Share

Bab 7. Berita Pertunangan

Langkah kaki Freza berjalan cepat memasuki bandara. Seorang wanita paruh baya, dengan lipstik merah merona melengkapi penampilannya yang cantik dan elegan. Wanita yang berdiri di bagian dalam pintu masuk itu tersenyum dan menyambut kedatangannya.

“Selamat datang, Tuan Muda. Mari ikuti saya.” Wanita bernama Merlyn tersebut merupakan asisten pribadi Freza.

Tubuh mereka menjauh dari keramaian bandara untuk penerbangan regular. Menuju area bandara yang lebih sepi, kemudian masuk ke sebuah lounge yang hampir tidak ada orang di sana.

Lounge itu dilengkapi dengan fasilitas mewah, untuk memanjakan para penumpang pesawat jet pribadi. Merlyn terus berjalan melewati sofa tunggu, meja yang menghidangkan makanan dari berbagai negara, lalu sedikit berbelok menuju sebuah pintu yang agak tersembunyi.

Sidik jarinya ditekankan pada sebuah sensor di pintu untuk membuatnya terbuka. Ruangan itu lebih kecil dari lounge yang barusan mereka lewati, tetapi semua fasilitas yang ada tidak kalah mewah dan lengkap.

“Tuan bisa beristirahat sejenak di sini. Di dalam lemari sudah ada pakaian ganti yang bisa digunakan.”

“Baik,” jawab Freza.

“Saya akan menunggu di luar. 20 menit lagi kita akan berangkat. Jika ada yang dibutuhkan, bisa panggil saya dengan menekan tombol di atas meja itu.” Jarinya menunjuk sebuah tombol merah kecil di atas meja.

“Iya, Mam, saya tahu.” Freza terlihat tidak sabar, karena dia merasa sudah sangat tahu apa yang harus dilakukan. Beberapa kali dia mendengar penjelasan ini, bahkan sebelum sampai di sini.

“Nih buang, sekalian kamu keluar.” Tiket yang sedari tadi digenggamnya, kini diserahkan ke Merlyn.

Tiket yang digunakan untuk mengelabui istrinya, Rere. Karena dia belum bisa mengatakan di mana tempatnya bekerja yang sebenarnya.

Mata Merlyn memindai isi kertas yang baru saja diterimanya itu, dan bingung kenapa tuannya menyerahkan sebuat tiket pesawat ke sebuah tujuan lain. Dan untuk dibuang pula.

“Heh, bengong. Sudah, sana keluar!” Freza menggerakkan tangannya agar Merlyn segera pergi.

“Baik, Tuan. Selamat beristirahat.” Pintu ditutup dari luar menyisakan Freza sendiri di dalam ruangan.

Tanpa membuang waktu, segera diraihnya sepasang kemeja dan celana panjang, dilengkapi jas berwarna biru tua. Tidak perlu waktu lama bagi Freza untuk berganti pakaian. Tidak lupa, rambutnya diikat agar lebih rapi.

Di cermin, tampilannya sudah terlihat rapi. Cermin besar di dalam kamar mandi itu mengingatkannya pada kejadian di hotel. Kejadian manis yang akhirnya harus tertunda karena panggilan telepon. Sebuah senyum terulas di bibirnya.

“Sabar, Freza, sabar. Minggu depan kita temui si manis lagi, melanjutkan yang tertunda,” gumamnya sambil terkekeh senang.

Selesai beristirahat dan menyantap steak wagyunya, Freza kembali bersiap karena sudah hampir waktunya berangkat. Merlyn baru saja masuk ke dalam ruangan dan memberi tahu bahwa pesawat mereka telah siap.

Selama penerbangan yang memakan waktu satu jam itu, Merlyn tidak membuang kesempatan untuk memberi pengarahan tentang yang perlu dilakukan Freza hari ini. Ada beberapa orang dekat yang akan ayahnya kenalkan, orang-orang yang akan berhubungan dengannya kelak.

Sebenarnya, Freza begitu malas mengikuti acara seperti ini. Namun, dia tidak punya pilihan sebagai pewaris tunggal ayahnya. Selalu saja dia berandai-andai jika memiliki saudara, maka beban ini pastilah bisa terbagi, dan dia memilih menjalani hidup layaknya orang kebanyakan. Tidak diatur ini dan itu.

Pesawat mendarat di sebuah landasan pacu di pinggir laut, di sebuah pulau kecil di antara Pulau Jawa dan Pulau Kalimantan. Sebuah pulau kecil yang dimiliki oleh keluarga besar Freza.

Di pulau tersebut berdiri beberapa bangunan kokoh yang terdiri dari rumah utama, lapangan golf, lapangan tenis, landasan pacu untuk pesawat terbang, tempat pemberhentian helikopter, dermaga untuk kapal fery, serta fasilitas keamanan yang super canggih.

Saat pintu pesawat terbuka, dan tangga diturunkan, Freza segera beranjak ke luar dan turun menuju sebuah mobil Roll-Royce yang sudah menunggunya.

“Selamat datang, Tuan Muda,” sapa seorang pelayan yang membukakan pintu untuknya.

“Ya, terima kasih,” balas Freza sembari melangkah masuk ke dalam mobil.

Hanya memerlukan waktu lima menit untuk tiba di gerbang besar yang merupakan pintu masuk ke dalam area rumahnya. Gerbang itu memiliki ukiran-ukiran indah, yang dirancang khusus oleh seniman Italia.

Setelah melewati hamparan taman indah di kanan dan kiri, mobil berhenti di depan lobby rumah yang terlihat luas, dengan tiang-tiang besar telihat menopang bangunan utama.

Saat langkahnya keluar dari mobil, seorang gadis muda sudah berhambur ke dadanya dan merekatkan pelukan yang begitu erat. Freza begitu bingung dengan apa yang terjadi, hingga dia melepaskan paksa dan mendorong tubuh mungil itu dengan kasar.

“Apaan, sih? Main sruduk saja. Dasar badak!” gerutu Freza langsung.

“Ya ampun Fre, kamu, kok, kasar banget, sih? Tangan Sesil jadi sakit, nih.” Wanita manja itu berkata sambil mengelus lengannya yang sakit dan memajukan bibirnya.

“Ya, makanya, Sesil yang cantik jangan asal sruduk, dong. Aku mau masuk dulu.” Tidak berlama-lama meladeni gadis itu, Freza segera masuk melalui pintu kayu besar di hadapannya. Sesil berlari kecil mengekor di belakang.

Sesuai arahan Merlyn, lelaki itu menuju pintu samping yang langsung mengarah ke taman di bagian samping rumah. Di sana sudah ramai dengan beberapa pria dan wanita mengenakan pakaian resmi nan indah.

“Selamat datang, Tuan Freza. Para hadirin, beri tepuk tangan yang meriah untuk menyambut kedatangan lelaki tampan pewaris tahta keluarga Margada.” Suara seseorang dari pengeras suara langsung disambut riuh tepuk tangan para tamu, yang seketika berdiri menghadap ke Freza.

Seorang lelaki bertubuh tegap, berkulit cokelat, menghampiri Freza yang masih berdiri mematung di ambang pintu.

“Welcome home, my boy,” ucap Rumma, ayah Freza, sambil memeluk erat anak lelaki satu-satunya itu.

“Apa ini, Yah?” tanya Freza dengan suara lirih, tepat di telinga ayahnya.

Tidak menjawab, sang ayah melepaskan pelukannya dan kembali menghadap para tamu.

“Hi, Om,” sapa Sesil tiba-tiba.

Sesil tidak canggung dengan keluarga Freza, karena kedua orang tua mereka sudah dekat sejak dahulu.

“Oh, hi, dear! Ternyata kamu di situ. Sini, di sebelah Om.”

Tanpa malu-malu, Sesil segera berdiri di sebelah Rumma.

“Keluarga serta teman-temanku sekalian. Hari ini adalah hari yang istimewa.” Rumma memulai sambutannya.

“Yang pertama, anakku akhirnya lulus kuliah, dan akan segera bergabung di perusahaan. Dan yang kedua, Freza akan bertunangan dengan Sesil dalam waktu dekat.”

Kalimat itu disambut ucapan selamat dan perasaan ikut bahagia dari para tamu dan keluarga. Berbeda dengan Freza, berita barusan membuat mukanya pucat seketika.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status