36Hari ini kujalani dengan aneh dan risih. Aku merasa tidak bisa maksimal bekerja. Berada di dalam ruangan bersama dengan Tuan Sultan dengan meja kami saling menghadap rasanya itu seperti ... ah, apa ini hanya perasaanku saja? Sejak tadi kurasakan Tuan Sultan sering menatapku lama. Sebenarnya meja kami tidak berhadapan persis. Mejaku agak ke pojok sejajar dengan pintu masuk. Sementara meja Tuan Sultan berada di tengah ruangan yang bila seseorang membuka pintu akan dapat melihat langsung mejanya. Mejaku juga menyamping posisinya bila dilihat dari meja Tuan Sultan. Namun, ekor mata ini dapat menangkap bila ada gerakan apa pun dari meja sebelah. Makanya aku tahu jika dia sering menatapku. Apa ada yang di wajah ini?Aku mengeluarkan cermin dalam kemasan bedak. Memindai wajah ini. Tidak ada yang aneh. Aku baik-baik saja, kok. Lalu, kenapa dia terus saja menatapku seolah kami baru bertemu hari ini? Ah, entahlah. Aku tak ingin dibuat lebih pusing. Namun, keheranan masih saja menggang
37Entah kata apa yang dapat mewakilkan perasaanku saat ini. Setelah keluar dari kantor tadi, Tuan Sultan membawaku ke sebuah butik ternama kota ini. Pemiliknya adalah temannya sendiri. Seorang wanita tinggi, langsing, dan cantik yang aku tahu seorang desainer ternama. Ia sering menjadi langganan para artis dan pesohor tanah air yang mempercayakan berbagai kostum untuk acara besar dan penting. Tuan Sultan meminta wanita itu memilihkan gaun yang cocok untuk kupakai ke pesta pernikahan nanti malam. Wanita itu bersama seorang karyawannya membawaku berkeliling butiknya. Menunjukkan berbagai koleksi mereka yang rata-rata limited edition. Aku sampai bingung sendiri memilih yang mana. Karena bagiku yang baru pertama kali melihat baju-baju bagus dan mahal seperti itu, semua terlihat indah dan bagus. Lagipula, untuk menghadiri pesta pernikahan seseorang yang bahkan tidak kukenal, kenapa aku harus tampil sempurna? Ya. Sempurna. Tuan Sultan ingin aku tampil sempurna di pesta itu. Ia mengatak
38“Kamu kenapa Arman?” Wanita laksana toko emas berjalan di depan sana terdengar bertanya. Aku menoleh ke arah mereka. Kulihat wanita itu menatap heran anaknya juga aku bergantian. “Ana, ayo masuk!” Suara Tuan Sultan membuatku mengalihkan pandangan dari mereka. Aku mengangguk seraya ingin mendorong kursi rodanya. Namun, Pak Sam mencegah. “Biar aku yang dorong. Masa wanita cantik suruh dorong kursi roda?” Pak Sam yang menyusul ke butik setelah menghandel pekerjaan kantor, mengambil alih pegangan kursi roda Tuan Sultan. Ia tersenyum seraya menggoda. “Rayuan buayanya disimpan untuk wanita-wanita di dalam sana nanti!” Suara Tuan Sultan yang terdengar ketus dan dingin membuat kami saling pandang sebelum masuk dengan mendorong kursi rodanya. Tuan Sultan yang kaku tidak suka Pak Sam memujiku. Padahal aku tahu Pak Sam hanya basa-basi saja. Aku mengikuti mereka tanpa melirik lagi rombongan keluarga toxic di belakang sana yang jadi ramai entah membahas apa. Aku tidak peduli. Tidak ada j
39Entahlah, kenapa aku tiba-tiba ingin jadi pahlawan, ya? Ingin rasanya aku mengacungkan tongkat sambil berteriak kepada semua orang yang menatap kami. ‘Dengan kekuatan bulan... aku akan menghukummu!’Tentu hanya dalam hati aku berani berteriak, karena aku sadar bukan sailormoon. Kami tiba di depan pelaminan indah di mana dua sejoli dan keluarga tengah mengalihkan pandangan ke arah kami. Aku bukan tidak tahu sejak tadi Cindy menatap tajam diri ini. Bukan! Bukan lagi menatap tajam, melainkan seolah mengulitiku dengan pandangannya hingga ke ulu hati. Kenapa ia bersikap seperti itu? Iri? Cemburu? Tidak mungkin, bukankah ia yang meninggalkan Tuan Sultan? Lalu kenapa sekarang seolah tidak rela bosku itu aku dampingi? Lihat tatapannya yang tak lepas dari gaun dan tas yang aku tenteng ini, Cindy pasti tahu persis berapa harganya. Entah kenapa, aku malah sengaja ingin memanasinya. Masih terbayang bagaimana angkuhnya dia waktu menyuruhku membuatkan minuman karena merasa dirinya akan j
40Aku terseok-seok mengikuti langkah Arman yang menyeret tangan ini. Entah ke mana ia akan membawaku. Yang kutahu sudah terlalu jauh meninggalkan Tuhan Sultan di dalam sana. Aku meronta minta dilepaskan, tetapi Arman tak menggubris. Hingga saat sampai di tempat agak sepi, laki-laki itu menghentikan langkahnya. “Lepas!” Aku berteriak lagi, karena walaupun langkahnya sudah berhenti, tangannya masih mencengkeram kuat. “Apa yang Anda lakukan Pak Arman? Apa Anda sudah gila? Apa yang Anda inginkan?” Aku mencoba melepaskan cengkeraman tangannya di pergelangan tangan ini. “Lepas! Sakit tahu!” Aku menghentakkan tangannya karena ia tak mau melepaskan pergelangan tangan ini. Akhirnya tanganku terlepas setelah beberapa kali menepis tangannya, aku meringis seraya mengusap pergelangan yang memerah. “Apa yang Anda inginkan?” tanyaku dengan suara tinggi. Kutatap tajam wajah tidak tahu malu itu. Dada ini bergerak sangat cepat menahan amarah. Aku marah padanya. Dia pikir siapa dirinya berani memp
41Aku berbalik kembali menghadap Arman. Begitu juga dengan Tuhan Sultan. Kami menatapnya tajam. Sementara yang ditatap menyeringai menjijikkan. “Kenapa?” tantang Arman. “Kalian tidak terima?”Aku menatapnya tajam. “Tidak kusangka mulutmu sebusuk itu, Arman!”Arman melangkah maju. Wajahnya merah. “Itu memang kenyataan! Kalian selingkuh di belakangku!” Tangannya menuding kami. “Jaga bicaramu Arman!” Aku tersulut emosi. Laki-laki tidak tahu diri itu sudah membuat kesabaranku di ambang batas. “Di antara kita tidak pernah terjadi apa pun. Mungkin kau lupa sudah menceraikan aku. Sebelum mengusirku, kau sudah menceraikanku, Arman! Apa hakmu mengatakan itu padaku?” Aku menatapnya tajam. Arman terjengkit, kemudian mengerjap. Sepertinya laki-laki itu kepalanya terbentur. Dia amnesia, lupa kalau sudah menjatuhkan talak. “I-itu baru secara agama, bukan? Secara negara kita masih terikat. Masih bisa rujuk.” Arman berkilah. Antara mual dan geli aku melihatnya. “Aku masih bisa merujukimu, Viol
42Mata ini semakin melebar. Aku marah dengan semua ucapan Arman, tetapi di sisi lain, kaget kenapa kursi roda Tuan Sultan bisa bergerak sendiri, dengan cepat pula. Namun, satu kesimpulanku, si penumpang kursi roda itu pastilah sedang murka. Ini alamat tidak baik! Jangan sampai terjadi sesuatu di sini!Dengan gerakan cepat, aku meraih hendel kursi roda Tuan Sultan, kemudian menahannya agar tidak mendekati Arman. “Tenang tuan, kita tidak boleh terpancing!” Aku menarik kursi roda Tuan Sultan menjauhi Arman. Dapat kulihat wajah Tuan sultan yang merah padam menahan amarah. Sementara di depan sana, laki-laki mulut sampah itu menyeringai penuh kemenangan. Dengan jantung yang berdetak tak teratur, aku memutar kursi roda Tuan Sultan agar tidak menghadap Arman lagi. Kemudian kembali menenangkannya. “Tuan, tenang! Tahan amarah Anda. Aku yakin Arman pasti sengaja melakukan ini, agar Anda marah dan terjadi keributan yang akan mengundang perhatian banyak orang. Jika orang-orang berkumpul, mak
44Hari yang melelahkan. Bertemu Arman dan keluarganya adalah mimpi buruk. Aku membaringkan diri di atas kasur. Tubuh yang penat sedikit rileks. Kutatap satu set perhiasan mutiara dalam kotak cantik. Besok pagi aku akan mengembalikan benda ini kepada Tuan Sultan. Rencananya, malam ini kukembalikan. Bahkan tadi aku sudah menyambanginya di atas. Akan tetapi saat melihat mood-nya buruk, aku memutuskan menundanya. Pertemuan dengan Arman dan keluarganya benar-benar mimpi buruk. Bukan hanya untukku tetapi juga Tuan Sultan. Arman dan keluarganya seperti racun yang menebarkan keburukan kepada semua orang. Bukan hanya yang mengenal mereka, bahkan orang yang baru mereka temui. Entahlah kenapa ada orang-orang seperti itu. Seolah tidak puas menjadikanku pembantu di rumah mereka, kini setelah aku punya kehidupan sendiri pun, mereka masih saja memendam kebencian. Padahal aku merasa tidak punya salah terhadap mereka. Semua yang telah terjadi, tidak menjadikan mereka menyesal. Padahal kudengar