Sikap Bobby yang mengabaikan HP itu berdering terlalu lama, memancing perhatian dari Dani yang kebetulan datang berkunjung ke rumahnya.“Dilihat dari reaksimu, aku tahu itu dari Yusuf. Kenapa kamu tidak mau mengangkatnya?” tanya Dani.“Aku tahu maksud dia tiba-tiba menelepon. Tapi aku tak tahu harus berkata apa nanti jika ditanya soal ini,” balas Bobby.Kenyataannya, tak lama setelah mengantarkan Yusuf pulang ke kampung, dua kali Bobby menjadi korban tindak kekerasan.Pertama kali tepat setelah dia mengantarkan Yusuf pulang ke kampungnya. Tak jelas siapa yang menghadangnya di tengah jalan. Namun mobil kijang milik bapaknya itu rusak parah oleh tindakan vandalisme dari sekelompok orang tak dikenal. Yang jelas, mereka meninggalkan ancaman untuk tidak lagi mendekati rumah Bu Harmoko.Kedua kalinya, beberapa hari yang lalu, setelah Pak Harmoko mencoba menghubungi dan menanyakan kabar, serta memintanya kembali bekerja. Malamnya Bobby kembali dicegat oleh beberapa orang tak dikenal dengan w
Sungguh beruntung orang-orang yang beriman. Di saat mereka susah, mereka akan bersabar dan itu baik baginya. Di saat mereka senang, mereka akan bersyukur dan itu juga baik baginya Namun sebaliknya, ada sebagian orang menampilkan sisi buruknya di saat terjepit di bawah. Ada juga sebagian lagi yang justru memperlihatkan sisi buruknya di saat sedang berada di atas. Dan yang terburuk dari itu semua, adalah dia yang selalu memperlihatkan sisi buruknya, entah itu di saat susah atau pun senang. Di hari kelima sejak peringatan yang ditinggalkan Yusuf, pada akhirnya Rendy berhasil mengumpulkan dana sebanyak Rp. 270 juta tersebut. Entah dari mana saja dia berhasil mengumpulkan sebanyak itu. Yang jelas, hari jum’at itu dia memutuskan untuk pulang lebih cepat agar bisa bersegera menebus tanah milik Yusuf. “Mila! Apa kau masih tetap akan berdiam diri di rumah ibumu itu!” bentaknya berteriak dari pintu rumahnya. Mila diam saja di kamarnya. Sementara itu, Mak Leni sibuk di ladang sembari mengawas
Jidat Rendy langsung berkerut, merasa kalau saat ini Yusuf sedang mencoba mempermainkannya. Meski saat ini Yusuf memasang wajah bingungnya, dia yakin betul Yusuf berpura-pura bertampang tak berdosa, pada hal sengaja mencari gara-gara dengannya. “Tak usah berbelit kau?! Kenapa tak berterus terang saja, apa yang kau inginkan dariku. Kalau kau masih tak puas dengan kejadian minggu kemarin...” “Tunggu dulu, Ren!” Bram segera memotong agar Rendy tidak asal merusak urusan mereka dengan pihak Yusuf. Namun Rendy masih saja mencoba membentak Yusuf. “Bukan kah kau sendiri yang menawarkan padaku, bahwa kau meminta 270 juta untuk tanah itu?” Yusuf mengangkat satu alisnya, dengan raut wajah kebingungan. Jelas-jelas dia tak pernah menawarkan untuk menjual tanah itu pada dirinya. “Kapan aku berkata meminta 270 juta untuk tanah itu? Aku tidak pernah menawarkan menjual tanah itu padamu. Aku katakan, sediakan 270 juta dalam lima hari jika tidak ingin aku gusur.” Rendy pun menjadi naik pitam merasa
Namun Bram yakin masih ada ruang bagi mereka untuk bisa merampungkan deal penebusan tanah itu. Bagaimanapun juga, mereka sudah terlanjur berutang yang tentunya akan terbebani oleh bunganya.“Dengar! Kita belum sepenuhnya selesai di sini. Meski dia hanya menawarkan sebagian tanah tempat kau mendirikan rumah, kau tetap tak boleh melepas tanah itu. Kau akan rugi besar. Tak hanya tanah itu, tapi juga uang 270 juta ini yang harus dikembalikan dengan bunganya,” jelasnya berbisik.“Lalu apa yang bisa aku lakukan sekarang? Toh dia tak juga mau menjualnya padaku,” balas Rendy lirih menahan suaranya.“Memang sedari awal tawaran menebus tanah itu ditujukan pada orang yang terikat dengan Perjanjian Pegang-Gadai itu. Kau hanya perlu meminta mertuamu untuk menebus tanah ini dengan uang yang sudah kita kumpulkan. Dengan begitu kau tak akan kehilangan rumahmu. Setelah itu, kau hanya perlu mencicil utang ke bank. Itu masih lebih baik dari pada kau kehilangan semuanya,” jelas Bram.Sadar bahwa itu satu
Sebagai orang yang berpendidikan, Bram tahu sikap Budi itu sesuatu yang benar. Tapi tetap saja dia menjadi kesal, kenapa juga tiba-tiba ada orang bersikap sok bijak seperti itu di saat dia sedang kepepet.“Kalau gitu, kenapa kau tak ikut saja sekalian?” balas Bram ketus nampak tak senang.Namun Budi masih nampak tak percaya. Pikirnya itu terlalu beresiko. Bisa saja mereka berdua nanti diapa-apakan di atas mobil.“Kalau mau ke rumah Yusuf, biar aku antar saja, Mak!” tawarnya, menatap penuh curiga ke arah Bram, dan kemudian bersegera kembali ke rumahnya.Tak menunggu lama, Budi kembali dengan matic-nya. Mak Leni menjauh dari mobil tersebut dan menghampiri anak laki-laki dari Bu Widi itu.“Terima kasih, Bud!” bisik Mak Leni lirih saat menghampirinya.Pergi lah keduanya menuju ke rumah Yusuf, dengan Bram terus mengikut dari belakang. Ketika mereka sampai di rumah Yusuf, Bram memaksa Budi untuk menjauh dan menunggu saja di motornya.“Ini urusan serius yang sifatnya tertutup. Kau tunggu saj
Memang kata orang sesal kemudian tiada gunanya. Kadang itu juga alasan kenapa sebagian orang tak kunjung mau menyesali kesalahan yang sudah terjadi. Karena sudah tak ada gunanya untuk disesali. Rendy terdiam di sana, melihat Bram langsung pergi mengabaikannya. Namun begitu, dari kebengisan dan kegeraman yang tergambar di wajahnya, tak sedikit pun terlihat dirinya diliputi penyesalan. Pada akhirnya, Rendy memilih untuk kembali ke rumahnya. Tentu saja sekarang rumah itu tak bisa dikatakan lagi sebagai miliknya. Tanah bukan dia yang punya. Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pun tak pernah diurus. Sementara itu, Mila dan kedua anaknya memilih berdiam diri di rumah Bu Widi. Dia merasa takut sejak ditinggal Mak Leni, khawatir kalau-kalau Rendy kembali lebih dulu saat ibunya itu belum pulang. Hingga tiba-tiba... “Bu, itu Papa sudah...” Mila kaget dan langsung menutup mulut Ridwan, anaknya yang paling kecil itu, dan bergegas masuk ke rumah Bu Widi.
Selemah-lemah kucing yang terjepit, dia pasti akan melawan jika terus dipojokkan. Minimal dia akan mengeong balik meski tidak sekuat auman singa.Begitu juga dengan orang-orang desa itu. Mungkin sebagian dari mereka hanya bisa memelas di saat negosiasi harga. Mungkin juga sebagian petani tomat itu hanya bisa menunjukkan protes mereka dengan menelantarkan tomat di pinggiran jalan raya.Namun sebagian dari mereka tentu tak akan tinggal diam. Terutama mereka-mereka yang berjiwa muda, yang tak begitu berpikir panjang, dan sering didorong oleh bawaan emosi sesaat.“Men, Men! Tutup kacanya, Men!”“Kenapa emang?”“Sudah, cepat tutup kaca jendelanya! Lihat tuh!”Menyadari adanya segerombolan remaja tanggung di sebuah pinggir ladang yang posisinya agak tinggi dari jalan raya, laki-laki bernama Harmen itu segera menaikkan kaca jendela truk.Para remaja tanggung itu beramai-ramai meneriaki dan melempar tomat-tomat busuk dari ladang ke arah truk yang lewat.“Mampus saja lo sana, dasar touke setan
Sore itu setelah waktu ashar, Yusuf terlihat duduk di teras, dengan punggung lurus nampak serius, seperti tak sabar menantikan sesuatu. Baru juga Rayna keluar hendak bertanya, Yusuf langsung bangkit setelah menyadari kedatangan satu truk.Truk yang sangat familiar bagi mereka, membuat Rayna penasaran sehingga tak jadi menegur suaminya itu. Tak jelas juga apa yang diharapkan Rayna, tapi tak satu pun yang turun dari truk tersebut.“Aku pergi dulu ya,” ucap Yusuf sembari mengusap kepala Rayna sebelum menuju motor maticnya.“Mau ke mana, Yang?” tanya Rayna.“Mau ke tempat Mak Leni. Aku bantu beliau untuk menjual kentangnya, karena sudah dipanen juga dua hari yang lalu,” jelas Yusuf.Rayna pun langsung nampak risih. Bukan dia khawatir suaminya itu bakalan kembali dapat masalah. Hanya saja, dia selalu terpikirkan soal sosok Mila setiap kali suaminya itu berurusan dengan Mak Leni.“Aku boleh ikut?” tanya Rayna.“Kamu di sini saja. Sudah terlalu sore. Aku khawatir ini bakalan lama. Ada kemung