget Mba Sinta," ucapku polos.
"Emang Mama kejam, Tan?" samber Revan.
"Hehehe, enggak juga si, eh iya, eh enggak." Sebenarnya bukan kejam lagi tapi dia mampu menyiksa batin ini, sungguh aku tidak tahan. Terlalu.
"Ya udah, Revan mau masuk kamar dulu, Papa mana?"
"Ada di kamarnya. Bilangin Papa jangan lupa, bola malam ini, ya Tan." Aku hanya mengangguk.
"Pelakor, kalau di kasih hati ngelunjak!" cetus Mba Sinta sambil berlalu. Enak saja pelakor, memang aku ngerebut Mas Lengga, kalau ngomong sembarangan. Boleh dia sebut aku pelakor, asalkan aku menendangnya keluar dari rumah ini. Orang masih jadi istrinya kok bilang aku pelakor. Aku pelakor tapi kalau aku merebut suamimu Mba. Ini aku gak ngerebut, dia aja masih jadi istri Mas Lengga. Bikin gemas saja, awas saja nanti, kukerjain kamu.
***
"Mas … bola … bola … di tunggu anakmu di ruang keluarga!" Aku mengetuk pintu kamar. Syukur alhamdulillah, Mas Lengga betah di kamarku. Di kamar Mba Sinta selalu di suruh keluar ckckck. Mba Sinta judes-judes the best."Emang udah mulai? Jam berapa sekarang!" triaknya dari dalam.
"Buka apa! Emang di tanganmu gak ada jam, Mas?" Ganteng-ganteng nyebelin.
"Iya ini, Mas keluar!" sahutnya lagi. Kamar aku dan Mba Sinta tidak berjauhan, masih berhadapan dan sama-sama di lantai satu. Kamar Revan, di atas sendirian.
***"Mira!" Baru kaki ini hendak melangkah, suara macan mengaum kembali berteriak. Siapa lagi kalau bukan Sintahe."Iya, Mba." Segera aku menghampiri ke kamarnya. Dia itu tidak bisa berbicara pelan kali ya, masa deketan gini masih berteriak, semakin lama bisa setroke itu perempuan akibat darting.
"Ada apa, Mba?" Sumpah di dalam hati ingin rasanya aku mencabik wajahnya yang mulus tidak berkerikil.
"Tolong buatkan saya susu coklat panas." pintanya. Enak banget ya, tinggal nyuruh. Emangnya gue babu lo. Songong banget! mentang-mentang jadi istri tua. Tentu saja aku hanya mengucapkan di dalam hati. Sabar … sabar. Kata orang, sabar itu bikin bokong lebar. Waduh … gak imbang dong dengan tubuhku yang ramping dan seksi.
"Lah, kok masih berdiri? Buruan! malah bengong! Lama-lama bisa gila kamu kebanyakan ngehalu!"cetusnya.
"Iya, Mba, nanti Mira antar." Aku berlalu ke dapur. Obat menceret … aha, aku punya ide, yesss … sukurin kamu Mba, hahahaha.
"Mau kemana, Mir?" tanya suami tampanku ketika aku berjalan melewatinya.
"Mau buat susu panas buat Mba Sinta," ucapku.
"Sekalian, Mas mau susu panas putih," pintanya. "Revan juga, Tan," lanjut anak tiriku yang wajahnya tampan seperti Papanya. Aha, kebetulan, bikin aja empat gelas.
"Siap, boskuh. Mami otw dapur dulu," bahagianya aku kalau Mba Sinta dead cepet.
***Aku membuat empat gelas susu coklat, dua putih dan dua coklat. Milik Mba Sinta kubedakan dari gelas yang lain. Satu bungkus obat menceret, tercampur sudah di susunya. Sempurna … lemes- lemes kamu, Mba. Sukur … jahat si."Sudah siap …!" triaku menghampiri Revan dan Papanya. Dengan cepat mereka mengambil gelasnya masing-masing. Mba Sinta juga sudah duduk bergabung dengan mereka, ikut agh.
"Mba, susunya di minum." Ayok, Mba minum … udah gak sabar mau lihat Mba Sinta mencret.
"Hem …." Ya gitu doang. Usahaku tidak boleh gagal ini.
"Mba … nanti dingin," ucapku lagi sambil menyodorkan gelasnya.
"Loh, kok kamu bawel banget si? Jangan-jangan kamu mau ngasih saya racun, ya?" tuduhnya. Waduh enak saja racun, orang cuma obat menceret. Kan fitnah lagi.
"Sembarangan racun, jangan fitnah dong, Mba. Mira cuma kasih susu aja udah," kilahku.
"Kalau gak di kasih racun, coba tukar sini minumannya, saya minum punya kamu aja," pintanya. Eh gagal dong kalau begini.
"Kalian bisa diam gak si? Berisik banget," protes Mas Lengga.
"Ini istri kamu! Mau kasih saya racun di minumannya," tuduh Mba Sinta.
"Wah finah itu, Mas. Bohong! Dosa lo, Mba fitnah saya gitu."
"Ya udah tinggal tukeran aja repot." Mba Sinta mengambil susu milikku, aku terpaksa minum susu miliknya. Masa senjata makan Mira, eh senjata makan tuannya.
"Cepet minum," cetus Mba Sinta. Mas Lengga dan Revan menatap cengengesan.
Dengan terpaksa aku meminumnya.
"Kan, Mba abis. Fitnah si," kesalku setelah menghabiskanya.****Selang beberapa menit, perutku mulai menandakan gejala yang seharusnya terjadi.Duuuuutttttt …. Suara kentutku memecahkan keheningan. Tidak kuat aku segera berlari ke kamar. Aku mengabaikan kata-kaat Mba Sinta yang memakiku jorok. Aku tak peduli. Kamar mandi yang di kamar adalah tempat yang pas.
****
Haduh … lega. Apes lagi, apes lagi. Bolak balik aku ke kamar mandi sampai lemes dan tak berdaya.
Brukkk! Kubaringkan tubuhku di ranjang sambil terus mengelus perut.
"Kenapa kamu?" tanya Mas Lengga setelah memasuki kamar tanpa mengetuk pintu.
"Mules, Mas. Mencret," jawabku lemas.
"Jangan-jangan susu Sinta kamu kasih racun beneran, ya. Emang enak senjata makan tuan, sukur … sukur …," godanya sambil cengengesan. Sungguh menyebalkan melihat wajahnya seeprti itu. Setelah mengambil sesuatu, dia kembali keluar dari kamar.
"Mau kemana kamu, Mas?" tanyaku sebelum dia menutup pintu.
"Ke kamar Sinta, hari ini kan jatah Sinta."
"Paling nanti gak di bukain pintu lagi. Hahaha, sukur … sukur …." Aku balas menggodanya, dia tidak menjawab dan berlalu begitu saja. Bodo agh, mending tidur ngantuk lemes gak karuan.
****
Baru saja mata ini akan tertutup setelah berperang di kamar mandi. Eh Mas Lengga balik lagi."Kok balik lagi, Mas?" Padahal aku tahu, Mba Sinta tidak membuka pintu kamarnya. Hihihihi rasain.
"Sinta udah tidur." ketusnya lalu membaringkan tubuhnya di ranjang.
"Hahahahhaha! Rasain!" ledekku.
"Berisik!" Tepak … dia menjitak kepalaku. Tak kupedulikan perutku kembali terasa mules dan menyakitkan. Hik … hik.
Ku menjerit …. membayangkan semalaman nyatpamin kamar mandi.
Semalaman bergadang membuat badan lemas dan mata menjadi ngantuk. Gini amat si nasib gue. Udah persis babu. Sialan emang si Sintahe. Lagian Mas Lengga jadi suami kenapa mesti lembek coba. Dia itu kan yang punya kuasa di rumah ini, tapi kenapa harus takluk sama Sintahe. Tidak bisa dibiarkan kalau seperti ini. Tidak adil namanya.*****"Mira tolong setrikain baju saya." Mba Sinta melemparkan sekranjang pakaian lalu meninggalkannya begitu saja. Apa-apaan ini, enak saja dia mau menjadi nyonya di rumah ini. Aku yang gemas menarik kencang pergelangan tangannya sebelum dia pergi. "Mba! Tunggu! Maksudnya apa seperti ini?" kesalku padanya. "Kamu tuli? buta? Atau bodoh? Aku nyuruh kamu nyetrikain pakaianku. Kalau tidak kamu kerjakan, jatah bulanan kamu dari Lengga akan saya kurangi! Ngerti! Enak saja kamu masuk ke rumah tangga saya ketika kehidupan kami sudah jauh dari kata miskin! Kamu itu sahabat Lengga kan? Lalu kenapa kau menggodanya di saat Lengga sudah sukses dan memiliki istri serta an
Allhamdullillah …. Mba Sinta beneran pergi. Hatiku gembira riang tak terkira, mendengar berita, kabar nan bahagia. Mba Sinta kan pergi … jangan pernah kembali,,,, eh salah nyanyinya. Lupa lirik wajar, maaf ya sang pencipta lagu boneka India, Mira gak sengaja sangking seneng Mba Sinta mau ke Irlandia, eh salah, ke Bali maksudnya.**** "Mir … saya pergi dulu. Jaga Revan! Yang bener jangan macem-macem," pamitnya sambil membawa koper. "Kan Revan udah gede, Mba. Masa di jagain?" protesku. Mba Sinta tidak menjawab lagi, dia segera pergi.Yuhuuuuuuuuuu …. yes … yes …."Kenapa kamu kaya belatung nangka begitu?" Mas Lengga, kalau ngomong gak ada saringannya. "Mas … Mba Sinta ke Bali …." "Udah tahu! Aku juga mau ke Balik papan seminggu." "Serius, Mas? Ikut ya, please." Aku memohon."Gak usah, mau ngapain ikut-ikut segala! Suami mau cari duit juga!" tolaknya mentah-mentah."Mas, tapi inget, kalau digoda sekretaris, Mas cuekin aja, ya." Wanti-wanti lebih baik. Nanti dia diambil orang repot.
Setelah pulang dari salon, rasanya badan lumayan lebih enak, wajah sedikit terasa lebih kencang. Ya ampun, nikmat sekali rasanya. Baru terasa setelah pernikahan, ternyata tidak seindah waktu menjadi selingkuhan. Kukira Mba Sinta akan ninggalin Mas Lengga, tapi masih bertahan. Hem …. Entahlah, sampai kapan aku terus seperti ini, rasanya batin juga sudah tidak kuat. Bagaimana kalau Ayah dan Ibu tahu nasib anak perempuannya? 'Bu, hidup Mira di sini tidaklah seindah dalam angan.' Ini sebenarnya gara-gara Mas Lengga yang lembek ngadepin Mba Sinta. Pergerakanku tidak sebebas dulu, semua di bawah kendali Mba Sinta. Mira capek di sini, Bu. Tapi Mira takut ngelawan Mba Sinta. Mira juga malu cerita sama Ibu, Ibu pernah menentang pernikahan ini, tapi Mira tetap bersikeras. *****"Cantik-cantik kok jadi pelakor!" Aku teringat ucapan Bu Inem. Pelakor, perebut laki orang. Perasaan aku bukan pelakor, aku kan gak ngerebut Mas Lengga dari Mba Sinta. Pusing ih, mikirin kata-kata pelakor. Pesan masu
"Jurus jitu melawan pelakor supaya tidak kurang ajar ya memang kitanya harus tegas." Aku membahas seputaran tentang pelakor bersama Maya temanku. Dia baru saja mengalami apa yang aku alami, hanya saja Maya tidak sekuat aku, bodohnya dia malah langsung menyerahkan suaminya. "Sekarang Pelakor memang sedang merajarela, seperti sudah tidak ada pria single saja," ucap Ratna."Sebenarnya, ini semua tergantung mereka, mampu menahan hawa nafsu atau tidak. Tapi biarkan saja, aku tidak sebodoh itu menerima Mira. Setelah puas menjadikan babu, cepat atau lambat, semua surat-surat penting akan kuganti menjadi namaku. Kemudian, aku akan meminta cerai dari Lengga. Biar …. Jika sudah seperti ini, aku akan membuat mereka hancur, sehancurnya. Bermain cantik, butuh taktik," ungkapku pada kedua sahabatku."Gila! Sadis lu, Sint!" Ratna berucap sambil menengok ke arah Maya. "Laki-laki, jika sudah berani berselingkuh di belakang kita, tidak menutup kemungkinan dia akan mengulangi lagi. Selingkuh itu penya
Huaaaaaa … capek! Hik hik hik …. Tubuhku terkulai lemah akibat kelelahan, Mba Sinta kurang ajar! Aku terus berteriak memaki namanya. Capek, Mak! Lelah, capek, huuuaaaaaaaa! Awas lo, Mba! Aku siapkan racun besok! Dasar Sintahe! Gila! Gila! Gila! Sumpah aku gak kuat. ***Kebetulan Revan lewat mau kemana dia. "Revan! Kamu mau kemana?!" triaku beraharap anak tiriku mau menghampiri dan merasa iba."Ke rumah Nenek, Tan …." "Tolongin dong, bantuin Tante jemur korden yuk," pintaku dengan wajah penuh harap."Enggak ah, Tant, males. Tante kerjain sendiri aja, bye," jawabnya sambil berlalu mengabaikanku. Astagfirullah, Ya Robb. Mira … sabar … Mir. ****Akhirnya, setelah berjam-jam aku bergelut dengan korden selesai juga. Gila, capek banget. Untuk menghilangkan penat, aku duduk santai di ruang tamu sambil menonton televisi. Salah satu tema di sebuah chanel menarik perhatianku. Ya, tema itu mengusung tentang sebuah karma untuk pelakor. Sedikit takut melihatnya, tapi rasa penasaran mampu mengala
Huaaa … masih ngantuk. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 10. 00 pagi. Huwwwaa … kesiangan. Bisa di gorok aku sama Mba Sinta. Mudah-mudahan dia belum kembali, bisa repot aku. Dengan berat hati bahkan sampai tidak mencuci muka, aku bergagas lari ke tempat Mang Udin si tukang sayur. Ya Allah, mudah-mudahan masih ada sayuran. ***"Enak banget ya si Mira, jam segini baru bangun tidur," cetus Bu Nuning sesampainya aku di tempat Mang Udin. Astaga … aku kira kang gosip udah pada di kandang jam segini, ternyata masih ada yang berkeliaran. "Jangan sirik Napa, sama hidup saya, Bu Nuning," sungutku sambil memilih beberapa sayur. Untung masih ada ikan bandeng sama kacang panjang. "Ih amit-amit saya sirik sama kamu, Mira. Nauzubillah Minzalik." Wah, sembarangan Bu Nuning. Emang saya sehina itu pake ucap kata nauzubillah Minzalik. "Bu Nuning, jangan terlalu pedas kalau ngomong, dijaga sedikit perasaan orang, Bu," cetusku sedikit tersinggung. "Mang buruan bungkus, mumet saya sama ucapan
Hari ini aku akan memasak makanan kesukaan Mas Lengga.Karena, hari ini dia akan pulang. Aku bangun lebih pagi takut kalau sampai Mas Lengga pulang belum ada makanan yang tersedia. Mataku seketika terbelalak melihat makanan yang aku masak kemarin tidak sama sekali tersentuh. Aku hanya bisa menggeleng kepala, mengelus dada dengan kelakuan mereka. Dengan terpaksa aku membuang semua masakanku, terkecuali nasi karena masih bagus, dan Baru tersentuh sedikit olehku.***Pagi ini Revan berangkat ke sekolah menyiapkan sarapannya sendiri, dia mulai memanggang roti tanpa menyapaku. Sedikit sapaan Tante, tidak terdengar seperti biasanya. Mungkin dia marah dengan perlakuanku kemarin. Setelah sarapan, dia melewatiku begitu saja."Ayok jalan," ucap Mba Sinta pada Revan. Tidak seperti biasa, Mba Sinta menyuruhku mengerjakan sederetan pekerjaan rumah, dia sama seperti Revan mengabaikanku begitu saja. Baguslah, memang itu yang aku inginkan. Sebentar lagi, aku akan mendepak kalian keluar dari rumah
"Mas, kita pergi kemana?" tanyaku pada Mas Lengga. "Kita numpang di tempat Kakakmu dulu sampai aku dapat pekerjaan. Kamu juga cari kerja habis itu, kita cari kontrakan kecil sementara," jawabnya."Kenapa gak numpang di tempat orang tuamu saja, Mas?" Tidak mungkin aku meumpang di tempat Mba Desi. "Tidak enak, Mira. Mas gak mau ngerepotin mereka. Ini juga mereka belum tahu kalau Mas bercerai dengan Sinta.""Mas kita pulang ke tempat orang tuaku. Kalau Ibuku pasti akan mengerti." "Ya udah, sementara kita tinggal di rumah mereka." Keputusan pun telah diambil, untuk sementara waktu kami akan tinggal di rumah orang tuaku. Aku dan Mas Lengga akan mulai mencari pekerjaan untuk membangun mimpi supaya bisa membungkam mulut Sinta. "Naik ojek aja, Mas. Di depan ada tukang ojek." Mas Lengga mengangguk, berjalan di belakangku sambil menyeret dua koper besar. Mudah-mudahan di tempat Mang Udin aman, karena untuk menuju tempat kang ojek, harus melewati tempat berjualan Mang Udin."Mau kemana Mira