Share

Bab 007

last update Last Updated: 2025-11-04 08:00:51

Malam di Hutan Seribu Maut terasa semakin pekat dan dingin setelah pertarungan.

Dipasena bersandar pada batang pohon yang tumbang, mencoba memulihkan sedikit Tenaga Dalamnya yang terkuras habis.

Batu Cahaya Merah yang ia genggam terasa hangat, memberikan sedikit ketenangan yang menipu.

Dia merasakan energi baru mengalir, mengisi kekosongan, seolah dia adalah cangkir kosong yang diisi kembali dengan air kehidupan.

Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.

Tiba-tiba, Batu Cahaya Merah itu berdenyut dengan kecepatan tinggi, dan panas yang semula terasa menenangkan, kini berubah menjadi bara api yang membakar.

"Ada apa ini!?" Dipasena tersentak. Dia membuka telapak tangannya.

Batu itu kini memancarkan cahaya merah darah yang sangat terang, cahayanya mampu menembus kegelapan hutan.

Panasnya tak tertahankan, seolah ia menggenggam besi tempa yang baru diangkat dari api.

“Panas!” desis Dipasena, mencoba melepaskan batu itu.

Tetapi Batu Cahaya Merah itu seolah memiliki kemauan sendiri.

Permukaannya yang semula padat dan keras, kini mulai meleleh dengan cepat, berubah menjadi cairan merah kental yang mendidih.

Cairan itu melebur dengan kulit telapak tangan Dipasena.

Rasa sakit yang menyerang Dipasena melampaui segala siksaan fisik yang pernah dia rasakan.

Itu bukan hanya rasa panas; itu adalah rasa api yang merangkak naik, menembus kulit, membakar daging, dan membakar tulang.

"Aaaah ....!!!"

Dipasena menjerit, suaranya parau, tenggelam dalam kehampaan hutan.

Dia mencoba menggosok tangannya ke tanah, ke batu, tetapi cairan merah itu telah menyatu dengan kulitnya.

Dalam dua kejap, cairan itu merembes masuk melalui pori-porinya, meninggalkan bekas luka bakar yang parah di telapak tangannya.

Cairan merah itu, yang kini telah berubah menjadi aliran energi panas, menjalar ke seluruh tubuh Dipasena.

Dari telapak tangan, merayap ke lengan, ke dada, lalu menyebar ke setiap urat nadi dan meridian tubuh.

Tubuh Dipasena menjadi seperti tungku yang dipanaskan dari dalam.

Otot-ototnya kaku, urat nadinya membengkak dan menonjol, dan kulitnya memerah hebat, seolah dia menderita demam tertinggi yang mungkin terjadi.

Pemuda ini berguling-guling di tanah yang keras, mencoba mendinginkan api yang melahapnya. Setiap putaran terasa seperti dihantam palu godam.

Dipasena mencakar tanah, merobek lumut dan akar. Rasa sakit itu begitu hebat hingga kesadarannya mulai memudar, terpecah menjadi serpihan-serpihan.

Dalam pergulatan hebat itu, Dipasena merasakan ada dua kekuatan yang saling bertempur di dalam dirinya.

Satu kekuatan adalah Jati Sakti: Tenaga Dalam murni yang diraih selama dia menjadi murid Padepokan Jati Sakti.

Kekuatan ini bersifat tenang, dingin, dan berbasis pada keseimbangan.

Kekuatan kedua adalah Batu Cahaya Merah: Tenaga Dalam Siluman, liar, panas, dan berbasis pada kehancuran.

Kedua energi itu bertemu di pusat Tenaga Dalam Dipasena, saling menyerang seperti api dan es.

Dipasena merasakan setiap meridiannya seolah ditarik oleh dua kuda yang berlawanan arah.

Darah terasa mendidih. Dia muntah, mengeluarkan cairan hijau kental.

Di tengah jeritan kesakitannya, Dipasena merasakan Tenaga Dalam Jati Sakti yang telah ia kumpulkan selama bertahun-tahun, yang telah membantunya menjadi murid terbaik, tiba-tiba menghilang.

Tidak lenyap; tapi dimangsa oleh energi merah yang lebih kuat dan ganas.

Seperti kayu kering yang dimakan api, warisan Jati Sakti dalam dirinya terbakar habis, meninggalkan ruang kosong yang seketika diisi oleh Tenaga Dalam Siluman yang baru.

Ini adalah pembersihan yang kejam, sebuah pembaptisan api. Dipasena menjerit untuk terakhir kalinya, jeritan yang putus asa dan lelah.

Dalam puluhan kejap pergulatan yang menyiksa, dia akhirnya limbung, jatuh telungkup di tanah yang kini ia hanguskan dengan panas tubuhnya sendiri, dan pingsan.

***

Cahaya lembut matahari menembus celah-celah dedaunan Hutan Seribu Maut, menimpa wajah Dipasena. Pemuda bertubuh tegap itu terbangun.

Rasa pertama yang menyambutnya adalah kelelahan yang luar biasa. Tubuhnya terasa seringan bulu, tetapi tak berdaya.

Dia mencoba mengangkat tangan, tetapi tangannya terasa berat seperti timah. Lalu dia menatap telapak tangannya yang terluka.

Bekas luka bakar akibat lelehan batu itu kini telah mengering, meninggalkan bekas tato berwarna merah marun di kulitnya.

Murid terusir ini mencoba menarik napas. Dia berusaha mengaktifkan Napas Segara, jurus pernapasan andalan Jati Sakti yang telah menyatu dengan tulangnya.

Kosong.

Tidak ada kehangatan yang familiar. Tidak ada arus Prana yang tenang.

Semua ilmu Jati Sakti: Benteng Pawana, Tujuh Titik Maut, Napas Segara, semuanya lenyap.

Seolah tubuhnya telah dihapus, dan kini menjadi kanvas kosong.

"Aku telah kehilangan semua ilmuku. Kini aku bukan siapa-siapa!"

Kekalahan itu terasa pahit, tetapi hanya sesaat.

Di tengah kekosongan itu, Dipasena merasakan sesuatu yang lain.

Ada aliran hawa panas yang tenang dan kental, mengalir dari titik pusat Tenaga Dalamnya, di perutnya, dan menyebar ke seluruh tubuhnya.

Itu adalah Tenaga Dalam baru, Tenaga Dalam dari Batu Cahaya Merah.

Kekuatan itu terasa liar, buas, dan sangat kuat. Dalam satu kejap, Tenaga Dalam baru itu mengalir ke telapak tangannya.

Otot-ototnya yang tadinya lemah, tiba-tiba kembali menegang. Rasa letihnya memudar, digantikan oleh gelombang energi yang konstan.

"Oh, apa lagi ini!?"

Dipasena bangkit. Dia mencoba melompat. Lompatannya lebih tinggi dan lebih ringan dari sebelumnya.

Wush!

Dia mencoba memukul udara. Pukulannya mengeluarkan suara desisan yang aneh, seolah membelah udara dengan api.

Dipasena telah kehilangan warisan Jati Sakti, tetapi dia mendapatkan kekuatan inti yang jauh lebih besar.

Dia telah melalui proses pembakaran dan pembentukan kembali. Dia kini adalah wadah yang diisi oleh kekuatan Siluman.

“Aku harus menguasai kekuatan ini,” bisik Dipasena, suaranya serak tetapi penuh gairah. “Aku harus membentuk ilmu baru dari api ini.”

Lalu pemuda ini berdiri tegak, membiarkan cahaya matahari siang menyinari tubuhnya yang kini terasa asing.

Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar. Langkah itu bukan langkah manusia, bukan pula langkah serigala. Itu adalah langkah yang berat, penuh kesombongan dan amukan yang tertahan.

Dari balik pohon tumbang yang ia hancurkan kemarin, muncul sesosok makhluk. Sosok itu jauh lebih besar dan lebih menakutkan daripada Serigala Merah.

Itu adalah Siluman Harimau Merah.

Harimau itu ditutupi bulu emas kecoklatan, tetapi di sekujur tubuhnya terdapat garis-garis merah menyala, memancarkan aura kekuasaan yang jauh melampaui Serigala Merah.

Matanya, besar dan kuning kehijauan, menatap Dipasena dengan kebencian yang mendalam.

Yang paling mengejutkan, Harimau itu bisa berbicara seperti manusia.

“Kau… Manusia rendahan!” suara Harimau itu menggeram, dalam dan berat, seolah datang dari dasar gua. Suaranya bergema di seluruh hutan.

“Kau telah membunuh saudaraku! Cakar Besi telah kau hancurkan! Apa kau kira kau bisa lari dari hukum hutan ini, setelah kau mencuri inti kekuatannya?”

Dipasena mematung, tetapi tidak gentar. Dia kini memiliki api di dalam dirinya. Dia harus siap.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 085

    "Itu sudah jadi batas antara Loka Utara dan Angin Selatan sejak sepuluh generasi, kenapa sekarang dipermasalahkan?" Anggrawati bertanya. "Kenapa? Karena tidak ada lagi Ki Loka di sana untuk memberi perintah, Tuan!" balas Kusumo, membanting tangannya ke atas reruntuhan batu. "Dia sudah jadi debu di kaki Dewa Maut. Sekarang, batasnya adalah sejauh mana prajuritku bisa bergerak." Anggrawati menarik napas dalam. "Jadi kalian akan terus bertikai sampai kalian semua menjadi korban kebodohan sendiri, begitu?" "kalau aku boleh bertanya, Nona," sela Nyai Saraswati, melipat tangannya, "sebenarnya peran Nona itu apa, ya, di sini? Nona bukan pemimpin padepokan. Nona juga tidak sekuat su—ah, maaf, sekuat Tuan Dipasena." Suhu terasa menurun tajam. Itu adalah tusukan tersembunyi yang telak. Mereka tidak menghormati kebijaksanaannya, mereka hanya menilai berdasarkan kekuatannya, berdasarkan warisan Dewa Maut yang destruktif.

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 086

    "Pemimpin mereka… Rakṣasa," bisik Handoko, wajahnya pucat pasi. "Dia sangat karismatik. Dia meyakinkan semua orang bahwa kelemahan manusia adalah belas kasihan, dan kehancuran adalah kebenaran universal. Mereka semakin besar, Nona Anggrawati. Jika mereka berhasil menyelesaikan ritual mereka, bukan hanya padepokan kecil, tapi seluruh peradaban akan runtuh!" Anggrawati melihat wajah Handoko, mendengar kegilaan dalam ceritanya, dan ia menyadari betapa naifnya dia berpikir masalah mereka hanyalah soal pembagian tanah warisan. Kekacauan yang Dipasena tinggalkan telah menumbuhkan monster baru, monster yang kini menyembah Dewa Maut sebagai idola kehancuran murni. Dia harus bertindak. Ini jauh lebih mendesak daripada persatuan yang sia-sia. "Kau berani," kata Anggrawati, membantu Handoko berdiri. "Tolong beristirahat. Aku akan menangani ini." Anggrawati melepaskan Handoko, menatap ke arah utara. Angin dingin meniup k

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 084

    Kekehannya terdengar lagi, lebih keras. “Ayolah, Dipasena. Kita berdua tahu apa yang benar-benar menyenangkan.” "Sudah kukatakan diam!" bentaknya. Ia mengayunkan tangannya dengan gusar. Pohon yang baru saja ia hidupkan langsung meledak menjadi debu ungu dan serpihan kayu, tersapu angin gunung. Keheningan kembali menyelimuti. “Nah! Begitu seharusnya! Menghancurkan itu jauh lebih mudah, bukan? Lebih… memuaskan.” Suara itu terdengar puas. “Tidak perlu berpikir, tidak perlu niat. Hanya perlu sedikit rasa benci. Dan kau, bukankah kau memilikinya dalam jumlah yang sangat banyak?” Jantung Dipasena berdebar kencang, sebuah sensasi aneh yang sudah lama tak ia rasakan. "Siapa kau?" tanyanya, suaranya bergetar menahan amarah. "Sisa kesadaranmu seharusnya sudah lenyap saat aku menyerap kekuatanmu." “Sisa kesadaran?” Suara Ki Rembong terdengar geli. “Bodoh. Kau pikir kekuatan itu hanya gumpal

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 083

    “Aku kini adalah tujuan itu sendiri. Aku telah melampaui batasan yang dipegang oleh lima sesepuh bodoh itu. Aku memiliki semua yang mereka miliki, dan yang mereka takuti.” lanjut Dewa Maut. Ia akhirnya berbalik, menatap Anggrawati. Matanya, meski tidak lagi memancarkan amarah, justru lebih menakutkan karena kekosongan di dalamnya. “Aku memberimu pilihan, Anggrawati,” kata Dewa Maut. “Aku membiarkanmu hidup dua kali. Mengapa kau terus mengejarku?” Anggrawati mencengkeram erat pedang Mangunjaya. “Aku tidak mengejar Dipasena. Aku mengejar kebenaran. Kau mungkin telah menguasai Lima Elemen, tetapi kau tidak menguasai hatimu sendiri. Kau hanya wadah bagi kekuatan yang tak memiliki jiwa.” Dewa Maut tertawa kecil, tawa yang kering dan tanpa humor. “Jiwa adalah kelemahan. Emosi adalah rantai. Aku bebas. Bebas dari dendam, bebas dari cinta, bebas dari moralitas. Kekuatan ini membebaskanku. Sekarang, Anggrawati. Aku be

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 082

    Prana Lima Elemen (Kayu, Api, Bumi, Logam, Air) berputar dalam siklus yang seimbang, harmonis, seperti roda yang sempurna. Tetapi di pusat putaran itu, kini ada dua titik baru yang berlawanan: Kekosongan Murni (yang ia dapatkan dari pemahaman Mangunjaya) dan Kekosongan Gelap (yang ia curi dari Rembong). Kekuatan itu tidak hanya berlipat ganda; ia menjadi absolut. Dewa Maut merasakan setiap atom Prana di dunia persilatan. Ia merasakan sungai, gunung, kilatan petir, dan bahkan kegelapan di bawah bumi. Ia kini adalah penguasa bukan hanya dari Lima Elemen, tetapi dari dualitas yang mengikat keberadaan. Ia adalah Penguasa Kekosongan. Murid-murid Kala Durga, yang melihat guru mereka lenyap, langsung diliputi rasa panik. Mereka membuang senjata mereka dan mencoba melarikan diri, tetapi mereka tidak bisa. Dewa Maut, tanpa menoleh, mengangkat tangan kirinya ke atas. WUUUSH. Ia mengaktifka

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 081

    Ki Rembong melihat Dewa Maut tiba-tiba tampak berhenti bergerak, auranya meredup sejenak, hampir seperti lilin yang padam. “Aku sedang menyesuaikan diri dengan takdir,” jawab Dewa Maut, suaranya serak. Anggrawati menyaksikan dari kubah Angin-Air. Ia melihat gurunya baru saja lenyap, dan kini Dewa Maut tampak seperti patung di tengah badai Kekosongan Gelap. Ketika Pukulan Lima Elemen Terpadunya hampir sepenuhnya diserap oleh Kekosongan Gelap Rembong, Dewa Maut melepaskan kontrol total atas Prana-nya. FZZZT! Tiba-tiba, Pukulan yang melambat itu menghilang. Bukan terserap, tetapi lenyap dari keberadaan. Rembong terperangah. “Ilusi?” “Bukan,” kata Dewa Maut, kini membuka matanya. Matanya tidak memancarkan warna Lima Elemen, tetapi cahaya abu-abu keperakan yang datar, seperti cermin yang tidak memantulkan apa pun. “Ini adalah Kekosongan Murni. Kau hanya memiliki lubang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status