Home / Horor / PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN / Bab 3. MUSTIKA KEABADIAN PANJI ANOM

Share

Bab 3. MUSTIKA KEABADIAN PANJI ANOM

Author: Evi Supiyah
last update Last Updated: 2021-10-20 20:45:49

Bab 3. Mustika Keabadian Panji Anom.

Hari-hari berlalu, Narendra yang dengan kebulatan tekad menjalani ritual demi ritual yang tentu saja tidak bisa dibilang mudah. Begitu besar godaan silih berganti yang datang untuk menggagalkan usahanya, tapi ia tetap menguatkan diri demi apa yang tengah diperjuangkannya. Keteguhan hatinya itu semakin menumbuhkan kekaguman Ki Sudarma. 

Hingga tibalah malam terakhir perjuangan dalam ritual puasanya. 

Esok paginya, sesaat setelah terdengar Kokok ayam jantan pertama terdengar, Ki Sudarma memasuki gubuk kayu yang sengaja dibangunnya di tempat yang sangat terpencil jauh di dalam hutan. Adalah tempat dimana Narendra menjalankan ritualnya selama lebih dari satu purnama.

  

Dibukanya gubuk kayu berukuran tak lebih dari tiga kali tiga meter itu. Derit pintu terdengar memecah kesunyian. Fajar belum lagi menyingsing, sementara gubuk tanpa lampu itu terlihat gelap gulita. Apalagi Ki Sudarma sengaja mematikan obor yang tadi dipakainya untuk menerangi jalan setapak yang dilaluinya menembus hutan di pinggir desa tempat tinggalnya. 

     

Setelah beberapa saat, mata tuanya mulai terbiasa pada kegelapan, ia bisa melihat bayangan sosok yang tengah duduk bersila di tengah-tengah satu-satunya ruangan yang ada.

Berusaha tidak menimbulkan suara iapun segera menempatkan diri tak jauh dari sosok Narendra. Sebentar lagi, ia harus segera membangunkan lelaki muda penuh tekad itu dan membawa sukmanya kembali sebelum fajar.

Sedikit saja terlambat, maka Sukma Narendra tak akan dapat kembali memasuki raganya. Itu artinya semua usaha Narendra akan sia-sia, sukmanya akan terperangkap di dunia yang berbeda, sementara raga kosongnya akan membusuk begitu saja. Orang awam akan menyangka ia sudah meninggal dunia.

***

Narendra menunduk takzim di depan sosok lelaki muda gagah dengan pakaian kebesaran melekat di tubuh kekarnya, serta mahkota tinggi bertabur permata di atas kepalanya. 

Lelaki gagah itu tampak gemerlap oleh emas dan permata yang membalut tubuhnya dari ujung kaki hingga kepala, bahkan kasutnya pun terbuat dari emas berhias intan permata. Dan tentu saja, bagaimanapun kasut itu digunakan, selarik bayangan berwarna gelap akan melapisi bagian bawah solnya dari tanah dan bergerak kemanapun lelaki itu melangkah. Sepintas seolah kaki lelaki gagah bermahkota itu tak menapak tanah. 

"Kau sudah berhasil melaksanakan ujian awal. Maka aku akan meluluskan keinginanmu!" titah lelaki bermahkota itu. Narendra mengangguk penuh syukur. Hatinya gembira. Sebentar lagi, ia akan dapat meraih keinginannya untuk menguasai dunia.

"Terimalah mustika Panji Anom ini, yang akan membuatmu abadi. Tubuhmu tak akan menua, cahayamu akan mempesona orang-orang yang berada di sekitarmu. Pengaruhmu akan menjadi lebih kuat. Engkau akan menjadi pusat bagi sekelilingmu.

Tapi yang kaulakukan kemarin barulah awal untuk membuka pintu dari dunia yang kau impikan, ujian yang sesungguhnya, baru akan kau lalui setelah kaupikir kau sudah mulai berhasil!

Hasilnya adalah, tergantung dari apa tindakanmu untuk melalui ujian tersebut. Jadi berpikirlah dengan bijak! Tak ada sesuatu pun yang mudah untuk mendapatkan hasil terbaik. Bisa jadi untuk mendapatkan impianmu semu, kamu harus kehilangan kebahagiaan sejatimu. Kamu mengerti?" Kembali Narendra mengangguk takzim. 

Dan sesuatu yang terasa hangat berukuran sebesar biji kacang tiba-tiba sudah berada dalam genggamannya. Ia masih menunduk, namun tidak berani melihat benda yang berada dalam genggamannya itu.

Sementara untuk mendongakkan kepala agar dapat memandang wajah lelaki yang tampak mengeluarkan sinar berpendar keemasan di depannya pun ia tak sanggup. Kalaupun ia berusaha untuk mendongak, pandangan matanya hanya sampai tepat di hiasan batu permata berwarna merah sebesar telur puyuh yang menghiasi dada lelaki itu. 

Tiba-tiba Narendra merasa seseorang menepuk bahunya, dan seketika itu juga rasa dingin melingkupi tubuhnya hingga ia menggigil menahan hawa sedingin es. Dan lelaki berselimut sinar keemasan yang tadi berada di hadapannya pun telah menghilang.

"Ngger, mari kita pulang!" Sayup suara Ki Sudarma menyusup di telinganya. Dan Narendra merasa tubuhnya yang seolah tak bertenaga tersedot pusaran angin dingin yang entah dari mana datangnya. 

Narendra ingin bertahan untuk menyelamatkan dirinya, tapi tubuh lemahnya tak mampu menahan. Ia pun pasrah kemana pusaran itu membawa tubuh lunglainya, tapi apapun yang terjadi Narendra berusaha mempertahankan apapun yang ada didalam genggamannya. Kuku tangannya seolah menancap di telapak tangannya yang mengepal erat.

***

"Hhhmm, rupanya usahamu tidak sia-sia, Ngger!" Gumaman Ki Sudarma menarik kesadaran Narendra yang tergolek roboh saat Ki Sudarma mengguncang pelan tubuhnya tadi.

Karena sudah berhari-hari menjalani puasa mutih yang artinya ia tidak memasukkan makanan apapun juga selain air putih dalam kendi dan sekepal nasi putih tawar tanpa rasa. 

Dilanjutkan puasa ngebleng, yaitu tak makan dan minum sehari semalam. Jadi wajar saja jika tubuh kekar Narendra pun menjadi lemas tanpa tenaga.

Ki Sudarma segera mengangkat kepala Narendra dan menempelkan ujung lubang kendi berisi air putih ke mulut Narendra membantunya minum untuk sekedar membasahi kerongkongan yang kering dan menyegarkan tubuh lemahnya. 

"Terima kasih, Ki" Narendra berusaha untuk duduk bersila setelah beberapa teguk air cukup menguatkannya untuk menegakkan tubuh.

"Coba lihat apa yang kau dapat!" Ki Sudarma menunjuk telapak tangan Narendra yang terkepal. 

Perlahan Narendra membuka kepalan tangannya yang terasa lengket oleh kuku-kuku jarinya yang seolah menancap di telapak tangan. Di luar, sinar fajar pertama mulai menyentuh bumi. Dan suasana sekitar gubuk kayu itupun mulai terang oleh cahaya pagi. Membuat ruangan yang semula gulita itupun terlihat temaram oleh cahaya pagi yang mulai menorobos di lubang-lubang dinding kayu, juga pintu yang sudah terbuka lebar.

Sebutir batu permata berwarna kebiruan sebesar kuku jari kelingking tampak ditengah telapak tangannya. 

"Telanlah mustika itu, agar menyatu dengan ragamu!" perintah Ki Sudarma setelah memperhatikan batu permata yang berada dalam genggaman Narendra.

"Mengapa harus saya telan, Ki?" tanya Narendra ragu.

"Mustika itu banyak diburu orang yang mengerti, tapi tak sanggup menjalani tirakat berat untuk penebusnya. Karena pemegang mustika itu akan mendapatkan keabadian.Pemegang mustika itu akan terlihat jauh lebih tampan jika ia lelaki dan cantik jika ia perempuan. 

Pemegang mustika itu akan mampu mempesona orang-orang disekitarnya. Otomatis ia akan bisa mempengaruhi siapapun. Orang lain, bahkan para lelembutpun akan tunduk padanya!

Dan orang yang mengerti, akan dapat merasakan kalau kau memiliki mustika itu. Jadi untuk menghindari kehilangan atau dicuri orang, maka kamu harus menelannya!" tutur Ki Sudarma menjelaskan seraya menyorongkan kembali kendi air ke arah Narendra yang langsung menerima dan melakukan apa yang diperintahkan gurunya spiritualnya itu.

"Nah, sesuai perjanjian kita di awal saat kau mendatangiku, kau harus ikut ke rumahku sekarang dan bersiap-siap untuk menikahi Wulansari, putriku!" 

"Baiklah, Ki! Tapi sebelumnya, ijinkan saya untuk pulang ke rumah orang tua saya untuk meminta restu. Sekaligus mengabarkan bahwa saya sudah menalak istri pertama saya."

"Baiklah. Pulanglah, mintalah restu orang tuamu, karena itu juga penting bagi masa depanmu, Ngger!" ujar Ki Sudarma mengerti. 

Baginya, restu serta doa terbaik dari orang tua sama pentingnya dengan segala tirakat dan ritual yang harus dijalani setiap orang yang tengah berusaha untuk meraih sesuatu. "Segera selesaikan semua urusanmu! Jangan sampai melupakan kewajibanmu! Jika semua sudah kau laksanakan, datanglah secepatnya ke rumahku untuk menyelesaikan urusan kita. Aku menunggumu!" 

Narendra mengangguk, ia sadar tentang penekanan pada kata-kata terakhir yang diucapkan Ki Sudarma. Bahwa ia menunggu kedatangan Narendra untuk menepati janjinya.

Sementara Narendra sendiri masih bingung, bagaimana ia akan mengatakan pada bapak dan kakeknya, tentang perceraiannya dengan Jernih Suminar, yang sebelum dinikahinya adalah seorang sinden yang bekerja pada bapaknya. 

Serta rencana pernikahan ke duanya yang akan segera berlangsung dalam hitungan hari dengan seorang wanita yang bahkan sama sekali belum pernah dilihatnya.    

***

    

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ucing Ucay
semangat thor ^^
goodnovel comment avatar
Khara Asha
lanjut ............
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 69. WANITA YANG TAK PERNAH MERASA PUAS

    Di tempat yang berbeda, puluhan kilometer jaraknya dari pesisir pantai tempat Gendis dan Jaya menghabis kan waktu untuk menghibur diri, Wulansari pun tengah menikmati malam panasnya bersama seorang pemuda tampan dengan tubuh terpahat indah hasil latihan rutin selama beberapa waktu di pusat kebugaran yang kini mulai marak dibangun di kota kabupaten tempat tinggalnya.Pemuda dengan paras dan bentuk tubuh yang selalu akan membuat wanita merasa bergairah saat bersama itu adalah yang Wulansari sebut sebagai mainan barunya, yang akhir-akhir ini telah membuatnya melayang dan melupakan keberadaan Jaya yang sudah sejak beberapa tahun lalu menghangatkan ranjang tidurnya.Semenjak berkenalan dengan pemuda itu di sebuah pusat kebugaran yang ia datangi bersama seorang teman perias yang tampaknya sudah lebih dahulu mengenal kisah indah yang lain di balik suramnya kisah pernikahan sah yang sudah mereka jalani sebelumnya.Wulansari merasa seperti menemukan surganya yang baru setelah mengenal dan memp

  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 68. PENGHIBURAN UNTUK NONA MUDA YANG SEDANG GUNDAH

    Menuruti kemauan Gendis yang masih saja terlihat murung selama perjalanan, Jaya mengarahkan mobil yang dikemudikannya ke daerah pesisir yang berjarak sekitar 2 jam perjalanan dari tengah kota kabupaten tempat tinggal mereka."Kenapa nyari tempat bersedihnya mesti ke pantai sih Non, kan jauh? Kenapa kita gak pergi ke puncak saja? Cukup setengah jam perjalanan. Gak capek, gak bosan di jalan..?""Jaya... Diam! Kamu cuma sopir, aku majikannya! Jadi jangan banyak protes, aku mau ke pantai sekarang juga!" bentak Gendis kesal wajah sedihnya seketika berubah judes dengan pandangan mata melotot ke arah Jaya.Sambil menelan ludah, akhirnya Jaya mengangguk juga. Selama beberapa saat pandangannya hanya lurus terfokus di jalanan yang mulai sepi meninggalkan keramaian kota jauh di belakang mereka. "Sepi sekali... boleh setel musik kan, Non?" tanyanya memecah kebisuan.Beberapa detik tak ada jawaban. Jaya melirik ke kursi samping yang diduduki Gendis. Dari sudut matanya ia melihat gadis itu terliha

  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 67. KONFERENSI PERS

    Tanpa terasa, tibalah hari yang sudah dinantikan Narendra, yaitu hari Ulang tahun Lintang yang ke 19.Jam 11 pagi, sesuai dengan jadwal acara yang sudah diatur oleh Narendra dengan bantuan Wage dan beberapa orang temannya, acara tasyakuran untuk memperingati hari kelahiran Lintang sengaja di adakan di rumah makan langganan tempat kejadian kericuhan beberapa hari sebelumnya.Untuk acara ini Narendra juga mengundang keluarga Bupati dan beberapa orang penting yang sudah sangat akrab dengan Ki Dalang Narendra, juga Kepala Desa dan tim pengacara dari firma hukum yang ia sewa. Selebihnya adalah teman-teman Lintang.Karena pada acara itu juga sekaligus untuk mengklarifikasi tentang kejadian memalukan beberapa hari sebelumnya yang mengakibatkan berita tak sedap dan menghebohkan itu menjadi tajuk utama di hampir seluruh koran terbitan lokal dan nasional sehingga Narendra dengan bantuan tim pengacaranya juga mengundang banyak wartawan di acara tersebut.Tepat di jam setengah 12 siang, pada saat

  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 66 MENGURAI KERUWETAN

    Atas pesan Narendra yang sekarang tinggal bersamanya, Lintang mengantarkan sendiri minuman dan suguhan untuk tamu ayahnya itu ke ruang kerja ayahnya.Dua orang tamu dengan setelan resmi tampak duduk berseberangan dengan Narendra. Ketiganya tampak berbicara serius mengenai hal-hal yang berhubungan dengan legalitas hukum. Lintang sudah hampir keluar dari ruangan ayahnya setelah menyuguhkan tiga cangkir teh hangat dan camilan ringan, ketika Narendra menghentikan langkahnya dan menyuruhnya untuk berdiri di dekat kursi yang ia duduki."Ini putri kandung saya dari istri pertama. Namanya Lintang Prameswari. Ibunya sudah meninggal sejak ia masih bayi. Saya ingin melegalkan semua aset pribadi saya untuk dia. Karena saya tidak ingin putri saya ini mengalami kesulitan yang mungkin akan mendatanginya, sehubungan dengan warisan kelak dikemudian hari.Seperti yang sudah saya beritahukan kepada Pak Suprapto kemarin bahwa aset milik bersama dengan istri ke dua saya sudah saya berikan semua untuk ist

  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 65. ENJOY A VERY HOT CLIMAX

    "Istirahatlah, Non. Biarkan saya memanjakan milik Non Gendis yang sangat berharga ini. Apa saya perlu meminta air hangat untuk mengompresnya? Untuk meredakan nyeri setelah menelan milik saya tadi, hmmm?""Tidak, cukup bersihkan saja. Aku merasa tidak nyaman dengan rasa lengketnya.""Baiklah, biar saya urus bagian itu. Saya sangat tersanjung bisa melakukannya untuk Non Gendis.""Heeem.." Dan sesudahnya, Gendis sudah tak lagi memperdulikan apapun karena ia sudah diterbangkan impian indah setelah raganya merasakan kelelahan teramat sangat karena sudah berpacu bersama Jaya demi mencapai puncak klimaks tertinggi tadi.Sementara Jaya yang benar-benar berusaha mempergunakan kesempatan terbaik yang ia dapatkan malam ini dengan menjelajahi, menjamah bahkan menguasai walau sesaat hal yang sebelumnya tak pernah sekalipun berani ia impikan ataupun menyapa alam khayalnya. Yaitu tubuh molek sang Nona Muda.Baginya, dapat menyentuh kulit mulus gadis cantik yang di matanya seperti seorang Dewi, apala

  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 64. TERBAKAR GAIRAH LIAR NONA MUDA

    Perlahan Jaya mulai mengoleskan minyak zaitun ke atas kulit punggung mulus Gendis yang sudah terbaring dalam posisi menelungkup di pinggiran ranjang dan perlahan, dengan tekanan yang pas dia mulai mengurutnya. Usapan telapak tangannya yang hangat segera saja berhasil membuat otot-otot tubuh Gendis yang semula menegang, perlahan menjadi rileks.Seperempat jam kemudian, hampir seluruh tubuh bagian belakang milik Gendis sudah berbalur minyak zaitun, dari mulai punggung hingga ke telapak kaki. Gendis pun sudah terlihat menikmati setiap belaian dengan tekanan terukur telapak tangan Jaya pada tubuhnya.Dengan menahan gejolak hasratnya, Jaya sengaja berlama-lama memberikan treatment di bagian bok*ng milik Gendis yang terasa padat, dengan bentuk membulat yang begitu menggoda.Gendis juga terlihat menikmati segala perlakuan Jaya di bagian tubuhnya yang sintal itu. Meskipun secara sengaja kadang-kadang jemari Jaya nyasar dengan nakalnya menyentuh bagian tersembunyi di belahan pant*tnya. Bahkan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status