Share

Bab 7

Huaaaaaa … capek! Hik hik hik …. Tubuhku terkulai lemah akibat kelelahan, Mba Sinta kurang ajar! Aku terus berteriak memaki namanya. Capek, Mak! Lelah, capek, huuuaaaaaaaa! Awas lo, Mba! Aku siapkan racun besok! Dasar Sintahe! Gila! Gila! Gila! Sumpah aku gak kuat. 

***

Kebetulan Revan lewat mau kemana dia. "Revan! Kamu mau kemana?!" triaku beraharap anak tiriku mau menghampiri dan merasa iba.

"Ke rumah Nenek, Tan …." 

"Tolongin dong, bantuin Tante jemur korden yuk," pintaku dengan wajah penuh harap.

"Enggak ah, Tant, males. Tante kerjain sendiri aja, bye," jawabnya sambil berlalu mengabaikanku. Astagfirullah, Ya Robb. Mira … sabar … Mir. 

****

Akhirnya, setelah berjam-jam aku bergelut dengan korden selesai juga. Gila, capek banget. Untuk menghilangkan penat, aku duduk santai di ruang tamu sambil menonton televisi. Salah satu tema di sebuah chanel menarik perhatianku. Ya, tema itu mengusung tentang sebuah karma untuk pelakor. Sedikit takut melihatnya, tapi rasa penasaran mampu mengalahkan ketakutan.

"Barangkali banyak orang yang lupa bahwa hukum alam itu ada. Selama kita hidup di dunia, ada Tuhan yang selalu mengamati gerak-gerik kita. Setitik kebaikan yang kita lakukan akan mendapat balasan. Begitu pula sebaliknya, perbuatan buruk yang kita jalani juga akan berakhir dengan karma. Percaya atau tidak, yang namanya hukum itu bukan hanya pidana." 

Sebagai contohnya saja, kasus pelakor yang belakangan ini sangat hits, Seolah suami orang itu lebih menggoda, pelakor jaman now seakan tidak peduli bahkan dengan percaya diri memamerkan kemampuannya menjerat suami orang. Lantas, apa kebahagiaan tersebut bersifat abadi? Tidak, Sayang. Kebahagiaan mereka hanyalah kebahagiaan sekilas." Ucap narasumber dalam acara tersebut. Deg, jantungku berdebar tak beraturan. Badanku terasa panas mendadak, untung saja tidak setip. Tanganku gemetar, aku takut mendapat balasan seperti yang orang itu ucapkan. Betulkah aku akan mengalami hal seperti itu? Tapi untungnya aku bukan pelakor. Aku gak ada ngerebut Mas Lengga dari Mba Sinta. Buru-buru aku tidak melanjutkan menonton acara tersebut. Lebih baik nanti akan kutanyakan pada Mba Sinta. Apakah dia merasa sakit hati? Sedangkan aku tidak mengambil suaminya. Karena hingga saat ini mereka masih bersama. Jadi darimana aku bisa disebut mengambil.

Entah, efek apa yang ditimbulkan dari acara tersebut, tetiba aku merasa mulas tidak karuan, mungkin parno. Beginilah aku kalau dalam kondisi yang menegangkan. Setelah tenang, rasa itu kembali menghilang. Jujur, aku terus memikirkan acara tadi. Takut kalau aku juga akan menerima sebuah karma. Tetiba, bayang-bayang dosa mulai menakuti. Apa yang aku lakukan dulu adalah salah. Aku mencintai dan mencari perhatian kepada suami orang, berhias secantik mungkin untuk menarik perhatiannya, hingga pada akhirnya dia tergoda dan tertarik denganku. Itu cara aku menggoda, teman-teman  mendukung perilaku ini, mereka bilang, untuk iseng saja, jangan sampai ketahuan istrinya, nyatanya, aku tidak bisa lagi menyimpan cinta secara diam, sikap manisnya, membuatku ingin dia mengetahui perasaan cintaku. Setelah dia tahu dan hubungan ini telah terjalin, hasrat hati ingin memiliki seutuhnya, cemburu bila dia tengah sibuk dengan keluarganya dan lupa akan aku. Yang diharapkan, kemanapun dia pergi dan dengan siapa, dia wajib memberi tahu. Hubungan diam ini pada awalnya berjalan lancar, Mba Sinta juga tidak ada gerak curiga. Dia tidak pernah mengecek handphone Mas Lengga. Terbukti, saat Mas Lengga membawaku bertemu dengannya, dia masih dapat tersenyum ramah. Namun, setelah mengutarakan niat menikah denganku, seketika wajahnya berubah masam. Namun, semua sudah terlanjur. Mudah-mudahan saja tidak ada karma seperti yang orang itu ucapkan. Mira kan tidak merebut, masih membiarkan Mba Sinta dengan Mas Lengga.

***

Hari sudah semakin larut, Revan sepertinya tidak pulang ke rumah. Aku mengunci seluruh pintu dan bergagas ke kamar. Malam yang terasa asing, sendirian di rumah sebesar ini. Bulu kudukku seolah berdiri, rasa takut akan ada hantu mulai menyerang sugesti. 'Hih mikir apa kamu, Mir.'

Setelah mematikan lampu, aku berlari masuk ke dalam kamar dan langsung mengunci pintu.

Cekrek … lampu kamar kubiarkan menyala. Lalu, kubaringkan tubuh ini dan bersembunyi di bawah selimut tebal. Jantung berdebar, berusaha memejamkan mata, walaupun kuping menangkap suara grasah-grusuh dari luar karena senyap. Aku memang penakut, maka dari itu rumah yang terlalu besar tidaklah cocok. Terkecuali aku bisa melahirkan sepuluh anak. Mataku sudah tak kuat, tapi sebelum terpejam, supaya tidur merasa aman, baiknya berdoa dulu.

"Bismillaahirrahmaanirrahiim"

"Bismikallaahumma ahyaa w* amuutu"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status