LOGINDia membutuhkan jurus yang berfokus pada kekuatan inti dan penghancuran. Dia memilih Pukulan Naga Bumi.
Hanya dia, murid muda yang telah mencapai tingkat ketiga dari lima ilmu Pukulan Naga Bumi. Dipasena menyiapkan ilmu itu dengan tenaga penuh. Siluman Serigala Merah menyerang lebih dulu, melompat tinggi, cakar depannya siap merobek dada Dipasena. Dipasena menunggu, membiarkan serigala itu semakin dekat, dan pada kejap yang tepat, dia melancarkan serangan balasan. Pukulan Naga Bumi, Tingkat Satu: Goncangan Permukaan. Pukulan ini adalah serangan jarak pendek yang mengalirkan energi ke permukaan, menciptakan dampak fisik yang murni. Dipasena meninju udara kosong di bawah perut serigala yang melompat. Wutt! Syutt! Energi pukulan itu, meskipun tidak menyentuh, menciptakan tekanan udara yang begitu padat. Siluman Serigala Merah, yang biasanya kebal terhadap benturan biasa, terkejut. Tubuhnya yang sedang melayang dihantam oleh gelombang kejut tersembunyi. Raungannya terpotong. Serigala itu terlempar ke samping dan mendarat keras di atas bebatuan yang tertutup lumut, sekitar lima depa jauhnya. Sraaaak! Bebatuan di bawahnya retak dan pecah berkeping-keping. Menandakan betapa kerasnya kulit siluman ini. Siluman Serigala Merah bangkit, matanya kini dipenuhi amarah yang membabi buta. Menatap Dipasena sangat lekat. Dia adalah makhluk yang tak pernah disakiti oleh manusia, dan kini dia dihantam oleh seorang pemuda yang bahkan belum dewasa. Serigala itu mengayunkan ekornya yang panjang dan berotot, yang kini memancarkan api merah samar. Dia berlari cepat, mengelilingi Dipasena, menciptakan lingkaran bayangan merah yang memusingkan. Ini adalah serangan mental dan fisik sekaligus. Dipasena memejamkan mata. Dia tidak akan mengandalkan pandangan. Dia mengandalkan perasaan. Dia membiarkan Prana dari alam semesta, yang mengalir melalui dirinya, menjadi sensor. Ketika Siluman Serigala Merah berada di titik buta di belakangnya, siap untuk menerkam, Dipasena berbalik dan melancarkan Pukulan Naga Bumi, Tingkat dua: Hantaman Inti. Pukulan kali ini diarahkan langsung ke dada serigala. Itu bukan pukulan fisik; itu adalah pukulan tenaga dalam murni yang ditembakkan. Energi itu bergerak seperti peluru yang tak terlihat, menembus lapisan bulu tebal serigala. Duumm! Suara ledakan keras menggema di Hutan Seribu Maut. Dipasena melihat dampak yang mengerikan. Bulu serigala di titik pukulan itu tidak robek, tetapi bagian dalamnya, organ-nya, merasakan getaran yang sangat kuat, seolah ada godam yang menghantam dari dalam. Siluman Serigala Merah menjerit, jeritan kesakitan yang melengking. Darah hitam kental mulai menetes dari mulutnya. Tubuhnya terlempar jauh, menabrak pohon yang tingginya mencapai dua puluh tombak. Pohon itu, yang berakar kuat selama ratusan tahun, patah di tengah batangnya dan tumbang dengan suara gemuruh yang dahsyat. Getaran itu terasa hingga puluhan tombak jauhnya. Dipasena kini terengah-engah. Tingkat dua Pukulan Naga Bumi menguras sebagian besar Tenaga Dalamnya. Siluman ini terlalu kuat; dia tidak bisa menahan lebih lama. Serigala Merah bangkit lagi, tubuhnya kini diliputi oleh api merah yang lebih terang. Darah hitam terus mengalir, tetapi lukanya mulai menutup. Siluman itu adalah regenerasi dari kegelapan. Dia tidak akan mati kecuali intinya hancur. Serigala itu menatap Dipasena. Tatapan itu penuh janji pembalasan yang mengerikan. Siluman melompat lagi, kali ini lebih cepat dan lebih buas. Dipasena tahu, dia hanya punya satu kesempatan. Dia mengumpulkan semua sisa Tenaga Dalamnya. Semua amarah karena dikhianati Anggrawati, semua kepedihan karena diusir Jati Sakti, semua kebencian terhadap fitnah, semuanya dia salurkan ke telapak tangannya. Tenaga Dalamnya kini tidak lagi murni Prana atau Jati Sakti; itu adalah Tenaga Dalam yang dicampur dengan bara keputusasaan. Dia mengambil kuda-kuda terakhir. Otot-ototnya menegang hingga batas. Menarik napas dalam-dalam hingga perutnya menggembung. Pukulan Naga Bumi, Tingkat tiga: Penghancuran Inti. Pukulan ini adalah pukulan yang tidak hanya bertujuan fisik atau organ; itu bertujuan pada Sukma lawan. Dipasena meninju dengan segenap jiwa raganya, berhadapan langsung dengan terkaman serigala. Tepp! Ketika telapak tangan Dipasena menyentuh dahi Siluman Serigala Merah, energi pukulan itu tidak meledak ke luar, tapi menyedot masuk. Energi itu seperti bor yang memutar, menembus tengkorak tebal serigala, langsung menuju inti gelapnya. Serigala Merah membeku di udara. Matanya yang merah menyala tiba-tiba padam. Raungannya terhenti di tengah jalan, berubah menjadi suara pekikan kesakitan yang sunyi. Dalam lima kejap yang terasa seperti keabadian, tubuh serigala itu mulai bergetar hebat. Bulu-bulu merahnya rontok, dan dari dalam rongga dada serigala, muncul cahaya merah terang, seolah ada matahari kecil yang meledak. Brukk! Tubuh Siluman Serigala Merah ambruk. Dia tidak meledak, tetapi tubuh besarnya tiba-tiba menjadi abu dan debu, seolah umurnya telah dipercepat seribu tahun. Hanya dalam hitungan sepuluh kejap, serigala raksasa itu lenyap, menyisakan tumpukan debu dan aroma belerang yang samar. Dipasena jatuh terduduk, napasnya tersengal-sengal. Semua Tenaga Dalamnya terkuras habis. Dia memegangi dadanya yang terasa seperti dihimpit gunung. Dia hampir mati. Tapi dia menang. Dia telah mengalahkan legenda Hutan Seribu Maut. Dia mencoba menstabilkan napasnya dengan mengaturnya perlahan. Dipasena melihat sekeliling. Dampak pertarungan itu mengerikan. Selain pohon besar yang tumbang, tanah di sekitar bekas pertarungan itu retak-retak, seolah dihantam meteor. Rumput dan semak belukar hangus, meninggalkan lingkaran kehancuran yang mencolok di tengah hutan yang rimbun. Dipasena merangkak ke tumpukan debu yang tersisa dari Serigala Merah. Di sana, di tengah-tengah abu itu, bersinar sebuah objek. Itu adalah sebuah Batu Cahaya. Batu itu seukuran kepalan tangan bayi, permukaannya halus, tetapi di dalamnya memancarkan cahaya merah darah yang berdenyut, seolah batu itu adalah jantung Siluman Serigala Merah. Batu itu terasa hangat dan memancarkan aura kekuatan yang sangat besar, aura yang sama dengan yang dirasakan Dipasena dari Siluman itu, tetapi kini terkumpul dalam satu titik. Dipasena mengulurkan tangan. Saat kulitnya bersentuhan dengan Batu Cahaya Merah, dia merasakan gelombang energi panas yang begitu kuat. Gelombang itu mengalir deras ke urat nadinya, mengisi kekosongan Tenaga Dalamnya yang hampir habis. Rasa sakit yang ia derita seketika mereda. Dia menggenggam batu itu erat-erat. “Ini… ini adalah pusaka iblis itu,” bisik Dipasena, suaranya dipenuhi keterkejutan dan pemahaman. “Kekuatan ini… Aku akan menggunakannya untuk membuat dunia tahu siapa Dipasena sebenarnya!” Dia menyimpan Batu Cahaya Merah itu di balik bajunya, langsung menyentuh kulit pinggangnya. Batu itu berdenyut, memancarkan kehangatan, seolah kini telah menjadi bagian dari dirinya. Dipasena tersenyum. Senyum kali ini bukan senyum kekalahan, bukan senyum kepedihan, tetapi senyum pemilik takdir yang baru. Murid yang terusir ini telah masuk ke Hutan Seribu Maut untuk mati, tetapi dia keluar dengan pusaka yang tak terduga, sebuah kunci menuju kekuatan yang tak terbatas. ***“Saudaramu menyerangku lebih dulu,” jawab Dipasena, suaranya tenang. “Aku hanya membela diri.”Siluman Harimau Merah itu maju satu langkah, tubuhnya yang besar menggetarkan tanah.“Alasanmu basi seperti bangkai di padang gurun!” raung Siluman Harimau Merah. “Namaku Cakar Emas. Aku adalah penjaga yang lebih tua. Aku akan membalas kematian saudaraku, dan aku akan mengambil kembali Inti Merah yang kini ada di dalam raga kotor-mu!”Dipasena mengepalkan tangannya. Dia merasakan Tenaga Dalam baru itu berdenyut di bawah kulitnya, menuntut untuk dilepaskan.Dia telah kehilangan cintanya, warisannya, dan namanya. Dia tidak akan membiarkan dirinya kehilangan nyawanya di hari pertama kelahiran kembali ini.“Jika kau datang untuk bertarung,” kata Dipasena, tatapannya tajam dan tak terhindarkan. “Aku siap. Tunjukkan padaku hukum rimbamu!”Siluman Harimau Merah itu meraung, membuka mulutnya, memamerkan taringnya yang sebesar belati. Dia mengam
Malam di Hutan Seribu Maut terasa semakin pekat dan dingin setelah pertarungan.Dipasena bersandar pada batang pohon yang tumbang, mencoba memulihkan sedikit Tenaga Dalamnya yang terkuras habis.Batu Cahaya Merah yang ia genggam terasa hangat, memberikan sedikit ketenangan yang menipu.Dia merasakan energi baru mengalir, mengisi kekosongan, seolah dia adalah cangkir kosong yang diisi kembali dengan air kehidupan.Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.Tiba-tiba, Batu Cahaya Merah itu berdenyut dengan kecepatan tinggi, dan panas yang semula terasa menenangkan, kini berubah menjadi bara api yang membakar."Ada apa ini!?" Dipasena tersentak. Dia membuka telapak tangannya.Batu itu kini memancarkan cahaya merah darah yang sangat terang, cahayanya mampu menembus kegelapan hutan.Panasnya tak tertahankan, seolah ia menggenggam besi tempa yang baru diangkat dari api.“Panas!” desis Dipasena, mencoba melepa
Dia membutuhkan jurus yang berfokus pada kekuatan inti dan penghancuran. Dia memilih Pukulan Naga Bumi.Hanya dia, murid muda yang telah mencapai tingkat ketiga dari lima ilmu Pukulan Naga Bumi. Dipasena menyiapkan ilmu itu dengan tenaga penuh.Siluman Serigala Merah menyerang lebih dulu, melompat tinggi, cakar depannya siap merobek dada Dipasena.Dipasena menunggu, membiarkan serigala itu semakin dekat, dan pada kejap yang tepat, dia melancarkan serangan balasan.Pukulan Naga Bumi, Tingkat Satu: Goncangan Permukaan.Pukulan ini adalah serangan jarak pendek yang mengalirkan energi ke permukaan, menciptakan dampak fisik yang murni.Dipasena meninju udara kosong di bawah perut serigala yang melompat.Wutt! Syutt!Energi pukulan itu, meskipun tidak menyentuh, menciptakan tekanan udara yang begitu padat.Siluman Serigala Merah, yang biasanya kebal terhadap benturan biasa, terkejut.Tubuhnya yang sedang melayang dihantam oleh gelombang kejut tersembunyi. Raungannya terpotong.Serigala itu
Layang Samba, yang fokus pada air dan angin, tidak siap untuk serangan yang datang dari bumi. Keseimbangannya hilang.Dia melompat ke belakang untuk menghindari gempa, tetapi pada kejap ia melompat, Dipasena sudah berada di udara, mengejarnya.Dipasena melancarkan sebuah tendangan mengandung tenaga besar, tendangan yang sangat cepat dan bertujuan pada ulu hati Layang Samba.Wutt!Layang Samba, meskipun terhuyung, adalah pendekar terlatih.Dia secara naluriah mengangkat Tongkat Waru-nya untuk menahan serangan itu, mengubahnya menjadi perisai kayu.Trakk!Tendangan Dipasena menghantam tongkat. Kali ini, tidak ada pantulan angin, hanya benturan energi keras dengan keras.Suara benturan itu terdengar seperti guntur kecil yang meledak di tepi sungai.Layang Samba terlempar mundur, tubuhnya melayang sekitar tiga tombak dan menghantam rumpun bambu. Tongkat Waru-nya terlepas dari genggaman dan jatuh ke sungai.Layang Samba bangkit, memegang lengannya yang kebas dan gemetar. Wajahnya pucat pas
Lima orang itu langsung menyerang Dipasena bersamaan.Dipasena tidak menggunakan Benteng Pawana. Dia menggunakan jurus Jati Sakti yang paling dasar: sebuah jurus tendangan.Tetapi dia menyalurkan Tujuh Titik Maut tingkat lima: Titik Keras pada telapak kakinya.Dia menendang tanah. Tendangan itu tidak ditujukan kepada lawan, tetapi ke bumi di bawahnya.Ketika kaki Dipasena menghantam tanah, energi internalnya, yang dipadukan dengan Titik Keras, menciptakan getaran kuat di permukaan tanah.Getaran itu menjalar cepat.Lima murid yang berdiri di depannya merasa seolah tanah di bawah kaki mereka tiba-tiba menjadi lumpur hisap yang bergerak-gerak. Mereka kehilangan pijakan, terhuyung, dan jatuh.Dipasena melompat, kakinya tidak menyentuh satu pun tubuh murid yang jatuh. Dia melompati mereka, dan dalam dua kejap, dia telah berada di belakang mereka.Dia terus berlari. Lari kali ini memiliki tujuan: mencari kekuatan.Dia tidak lagi melihat ke belakang, ke arah obor-obor yang mengejarnya. Dia
Lalu, cahaya lampu minyak itu bergerak sedikit, dan Dipasena melihatnya. Jelas. Sejelas bayangan keris di air.Itu adalah Santaka. Saudara seperguruan yang selalu menatapnya dengan rasa iri yang lebih tajam daripada mata tombak.Santaka, yang selalu berusaha menarik perhatian Anggrawati.Dipasena mematung. Jaraknya hanya lima depa dari teras itu. Lima depa yang terasa seperti jurang tak berdasar.Anggrawati tidak hanya duduk. Dia bersandar. Anggrawati bersandar di dada Santaka. Kepala Santaka menunduk, dan ia tertawa pelan. Tawanya terdengar kasar dan menang.Lalu, Santaka mengangkat dagu Anggrawati. Dalam satu kejap, bibir mereka bertemu. Ciuman itu tidak tergesa-gesa; itu adalah ciuman yang lambat, mesra, penuh pemilikan.Dunia di sekitar Dipasena mendadak kehilangan suara. Udara seolah dicabut dari paru-parunya. Kekuatan kosmis yang baru saja ia himpun di Jati Sakti, Prana dari alam semesta, semua terasa sia-sia.Dia merasa dirinya adalah sebuah cangkang kosong, dihempas ke batu ka







