Bab 1. Pembunuhan Keji Sang Sinden
Wanita cantik dengan balutan kebaya sederhana berwarna hijau lumut itu semakin mempercepat langkah kakinya. Jalan kampung yang dilaluinya mulai lengang. Sementara bohlam berwarna kekuningan berwatt kecil, yang di tempatkan sebagian warga yang terbilang cukup berada di jalan depan rumah mereka, berjarak agak berjauhan satu sama lain. Sinarnya yang temaram tak mampu menembus kepekatan malam.
Sore ini ia memang agak terlambat pulang ke rumah setelah menyelesaikan latihannya sebagai sinden untuk persiapan pagelaran wayang kulit yang akan digelar Minggu depan di kediaman Lurah desa tetangga untuk acara bersih desa yang dipimpin Ki dalang Suryo yang juga merupakan mantan ayah mertuanya itu.
Kalau dulu, setiap selesai latihan Narendralah yang akan selalu dengan senang hati mengantarnya pulang, memboncengnya dengan sepeda kumbang atau meminjam motor bebek milik ayahnya dan sengaja mencari jalan memutar agar bisa lebih lama berduaan dengannya, tapi sekarang ia harus pulang sendiri dengan berjalan kaki.
Tentu saja waktu yang ditempuhnya untuk sampai ke rumahnya yang terletak diujung desa juga lebih lama. Apalagi jarik yang membalut tubuh bagian bawahnya juga sedikit menghalangi langkahnya yang tergesa. Dalam hati ia berdoa semoga Lintang Prameswari putri kecilnya yang baru berusia Sembilan bulan itu tidak rewel dan merepotkan neneknya.
Wanita itu, Jernih Suminar, sinden tercantik yang berhasil menarik perhatian Narendra, putra semata wayang Ki Dalang Suryo dan sempat menikahinya walau hanya berumur satu tahun saja usia pernikahan mereka. Tapi Suminar menerima dengan legowo keputusan yang diambil lelaki yang sangat dicintainya itu.
Karena sebuah kepercayaan yang ia yakini bahwa apapun yang dilakukan suaminya itu adalah hal yang memang harus dilakukan. Apalagi hingga saat ini, walaupun Narendra telah menjatuhkan talak karena dulu pun mereka menikah secara siri yang hanya dihadiri Ki dalang Suryo serta perangkat kampung setempat sebagai saksi.
Tapi hingga saat ini Narendra dan juga Ki dalang Suryo, mertuanya tetap memberikan nafkah untuk menjamin kehidupannya bersama ibunya yang telah menjanda juga putri kecilnya yang masih bayi itu. Ki dalang Suryo pun masih mengijinkannya menyinden di pagelaran wayang yang dipimpinnya.
Di persimpangan, Suminar mengambil keputusan untuk mengambil jalan pintas agar bisa lebih cepat tiba di rumah meskipun jalan pintas itu merupakan jalan setapak yang membelah perkebunan serta melewati jembatan kayu di atas sungai cukup deras yang biasa digunakan warga untuk mencuci pakaian atau mandi. Dan tentu saja tanpa lampu penerangan karena jalan setapak itu berada jauh di belakang perumahan warga.
Tapi hanya itu satu-satunya jalan pintas jika ia ingin secepatnya tiba di rumah. Kalau menyusuri jalan kampung, ia harus berjalan memutari perkebunan untuk sampai ke rumahnya. Waktu yang lebih panjang dan jarak yang hampir tiga kali lebih jauh yang harus ditempuhnya.
Suminar segera menyalakan lampu senter yang biasa dibawanya saat berada di luar rumah atau sedang melakukan perjalanan dimalam hari.
Tanpa sedikitpun perasaan takut, ia berjalan membelah kepekatan malam.
Sejak bapaknya meninggal dunia bertahun-tahun lalu yang membuatnya harus hidup berdua saja dengan ibunya telah mengajarinya untuk menjadi gadis tegar, mandiri serta tak mengenal takut.
Ia juga terbiasa bekerja keras di kebun untuk membantu meringankan beban hidup yang harus di tanggungnya bersama ibu tanpa harta peninggalan yang berarti dari bapaknya selain tanah kebun yang tak terlalu luas dan sepetak rumah yang terbuat dari anyaman bambu dan papan kayu yang berdiri diatasnya.
Berada ditengah perkebunan pada malam hari juga sudah menjadi hal yang lumrah, Karena dirumahnya tidak terdapat jamban, untuk keperluan buang hajat bahkan saat malam hari, biasanya ia lakukan di sungai yang berada tak jauh dari kebun milik ibunya.
Hampir mendekati sungai saat langkah Suminar terhenti setelah indera pendengarannya menangkap suara langkah kaki selain langkah kakinya di sela-sela gemuruh suara air sungai yang berada belasan meter di depannya.
Tapi saat Suminar menghentikan langkahnya, suara lain yang didengarnya juga tak lagi terdengar. Tak ada siapapun saat Suminar mencoba mencari-cari bayangan seseorang di balik pepohonan dengan sinar lampu senter yang di genggamnya. Tapi Suminar yakin tadi ia telah mendengar sesuatu. Setelah beberapa saat meneliti dan tidak menemukan apapun, Suminar kembali melanjutkan langkahnya.
Jembatan kayu sudah terlihat di depannya saat kembali suara langkah asing itu tertangkap oleh pendengaran Suminar. Dengan perasaan sedikit gentar, kembali ia berhenti untuk melihat siapa yang tengah berjalan di belakangnya.
Namun, belum lagi ia sempat membalikkan tubuhnya, sebuah telapak tangan yang besar dan kasar kapalan telah membekap mulut dan sebagian wajahnya. Seketika ia berusaha meronta untuk membebaskan tubuhnya yang tiba-tiba saja sudah terjepit lengan kekar seorang laki-laki. Suminar tidak dapat mengenali siapa laki-laki itu, karena selain suasana gulita, lampu senter yang tadi dibawanya pun sudah terlempar entah kemana. Dan mati seketika setelah terbanting ke tanah.
Suminar masih berusaha melepaskan diri selama beberapa saat tapi tentu saja usahanya sia-sia. Ia sudah kehabisan seluruh tenaganya saat tiba-tiba sebuah pukulan keras menghantam pelipisnya. Seketika ia merasakan semua benar-benar menjadi gelap gulita.
Entah sudah berapa lama ia jatuh pingsan oleh hantaman keras di pelipisnya, saat perlahan-lahan kesadaran mulai menghampirinya oleh rasa sakit yang seolah telah merobek bagian bawah tubuhnya. Dan rasa sakit yang teramat sangat itu begitu menyiksa seolah sebuah benda besar dan keras tengah dengan kasar dihujamkan berulang-ulang pada kewanitaannya. Ia ingin menjerit tapi mulutnya telah tersumpal oleh secarik kain yang sudah diikat keras di kepalanya. Bahkan matanya tak mampu ia buka kerena rasa pusing yang mendera kepalanya.
Di keheningan malam itu, hanya telinganya yang masih dapat menangkap suara dengus nafas memburu serta perpaduan aroma arak dan keringat yang menerobos penciumannya. Juga suara-suara berat lain yang mencoba berebut kenikmatan atas tubuhnya. Ditengah rasa sakit yang menderanya, Suminar menyadari, setidaknya tiga orang lelaki berhati iblis telah secara bergiliran menodai tubuhnya.
Dan saat ketiganya sudah merasa puas menikmati tubuh tak berdaya Suminar. Tiba-tiba seseorang telah melingkarkan secarik kain ke lehernya, lalu detik berikutnya, kain yang menjerat leher Suminar telah mengetat oleh tarikan kuat dikedua ujungnya. Menutup jalan masuk udara kehidupan rongga dada Suminar. Tanpa daya perlahan Suminar merasa kegelapan abadi tengah merengkuhnya.
Sedetik sebelum cahaya kehidupan terlepas darinya, bayangan bayi mungil yang akan ditinggalkannya memenuhi pelupuk mata yang perlahan mulai kehilangan sinarnya. Bayangan Lintang Prameswari yang kini mungkin tengah menangis lapar mananti air susunya. Suminar menangis tanpa air mata lalu semuanya pun menjadi hampa...
Keesokan harinya seluruh desa dibuat gempar oleh kabar penemuan mayat wanita tanpa busana yang lengkap terperangkap di antara bebatuan sungai.
Dan semua orang mengenali jasad itu sebagai Jernih Suminar, Sinden tercantik yang ada di desa itu.
Semua orang sudah dapat menduga bahwa Sinden Suminar meninggal karena diperkosa dan dibunuh. Tapi polisi desa masih belum mendapatkan petunjuk tentang siapa pelaku pembunuhan keji sang sinden.
***
Narendra bergegas menuju ke rumah Jernih Suminar saat ia mendengar berita kematian wanita itu untuk memastikan kebenarannya.
Ia sungguh-sungguh merasa tak percaya atas apa yang di dengarnya. Bagaimana mungkin ada orang yang tega berbuat jahat pada wanita pendiam yang tak pernah neko-neko itu. Jika Jernih Suminar adalah korban pembegalan, apa yang bisa didapatkan oleh para pembegal itu. Jernih Suminar cuma seorang sinden yang miskin. Lagipula, selama ini belum pernah terdengar ada begal atau perampok yang beraksi di daerah itu. Keadaan daerah tempat tinggal mereka begitu aman dan tentram.
Ini adalah kali pertama terjadi kasus pembunuhan dengan di sertai kejahatan seksual di daerah yang biasanya aman dan damai, sehingga kejadian itu menjadi berita yang sangat menggemparkan dan beritanya terdengar sampai jauh keluar daerah. Dan kebetulan korbannya adalah wanita yang sangat dicintainya.
Dan kebenaran yang ia dapatkan setibanya ia di rumah bambu yang dulu pernah ditinggalinya bersama Suminar benar-benar membuat hatinya terguncang.
Dengan memeluk putri kecilnya yang baru berusia sembilan bulan itu, Narendra tersedu. Sebersit rasa penyesalan menyelinap di hatinya. Keputusan yang diambilnya beberapa bulan lalu untuk meninggalkan keluarga kecilnya demi meraih impiannya menguasai dunia telah membuatnya kehilangan wanita yang sangat dicintainya.
Angannya melayang mengingat saat-saat terakhir kebahagiaan hidup bersama keluarga kecilnya, bersama Jernih Suminar dan Lintang Prameswari, putri kecilnya yang telah dirusaknya sendiri.
Dia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan putrinya itu
***
Bab 2. Awal dari Segala Bencana Sembilan bulan sebelumnya .. Asap setanggi yang membumbung tinggi disertai aroma bebungaan memenuhi ruangan tak terlalu luas tanpa perabot selain bentangan tikar pandan yang tengah dijadikan alas duduk oleh dua orang lelaki beda usia juga tungku pedupaan dan wadah Kuningan yang berisi rendaman kembang setaman. Narendra duduk bersila dengan takzim di hadapan Ki Sudarma, seorang dalang tua yang terkenal sangat sakti itu. Tujuannya sudah jelas ingin mendapatkan ilmu agar ia juga bisa menjadi seorang dalang terkenal dan laris. Sebelumnya, ia sudah bertahun-tahun belajar mendalang tapi karena masih muda dan belum terkenal, ia jarang mendapat panggilan mendalang. Padahal dalam darahnya mengalir darah keturunan dalang. Mulai Kakek, Ayah dan sekarang dirinya berprofesi sebagai dalang. Sejak kecil ia sudah dibimbing Ayah dan Kakeknya untuk menjadi seorang dalang.
Bab 3. Mustika Keabadian Panji Anom. Hari-hari berlalu, Narendra yang dengan kebulatan tekad menjalani ritual demi ritual yang tentu saja tidak bisa dibilang mudah. Begitu besar godaan silih berganti yang datang untuk menggagalkan usahanya, tapi ia tetap menguatkan diri demi apa yang tengah diperjuangkannya. Keteguhan hatinya itu semakin menumbuhkan kekaguman Ki Sudarma. Hingga tibalah malam terakhir perjuangan dalam ritual puasanya. Esok paginya, sesaat setelah terdengar Kokok ayam jantan pertama terdengar, Ki Sudarma memasuki gubuk kayu yang sengaja dibangunnya di tempat yang sangat terpencil jauh di dalam hutan. Adalah tempat dimana Narendra menjalankan ritualnya selama lebih dari satu purnama. Dibukanya gubuk kayu berukuran tak lebih dari tiga kali tiga meter itu. Derit pintu terdengar memecah kesunyian. Fajar belum lagi menyingsing, sementara gubuk tanpa lampu itu terli
Bab 4. WULANSARI Ki Dalang Suryo, ayah Narendra menatap dengan sorot mata kebingungan saat putranya meminta restu padanya untuk menikahi Wulansari, putri dari Ki Sudarma seorang dalang yang dulu sangat terkenal, namun sudah beberapa tahun terakhir seolah telah mengasingkan diri, karena sudah sangat lama tak lagi terdengar penampilannya membawakan kisah perwayangan. "Lalu bagaimana dengan Suminar, Ngger? Bukankah dulu, kamu sendiri yang mendatangiku untuk meminta ijin menikahinya? Bagaimana dengan bayi yang baru dilahirkannya?" "Kami sudah bicara, Pak. Dia wanita yang sangat mengerti kebutuhanku. Dia tidak akan menahan langkahku, toh semua ini kulakukan untuk masa depan kami, masa depan Lintang. Putriku harus mendapatkan yang terbaik. Meskipun ada yang harus dikorbankan di awal, tapi Suminar dapat mengerti." jawab Narendra. "Kami sudah membuat kesepakatan sebelum Minar melepaskan saya!"
Bab 5.Lelaki Yang Sangat Mencinta Ki Sudarma menatap tak percaya pada wanita yang tengah tertunduk dengan bahu terguncang oleh Isak tangis yang terdengar memilukan. "Aku sungguh-sungguh tak percaya kau bisa melakukan perbuatan sekeji itu, Wulan!" Wanita yang bersimpuh di depannya tak menjawab selain isaknya yang kian keras penuh penyesalan. "Ampuni aku, Bapak! Aku begitu marah saat mengetahui apa yang dilakukannya di belakangku. Ternyata selama ini ia masih sering menemui sinden itu!" isak Wulan mengadu. "Dia melakukannya atas seijinku. Kamu hanya cemburu padanya. Padahal ia hanya menjalankan kewajibannya yaitu menafkahi anak kandungnya. Seharusnya kamu mempercayainya. Aku yakin dia tidak akan bertindak di luar batas!" bantah Ki Sudarma. "Aku sangat mencintainya, Bapak! Aku tidak rela jika dia membagi perhatiannya pada wanita lain. Aku hanya i
Apapun Untuk Yang Dicinta "Sudah kulakukan apa yang harus kulakukan. Semuanya hanya untukmu. Untuk masa depan kita!' ujar lelaki itu seraya mengelus perut wanita pujaannya yang terlihat mulai mengembang diusia 4 bulan kehamilannya. "Ya. Aku sudah mendengarnya. Itu membuatku lebih tenang. Satu batu penghalang sudah disingkirkan. Kita bisa lanjutkan perjalanan dengan lebih nyaman. Meskipun harus lebih sabar karena butuh waktu untuk mencapai tujuan." tutur wanita di depannya dengan suara lembut. Batu yang didudukinya terasa basah oleh aliran air sungai, tapi ia tak perduli. Pun saat pakaian longgar yang membungkus tubuhnya juga sudah kuyup di bagian bawahnya. Ia hanya sedang menanti saat yang tepat. "Aku tak perduli, harus berapa lama lagi menunggumu dan bayi kita untuk bersatu! Aku akan selalu setia. Menjagamu dan bayi kita. Aku tidak akan rela membiarkanmu merasa takut dan khawat
Bab 7. SETELAH SEKIAN LAMA TERPISAH17 tahun berlalu...Jelang sore, Seorang gadis berparas cantik dengan masih mengenakan seragam putih abu-abu yang tampak lusuh dipenuhi coretan pilox bahkan tas kain dan sebagian rambut panjangnya juga tak luput dari semprotan pilox warna oranye, tampak berdiri di depan gerbang besi setinggi hampir dua meter di pinggir jalan raya yang selalu tampak ramai lalu lintasnya, karena rumah mewah itu memang berada di tengah-tengah kota Kabupaten. Dari sela-sela jeruji gerbang ia dapat melihat sebuah bangunan rumah megah bertingkat di dalam pagar yang tampak sepi tak berpenghuni. Di halaman luas ia juga melihat sebuah truk besar dengan gambar gunungan wayang berwarana emas terlukis di bak papan berwarna dasar merah menyala, di sebelah truk, dan sebuah mobil sedan keluaran terbaru berwarna abu-abu metalik. Tepat di luar pagar, sebuah papan nama berukuran lumayan besar dengan tulisa
Lintang terbeliak tak percaya pada apa yang baru saja di dengarnya. Pandangannya seolah melekat pada sosok muda berwibawa dengan setelan resmi yang tengah berkonsentrasi pada ramainya lalu lintas di lajur jalan yang mereka lalui.Ayah kandungnya?? Lelaki yang terlihat masih berusia sekitar 23 - 25 tahun itu mengaku bahwa ia adalah ayah kandungnya. Sementara ia sendiri, beberapa bulan ke depan akan merayakan ulang tahunnya yang ke 18. Telinganya yang salah dengar apa otak lelaki itu yang sinting?Narendra melirik sorot tak percaya sekaligus bingung yang terpancar di mata putrinya yang melotot ke arahnya. Yah tentu saja. Tak ada satupun orang yang akan percaya jika ia mengaku telah berusia 43 tahun. Penampilannya memang terlihat seolah masih berusia 25 tahun.Tubuhnya seolah berhenti berproses untuk menua seiring usianya semenjak ia menelan mustika Panji Anom yang telah didapatkannya usai
Bab 9. Menemukan Jalan Untuk Pulang.Narendra segera memanggil pelayan rumah makan. Setelah meminta pelayan untuk membungkus semua pesanan yang nyaris tak tersentuh, membayar sekaligus memberi tip pada pelayan itu, Narendra mengajak Lintang keluar. "Ayo, aku akan mengantarmu pulang, biar kamu tidak terlambat bekerja nanti!" ajak Narendra sebelah tangan menenteng tas berisi aneka makanan yang tadi mereka pesan, sementara tangan yang lain memeluk bahu Lintang, membimbingnya lembut keluar dari rumah makan yang tampak mulai terisi hampir disemua mejanya. Beberapa pasang mata mengunjung tampak memandang keduanya dengan pandangan ingin tahu dan bisik-bisik antar sesama pengunjung yang datang bersama setelah mereka mengenali sosok sang Dalang. "Baiklah, kemana aku harus mengantarmu?" tanya Narendra setelah mereka sudah berada dalam mobil dan bersiap untuk menj