Share

Bab 006

last update Last Updated: 2025-11-03 17:16:08

Dia membutuhkan jurus yang berfokus pada kekuatan inti dan penghancuran. Dia memilih Pukulan Naga Bumi.

Hanya dia, murid muda yang telah mencapai tingkat ketiga dari lima ilmu Pukulan Naga Bumi. Dipasena menyiapkan ilmu itu dengan tenaga penuh.

Siluman Serigala Merah menyerang lebih dulu, melompat tinggi, cakar depannya siap merobek dada Dipasena.

Dipasena menunggu, membiarkan serigala itu semakin dekat, dan pada kejap yang tepat, dia melancarkan serangan balasan.

Pukulan Naga Bumi, Tingkat Satu: Goncangan Permukaan.

Pukulan ini adalah serangan jarak pendek yang mengalirkan energi ke permukaan, menciptakan dampak fisik yang murni.

Dipasena meninju udara kosong di bawah perut serigala yang melompat.

Wutt! Syutt!

Energi pukulan itu, meskipun tidak menyentuh, menciptakan tekanan udara yang begitu padat.

Siluman Serigala Merah, yang biasanya kebal terhadap benturan biasa, terkejut.

Tubuhnya yang sedang melayang dihantam oleh gelombang kejut tersembunyi. Raungannya terpotong.

Serigala itu terlempar ke samping dan mendarat keras di atas bebatuan yang tertutup lumut, sekitar lima depa jauhnya.

Sraaaak!

Bebatuan di bawahnya retak dan pecah berkeping-keping. Menandakan betapa kerasnya kulit siluman ini.

Siluman Serigala Merah bangkit, matanya kini dipenuhi amarah yang membabi buta. Menatap Dipasena sangat lekat.

Dia adalah makhluk yang tak pernah disakiti oleh manusia, dan kini dia dihantam oleh seorang pemuda yang bahkan belum dewasa.

Serigala itu mengayunkan ekornya yang panjang dan berotot, yang kini memancarkan api merah samar.

Dia berlari cepat, mengelilingi Dipasena, menciptakan lingkaran bayangan merah yang memusingkan. Ini adalah serangan mental dan fisik sekaligus.

Dipasena memejamkan mata. Dia tidak akan mengandalkan pandangan. Dia mengandalkan perasaan.

Dia membiarkan Prana dari alam semesta, yang mengalir melalui dirinya, menjadi sensor.

Ketika Siluman Serigala Merah berada di titik buta di belakangnya, siap untuk menerkam, Dipasena berbalik dan melancarkan Pukulan Naga Bumi, Tingkat dua: Hantaman Inti.

Pukulan kali ini diarahkan langsung ke dada serigala. Itu bukan pukulan fisik; itu adalah pukulan tenaga dalam murni yang ditembakkan.

Energi itu bergerak seperti peluru yang tak terlihat, menembus lapisan bulu tebal serigala.

Duumm!

Suara ledakan keras menggema di Hutan Seribu Maut. Dipasena melihat dampak yang mengerikan.

Bulu serigala di titik pukulan itu tidak robek, tetapi bagian dalamnya, organ-nya, merasakan getaran yang sangat kuat, seolah ada godam yang menghantam dari dalam.

Siluman Serigala Merah menjerit, jeritan kesakitan yang melengking. Darah hitam kental mulai menetes dari mulutnya.

Tubuhnya terlempar jauh, menabrak pohon yang tingginya mencapai dua puluh tombak.

Pohon itu, yang berakar kuat selama ratusan tahun, patah di tengah batangnya dan tumbang dengan suara gemuruh yang dahsyat. Getaran itu terasa hingga puluhan tombak jauhnya.

Dipasena kini terengah-engah. Tingkat dua Pukulan Naga Bumi menguras sebagian besar Tenaga Dalamnya.

Siluman ini terlalu kuat; dia tidak bisa menahan lebih lama.

Serigala Merah bangkit lagi, tubuhnya kini diliputi oleh api merah yang lebih terang. Darah hitam terus mengalir, tetapi lukanya mulai menutup.

Siluman itu adalah regenerasi dari kegelapan. Dia tidak akan mati kecuali intinya hancur.

Serigala itu menatap Dipasena. Tatapan itu penuh janji pembalasan yang mengerikan. Siluman melompat lagi, kali ini lebih cepat dan lebih buas.

Dipasena tahu, dia hanya punya satu kesempatan.

Dia mengumpulkan semua sisa Tenaga Dalamnya.

Semua amarah karena dikhianati Anggrawati, semua kepedihan karena diusir Jati Sakti, semua kebencian terhadap fitnah, semuanya dia salurkan ke telapak tangannya.

Tenaga Dalamnya kini tidak lagi murni Prana atau Jati Sakti; itu adalah Tenaga Dalam yang dicampur dengan bara keputusasaan.

Dia mengambil kuda-kuda terakhir. Otot-ototnya menegang hingga batas. Menarik napas dalam-dalam hingga perutnya menggembung.

Pukulan Naga Bumi, Tingkat tiga: Penghancuran Inti.

Pukulan ini adalah pukulan yang tidak hanya bertujuan fisik atau organ; itu bertujuan pada Sukma lawan.

Dipasena meninju dengan segenap jiwa raganya, berhadapan langsung dengan terkaman serigala.

Tepp!

Ketika telapak tangan Dipasena menyentuh dahi Siluman Serigala Merah, energi pukulan itu tidak meledak ke luar, tapi menyedot masuk.

Energi itu seperti bor yang memutar, menembus tengkorak tebal serigala, langsung menuju inti gelapnya.

Serigala Merah membeku di udara. Matanya yang merah menyala tiba-tiba padam.

Raungannya terhenti di tengah jalan, berubah menjadi suara pekikan kesakitan yang sunyi.

Dalam lima kejap yang terasa seperti keabadian, tubuh serigala itu mulai bergetar hebat.

Bulu-bulu merahnya rontok, dan dari dalam rongga dada serigala, muncul cahaya merah terang, seolah ada matahari kecil yang meledak.

Brukk!

Tubuh Siluman Serigala Merah ambruk. Dia tidak meledak, tetapi tubuh besarnya tiba-tiba menjadi abu dan debu, seolah umurnya telah dipercepat seribu tahun.

Hanya dalam hitungan sepuluh kejap, serigala raksasa itu lenyap, menyisakan tumpukan debu dan aroma belerang yang samar.

Dipasena jatuh terduduk, napasnya tersengal-sengal. Semua Tenaga Dalamnya terkuras habis. Dia memegangi dadanya yang terasa seperti dihimpit gunung.

Dia hampir mati. Tapi dia menang. Dia telah mengalahkan legenda Hutan Seribu Maut.

Dia mencoba menstabilkan napasnya dengan mengaturnya perlahan.

Dipasena melihat sekeliling. Dampak pertarungan itu mengerikan.

Selain pohon besar yang tumbang, tanah di sekitar bekas pertarungan itu retak-retak, seolah dihantam meteor.

Rumput dan semak belukar hangus, meninggalkan lingkaran kehancuran yang mencolok di tengah hutan yang rimbun.

Dipasena merangkak ke tumpukan debu yang tersisa dari Serigala Merah. Di sana, di tengah-tengah abu itu, bersinar sebuah objek.

Itu adalah sebuah Batu Cahaya.

Batu itu seukuran kepalan tangan bayi, permukaannya halus, tetapi di dalamnya memancarkan cahaya merah darah yang berdenyut, seolah batu itu adalah jantung Siluman Serigala Merah.

Batu itu terasa hangat dan memancarkan aura kekuatan yang sangat besar, aura yang sama dengan yang dirasakan Dipasena dari Siluman itu, tetapi kini terkumpul dalam satu titik.

Dipasena mengulurkan tangan. Saat kulitnya bersentuhan dengan Batu Cahaya Merah, dia merasakan gelombang energi panas yang begitu kuat.

Gelombang itu mengalir deras ke urat nadinya, mengisi kekosongan Tenaga Dalamnya yang hampir habis.

Rasa sakit yang ia derita seketika mereda. Dia menggenggam batu itu erat-erat.

“Ini… ini adalah pusaka iblis itu,” bisik Dipasena, suaranya dipenuhi keterkejutan dan pemahaman. “Kekuatan ini… Aku akan menggunakannya untuk membuat dunia tahu siapa Dipasena sebenarnya!”

Dia menyimpan Batu Cahaya Merah itu di balik bajunya, langsung menyentuh kulit pinggangnya.

Batu itu berdenyut, memancarkan kehangatan, seolah kini telah menjadi bagian dari dirinya.

Dipasena tersenyum. Senyum kali ini bukan senyum kekalahan, bukan senyum kepedihan, tetapi senyum pemilik takdir yang baru.

Murid yang terusir ini telah masuk ke Hutan Seribu Maut untuk mati, tetapi dia keluar dengan pusaka yang tak terduga, sebuah kunci menuju kekuatan yang tak terbatas.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 085

    "Itu sudah jadi batas antara Loka Utara dan Angin Selatan sejak sepuluh generasi, kenapa sekarang dipermasalahkan?" Anggrawati bertanya. "Kenapa? Karena tidak ada lagi Ki Loka di sana untuk memberi perintah, Tuan!" balas Kusumo, membanting tangannya ke atas reruntuhan batu. "Dia sudah jadi debu di kaki Dewa Maut. Sekarang, batasnya adalah sejauh mana prajuritku bisa bergerak." Anggrawati menarik napas dalam. "Jadi kalian akan terus bertikai sampai kalian semua menjadi korban kebodohan sendiri, begitu?" "kalau aku boleh bertanya, Nona," sela Nyai Saraswati, melipat tangannya, "sebenarnya peran Nona itu apa, ya, di sini? Nona bukan pemimpin padepokan. Nona juga tidak sekuat su—ah, maaf, sekuat Tuan Dipasena." Suhu terasa menurun tajam. Itu adalah tusukan tersembunyi yang telak. Mereka tidak menghormati kebijaksanaannya, mereka hanya menilai berdasarkan kekuatannya, berdasarkan warisan Dewa Maut yang destruktif.

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 086

    "Pemimpin mereka… Rakṣasa," bisik Handoko, wajahnya pucat pasi. "Dia sangat karismatik. Dia meyakinkan semua orang bahwa kelemahan manusia adalah belas kasihan, dan kehancuran adalah kebenaran universal. Mereka semakin besar, Nona Anggrawati. Jika mereka berhasil menyelesaikan ritual mereka, bukan hanya padepokan kecil, tapi seluruh peradaban akan runtuh!" Anggrawati melihat wajah Handoko, mendengar kegilaan dalam ceritanya, dan ia menyadari betapa naifnya dia berpikir masalah mereka hanyalah soal pembagian tanah warisan. Kekacauan yang Dipasena tinggalkan telah menumbuhkan monster baru, monster yang kini menyembah Dewa Maut sebagai idola kehancuran murni. Dia harus bertindak. Ini jauh lebih mendesak daripada persatuan yang sia-sia. "Kau berani," kata Anggrawati, membantu Handoko berdiri. "Tolong beristirahat. Aku akan menangani ini." Anggrawati melepaskan Handoko, menatap ke arah utara. Angin dingin meniup k

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 084

    Kekehannya terdengar lagi, lebih keras. “Ayolah, Dipasena. Kita berdua tahu apa yang benar-benar menyenangkan.” "Sudah kukatakan diam!" bentaknya. Ia mengayunkan tangannya dengan gusar. Pohon yang baru saja ia hidupkan langsung meledak menjadi debu ungu dan serpihan kayu, tersapu angin gunung. Keheningan kembali menyelimuti. “Nah! Begitu seharusnya! Menghancurkan itu jauh lebih mudah, bukan? Lebih… memuaskan.” Suara itu terdengar puas. “Tidak perlu berpikir, tidak perlu niat. Hanya perlu sedikit rasa benci. Dan kau, bukankah kau memilikinya dalam jumlah yang sangat banyak?” Jantung Dipasena berdebar kencang, sebuah sensasi aneh yang sudah lama tak ia rasakan. "Siapa kau?" tanyanya, suaranya bergetar menahan amarah. "Sisa kesadaranmu seharusnya sudah lenyap saat aku menyerap kekuatanmu." “Sisa kesadaran?” Suara Ki Rembong terdengar geli. “Bodoh. Kau pikir kekuatan itu hanya gumpal

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 083

    “Aku kini adalah tujuan itu sendiri. Aku telah melampaui batasan yang dipegang oleh lima sesepuh bodoh itu. Aku memiliki semua yang mereka miliki, dan yang mereka takuti.” lanjut Dewa Maut. Ia akhirnya berbalik, menatap Anggrawati. Matanya, meski tidak lagi memancarkan amarah, justru lebih menakutkan karena kekosongan di dalamnya. “Aku memberimu pilihan, Anggrawati,” kata Dewa Maut. “Aku membiarkanmu hidup dua kali. Mengapa kau terus mengejarku?” Anggrawati mencengkeram erat pedang Mangunjaya. “Aku tidak mengejar Dipasena. Aku mengejar kebenaran. Kau mungkin telah menguasai Lima Elemen, tetapi kau tidak menguasai hatimu sendiri. Kau hanya wadah bagi kekuatan yang tak memiliki jiwa.” Dewa Maut tertawa kecil, tawa yang kering dan tanpa humor. “Jiwa adalah kelemahan. Emosi adalah rantai. Aku bebas. Bebas dari dendam, bebas dari cinta, bebas dari moralitas. Kekuatan ini membebaskanku. Sekarang, Anggrawati. Aku be

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 082

    Prana Lima Elemen (Kayu, Api, Bumi, Logam, Air) berputar dalam siklus yang seimbang, harmonis, seperti roda yang sempurna. Tetapi di pusat putaran itu, kini ada dua titik baru yang berlawanan: Kekosongan Murni (yang ia dapatkan dari pemahaman Mangunjaya) dan Kekosongan Gelap (yang ia curi dari Rembong). Kekuatan itu tidak hanya berlipat ganda; ia menjadi absolut. Dewa Maut merasakan setiap atom Prana di dunia persilatan. Ia merasakan sungai, gunung, kilatan petir, dan bahkan kegelapan di bawah bumi. Ia kini adalah penguasa bukan hanya dari Lima Elemen, tetapi dari dualitas yang mengikat keberadaan. Ia adalah Penguasa Kekosongan. Murid-murid Kala Durga, yang melihat guru mereka lenyap, langsung diliputi rasa panik. Mereka membuang senjata mereka dan mencoba melarikan diri, tetapi mereka tidak bisa. Dewa Maut, tanpa menoleh, mengangkat tangan kirinya ke atas. WUUUSH. Ia mengaktifka

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 081

    Ki Rembong melihat Dewa Maut tiba-tiba tampak berhenti bergerak, auranya meredup sejenak, hampir seperti lilin yang padam. “Aku sedang menyesuaikan diri dengan takdir,” jawab Dewa Maut, suaranya serak. Anggrawati menyaksikan dari kubah Angin-Air. Ia melihat gurunya baru saja lenyap, dan kini Dewa Maut tampak seperti patung di tengah badai Kekosongan Gelap. Ketika Pukulan Lima Elemen Terpadunya hampir sepenuhnya diserap oleh Kekosongan Gelap Rembong, Dewa Maut melepaskan kontrol total atas Prana-nya. FZZZT! Tiba-tiba, Pukulan yang melambat itu menghilang. Bukan terserap, tetapi lenyap dari keberadaan. Rembong terperangah. “Ilusi?” “Bukan,” kata Dewa Maut, kini membuka matanya. Matanya tidak memancarkan warna Lima Elemen, tetapi cahaya abu-abu keperakan yang datar, seperti cermin yang tidak memantulkan apa pun. “Ini adalah Kekosongan Murni. Kau hanya memiliki lubang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status