"Jurus jitu melawan pelakor supaya tidak kurang ajar ya memang kitanya harus tegas." Aku membahas seputaran tentang pelakor bersama Maya temanku. Dia baru saja mengalami apa yang aku alami, hanya saja Maya tidak sekuat aku, bodohnya dia malah langsung menyerahkan suaminya.
"Sekarang Pelakor memang sedang merajarela, seperti sudah tidak ada pria single saja," ucap Ratna.
"Sebenarnya, ini semua tergantung mereka, mampu menahan hawa nafsu atau tidak. Tapi biarkan saja, aku tidak sebodoh itu menerima Mira. Setelah puas menjadikan babu, cepat atau lambat, semua surat-surat penting akan kuganti menjadi namaku. Kemudian, aku akan meminta cerai dari Lengga. Biar …. Jika sudah seperti ini, aku akan membuat mereka hancur, sehancurnya. Bermain cantik, butuh taktik," ungkapku pada kedua sahabatku.
"Gila! Sadis lu, Sint!" Ratna berucap sambil menengok ke arah Maya.
"Laki-laki, jika sudah berani berselingkuh di belakang kita, tidak menutup kemungkinan dia akan mengulangi lagi. Selingkuh itu penyakit. Sekali dimaafkan akan keterusan, kecuali kehancuran yang mampu membuatnya kapok," geramku.
"Betul juga, seperti suamimu May, berapa kali dia selingkuh? Tapi kamu masih saja memaafkan. Sekarang kamu rugi sendiri kan?" cetus Ratna pada Maya.
"Suami selingkuh memiliki watak tidak pernah puas dengan apa yang dia miliki. Oleh sebab itu, ketika dia meninggalkan istri dan anak untuk menikah dengan selingkuhannya, pada akhirnya, dia juga bisa kembali selingkuh dengan wanita lain.
Pria tidak setia, yang pernah mengecap manisnya selingkuh akan tergoda untuk mengulanginya." Terangku pada keduanya. Entah, aku menjadi sangat geram. Karena memang begitu kenyataannya.
"Biarkan saja, nanti dia juga akan di selingkuhi oleh suamimu, May. Sekarang buktikan pada Reno, kamu bisa bangkit tanpannya, kamu bisa dapat yang lebih dan lebih dari dia. Tunjukan prestasimu dan buat Reno menyesal. Satu hal, kalau perlu kau bekerja di kantor yang sama dengan Reno," lanjutku memberi semangat.
"Hah, betul juga ide Sinta. Kamu tunjukkan padanya, kalau kamu kuat dan baik-baik saja." Ratna kembali menimpali.
Maya masih terlihat tidak bersemangat dan pasrah.
"Jadi aku harus melamar pekerjaan di kantor tempat Reno bekerja?" tanyanya.
"Ho'oh. Betul itu. Biar nanti kubantu, ok?" ucapku menutup obrolan kami. Aku sangat mengenal pemilik perusahaan tempat Reno bekerja, kebetulan aku menjadi brand ambassador di sana.
****
Mira, tidak ada rasa kasihan untuk dia, sepolos apa pun wajahnya. Kalau memang dia baik, tidak mungkin tega mendekati Lengga. Bukankah dia tahu kalau Lengga sudah beristri, lantas mengapa dia tidak menolak Lengga. Sakit hati aku dibuatnya. Aku akan membuat keduanya menyesal, untung saja aku pandai menyimpan sebuah rasa, perlahan akan kurebut semua kesuksesan yang telah dibangun. Pelakor, pelakor itu perempuan yang harus di musnahkan dari muka bumi, perusak, pengganggu. Bukan hanya pelakor, laki-laki bajingan yang telah berselingkuh juga wajib mendapatkan imbalan.
Kau makan harapanmu untuk bisa menjadi nyonya dalam rumahku. Pelakor bersembunyi di balik keluguan, tidak berpengaruh pada saya Mira.
***
"Bagaimana, kapan kamu kembali ke Jakarta?" Sebuah pesan dari Lengga nampak di layar ponselku.
"Besok, kamu kapan kembali?" balasku.
"Aku masih tiga hari lagi. Oke jaga dirimu." tulisnya.
"Pa, gimana semua surat yang aku tinggal sudah di tanda tangani, balik nama jadi namaku?" tulisku mengingatkan.
"Amann …. " Aku tidak lagi membalas. Yes, dasar bodoh. Nikmati perjuanganmu dari awal. Kasihan kamu Lengga, seharusnya sudah tidak perlu bersusah payah, ini harus kembali merintis bersama Mira. Doaku semoga sukses. Sabar, tunggu surat cerai dari pengadilan, Tidak ada lagi tuntutan harta gono gini. Enak saja, susah bareng sama saya, giliran sudah kaya, mendua! Dasar laki-laki luknut kurang iman dan tak punya pendirian. Kalian pelaku perselingkuhan, memang seharusnya diberi pelajaran, bikin gemas. Siapkan kuping untuk mendengar protes dari mertua nantinya. Hihihi masa bodo. Teringat nama Mira, aku menekan kontaknya dan mengirim pesan.
"Mir, saya besok kembali, tolong rapikan kamar saya! Siapkan makanan! Ingat jangan sampai rumah berantakan! Kalau masih berantakan, uang jatah dari Lengga tidak akan sampai di tanganmu!" ancamku. Tidak lama muncul sebuah balasan.
"Sudah, Mba. Sudah rapi semua, ini Mira lagi pasang korden. Hati-hati di jalan ya, Mba, selamat sampai tujuan." Mira mengirim foto dirinya dan korden yang sudah berhasil diganti. Hihihi rasain kamu! Emang enak. Ini belum seberapa, detik-detik perceraianku dengan Lengga, kamu akan kubuat semakin menderita. Berani menjadi duri dalam pernikahanku, rasakan sensasi panasnya. Dan kamu Lengga, berani menghianatiku, rasakan pembalasanku. Hahahhaha … aku sungguh tertawa jahat.
***
"Sinta! cekikikan sendirian. Kenapa gitu?" Ratna datang sambil menepuk pundakku.
"Liat deh!" Aku menunjukan foto Mira dengan tumpukan korden.
"Hahhahaha … kelewatan lo!" cetusnya.
"Biar tahu rasa dia! Oh iya Maya mana?"
"Di kamar lagi beres-beres. Kasian sedih terus." Aku dan Ratna menyusul Maya ke kamar untuk membereskan pakaian kami, karena esok akan kembali ke Jakarta. Sampai ketemu Mira ….
Huaaaaaa … capek! Hik hik hik …. Tubuhku terkulai lemah akibat kelelahan, Mba Sinta kurang ajar! Aku terus berteriak memaki namanya. Capek, Mak! Lelah, capek, huuuaaaaaaaa! Awas lo, Mba! Aku siapkan racun besok! Dasar Sintahe! Gila! Gila! Gila! Sumpah aku gak kuat. ***Kebetulan Revan lewat mau kemana dia. "Revan! Kamu mau kemana?!" triaku beraharap anak tiriku mau menghampiri dan merasa iba."Ke rumah Nenek, Tan …." "Tolongin dong, bantuin Tante jemur korden yuk," pintaku dengan wajah penuh harap."Enggak ah, Tant, males. Tante kerjain sendiri aja, bye," jawabnya sambil berlalu mengabaikanku. Astagfirullah, Ya Robb. Mira … sabar … Mir. ****Akhirnya, setelah berjam-jam aku bergelut dengan korden selesai juga. Gila, capek banget. Untuk menghilangkan penat, aku duduk santai di ruang tamu sambil menonton televisi. Salah satu tema di sebuah chanel menarik perhatianku. Ya, tema itu mengusung tentang sebuah karma untuk pelakor. Sedikit takut melihatnya, tapi rasa penasaran mampu mengala
Huaaa … masih ngantuk. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 10. 00 pagi. Huwwwaa … kesiangan. Bisa di gorok aku sama Mba Sinta. Mudah-mudahan dia belum kembali, bisa repot aku. Dengan berat hati bahkan sampai tidak mencuci muka, aku bergagas lari ke tempat Mang Udin si tukang sayur. Ya Allah, mudah-mudahan masih ada sayuran. ***"Enak banget ya si Mira, jam segini baru bangun tidur," cetus Bu Nuning sesampainya aku di tempat Mang Udin. Astaga … aku kira kang gosip udah pada di kandang jam segini, ternyata masih ada yang berkeliaran. "Jangan sirik Napa, sama hidup saya, Bu Nuning," sungutku sambil memilih beberapa sayur. Untung masih ada ikan bandeng sama kacang panjang. "Ih amit-amit saya sirik sama kamu, Mira. Nauzubillah Minzalik." Wah, sembarangan Bu Nuning. Emang saya sehina itu pake ucap kata nauzubillah Minzalik. "Bu Nuning, jangan terlalu pedas kalau ngomong, dijaga sedikit perasaan orang, Bu," cetusku sedikit tersinggung. "Mang buruan bungkus, mumet saya sama ucapan
Hari ini aku akan memasak makanan kesukaan Mas Lengga.Karena, hari ini dia akan pulang. Aku bangun lebih pagi takut kalau sampai Mas Lengga pulang belum ada makanan yang tersedia. Mataku seketika terbelalak melihat makanan yang aku masak kemarin tidak sama sekali tersentuh. Aku hanya bisa menggeleng kepala, mengelus dada dengan kelakuan mereka. Dengan terpaksa aku membuang semua masakanku, terkecuali nasi karena masih bagus, dan Baru tersentuh sedikit olehku.***Pagi ini Revan berangkat ke sekolah menyiapkan sarapannya sendiri, dia mulai memanggang roti tanpa menyapaku. Sedikit sapaan Tante, tidak terdengar seperti biasanya. Mungkin dia marah dengan perlakuanku kemarin. Setelah sarapan, dia melewatiku begitu saja."Ayok jalan," ucap Mba Sinta pada Revan. Tidak seperti biasa, Mba Sinta menyuruhku mengerjakan sederetan pekerjaan rumah, dia sama seperti Revan mengabaikanku begitu saja. Baguslah, memang itu yang aku inginkan. Sebentar lagi, aku akan mendepak kalian keluar dari rumah
"Mas, kita pergi kemana?" tanyaku pada Mas Lengga. "Kita numpang di tempat Kakakmu dulu sampai aku dapat pekerjaan. Kamu juga cari kerja habis itu, kita cari kontrakan kecil sementara," jawabnya."Kenapa gak numpang di tempat orang tuamu saja, Mas?" Tidak mungkin aku meumpang di tempat Mba Desi. "Tidak enak, Mira. Mas gak mau ngerepotin mereka. Ini juga mereka belum tahu kalau Mas bercerai dengan Sinta.""Mas kita pulang ke tempat orang tuaku. Kalau Ibuku pasti akan mengerti." "Ya udah, sementara kita tinggal di rumah mereka." Keputusan pun telah diambil, untuk sementara waktu kami akan tinggal di rumah orang tuaku. Aku dan Mas Lengga akan mulai mencari pekerjaan untuk membangun mimpi supaya bisa membungkam mulut Sinta. "Naik ojek aja, Mas. Di depan ada tukang ojek." Mas Lengga mengangguk, berjalan di belakangku sambil menyeret dua koper besar. Mudah-mudahan di tempat Mang Udin aman, karena untuk menuju tempat kang ojek, harus melewati tempat berjualan Mang Udin."Mau kemana Mira
POV Sinta ….Berakhir sudah kisah cintaku dengan suamiku. Pernikahan yang dilandasi cinta dapat ternoda oleh hadirnya orang ketiga. Rapuh sudah pertahananku. Di rumah ini begitu banyak kenangan indah bersamanya. Mustahil kalau aku tidak terluka, nyatanya aku sendiri juga mencintai Lengga. Mengapa suamiku tidak bersyukur, bahkan istri cantik sepertiku masih tega ia duakan. Apa salahku, selama ini aku yang berdiri menemaninya dari nol. Merintis usaha hingga jadilah dia seperti sekarang. Meski aku mampu merebut semua kesuksesannya, tapi aku kehilangan cinta. Aku tidak bisa menerima atau memaafkan kesalahannya. Kenapa dia bisa tergoda oleh wanita seperti Mira. Apa karena mereka bersahabat sedari kecil? Lantas aku ini apa? Akan kubuat kau menyesal, Mas. Aku yakin kamu akan menghubungiku dengan dalih anak, aku yakin kau menyesal telah berpisah denganku. Merintis suatu usaha dari nol itu tidak mudah, kalau dulu aku menemanimu penuh cinta dan kesabaran, kita lihat saja nanti, apa Mira akan be
Pov Mira"Mas, kita tutup semua yang sudah berlalu, kita buka lembar baru ya?" ucapku seraya memegang tangan suamiku satu-satunya. Dari siang tadi hingga malam tiba, Mas Lengga seperti tidak ada semangat. Aku jadi merasa aneh dengan sikapnya yang seperti itu. "Mas, kamu kenapa si? Kok diem terus?" Tidak ada jawaban yang terlontar dari mulutnya. Aku jadi serba salah dan ikut tidak bergairah melihat dirinya seperti ini.Malas juga aku berbicara kalau tidak ada tanggapan."Capek aku kaya ngomong sama patung," ketusku sambil berbelok membelakanginya. Sebisa mungkin aku mencoba memejamkan mata. Namun, bayangan akan esok menari-nari di dalam pikiranku. Kepalaku menjadi sedikit pusing, leher juga terasa berat. Memang sialan Mba Sinta. Aku sungguh sangat membencinya, benci yang terlalu dalam. Aku berharap bisa sukses bersama Mas Lengga, dan membuktikan padanya kalau hidupku baik-baik saja. Besok aku akan mulai mencari pekerjaan, yah berbekal ijasah SMK, entah pekerjaan apa yang akan kudapat
Pov MiraSemua sudah kubereskan, sepray bekas tidur dan baju kotor dua hari di tempat ibu sudah kucuci. Mas Lengga sudah uring-uringan tidak karuan meminta untuk segera pindah. Haduh kenapa jadi terlunta-lunta begini, harusnya hari ini aku memulai pekerjaan menjadi Repsesionis, malah gak jadi masuk kerja, entahlah besok aku masih diterima atau tidak. 'Mas Lengga kenapa jadi egois begini si.'"Sudah siap kan? Tadi kalung sudah kamu jual?" ucap Mas Lengga sambil membawa dua koper ukuran besar seperti kemarin. Memang isinya juga masih utuh, untung belum ku-keluarkan semua isinya. "Sudah Mas," sungutku sedikit kesal. Rasanya ingin kucakar wajah pria di depanku ini."Bu, kami pamit dulu. Maaf udah ngerpotin Ibu," ucap Mas Lengga menghampiri Ibu dan Bapa yang sedang duduk santai di ruang tamu."Lho kok pamit? Kenapa? Katanya mau tinggal di sini dulu sementara?" Ibu sedikit merasa tidak enak, dapat terlihat dari wajahnya. Mungkin ia sadar akan ucapannya yang lalu. "Lengga gak mau ngerpotin
Pov MiraBadan pada sakit tidur di lantai, tak ber-alas pula. Uang sisa kemaren sudah tinggal seratus ribu. Uang lima puluh ribu untuk beli air minum, perlengkapan mandi dan rokok Mas Lengga tak bersisa. Nasib ya nasib. Sinta sama anaknya hidup enak, gak kekurangan duit, tidur di kasur empuk, segala kebutuhan ada, ini aku malah diajak hidup susah. Perut lapar, makan sehari sekali. Bener-bener nasib, buruk banget."Mas aku mau berangkat kerja. Kamu cari kerjaan jangan nganggur!" sentakku kesal sambil meninggalkannya. "Kan aku juga udah kerja! Gak usah rewel! Jangan suka bentak suami! Baru sehari diajak susah, sudah seperti itu sikapmu!" sungutnya."Bukan gitu, Mas. Ini uang kita cuma tinggal seratus ribu! Belum kupake ongkos nanti!" sahutku tak kalah lantang. "Otakmu ini isinya cuma duit! Gak bisa sabar! Memang ya, sikap lugumu hanya topeng semata! Harusnya aku tidak pernah tergoda oleh topengmu!" makinya. Ya ampun hatiku sudah semakin dongkol, masih pagi sudah berdebat begini. Bodo