Share

Bab 2. AWAL DARI SEGALA BENCANA

Bab 2. Awal dari Segala Bencana

Sembilan bulan sebelumnya ..

Asap setanggi yang membumbung tinggi disertai aroma bebungaan memenuhi ruangan tak terlalu luas tanpa perabot selain bentangan tikar pandan yang tengah dijadikan alas duduk oleh dua orang lelaki beda usia juga tungku pedupaan dan wadah Kuningan yang berisi rendaman kembang setaman. 

Narendra duduk bersila dengan takzim di hadapan Ki Sudarma, seorang dalang tua yang terkenal sangat sakti itu. Tujuannya sudah jelas ingin mendapatkan ilmu agar ia juga bisa menjadi seorang dalang terkenal dan laris.

Sebelumnya, ia sudah bertahun-tahun belajar mendalang tapi karena masih muda dan belum terkenal, ia jarang mendapat panggilan mendalang. Padahal dalam darahnya mengalir darah keturunan dalang. Mulai Kakek, Ayah dan sekarang dirinya berprofesi sebagai dalang. Sejak kecil ia sudah dibimbing Ayah dan Kakeknya untuk menjadi seorang dalang.

Sementara lelaki tua yang tengah duduk di hadapannya tengah mengawasinya dengan seksama. Mata tuanya dapat melihat aura kejayaan dari sosok pemuda tampan yang kini tengah mengharapkan kesediaannya untuk menjadikannya murid. 

Dengan kepekaan batinnya ia tahu, kelak pemuda yang berada di depannya itu akan menjadi sosok yang sangat terkenal dan disegani. Apalagi darah keturunan dalang mengalir di tubuh tegapnya, akan menjadikannya dalang ruwat yang sakti mandraguna. Bahkan, bangsa lelembut pun akan tunduk padanya. Sosok inilah yang kelak dapat menjadikan putri semata wayangnya menjadi ratu di kerajaannya sendiri. 

"Katakan hari pasaran kelahiranmu?"

"Wage, Ki"

Hhhmmm, Wage, adalah sang pemegang segel dari Cakra Ajna langit. Sang pengendali dan pemilik wadah ilmu yang sangat besar. Sangat berbakat menjadi orang yang sakti. 

"Sadarkah kamu, anak muda. Sangatlah berat syarat yang harus kau penuhi jika ingin jadi muridku. Tapi sebenarnya, dalam penglihatan mata batinku, kamu sudah memiliki dasar yang kokoh untuk bisa menjadi seorang yang sakti. Asal kau mampu melaksanakan syarat ritual dan tirakat!" tutur Ki Sudarma, setelah selama beberapa saat ruangan kosong yang hanya berisi tikar sebagai alas duduk bagi mereka berdua itu senyap.

"Ya, Ki. Saya sudah bertekad. Apapun syaratnya akan saya penuhi asal saya diterima sebagai murid dan mendapat ilmu kesaktian dari Ki Sudarma." jawab Narendra tegas.

"Ada banyak syarat yang harus kau lakukan, mulai puasa mutih 40 hari, ngebleng sampai Pati Geni. Dan itu bukan hal yang mudah kau tahu?" 

"Saya akan melakukannya, betapapun beratnya!" jawab Narendra penuh tekad.

"Apakah kamu benar-benar sudah siap dengan segala syarat yang harus kamu penuhi untuk mendapatkan ilmu dariku?" Sekali lagi Ki Sudarma bertanya.

"Ya, Ki. Saya siap untuk melaksanakan semuanya!" tegasnya.

Ki Sudarma mengangguk senang. Ketegasan jawaban dari Narendra sudah menunjukkan tekadnya yang bulat. 

"Dan syarat terakhir, setelah kamu melakukan rangkaian ritual puasa tadi adalah ritual khusus yang bertujuan untuk menurunkan ilmu pamungkasku secara langsung. 

Tapi itu baru bisa dilaksanakan setelah kamu menikahi Wulansari, putriku dan menumbuhkan janin berusia lebih dari satu bulan di rahimnya!" Kata-kata yang diucapkan Ki Sudarma sontak membuat Narendra terkejut. 

Sekelebat bayangan wajah cantik Jernih Suminar, sinden tercantik yang selalu mengiringi ayah Narendra mendalang memenuhi benaknya. Wanita yang baru setahun lalu dinikahinya dan baru saja melahirkan bayi mungil buah cinta mereka. 

Kakeknya pernah berkata, jika ia ingin menjadi dalang yang kondang, salah satu syarat memang harus menikah. Itulah sebabnya, saat ia membawa Jernih Suminar ke hadapan ayah dan kakeknya, serta meminta ijin untuk menikahinya, tanpa kesulitan berarti mereka menyetujuinya.

"Tapi, mmm, saya sudah menikah, Ki!"

Ki Sudarma menatapnya kecewa. Sambil berfikir dielusnya jenggot panjang berwarna ke abu-abuan itu. "Hmmm.. sayang sekali! Seharusnya ilmu pamungkasku ini akan cocok sekali untukmu. Karena darah dalang yang kau miliki justru akan membuat ilmu ini semakin kuat!"

Narendra tercenung. Hatinya mencelos. Ia tak pernah berfikir jika untuk mendapatkan ilmu kesaktian yang sangat diinginkannya itu bersyarat menikahi putri gurunya. "Apa yang harus saya lakukan, Ki?"

"Untuk menjadi dalang ruwat syaratnya memang harus sudah beristri. Tapi tidak boleh mendua hati, atau poligami. Untuk mendapatkan ilmu kesaktian dariku, syaratnya harus menikahi putriku dan memberinya keturunan dari benihmu. Itu adalah syarat mutlak yang harus di penuhi. Jadi terserah padamu. Kalau kau masih berminat untuk mendapatkan ilmu kesaktian dariku, tinggalkan istrimu, ceraikan dia dan nikahi putriku!" tegas Ki Sudarma.

Narendra masih duduk tercenung. Hatinya menjadi gamang.

"Pulanglah! Pikirkan semuanya. Kalau kau setuju dengan syarat yang kuajukan sebagai penebus ilmu yang kau harapkan, datanglah kembali kemari besok sebelum tengah malam!" perintah Ki Sudarma seraya memberi isyarat pada Narendra untuk keluar dari ruangan itu.

 ***

Narendra merengkuh bahu Jernih Suminar yang tengah terisak pilu di dadanya, setelah ia mengutarakan niatnya pada istrinya itu. Dipandanginya bayi merah yang baru lima hari lalu dilahirkannya dalam buaian.

"Hanya ini satu-satunya jalan yang bisa kuambil, Minar. Percayalah, apapun yang kulakukan adalah untuk mengangkat kehidupan dan derajat Putri kita. Ini hanya untuk sementara. Kalau ilmu itu sudah kudapat, dan aku sudah meraih ketenaran dan harta yang banyak, aku akan pulang padamu. Pada Lintang Prameswari, putri kita ini. Kita bangun kembali kebersamaan kita!" janji Narendra penuh kesungguhan.

"Kau tahu, Kang. Aku tidak ingin berpisah denganmu. Bahkan jika kita hidup seadanya pun aku rela. Asal kita tetap bersama-sama. Lihat putri kita. Siapa yang akan menjaganya jika kau meninggalkan kami?" 

"Tapi dengan keadaan seperti ini, tak banyak yang kita bisa lakukan untuk membahagiakannya. Hidup serba kekurangan, apa yang akan kita berikan untuk bekal masa depannya kelak? 

Dan ingat pesan Bapak saat beliau memberikan ijin padaku untuk menikahimu. Kita berjanji bahwa pernikahan kita tak akan menjadi batu sandungan atau penghalang bagi jalan kehidupanku sebagai dalang penerus keluarga!"

"Berapa lama kami harus menantimu? Setahun? Lima tahun? Lalu apa yang akan kukatakan jika ia menanyakan ayahnya kelak? Siapa yang akan menjaganya nanti. Saat kau pergi hanya ada aku dan Emak. Kami berdua sama-sama perempuan lemah." bisik Jernih Suminar di tengah isaknya seraya mengelus rambut lembut putrinya.

"Aku janji, aku akan selalu menjaganya, aku akan selalu melindunginya. Aku janji tak akan ada hal buruk yang menimpanya. Kelak, saat aku sudah meraih segalanya, akan dipersembahkan semua untuk putri kita. Akan kutempatkan ia di puncak tertinggi. Tapi untuk saat ini, ijinkan aku pergi untuk meraih impianku, Minar!"

"Aku masih merasa khawatir pada putri kita."

"Percayalah! Dia adalah perempuan Kliwon. Dia itu perempuan tangguh karena Ia ditakdirkan untuk menjadi ratu, dia akan berada di tempat tertinggi sebagai pemegang kunci Cakra Mahkota langit. Dan dia adalah putriku.

Kelak aku sendirilah yang akan membawanya kepuncak dunia. Inilah janjiku padamu, Minar. Dan kamu adalah cinta sejatiku. Apapun yang nanti terjadi. Hati dan cintaku hanyalah untukmu. Aku juga berjanji akan tetap mengirimkan semua kebutuhan biaya hidup untuk putri kita. Kamu tak perlu khawatir, aku akan tetap menafkahimu!"

Akhirnya, walau dengan berat hati sang sinden harus merelakan dalang muda pujaannya pergi untuk meraih impiannya.

Malam itu juga, Narendra segera pergi menemui Ki Sudarma. Dan pada malam itu juga tanpa sadar ia telah mengawali langkah untuk menggadaikan jiwanya demi tahta semu yang sangat diidamkannya. 

Berawal dari malam itu juga, tanpa sadar ia sudah menuliskan nasib yang begitu buruk bagi wanita pujaan, juga putri kandungnya.

 ***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Khara Asha
malang nasib suminar dan lintang
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status