Share

Bab 5

Setelah pulang dari salon, rasanya badan lumayan lebih enak, wajah sedikit terasa lebih kencang. Ya ampun, nikmat sekali rasanya. Baru terasa setelah pernikahan, ternyata tidak seindah waktu menjadi selingkuhan. 

Kukira Mba Sinta akan ninggalin Mas Lengga, tapi masih bertahan. Hem …. Entahlah, sampai kapan aku terus seperti ini, rasanya batin juga sudah tidak kuat. Bagaimana kalau Ayah dan Ibu tahu nasib anak perempuannya? 

'Bu, hidup Mira di sini tidaklah seindah dalam angan.' Ini sebenarnya gara-gara Mas Lengga yang lembek ngadepin Mba Sinta. Pergerakanku tidak sebebas dulu, semua di bawah kendali Mba Sinta. Mira capek di sini, Bu. Tapi Mira takut ngelawan Mba Sinta. Mira juga malu cerita sama Ibu, Ibu pernah menentang pernikahan ini, tapi Mira tetap bersikeras. 

*****

"Cantik-cantik kok jadi pelakor!" Aku teringat ucapan Bu Inem. Pelakor, perebut laki orang. Perasaan aku bukan pelakor, aku kan gak ngerebut Mas Lengga dari Mba Sinta. Pusing ih, mikirin kata-kata pelakor. 

Pesan masuk dari Sari, seketika membuat daku tersentak. 

"Mir … tolongin gue, gue di cabein sama istri cowok gue! Abis gue dimaki! Aduh perih banget lagi. Mending gak di seret keliling komplek." Waduh, ngeri. 

"Kata, lo bininya cupu? Lebih parah dari Mba Sinta ini mah! Horor!"  Sebenarnya di dalam hati aku menyukurinya. Sukurin lo emang enak. 

"Kayanya gue mundur. Cowok gue juga beraninya di belakang istrinya." tulisnya lagi.

"Iya, mending gak usah dilanjut hubungan lo! Daripada lo lanjut nanti makin parah. Sabar ya, Sar." Aku mengirim pesannya dan disertai emot tawa. Eh salah, aturan nangis. Buru-buru kukirim pesan lagi. 

"Maaf, Sar salah emot. Aturan nangis bukan tawa."

"Agh, lo mah nyebelin. Kesini buruan bantuin gue olesin obat pendingin! Badan gue merah-merah pada perih. Mulut gue juga jontor, sakit semua ni! Rambut di kuyel-kuyel. Abis gue babak belur," tulisnya sambil disertai emot nangis. Kasian deh lo, Sar. Segera mungkin aku pergi ke kosan Sari. Baru kemaren dia memaki aku bodoh mau dijadiin babu, eh dia malah di labrak abis-abisan. Kasian amat.

*****

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua puluh menit, aku telah sampai di kosan Sari. Langsung saja aku masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Sungguh aku terkejut, sangking terkejutnya, aku sampai menutup mulut karena begitu takjub dengan sosok di depanku. Wajahnya biru memar, rambut acak-acakan, ini si pelakor teraniaya sebelum waktunya. Ckckckck untung aku tidak seperti ini.

"Sar … kaya orang gila si?" Aku menghampiri dan duduk di sampingnya. Sari menceritakan semua teragedi yang menimpanya. 

"Itulah, resiko yang harus siap diterima jika mencintai pria beristri," ucapku sok bijak.

"Kapok enggak, Sar?" lanjutku bertanya.

"Kapok gue, gak lagi-lagi. Mending lakinya gentleman. Ini takut sama istri tapi bergaya cari WIL," ucapnya. Aku masih terus mengoles obat pendingin di punggung badannya.

"Lagian, Sar, kalau bisa, lo cari cowok lain yang lajang. Gue aja nyesel, udah direndahin orang, jadi bahan gibahan ibu-ibu komplek. Gak enak banget." 

"Iya, bener. Terus lo gimana?" tanyanya.

"Gue bingung. Gue cinta sama Lengga, Tapi kalau Mba Sinta gak bisa nerima gue, kalau gue terus diperlakukan seperti ini, entah kuat entah enggak. Pingin mundur, bingung. Harapan gue Sinta cerai aja sama Lengga. Tapi kayanya gak mungkin. Sampai sekarang aja, Mba Sinta masih adem ayem. Malah makin sibuk dengan karirnya." Sari hanya terdiam. 

"Iya, kok kita galau, ya. Jujur aja, gue juga takut sebenarnya mau ngejalin hubungan sama suami orang. Banyak resiko. Tapi, gue sendiri bingung kenapa mau ngelakuinnya. Yang pasti pertama karena uang. Gak perlu capek ngumpulin, udah bisa dapat barang branded. Manfaatin uangnya aja, kalau gak ada uang juga gue ogah," ungkapnya.

"Kalau gue, awalnya karena emang suka sama dia, pertama karena sikap baiknya, jadi gue tertarik buat cari perhatian, awalnya iseng, lama kelamaan cinta beneran. Apalagi Lengga kan idaman banget. Berawal dari perhatian kecil malah jadi keterusan. Tetap jadi yang kedua itu gak enak selama masih ada yang pertama," terangku. 

"Itulah kenapa perempuan dan laki-laki gak boleh bareng kalau bukan muhrim. Mana gue gak bisa dibaperin cowok meski sedikit. Agh kesal deh sama hati sendiri," sesalnya.

"Padahal kita tahu itu salah, Sar. Tapi kenapa tetap melakukan," lirihku.

"Itulah Nafsu. Kita belum mampu mengendalikannya. Banyak banget dosa kita, Mir."

"Kamu itu, Sar, yang dosanya banyak. Aku mah udah jadi istrinya!" Aku melirik sinis. 

"Tetap saja sebelum jadi istri, lo jadi penggoda bodoh!" celetuk Sari sambil menggeplak kepalaku. Iya juga si benar apa kata dia. 

Aku dan Sari larut dalam keheningan, memikirkan nasib apes kita. Dia teraniaya sebelum waktunya. Aku malah jadi babu sesudah waktunya. Kapok … kapok …. Kenyataan tidak seindah yang dibayangkan.

Sekarang aku hanya bisa pasrah, sampai kapan aku bertahan menjadi istri Lengga. Beruntung Sari belum sampai menikah. Tapi kasian juga mulut dan badan sampai ke bawah habis di cabein, gak bisa bayangkan bagaimana rasa perihnya.

***

"Gimana udah mendingan?" tanyaku setelah selesai mengoles obat di seluruh badan yang tidak dapat dijangkau olehnya.

"Mendingan, Mir. udah gak terlalu perih. Makasih ya." Aku mengangguk, kemudian berpamitan untuk pulang. Sari menahanku untuk tetap menemaninya, tapi pekerjaan di rumah lumayan banyak. Kalau saja hari ini bukan waktunya membersihkan kaca dan perbatoan lain dari debu. Belum lagi hari ini juga waktunya mengganti korden. Membayangkan pekerjaan yang menumpuk membuat mood tidak beraturan. Kalau tidak dikerjakan, harus bersiap mendengar teriakan Mba Sinta yang super berisik. Huuffttt .... Bikes. Bikin kesal.

"Oke, gue balik dulu, Sar." Kaki ini melangkah dengan malas. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status