LOGIN“Saudaramu menyerangku lebih dulu,” jawab Dipasena, suaranya tenang. “Aku hanya membela diri.”
Siluman Harimau Merah itu maju satu langkah, tubuhnya yang besar menggetarkan tanah. “Alasanmu basi seperti bangkai di padang gurun!” raung Siluman Harimau Merah. “Namaku Cakar Emas. Aku adalah penjaga yang lebih tua. Aku akan membalas kematian saudaraku, dan aku akan mengambil kembali Inti Merah yang kini ada di dalam raga kotor-mu!” Dipasena mengepalkan tangannya. Dia merasakan Tenaga Dalam baru itu berdenyut di bawah kulitnya, menuntut untuk dilepaskan. Dia telah kehilangan cintanya, warisannya, dan namanya. Dia tidak akan membiarkan dirinya kehilangan nyawanya di hari pertama kelahiran kembali ini. “Jika kau datang untuk bertarung,” kata Dipasena, tatapannya tajam dan tak terhindarkan. “Aku siap. Tunjukkan padaku hukum rimbamu!” Siluman Harimau Merah itu meraung, membuka mulutnya, memamerkan taringnya yang sebesar belati. Dia mengambil kuda-kuda menyerang. Di ambang pertarungan baru, Dipasena tahu, ini adalah langkah pertama di jalan yang ia pilih. Jalan yang dipenuhi darah, kekuasaan, dan kegelapan, jauh dari Padepokan Jati Sakti yang penuh kepalsuan itu. Hutan Seribu Maut menjadi saksi bisu. Di tengah lingkaran kehancuran bekas pertarungan sebelumnya, Dipasena dan Siluman Harimau Merah, Cakar Emas, saling berhadapan. Udara di antara mereka terasa tebal, dipenuhi aura konflik antara Tenaga Dalam baru Dipasena yang berapi-api dan aura kekuasaan alamiah Harimau Merah. Cakar Emas menyerang. Gerakannya tidak tergesa-gesa, tetapi begitu cepat dan efisien. Dia melompat, tubuhnya yang besar seolah diringankan oleh kekuatan magis. Cakar depannya, yang bersinar seperti perunggu, mengayun ke arah leher Dipasena. Wutt! Ayunan itu tidak hanya kuat; itu menciptakan pusaran angin bertekanan, seolah Harimau itu mengendalikan udara di sekitarnya. Dipasena tahu, dia tidak bisa melawan kekuatan murni Siluman ini secara langsung. Tenaga Dalam barunya memang kuat, tetapi belum terlatih dan liar. Dipasena mengandalkan kecepatan. Dia menggunakan keringanan tubuh yang ia rasakan setelah menyerap Batu Cahaya Merah. Dia melompat mundur dua depa, menghindari cakar itu hanya dalam satu kejap. Sett! Srakk! Cakar Cakar Emas menghantam tanah, meninggalkan cekungan dalam, seolah tanah itu terbuat dari lumpur, bukan tanah keras. Cakar Emas tidak berhenti. Dia memutar tubuhnya, ekornya yang tebal menyabet dalam gerakan melingkar ke kaki Dipasena. Swuuk! Gerakan ekor itu secepat cambuk, tak memberi ruang bagi Dipasena untuk mengambil napas. Dipasena terpaksa melompat tinggi. Dia melayang di udara sesaat, dan ketika dia mendarat, dia sudah berada di balik Harimau itu. Si pemuda mencoba mendaratkan pukulan, tetapi Cakar Emas adalah siluman sakti. Dia seolah memiliki mata di belakang kepalanya. Cakar Emas menghentakkan kaki belakangnya, menembakkan serpihan batu dan tanah ke arah wajah Dipasena. Ini adalah trik kotor yang berhasil. Craaat! Pemuda itu terpaksa melindungi wajahnya. Dalam dua kejap itu, Cakar Emas membalikkan badan, melancarkan serangkaian serangan cakar yang cepat dan beruntun, seolah dia sedang menenun jaring kematian di sekitar Dipasena. Dipasena terkurung. Dia hanya bisa menghindar dan menangkis. Satu serangan pun yang mengenainya akan berakibat fatal. Dia bergerak dalam pola Zig-zag, memadukan kelincahan gerakannya dengan kecepatan baru. Dia merasakan api di dalam dirinya berteriak, menuntut untuk menyerang, tetapi Dipasena menahannya. “Sabar,” gumamnya pada dirinya sendiri, seolah berbicara pada Tenaga Dalam barunya. “Aja kemrungsung. Jangan terburu-buru. Biarkan dia mengeluarkan semua amarahnya.” Dipasena terus mengolah kekuatan. Dengan setiap napas yang ia tarik, dia membiarkan energi liar Batu Cahaya Merah itu mengalir dari pusat perutnya, menuju ujung-ujung jarinya. Dia harus menciptakan jurus baru di tengah pertarungan, karena jurus lamanya telah lenyap. Di setiap lintasan menghindari cakar Cakar Emas, gerakan Dipasena menjadi semakin ringan, seolah dia bukan lagi manusia yang terikat gaya tarik bumip, melainkan angin yang dibungkus api. Siluman Harimau Merah mulai kehilangan kesabaran. Raungannya semakin keras, seolah dia merobek hutan dengan suaranya. Harimau besar itu melompat lebih tinggi, mendarat dengan kekuatan penuh, menciptakan gempa kecil di setiap pendaratan. Saat siluman itu melompat untuk serangan kesekian kalinya, tubuhnya sedikit terlambat di udara. Hanya setengah kejap keterlambatan, tetapi bagi Dipasena yang kini secepat angin, itu adalah celah selebar gerbang kota. Peluang! Dipasena tidak berpikir. Dia bertindak berdasarkan naluri yang kini diasah oleh kekuatan liar. Dia memfokuskan energi Batu Cahaya Merah ke kaki kanannya. Dia melompat, bukan mundur, melainkan maju, menusuk masuk di bawah tubuh Siluman Harimau Merah yang sedang melayang. Dia melancarkan jurus baru, jurus yang tidak memiliki nama, tetapi lahir dari api dan bumi: Tendangan Bara Api. Deggh! Tendangan itu menghantam perut Cakar Emas. Energi yang dipancarkan Dipasena kali ini jauh melampaui Guntur Menyulam Bumi tingkat tertinggi. Itu adalah energi yang membakar. BUUMMM! Ledakan keras terjadi. Itu bukan hanya suara, tetapi juga cahaya. Dipasena melihat energi merah menyala keluar dari kakinya, menembus bulu emas Siluman Harimau Merah dan menghantam intinya. Cakar Emas menjerit kesakitan, jeritan yang jauh lebih menyiksa daripada Serigala Merah. Dia terlempar ke udara, meluncur sejauh tujuh depa dan menghantam tebing batu besar. Dampaknya sungguh mengerikan. Tebing batu itu retak, dan potongan-potongan batu besar jatuh ke bawah, menyebabkan longsoran kecil. Pohon-pohon di sekitar lokasi tumbangnya Si Harimau Merah tercabut dari akarnya oleh gelombang kejut, daun-daunnya mengering seketika, hangus oleh hawa panas yang terpancar. Dipasena mendarat dengan terengah-engah. Tendangan itu menguras habis Tenaga Dalam barunya, tetapi dia tahu, dia harus menyelesaikannya. Naga di dalam dirinya menuntut kepastian. Siluman Harimau Merah terkapar di dasar tebing yang longsor. Dia bergerak-gerak lemah, darah emas mengalir dari mulutnya. Dia menatap Dipasena dengan mata yang penuh kebencian bercampur rasa takut yang baru muncul. Dipasena berjalan mendekat. Langkahnya berat, tetapi penuh otoritas. Dia melihat harimau itu, yang seharusnya menjadi makhluk perkasa, kini tak berdaya. Di dada Dipasena, amarahnya bergejolak. Amarah pada Santaka, pada Anggrawati, pada Jati Sakti, semuanya tumpah ke dalam tindakan yang akan ia lakukan. Dia tidak hanya ingin menang; dia ingin menguasai. “Kau ingin Inti Merahmu kembali?” ujar Dipasena, suaranya dingin, kejam, tanpa emosi manusia. “Aku akan mengambil Inti milikmu juga. Aku akan mengambil semua yang bisa membuatku menjadi yang terkuat.” Dengan kejam, tanpa ragu, Dipasena menggunakan sisa Tenaga Dalamnya, memfokuskannya ke ujung jari, mengubahnya menjadi pisau energi merah yang tajam. Crabb! Brett! Dipasena merobek perut Cakar Emas. Cakar Emas mengeluarkan raungan terakhir yang lemah, sebelum matanya meredup. Dari dalam rongga perut Siluman Harimau Merah, bersinar sebuah objek yang lebih besar dan lebih terang dari Batu Cahaya Merah sebelumnya. "Itu dia!" ***"Itu sudah jadi batas antara Loka Utara dan Angin Selatan sejak sepuluh generasi, kenapa sekarang dipermasalahkan?" Anggrawati bertanya. "Kenapa? Karena tidak ada lagi Ki Loka di sana untuk memberi perintah, Tuan!" balas Kusumo, membanting tangannya ke atas reruntuhan batu. "Dia sudah jadi debu di kaki Dewa Maut. Sekarang, batasnya adalah sejauh mana prajuritku bisa bergerak." Anggrawati menarik napas dalam. "Jadi kalian akan terus bertikai sampai kalian semua menjadi korban kebodohan sendiri, begitu?" "kalau aku boleh bertanya, Nona," sela Nyai Saraswati, melipat tangannya, "sebenarnya peran Nona itu apa, ya, di sini? Nona bukan pemimpin padepokan. Nona juga tidak sekuat su—ah, maaf, sekuat Tuan Dipasena." Suhu terasa menurun tajam. Itu adalah tusukan tersembunyi yang telak. Mereka tidak menghormati kebijaksanaannya, mereka hanya menilai berdasarkan kekuatannya, berdasarkan warisan Dewa Maut yang destruktif.
"Pemimpin mereka… Rakṣasa," bisik Handoko, wajahnya pucat pasi. "Dia sangat karismatik. Dia meyakinkan semua orang bahwa kelemahan manusia adalah belas kasihan, dan kehancuran adalah kebenaran universal. Mereka semakin besar, Nona Anggrawati. Jika mereka berhasil menyelesaikan ritual mereka, bukan hanya padepokan kecil, tapi seluruh peradaban akan runtuh!" Anggrawati melihat wajah Handoko, mendengar kegilaan dalam ceritanya, dan ia menyadari betapa naifnya dia berpikir masalah mereka hanyalah soal pembagian tanah warisan. Kekacauan yang Dipasena tinggalkan telah menumbuhkan monster baru, monster yang kini menyembah Dewa Maut sebagai idola kehancuran murni. Dia harus bertindak. Ini jauh lebih mendesak daripada persatuan yang sia-sia. "Kau berani," kata Anggrawati, membantu Handoko berdiri. "Tolong beristirahat. Aku akan menangani ini." Anggrawati melepaskan Handoko, menatap ke arah utara. Angin dingin meniup k
Kekehannya terdengar lagi, lebih keras. “Ayolah, Dipasena. Kita berdua tahu apa yang benar-benar menyenangkan.” "Sudah kukatakan diam!" bentaknya. Ia mengayunkan tangannya dengan gusar. Pohon yang baru saja ia hidupkan langsung meledak menjadi debu ungu dan serpihan kayu, tersapu angin gunung. Keheningan kembali menyelimuti. “Nah! Begitu seharusnya! Menghancurkan itu jauh lebih mudah, bukan? Lebih… memuaskan.” Suara itu terdengar puas. “Tidak perlu berpikir, tidak perlu niat. Hanya perlu sedikit rasa benci. Dan kau, bukankah kau memilikinya dalam jumlah yang sangat banyak?” Jantung Dipasena berdebar kencang, sebuah sensasi aneh yang sudah lama tak ia rasakan. "Siapa kau?" tanyanya, suaranya bergetar menahan amarah. "Sisa kesadaranmu seharusnya sudah lenyap saat aku menyerap kekuatanmu." “Sisa kesadaran?” Suara Ki Rembong terdengar geli. “Bodoh. Kau pikir kekuatan itu hanya gumpal
“Aku kini adalah tujuan itu sendiri. Aku telah melampaui batasan yang dipegang oleh lima sesepuh bodoh itu. Aku memiliki semua yang mereka miliki, dan yang mereka takuti.” lanjut Dewa Maut. Ia akhirnya berbalik, menatap Anggrawati. Matanya, meski tidak lagi memancarkan amarah, justru lebih menakutkan karena kekosongan di dalamnya. “Aku memberimu pilihan, Anggrawati,” kata Dewa Maut. “Aku membiarkanmu hidup dua kali. Mengapa kau terus mengejarku?” Anggrawati mencengkeram erat pedang Mangunjaya. “Aku tidak mengejar Dipasena. Aku mengejar kebenaran. Kau mungkin telah menguasai Lima Elemen, tetapi kau tidak menguasai hatimu sendiri. Kau hanya wadah bagi kekuatan yang tak memiliki jiwa.” Dewa Maut tertawa kecil, tawa yang kering dan tanpa humor. “Jiwa adalah kelemahan. Emosi adalah rantai. Aku bebas. Bebas dari dendam, bebas dari cinta, bebas dari moralitas. Kekuatan ini membebaskanku. Sekarang, Anggrawati. Aku be
Prana Lima Elemen (Kayu, Api, Bumi, Logam, Air) berputar dalam siklus yang seimbang, harmonis, seperti roda yang sempurna. Tetapi di pusat putaran itu, kini ada dua titik baru yang berlawanan: Kekosongan Murni (yang ia dapatkan dari pemahaman Mangunjaya) dan Kekosongan Gelap (yang ia curi dari Rembong). Kekuatan itu tidak hanya berlipat ganda; ia menjadi absolut. Dewa Maut merasakan setiap atom Prana di dunia persilatan. Ia merasakan sungai, gunung, kilatan petir, dan bahkan kegelapan di bawah bumi. Ia kini adalah penguasa bukan hanya dari Lima Elemen, tetapi dari dualitas yang mengikat keberadaan. Ia adalah Penguasa Kekosongan. Murid-murid Kala Durga, yang melihat guru mereka lenyap, langsung diliputi rasa panik. Mereka membuang senjata mereka dan mencoba melarikan diri, tetapi mereka tidak bisa. Dewa Maut, tanpa menoleh, mengangkat tangan kirinya ke atas. WUUUSH. Ia mengaktifka
Ki Rembong melihat Dewa Maut tiba-tiba tampak berhenti bergerak, auranya meredup sejenak, hampir seperti lilin yang padam. “Aku sedang menyesuaikan diri dengan takdir,” jawab Dewa Maut, suaranya serak. Anggrawati menyaksikan dari kubah Angin-Air. Ia melihat gurunya baru saja lenyap, dan kini Dewa Maut tampak seperti patung di tengah badai Kekosongan Gelap. Ketika Pukulan Lima Elemen Terpadunya hampir sepenuhnya diserap oleh Kekosongan Gelap Rembong, Dewa Maut melepaskan kontrol total atas Prana-nya. FZZZT! Tiba-tiba, Pukulan yang melambat itu menghilang. Bukan terserap, tetapi lenyap dari keberadaan. Rembong terperangah. “Ilusi?” “Bukan,” kata Dewa Maut, kini membuka matanya. Matanya tidak memancarkan warna Lima Elemen, tetapi cahaya abu-abu keperakan yang datar, seperti cermin yang tidak memantulkan apa pun. “Ini adalah Kekosongan Murni. Kau hanya memiliki lubang







