Setelah pulang dari salon, rasanya badan lumayan lebih enak, wajah sedikit terasa lebih kencang. Ya ampun, nikmat sekali rasanya. Baru terasa setelah pernikahan, ternyata tidak seindah waktu menjadi selingkuhan.
Kukira Mba Sinta akan ninggalin Mas Lengga, tapi masih bertahan. Hem …. Entahlah, sampai kapan aku terus seperti ini, rasanya batin juga sudah tidak kuat. Bagaimana kalau Ayah dan Ibu tahu nasib anak perempuannya? 'Bu, hidup Mira di sini tidaklah seindah dalam angan.' Ini sebenarnya gara-gara Mas Lengga yang lembek ngadepin Mba Sinta. Pergerakanku tidak sebebas dulu, semua di bawah kendali Mba Sinta. Mira capek di sini, Bu. Tapi Mira takut ngelawan Mba Sinta. Mira juga malu cerita sama Ibu, Ibu pernah menentang pernikahan ini, tapi Mira tetap bersikeras. *****"Cantik-cantik kok jadi pelakor!" Aku teringat ucapan Bu Inem. Pelakor, perebut laki orang. Perasaan aku bukan pelakor, aku kan gak ngerebut Mas Lengga dari Mba Sinta. Pusing ih, mikirin kata-kata pelakor.
Pesan masuk dari Sari, seketika membuat daku tersentak. "Mir … tolongin gue, gue di cabein sama istri cowok gue! Abis gue dimaki! Aduh perih banget lagi. Mending gak di seret keliling komplek." Waduh, ngeri. "Kata, lo bininya cupu? Lebih parah dari Mba Sinta ini mah! Horor!" Sebenarnya di dalam hati aku menyukurinya. Sukurin lo emang enak. "Kayanya gue mundur. Cowok gue juga beraninya di belakang istrinya." tulisnya lagi."Iya, mending gak usah dilanjut hubungan lo! Daripada lo lanjut nanti makin parah. Sabar ya, Sar." Aku mengirim pesannya dan disertai emot tawa. Eh salah, aturan nangis. Buru-buru kukirim pesan lagi. "Maaf, Sar salah emot. Aturan nangis bukan tawa.""Agh, lo mah nyebelin. Kesini buruan bantuin gue olesin obat pendingin! Badan gue merah-merah pada perih. Mulut gue juga jontor, sakit semua ni! Rambut di kuyel-kuyel. Abis gue babak belur," tulisnya sambil disertai emot nangis. Kasian deh lo, Sar. Segera mungkin aku pergi ke kosan Sari. Baru kemaren dia memaki aku bodoh mau dijadiin babu, eh dia malah di labrak abis-abisan. Kasian amat.*****Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua puluh menit, aku telah sampai di kosan Sari. Langsung saja aku masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Sungguh aku terkejut, sangking terkejutnya, aku sampai menutup mulut karena begitu takjub dengan sosok di depanku. Wajahnya biru memar, rambut acak-acakan, ini si pelakor teraniaya sebelum waktunya. Ckckckck untung aku tidak seperti ini."Sar … kaya orang gila si?" Aku menghampiri dan duduk di sampingnya. Sari menceritakan semua teragedi yang menimpanya.
"Itulah, resiko yang harus siap diterima jika mencintai pria beristri," ucapku sok bijak."Kapok enggak, Sar?" lanjutku bertanya."Kapok gue, gak lagi-lagi. Mending lakinya gentleman. Ini takut sama istri tapi bergaya cari WIL," ucapnya. Aku masih terus mengoles obat pendingin di punggung badannya."Lagian, Sar, kalau bisa, lo cari cowok lain yang lajang. Gue aja nyesel, udah direndahin orang, jadi bahan gibahan ibu-ibu komplek. Gak enak banget." "Iya, bener. Terus lo gimana?" tanyanya."Gue bingung. Gue cinta sama Lengga, Tapi kalau Mba Sinta gak bisa nerima gue, kalau gue terus diperlakukan seperti ini, entah kuat entah enggak. Pingin mundur, bingung. Harapan gue Sinta cerai aja sama Lengga. Tapi kayanya gak mungkin. Sampai sekarang aja, Mba Sinta masih adem ayem. Malah makin sibuk dengan karirnya." Sari hanya terdiam. "Iya, kok kita galau, ya. Jujur aja, gue juga takut sebenarnya mau ngejalin hubungan sama suami orang. Banyak resiko. Tapi, gue sendiri bingung kenapa mau ngelakuinnya. Yang pasti pertama karena uang. Gak perlu capek ngumpulin, udah bisa dapat barang branded. Manfaatin uangnya aja, kalau gak ada uang juga gue ogah," ungkapnya."Kalau gue, awalnya karena emang suka sama dia, pertama karena sikap baiknya, jadi gue tertarik buat cari perhatian, awalnya iseng, lama kelamaan cinta beneran. Apalagi Lengga kan idaman banget. Berawal dari perhatian kecil malah jadi keterusan. Tetap jadi yang kedua itu gak enak selama masih ada yang pertama," terangku. "Itulah kenapa perempuan dan laki-laki gak boleh bareng kalau bukan muhrim. Mana gue gak bisa dibaperin cowok meski sedikit. Agh kesal deh sama hati sendiri," sesalnya."Padahal kita tahu itu salah, Sar. Tapi kenapa tetap melakukan," lirihku.
"Itulah Nafsu. Kita belum mampu mengendalikannya. Banyak banget dosa kita, Mir."
"Kamu itu, Sar, yang dosanya banyak. Aku mah udah jadi istrinya!" Aku melirik sinis.
"Tetap saja sebelum jadi istri, lo jadi penggoda bodoh!" celetuk Sari sambil menggeplak kepalaku. Iya juga si benar apa kata dia.
Aku dan Sari larut dalam keheningan, memikirkan nasib apes kita. Dia teraniaya sebelum waktunya. Aku malah jadi babu sesudah waktunya. Kapok … kapok …. Kenyataan tidak seindah yang dibayangkan.Sekarang aku hanya bisa pasrah, sampai kapan aku bertahan menjadi istri Lengga. Beruntung Sari belum sampai menikah. Tapi kasian juga mulut dan badan sampai ke bawah habis di cabein, gak bisa bayangkan bagaimana rasa perihnya.
***"Gimana udah mendingan?" tanyaku setelah selesai mengoles obat di seluruh badan yang tidak dapat dijangkau olehnya."Mendingan, Mir. udah gak terlalu perih. Makasih ya." Aku mengangguk, kemudian berpamitan untuk pulang. Sari menahanku untuk tetap menemaninya, tapi pekerjaan di rumah lumayan banyak. Kalau saja hari ini bukan waktunya membersihkan kaca dan perbatoan lain dari debu. Belum lagi hari ini juga waktunya mengganti korden. Membayangkan pekerjaan yang menumpuk membuat mood tidak beraturan. Kalau tidak dikerjakan, harus bersiap mendengar teriakan Mba Sinta yang super berisik. Huuffttt .... Bikes. Bikin kesal.
"Oke, gue balik dulu, Sar." Kaki ini melangkah dengan malas."Jurus jitu melawan pelakor supaya tidak kurang ajar ya memang kitanya harus tegas." Aku membahas seputaran tentang pelakor bersama Maya temanku. Dia baru saja mengalami apa yang aku alami, hanya saja Maya tidak sekuat aku, bodohnya dia malah langsung menyerahkan suaminya. "Sekarang Pelakor memang sedang merajarela, seperti sudah tidak ada pria single saja," ucap Ratna."Sebenarnya, ini semua tergantung mereka, mampu menahan hawa nafsu atau tidak. Tapi biarkan saja, aku tidak sebodoh itu menerima Mira. Setelah puas menjadikan babu, cepat atau lambat, semua surat-surat penting akan kuganti menjadi namaku. Kemudian, aku akan meminta cerai dari Lengga. Biar …. Jika sudah seperti ini, aku akan membuat mereka hancur, sehancurnya. Bermain cantik, butuh taktik," ungkapku pada kedua sahabatku."Gila! Sadis lu, Sint!" Ratna berucap sambil menengok ke arah Maya. "Laki-laki, jika sudah berani berselingkuh di belakang kita, tidak menutup kemungkinan dia akan mengulangi lagi. Selingkuh itu penya
Huaaaaaa … capek! Hik hik hik …. Tubuhku terkulai lemah akibat kelelahan, Mba Sinta kurang ajar! Aku terus berteriak memaki namanya. Capek, Mak! Lelah, capek, huuuaaaaaaaa! Awas lo, Mba! Aku siapkan racun besok! Dasar Sintahe! Gila! Gila! Gila! Sumpah aku gak kuat. ***Kebetulan Revan lewat mau kemana dia. "Revan! Kamu mau kemana?!" triaku beraharap anak tiriku mau menghampiri dan merasa iba."Ke rumah Nenek, Tan …." "Tolongin dong, bantuin Tante jemur korden yuk," pintaku dengan wajah penuh harap."Enggak ah, Tant, males. Tante kerjain sendiri aja, bye," jawabnya sambil berlalu mengabaikanku. Astagfirullah, Ya Robb. Mira … sabar … Mir. ****Akhirnya, setelah berjam-jam aku bergelut dengan korden selesai juga. Gila, capek banget. Untuk menghilangkan penat, aku duduk santai di ruang tamu sambil menonton televisi. Salah satu tema di sebuah chanel menarik perhatianku. Ya, tema itu mengusung tentang sebuah karma untuk pelakor. Sedikit takut melihatnya, tapi rasa penasaran mampu mengala
Huaaa … masih ngantuk. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 10. 00 pagi. Huwwwaa … kesiangan. Bisa di gorok aku sama Mba Sinta. Mudah-mudahan dia belum kembali, bisa repot aku. Dengan berat hati bahkan sampai tidak mencuci muka, aku bergagas lari ke tempat Mang Udin si tukang sayur. Ya Allah, mudah-mudahan masih ada sayuran. ***"Enak banget ya si Mira, jam segini baru bangun tidur," cetus Bu Nuning sesampainya aku di tempat Mang Udin. Astaga … aku kira kang gosip udah pada di kandang jam segini, ternyata masih ada yang berkeliaran. "Jangan sirik Napa, sama hidup saya, Bu Nuning," sungutku sambil memilih beberapa sayur. Untung masih ada ikan bandeng sama kacang panjang. "Ih amit-amit saya sirik sama kamu, Mira. Nauzubillah Minzalik." Wah, sembarangan Bu Nuning. Emang saya sehina itu pake ucap kata nauzubillah Minzalik. "Bu Nuning, jangan terlalu pedas kalau ngomong, dijaga sedikit perasaan orang, Bu," cetusku sedikit tersinggung. "Mang buruan bungkus, mumet saya sama ucapan
Hari ini aku akan memasak makanan kesukaan Mas Lengga.Karena, hari ini dia akan pulang. Aku bangun lebih pagi takut kalau sampai Mas Lengga pulang belum ada makanan yang tersedia. Mataku seketika terbelalak melihat makanan yang aku masak kemarin tidak sama sekali tersentuh. Aku hanya bisa menggeleng kepala, mengelus dada dengan kelakuan mereka. Dengan terpaksa aku membuang semua masakanku, terkecuali nasi karena masih bagus, dan Baru tersentuh sedikit olehku.***Pagi ini Revan berangkat ke sekolah menyiapkan sarapannya sendiri, dia mulai memanggang roti tanpa menyapaku. Sedikit sapaan Tante, tidak terdengar seperti biasanya. Mungkin dia marah dengan perlakuanku kemarin. Setelah sarapan, dia melewatiku begitu saja."Ayok jalan," ucap Mba Sinta pada Revan. Tidak seperti biasa, Mba Sinta menyuruhku mengerjakan sederetan pekerjaan rumah, dia sama seperti Revan mengabaikanku begitu saja. Baguslah, memang itu yang aku inginkan. Sebentar lagi, aku akan mendepak kalian keluar dari rumah
"Mas, kita pergi kemana?" tanyaku pada Mas Lengga. "Kita numpang di tempat Kakakmu dulu sampai aku dapat pekerjaan. Kamu juga cari kerja habis itu, kita cari kontrakan kecil sementara," jawabnya."Kenapa gak numpang di tempat orang tuamu saja, Mas?" Tidak mungkin aku meumpang di tempat Mba Desi. "Tidak enak, Mira. Mas gak mau ngerepotin mereka. Ini juga mereka belum tahu kalau Mas bercerai dengan Sinta.""Mas kita pulang ke tempat orang tuaku. Kalau Ibuku pasti akan mengerti." "Ya udah, sementara kita tinggal di rumah mereka." Keputusan pun telah diambil, untuk sementara waktu kami akan tinggal di rumah orang tuaku. Aku dan Mas Lengga akan mulai mencari pekerjaan untuk membangun mimpi supaya bisa membungkam mulut Sinta. "Naik ojek aja, Mas. Di depan ada tukang ojek." Mas Lengga mengangguk, berjalan di belakangku sambil menyeret dua koper besar. Mudah-mudahan di tempat Mang Udin aman, karena untuk menuju tempat kang ojek, harus melewati tempat berjualan Mang Udin."Mau kemana Mira
POV Sinta ….Berakhir sudah kisah cintaku dengan suamiku. Pernikahan yang dilandasi cinta dapat ternoda oleh hadirnya orang ketiga. Rapuh sudah pertahananku. Di rumah ini begitu banyak kenangan indah bersamanya. Mustahil kalau aku tidak terluka, nyatanya aku sendiri juga mencintai Lengga. Mengapa suamiku tidak bersyukur, bahkan istri cantik sepertiku masih tega ia duakan. Apa salahku, selama ini aku yang berdiri menemaninya dari nol. Merintis usaha hingga jadilah dia seperti sekarang. Meski aku mampu merebut semua kesuksesannya, tapi aku kehilangan cinta. Aku tidak bisa menerima atau memaafkan kesalahannya. Kenapa dia bisa tergoda oleh wanita seperti Mira. Apa karena mereka bersahabat sedari kecil? Lantas aku ini apa? Akan kubuat kau menyesal, Mas. Aku yakin kamu akan menghubungiku dengan dalih anak, aku yakin kau menyesal telah berpisah denganku. Merintis suatu usaha dari nol itu tidak mudah, kalau dulu aku menemanimu penuh cinta dan kesabaran, kita lihat saja nanti, apa Mira akan be
Pov Mira"Mas, kita tutup semua yang sudah berlalu, kita buka lembar baru ya?" ucapku seraya memegang tangan suamiku satu-satunya. Dari siang tadi hingga malam tiba, Mas Lengga seperti tidak ada semangat. Aku jadi merasa aneh dengan sikapnya yang seperti itu. "Mas, kamu kenapa si? Kok diem terus?" Tidak ada jawaban yang terlontar dari mulutnya. Aku jadi serba salah dan ikut tidak bergairah melihat dirinya seperti ini.Malas juga aku berbicara kalau tidak ada tanggapan."Capek aku kaya ngomong sama patung," ketusku sambil berbelok membelakanginya. Sebisa mungkin aku mencoba memejamkan mata. Namun, bayangan akan esok menari-nari di dalam pikiranku. Kepalaku menjadi sedikit pusing, leher juga terasa berat. Memang sialan Mba Sinta. Aku sungguh sangat membencinya, benci yang terlalu dalam. Aku berharap bisa sukses bersama Mas Lengga, dan membuktikan padanya kalau hidupku baik-baik saja. Besok aku akan mulai mencari pekerjaan, yah berbekal ijasah SMK, entah pekerjaan apa yang akan kudapat
Pov MiraSemua sudah kubereskan, sepray bekas tidur dan baju kotor dua hari di tempat ibu sudah kucuci. Mas Lengga sudah uring-uringan tidak karuan meminta untuk segera pindah. Haduh kenapa jadi terlunta-lunta begini, harusnya hari ini aku memulai pekerjaan menjadi Repsesionis, malah gak jadi masuk kerja, entahlah besok aku masih diterima atau tidak. 'Mas Lengga kenapa jadi egois begini si.'"Sudah siap kan? Tadi kalung sudah kamu jual?" ucap Mas Lengga sambil membawa dua koper ukuran besar seperti kemarin. Memang isinya juga masih utuh, untung belum ku-keluarkan semua isinya. "Sudah Mas," sungutku sedikit kesal. Rasanya ingin kucakar wajah pria di depanku ini."Bu, kami pamit dulu. Maaf udah ngerpotin Ibu," ucap Mas Lengga menghampiri Ibu dan Bapa yang sedang duduk santai di ruang tamu."Lho kok pamit? Kenapa? Katanya mau tinggal di sini dulu sementara?" Ibu sedikit merasa tidak enak, dapat terlihat dari wajahnya. Mungkin ia sadar akan ucapannya yang lalu. "Lengga gak mau ngerpotin