Share

Bab 3

Semalaman bergadang membuat badan lemas dan mata menjadi ngantuk. Gini amat si nasib gue. Udah persis babu. Sialan emang si Sintahe. Lagian Mas Lengga jadi suami kenapa mesti lembek coba. Dia itu kan yang punya kuasa di rumah ini, tapi kenapa harus takluk sama Sintahe. Tidak bisa dibiarkan kalau seperti ini. Tidak adil namanya.

*****

"Mira tolong setrikain baju saya." Mba Sinta melemparkan sekranjang pakaian lalu meninggalkannya begitu saja. Apa-apaan ini, enak saja dia mau menjadi nyonya di rumah ini. Aku yang gemas menarik kencang pergelangan tangannya sebelum dia pergi. 

"Mba! Tunggu! Maksudnya apa seperti ini?" kesalku padanya. 

"Kamu tuli? buta? Atau bodoh? Aku nyuruh kamu nyetrikain pakaianku. Kalau tidak kamu kerjakan, jatah bulanan kamu dari Lengga akan saya kurangi! Ngerti! Enak saja kamu masuk ke rumah tangga saya ketika kehidupan kami sudah jauh dari kata miskin! Kamu itu sahabat Lengga kan? Lalu kenapa kau menggodanya di saat Lengga sudah sukses dan memiliki istri serta anak? Kau itu, tak lebih seorang wanita jalang yang bersembunyi dalam topeng kemunafikan ataupun sok bodoh! Kau pikir dengan sikap sok bodohmu itu, aku akan luluh dan nerima kamu? Jangan mimpi kamu!" Dia mendorong kasar tubuhku setelah puas memaki.

"Apa salahku, Mba?" Aku masih tidak terima. Dia menerima pernikahan ini. Mba Sinta kembali menghampiriku dengan wajah siap mengeluarkan sungu.

"Kamu menggoda suami saya?" 

"Tidak, Mba. Cuma nyari perhatian," ucapku, memang seperti itu kenyataannya.

"Mira!!!!!! Kamu bodoh apa pura-pura?"

"Dulu, saya mengorbankan karir demi menikah dengan Lengga, kami membangun jerih payah dari nol tanpa menerima seperak pun bantuan dari orang lain. Kamu tahu? Modal dengkul untuk menjadi seperti ini. Bangun pagi, nyuci pakaian, beres-beres ngurus keluarga, itu juga saya kerjakan. Sedikit demi sedikit rupiah kami kumpulkan, kegigihan Lengga membuatnya seperti ini. Dulu waktu Lengga melarat tidak nampak wajahmu diantara kami!" bentaknya membuatku bergidik. Habis aku kalau berdebat dengannya, ngeri. 

"Terus saya harus bagaimana?" 

"Rasakan apa yang pernah saya rasakan! Jangan pergi kesalon kamu selama satu tahun! Enak saja mau menghabiskan uang suami saya!" 

"Nanti saya jelek, item dekil, ogah agh, Mba. Kalau gitu saya kerja aja," protesku. Ya kali setahun gak nyalon, bisa budukan. 

"Resiko pernikahanmu! Makanya, cari tahu dulu siapa Sinta istri Lengga. Jangan karena kau merasa cantik lantas bisa sepadan denganku. Lupa kau syarat yang aku beri untuk bisa menikah dengan Lengga? Jangan mau enaknya aja kamu racun!" makinya. Dasar Mba Sinta, masih saja ngungkit masa lalu. 

"Ya udah, Mba. Saya mau beli sayur dulu," ucapku meninggalkan Mba Sinta dan mengakhiri perdebatan. Sakit hati aku diperlakukan seperti ini. Demi Tuhan aku ingin memakinya. Perasaan sebelum menikah, enak saja hidupku. Shoping, makan-makan, diperhatikan, dinomor satukan oleh Mas Lengga. Kenapa setelah menikah justru sebaliknya sih …. 

****

Aku udah sampai di tukang sayur langgananku Mang Bejo. Tatapan sinis Ibu-Ibu tukang gosip mulai menerkam. Risih deh diriku. "Eh Mira, gimana rasanya jadi istri kedua?" tanya Bu Inem.

"Ih si Ibu, kepo banget sama urusan orang. Mending Ibu urusin tu badan Ibu, biar suaminya gak diambil orang," makiku kesal. 

"Siapa yang berani ngambil suami saya? Bakal saya bunuh keduanya." Waduh ngeri kali Bu Inem.

"Iya Mira. Kamu cantik-cantik kok mau si sama orang udah punya istri?" Kali ini Bu Titin menimpali.

"Ih … hak saya dong, Bu ibu! Saya yang menjalani kok Bu ibu yang repot! Terserah saya dong mau jadi istri keberapa. Namanya juga cinta. Yang punya suami aja gak masalah, kok Bu Ibu yang repot!" cecarku.

"Awas lo, Mira, nanti anak kamu nurun sukaknya sama laki orang. Awas aja nanti suami kamu bisa ditaksir orang juga," cemoh Bu Titin. 

"Iya Mira. Jangan sombong! Nanti kena karma tahu rasa!" Bu Inem kembali berkicau. 

"Mang Bejo! Cepat bungkus belanjaan saya. Ibu-Ibu di sini kepo." Segera Mang Bejo membungkus semuanya, kemudian memberikan padaku. Aku sendiri dengan cepat meninggalkan mereka. 

Emosi aku sebenarnya. Kesal, marah, campur aduk tidak karuan. Jika marah, sasaran emosiku adalah Mba Sinta. Ya dia harus segera di ceraikan oleh Mas Lengga. Biar aku menjadi istri satu-satunya. Lagi pula tidak pernah tidur bareng, tapi masih bersatu, dasar perempuan aneh. Ada apa gerangan. Sudah sikapnya santai setiap harinya, tapi mampu membuatku jengkel. 

****

Waduh … banyak tamu. Mataku terbelalak ketika tiba di depan pintu lalu membukanya, ya ampun Mba Sinta. Bawa teman-temannya. Kelewatan. Segala macam makanan dan minuman berjajar di ruang tamu. Padahal baru beberapa menit aku meninggalkannya. Bukanya Mba Sinta tadi pergi bekerja. Aku jadi bingung sendiri. 

"Mira! Ngapain bengong kamu?" tanyanya.

"Ini ada acara apa si, Mba?" 

"Kita lagi pada kumpul. Besok kami mau ada event di Bali. Ada beberapa yang gak bisa ikut, jadi ngumpul dulu disini."

Ada senengnya ada enggaknya. Senangnya esok dia akan pergi, semoga saja tak kembali. Sedihnya, sehabis acara ini, pasti aku yang membereskannya. Aku harus curhat seputar kehidupanku ini pada kawanku. Kebetulan besok dia pergi sehingga aku bisa mengundangnya kemari. Aku kembali melanjutkan langkahku ke dapur. 

"Mira …. !" panggil Mba Sinta. Aku kembali menoleh ke arahnya.

"Jangan lupa! Baju saya di setrika, besok mau saya bawa." Ya ampun memalukan sekali. 

"Iya, Mba," ucapku berlalu.

Siiiaallll ….

  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status