Home / Romansa / PEMBANTU NAIK KELAS / Bab 6. Hari Pertama Bekerja

Share

Bab 6. Hari Pertama Bekerja

Author: artfinger
last update Last Updated: 2022-05-23 08:28:10

Rere membuka surat tersebut dan membacanya. Isi surat tersebut tidaklah banyak, tetapi cukup mampu membuat air matanya tidak mau berhenti.

[Rere sayang,

Ini adalah hadiah untuk pernikahanmu. Maaf, Ibu tidak memiliki harta untuk bisa diberikan.

Satu yang pasti, Ibu akan selalu mendoakan untuk kesuksesanmu, dan agar pernikahanmu dengan Nak Freza dilimpahi kebahagiaan.

Ibu tidak khawatir menyerahkanmu kepada Nak Freza, karena dia begitu baik, terhadapmu dan juga Ibu.

Ibu berharap, kamu mau menggunakan hadiah dari Ibu ini. Untuk menjaga dirimu, saat mungkin Ibu sudah tidak bisa mendampingimu lagi suatu saat nanti.

Ibu sayang Rere selalu.]

Dia letakkan surat itu kembali ke dalam kotak, dan mengambil selembar hijab berwarna pelangi dari dalamnya. Warna hijab itu begitu indah. Pelangi yang akan selalu menghiasi hidup Rere, meskipun ibunya sudah tidak lagi di sisinya. Rere memeluk hijab itu sambil berucap terima kasih yang begitu dalam. Meskipun ibunya tidak di sini, dia yakin bahwa sang ibu mampu mendengarnya dari atas sana.

Menyadari dirinya sudah cukup lama di dalam kamar, dia akhirnya keluar untuk menemui kerabatnya yang lain. Serta tidak ingin membuat mereka khawatir, termasuk suaminya. Saat tubuhnya sudah berada di luar kamar, semua pasang mata di ruangan memandang dirinya.

Freza mendekatinya dan memeluk tubuh kecil istrinya itu untuk memberi sedikit dukungan. Sebuah ucapan meluncur dari mulutnya, “Kamu cantik, Re. Aku suka kamu seperti ini.”

Rere mengenakan sebuah gamis panjang milik ibunya, dipadankan dengan hijab pelangi hadiah dari sang ibu. Wanita itu terlihat begitu anggun dan cantik.

Rere tidak lagi menangis. Setelah melepaskan diri dari pelukan, dia menghampiri keluarganya yang lain. Tidak ada acara khusus di rumah itu. Para tamu yang datang pun sudah tidak banyak. Banyak yang sudah pulang saat tadi dia di kamar.

Hari berlalu cepat. Tidak terasa sudah tiga hari sejak kepergian ibunya. Rere sudah akan memulai pekerjaannya sebagai pembantu besok. Begitu pula Freza, dia harus berangkat ke tempat kerjanya keesokan hari, setelah meminta izin karena ada orang tua yang meninggal. Beberapa kerabat Rere pun sudah berpamitan untuk kembali ke daerah mereka masing-masing.

Rumah serta bangunan kos-kosan akan dititipkan kepada salah satu tetangga dekat yang selama ini membantu Ibu mengurusi rumah. Banyak kenangan di rumah kecil itu yang kini harus ditinggalkan Rere. Kenangan yang kini hanya akan disimpan di memori ingatannya. Manusia berubah, waktu berubah, tetapi satu yang tidak berubah, yaitu masa lalu dan kenangan-kenangan yang membersamainya.

***

Rere dan Freza berpisah di rumah Rere. Keduanya memesan jasa ojek online untuk mengantara ke tempat tujuan. Freza berangkat menuju bandara, sedangkan Rere menuju rumah majikannya.

Dengan duduk di belakang pengendara ojek, Rere mengitari sebuah perumahan mewah untuk mencari alamat majikannya yang pertama. Dia akan bekerja sebagai pembantu hingga dua bulan ke depan. Setidaknya itu yang dikatakan agensi tempatnya bernaung. Karena dia masih baru, jadi dia hanya akan menjadi pembantu pengganti hingga pembantu yang senior bisa didatangkan.

“Mbak, saya menepi sebentar, ya? Mau lihat aplikasi lagi.” Pengemudi ojek menepikan motornya ke dekat trotoar perumahan.

“Iya, Pak,” jawab Rere.

Setelah beberapa saat, pengendara ojek mengembalikan ponselnya ke dalam saku jaketnya.

“Sudah ketemu tempatnya, Pak?” tanya Rere kemudian.

“Sudah, Mbak. Sudah nggak jauh dari sini.” Sang pengemudi melajukan kembali motornya.

Hanya melewati beberapa rumah besar, akhirnya mereka sampai di alamat sesuai aplikasi. Rere turun dan membayar. Dia berbalik menatap sebuah rumah megah yang berdiri kokoh di hadapannya. Rumah itu bergaya tropis, minimalis, dengan warna yang dominan putih, abu-abu dan hitam. Tidak terlalu sulit sebenarnya mencari rumah ini, jika sudah pernah ke sini sebelumnya. Bangunan itu berdiri di pinggir jalan besar, tidak perlu masuk ke cluster-cluster yang lebih kecil.

Hanya perlu sekali menekan bel, sebuah suara dari sebuah kotak pengeras suara kecil menanyakan identitasnya.

“Saya Rere, pembantu pengganti sementara di sini. Pihak agensi yang mengirim saya, Bu.”

Tidak lama dari penjelasan Rere, pagar tinggi hitam terbuka dengan sendirinya, tanpa ada siapa pun yang keluar menunjukkan batang hidungnya. Dengan mantap, tetapi juga nervous, langkahnya melewati pintu gerbang dan terus menuju sebuah tangga yang langsung menuju bagian teras rumah.

Belum sempat dia mengetuk pintunya, seorang wanita berusia sekitar 38 tahun membuka pintu untuk menyambutnya. Tidak ada senyum hangat. Pakaiannya begitu rapi seperti akan berangkat bekerja.

“Mbak Rere, ya? Silakan masuk. Saya akan tunjukan kamarnya.” Wanita itu segera mendahului memasuki bagian dalam rumah, disusul oleh Rere di belakangnya.

Sampai di depan sebuah pintu, wanita itu membukanya dan berbicara lagi kepada Rere, “Ini kamarnya, Mbak. Nama saya Gina. Saya sudah harus berangkat kerja sekarang. Nanti tolong urus keperluan Fika untuk berangkat sekolah, nanti ada jemputan sekolahnya jam tujuh seperempat.”

“Baik, Bu. Maaf sebelumnya, pekerjaan saya apa saja, ya, Bu?”

Mendengar pertanyaan Rere, alis mata Gina terangkat ke atas seakan tidak percaya dengan yang didengarnya.

“Kamu ini belum dikasih tahu apa-apa sama agensimu? Namanya asisten rumah tangga ya bere-beres rumah. Apa lagi? Cuma perhatikan kalau pakai peralatan, semuanya otomatis. Hati-hati.”

“Baik, Bu.” Rere tidak berani lagi berbicara, takut semakin salah. Dia akan coba mempelajari isi rumahnya. Harusnya kalau cuma bersih-bersih, sih, dia bisa. Apalagi, rumah ini hanya satu lantai.

“Saya berangkat dulu, sudah telat. Macet jalanan kalau kesiangan, dan saya ada morning meeting. Oh iya, pekerjaan Mbak hanya bagian dalam rumah, nggak usah ngurusin taman, garasi. Pokoknya dalam rumah saja. Sekalian bantuin Fika.”

“Baik, Bu,” jawab Rere lagi. Sang majikan sudah berlalu untuk segera berangkat kerja.

Saat memasuki kamar yang tidak begitu besar itu, Rere begitu takjub. Kamar yang dia dapat tidak seperti gambaran kamar pembantu yang selama ini dilihatnya di televisi, kecil dan agak kotor. Kamar di rumah majikannya begitu wangi, bersih, dan rapi. Segera dia menaruh tasnya dan berjalan ke luar, mencari majikan kecilnya.

“Mbak Fika?” panggil Rere, “Mbak Fika, di mana?” Setelah melewati beberapa ruangan, akhirnya Rere mampu menemukan majikan kecilnya yang sedang asyik bermain gadget di kursi ruang keluarga.

“Non, ayo pakai seragam. Sepuluh menit lagi jemputannya datang,” ujar Rere.

“Nggak, ah. Aku mau main game saja.”

“Lho, lho, lho. If you want to be beatiful, you have to be clever. Kalau mau cantik, ya, harus pintar,” kata Rere iseng.

Ternyata keisengannya membuahkan hasil. Perhatian Fika kini beralih kepada sang pembantu baru.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 82.

    - Beberapa bulan kemudian -Beberapa karyawan sedang sibuk di sebuah ruangan kamar hotel untuk menyiapkan materi. Di sisi dekat jendela, Freza mengecek beberapa hal di laptopnya, di atas meja kerja.“Pastikan semua data dan bahan-bahan materi itu tidak ada yang terlewat. Kita tidak boleh gagal.” Mata Freza mengintimidasi semua yang ada di ruangan, bukan hanya dengan kata-katanya.“Ini satu-satunya kesempatanku untuk bisa menyelamatkan perusahaan,” ucapnya lirih sambil menggenggam jemarinya di atas meja. Jika dia gagal, maka perusahaan mungkin sulit diselamatkan.Tidak terasa waktu sudah sangat larut, hingga akhirnya semua persiapan selesai. Seorang karyawan menyerahkan sebuah flashdisk kepada Freza untuk presentasi keesokan harinya.Sebelum menutup harinya, Freza mengirimkan file presentasi kepada pamannya serta Gina.Ini satu-satunya jalan baginya untuk mendapatkan proyek di pertemuan penting ini.***“Masih khawatir tentang besok?” Rere datang menghampiri Freza yang sedang termangu

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 81. Kita Bisa Jadi Saudara

    “Kenapa kamu menangis?” Freza berjongkok di depan Rere sambil menghapus air mata yang membuat pipinya basah.Rere tidak segera menjawab pertanyaan Freza. Dia bingung dengan jawaban yang harus dia utarakan. Jika dia mengatakan yang sebenanrnya, maka nenek Freza pasti akan semakin kesal dengannya. Apalagi, dia tidak ingin memulai pertengkaran juga antara Freza dan Rowena.“Istrimu ini tiba-tiba datang dan berlutut di depan Eyang sambil terus meminta maaf. Eyang sudah menyuruhnya bangun sejak tadi, tapi dia tidak mau.” Dengan gugup Rowena yang menjawab, karena melihat tidak ada tanggapan dari Rere.“Apa betul begitu, Re?” Freza kembali menghadap Rere yang sudah semakin tenang, dan tidak lagi menangis.“I-iya, Mas.” Rere mangangguk sambil sempat melirik ke arah Rowena. Pada saat itu, Rowena menjulurkan lidahnya ke arah Rere lalu membuang muka. Sayangnya Freza tidak tahu, karena Freza membelakangi neneknya.Kelakuan Rowena yang seperti anak kecil itu malah memancing senyum di wajah Rere. D

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 80. Konsekuensi

    Sebuah tangan menyentuh pundak Kevin dengan lembut, dari arah belakang punggungnya.“Kamu kelihatannya sedang sangat stress? Pagi-pagi begini sudah mabuk.” Mata wanita itu melirik ke arah botol minuman keras yang sudah setengah kosong di atas meja.“Aku rasanya inging membunuhnya!” Kevin mengepalkan tinjunya dan menghantamkannya ke atas meja. Wajahnya di angkat untuk melihat wanita yang kini duduk di sebelahnya.“Ssst! Jangan bilang seperti itu. Tidak pantas seseorang seperti kamu melakukan hal kotor seperti itu.” Dengan tenang, wanita itu menyibak rambut Kevin yang berantakan hingga wajah.“Kenapa? Kamu tidak ingin bosmu mati ditanganku? Iya?”“Aw!” Wanita itu merintih kesakitan saat pergelangan tangannya dicengkeram dengan sangat erat oleh pria di hadapannya itu.Akan tetapi, Merlyn tidak berusaha melepaskan diri. Dia tetap duduk di tempatnya sambil sesekali mengernyit kesakitan.“Aku rela mati di tanganmu. Hanya satu yang aku tidak inginkan, yaitu kepercayaanmu yang sepertinya goya

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 79. Pernikahan yang Terungkap

    Setelah solat subuh, Rere tidak lagi bisa tidur. Berbeda dengan suaminya yang langsung mendengkur saat menyentuh bantal.Di sudut ruangan, di atas sofa, wajahnya memandang keluar jendela. Memandangi langit yang semakin lama semakin cerah, dan rembulan pun kian menghilang.Satu jarinya memutar-mutar cincin berlian di jari manisnya. Sudah lama cincin itu hanya disimpan di dalam kotak perhiasan. Dan sekarang, dia akan terus memamerkannya ke seluruh dunia.Statusnya berubah. Lebih tepatnya statusnya kini bisa diungkapkan. Bagi orang lain mungkin statusnya baru saja berubah sejak semalam, walaupun dia sudah menikah sejak lama.Pikirannya kembali melayang ke percakapannya dengan Freza semalam.Keduanya duduk di tepi tempat tidur, dengan lengan Freza masih memegangi pundak Rere. Memastikan sang istri menatapnya saat berbicara.“Mas, maaf ya sudah membuatmu marah dan kesal. Aku menyadari banyak hal dalam beberapa hari terakhir ini.” Rere menurunkan tangan Freza dari pundaknya dan meletakkanny

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 78. Tatapan Freza

    “Aku tahu, Yah. Tapi karena itulah aku tidak mau bilang dari awal. Aku takut, kalian akan tetap membuatku menikah dengan wanita dari latar belakang yang sama, sesuai dengan keinginan kalian. Mungkin bukan hanya Sesil, bisa calon lainnya juga. Tapi aku tidak mau, Yah. Aku tidak mau wanita yang terbiasa dengan hidup mewahnya, sehingga kurang peka dengan lingkungan atau perasaan orang di sekitarnya.”“Bisa-bisanya kamu berkata seperti itu. Memangnya kamu sudah kenal Sesil luar dalam?” Rumma masih terus mendebat Freza.“Bukan begitu. Tetapi aku bisa tahu karakternya karena kami sudah berteman sejak kecil.”“Sudah-sudah. Kita tidak ingin semalaman berdebat bukan? Hari ini sudah cukup berat. Kita harus segera sudahi agar semuanya bisa istirahat.” Silvia segera memotong adu argumen ayah dan anak itu.“Fre, biarkan ibu dan ayah memikirkan kembali apa yang terjadi malam ini. Kamu tidak perlu menyalahkan dirimu untuk kejadian hari ini. Kita akan bicarakan lagi besok, saat pikiran kita sudah leb

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 77. Masa Kecil Freza

    Ruangan kamar hotel terasa lebih panas dari biasanya. Beberapa orang memendam emosi dalam dirinya, hingga membuat dada sesak.Air mata Silvia tak tertahankan, terus saja menetes. Beberapa kali Rumma menenangkan, atau mengganti tissue yang istrinya pegang.Rumma sudah jauh berbeda sekarang. Ada rasa lembut dan kasih saat memperlakukan istrinya, tidak sekaku dulu saat masih muda. Waktu membutnya semakin bijaksana.“Apa kamu senang, Fre? Kalau saja tadi tidak ada acara sebesar itu, ibumu pasti sudah menangis sepanjang waktu. Bahkan dia harus membawa kipas untuk menutupi mukanya tadi, kalau-kalau air matanya tiba-tiba muncul tak tertahankan.”“Maafkan aku, Yah. Maafkan aku, Bu. Aku tidak pernah berniat membuat kalian menangis. Tidak pernah.” Terdengar suara Freza agak bergetar saat mengatakannya.Dia dan Rere langsung menuju kamar orang tuanya saat acara sudah selesai. Sudah setengah jam mereka di sana, dan sejak itu pula Silvia langsung terisak tak tertahankan.“Dan bagaimana bisa bahkan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status