LOGINDewa Maut membiarkan Tapak Kala Geni berdenyut di telapak kakinya.
Ia tahu ia tidak bisa melawan suara dengan suara. Ia harus menyerang titik lemah mereka: koneksi fisik mereka ke tanah.Mereka menggunakan pusaran di kaki mereka sebagai amplifier untuk serangan suara. Jika ia bisa memutus koneksi itu, serangan ilusi mereka akan runtuh.Dewa Maut meluncurkan Tapak Kala Geni. Bukan pukulan yang meledak-ledak seperti biasanya, melainkan getaran diam.Prana Bumi yang diserapnya dari Ki Dewangga, kini diintegrasikan dengan Tapak Kala Geni, memungkinkannya menciptakan gelombang kejut.Yang bergerak melalui material padat —batu, tanah, dan karang —tanpa menghasilkan suara yang signifikan di udara.Dinding karang di bawah kakinya bergetar. Getaran itu bergerak ke atas, melewati gerbang, dan menuju ke tempat Marta dan Murni berdiri.Gelombang kejut itu tidak merusak batu di permukaan, tetapi menyerang inti kristal di bawahnya, tePrana Logam murninya kini terjalin dengan Prana Bumi di sekitarnya, menciptakan perisai reflektif yang nyaris tak terlihat.Beberapa saat kemudian, ia merasakan lonjakan Prana yang mendekat dari timur laut.Kecepatan Dewa Maut luar biasa, menggunakan Lima Pintu untuk melipat jarak, tetapi ada sedikit ketidakstabilan dalam putaran Angin/Airnya.Kelelahan emosional Anggrawati telah meninggalkan jejak.“Dia datang,” Argasura berbisik. “Dia bergegas menuju Rembong, yakin bahwa aku tidak penting.”Argasura berdiri tegak, membiarkan Logam Cerminnya menutupi seluruh tubuhnya, membuatnya tampak seperti patung yang terbuat dari kristal gelap.Ia adalah cermin yang menunggu gambaran untuk dipantulkan.Tiba-tiba, udara di tengah ngarai bergetar hebat.Sebuah distorsi ruang muncul, bukan portal yang bersih dan tajam seperti biasanya, melainkan sedikit bergetar, bukti bahwa Dewa Maut sedang bergerak dengan kecepatan yang ter
“Jika kau memilih jalan ini, aku akan menjadi bayangan yang mengawasimu, Dewa Maut. Aku akan memantau setiap langkahmu, dan jika kau melanggar batas kemanusiaan terakhir, aku akan berada di sana.” lanjut Anggrawati mDewa Maut tidak melihat ke belakang. Ia hanya mengangkat tangannya dan membuka salah satu Lima Pintu, sebuah portal kecil yang memancarkan Prana Kegelapan dan Angin.“Aku tidak peduli,” katanya, nadanya datar. “Dewa Maut tidak memiliki batas. Dan jika kau menghalangi jalanku lagi, aku akan memadamkan Cahaya Murni di dalam dirimu, sama seperti aku memadamkan lonceng itu.”Ia melangkah menuju portal itu.Anggrawati bangkit, air matanya kering. Ia kini telah kehilangan segalanya: gurunya, kekasihnya, dan harapannya.Yang tersisa hanyalah resolusi moral yang dingin. Ia melihat portal itu menutup, dan Dewa Maut menghilang.Tiba-tiba, ia mendengar suara gemerisik dari pohon-pohon di atasnya. Seseorang telah mengawasinya.
“Dipasena,” kata Anggrawati, suaranya parau. Ia tidak berteriak, tidak memohon, hanya menyebut nama itu dengan nada yang sangat pribadi.Dewa Maut tidak menjawab. Ia hanya menatap Anggrawati dengan mata yang kosong, warna hitam di pupilnya kini memudar menjadi abu-abu gelap.Ia adalah perwujudan dari kekuatan absolut dan nihilisme.“Kau datang,” lanjut Anggrawati, mengambil langkah hati-hati. “Aku tahu kau akan datang. Meskipun kau adalah Dewa Maut, ada resonansi yang tidak bisa kau abaikan.”Prana Dewa Maut bergetar. Ia bisa dengan mudah menghancurkan Anggrawati dalam sekejap, tetapi sesuatu menahannya.Bukan belas kasihan, melainkan rasa ingin tahu yang dingin.Mengapa perempuan ini mempertaruhkan nyawanya, menunda perjalanannya menuju Rembong, hanya untuk berbicara?“Kau memanggilku,” suara Dewa Maut akhirnya memecah keheningan, terdengar serak, hampir tidak manusiawi. “Kau mengganggu rencanaku. Jelaskan tujuanmu, Ang
Dewa Maut tidak bisa menggunakan Airnya untuk meredakan karena Airnya telah dibekukan oleh racun yang menargetkan frekuensi Air.“Kau tidak bisa bergerak, kan?” tanya Raka, Prana-nya membesar. “Racun ini akan bekerja perlahan, merobek Prana-mu hingga kau hanya menjadi cangkang kosong. Setelah itu, Tuan Rembong akan datang dan mengambil sisanya.”Dewa Maut memejamkan mata. Ilusi Anggrawati yang menjerit itu berputar semakin cepat. Racun itu mulai menyentuh inti spiritualnya, menimbulkan rasa sakit yang tajam dan dingin.'Keseimbangan.' Itu adalah kuncinya.Ia telah fokus pada Lima Elemen yang berputar, tetapi ia lupa bahwa di tengah fusi itu, ada Prana yang ia serap dari Jumantaka dan Argasura yang lebih murni dan belum terkorupsi.Ia harus mengabaikan Prana yang terinfeksi dan menarik energi yang paling stabil.“Aku tidak akan menjadi wadah siapa pun,” kata Dewa Maut, suaranya rendah dan dingin, meskipun ia merasa terbakar.
“Apa yang harus kami lakukan jika kami berhasil mengganggunya?” tanya Raka.“Jangan coba membunuhnya. Kalian tidak akan bisa. Kalian hanya perlu membuat dia ragu. Buat dia menyadari bahwa ada kekuatan di dunia ini yang tidak tunduk pada Lima Elemennya. Kekuatan yang lebih tua. Aku ingin dia datang ke sini, ke Kala Durga, dengan kelelahan dan ketakutan.”Rembong berdiri. Ruangan itu terasa seperti bergetar, meskipun tidak ada gempa.Prana Kegelapan murni miliknya mulai memancarkan aroma busuk yang sama yang dirasakan Dewa Maut di kejauhan.“Aku melihatnya sebagai takdirku,” Rembong melanjutkan, nadanya kini dipenuhi keserakahan yang purba. “Dia adalah wadah yang sempurna, sebuah wadah yang telah mengumpulkan semua yang terbaik di dunia persilatan. Ketika aku menyerapnya, aku tidak hanya akan mendapatkan Lima Elemen; aku akan mendapatkan kesempurnaan dan kunci menuju Elemen Keenam.”“Elemen Keenam?” Raka mengulangi, terkejut.“Ya.
Saat Anggrawati menyentuh Lonceng Sunyi, ia menyalurkan semua emosinya: keputusasaan, penyesalan, dan cinta yang telah lama mati.Ia membiarkan Prana itu mengalir, tidak sebagai serangan, melainkan sebagai panggilan telepati yang samar."Datanglah kepadaku, Dipasena. Bukan untuk bertarung, tetapi untuk mendengar kebenasan terakhir."Lonceng Sunyi itu bergetar hebat. Resonansi yang dihasilkan tidak berisik, tetapi terasa seperti lonceng yang berdentang di dalam jiwa.Gelombang kejut spiritual itu melesat ke utara, ke timur, ke selatan, mencari sosok yang kini menguasai Lima Elemen.“Aku sudah mengirimnya,” gumam Anggrawati. Ia merasakan kelelahan yang luar biasa, tetapi ada resolusi baru di matanya. “Sekarang, aku harus pergi ke Kuil Kuno.”Ia berbalik untuk meninggalkan tenda, tetapi saat itu, ia mendengar suara langkah kaki di luar.“Siapa di sana?” Suara itu milik komandan Logam yang dingin. “Aku merasakan fluktuasi Pr







