“Ceritakan semuanya kepadaku, Angger, apa sebenarnya yang telah terjadi terhadap orang tua dari bocah itu?” tanya Baginda Nara kepada Raden Anom saat duduk sembari menyaksikan Galih yang sedang berlatih di halaman padepokan.
“Nasibnya mirip-mirip nasib ananda, Bopo Gedhe. Dia kehilangan ayahnya oleh sebuah keserakah nafsu. Hanya bedanya, Bopo dibantai oleh para begal, sementara bopo dan ayundanya Galih ikut terbunuh oleh pemberontak yang menyerbu Kerajaan Medang Kamulan. Ia terbunuh bersama Raja Dharmawansah Teguh sekeluarga serta segenap undang pernikahan agung itu. Para pembesar kerajaan juga ikut terbunuh. Putri sang raja juga terbunuh, tetapi Pangeran Airlangga, sang menantu, ananda dengar ia berhasil meloloskan diri.”
“Ya Tuhan..., sebuah kerajaan
“Anak kami...telah gugur pada peristiwa maha pralaya dua tahun yang lalu, Angger Anom. Dia seorang anggota bhayangkara Kerajaan Medang Kamulan.” Agak kaget dan terdiam Raden Anom mendengar cerita dari Ki Prana itu.“Saya ikut berbela sungkawa, Ki Prana. Mendiang adalah pahlawan bagi negerinya.” “Terima kasih, Angger Anom,”ucap Ki Prana dengan wajah tertunduk. “Sebenarnya, Angger Anom ini berasal dari negeri manakah gerangan? Maaf, sa-saya lihat, dari penampilan Angger Anom ini bukanlah pemuda biasa.” Raden Anom tertawa pendek, dan hendak mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi. Seorang laki-laki dengan suara lantang terdengar di luar rumah.
Perasaan Raden Anom seperti teriris mendengar cerita Ki Prana itu. “Sebelum peristiwa maha pralaya itu, desa ini merupakan salah satu desa yang makmur di Kerajaan Medang Kamulan. Tetapi setelah peristiwa itu semuanya berubah. Kekacauan dan perampokan terjadi di mana-mana. Sebenarnya, oleh Ki Lurah terdahulu, Lurah Sabrang Ageng, masih mampu mengatasi keadaan itu dengan kebijakannya yang luar biasa bagus. Keamanan desa tetap terjaga dengan memberdayakan segenap laki-laki di desa ini untuk tetap menjadi penjaga desa ini. Tetapi setahun lebih yang lalu, beliau mati secara mendadak dengan tubuh membiru. Kemungkinan mendiang diracun. Menurut desas desus, itu dilakukan oleh Juragan Ki Srandak. Sejak dahulu Ki Sradak sangat berkeinginan untuk menjadi lurah. Tetapi setiap pemilihan lurah, dia selalu kalah oleh Ki Lurah Sabrang Ageng.”&
Raden Anom berjalan mendekati Ki Prana dan anak-istrinya. “Ki Prana, Ibu, Dik Laksmi pilih-pilihlah dulu apa yang mau dibeli. Mungkin pakaian, jarik, dan lain-lain. Silakan. Nanti saya yang bayar semuanya. Saya mau menemui Juragan Srandak dulu.” “Baiklah, Angger Anom,” sahut Ki Prana. Juragan Srandak tinggal di sebuah rumah yang paling mewah di desa itu. Rumah itu berada di sebelah barat gudang yang bersebelahan dengan kedai jualnya. Melihat kehadiran sang pemuda asing, laki-laki yang bertubuh besar dan gemuk itu menatap curiga. Sebelum ia bertanya, Ki Jalak Ireng sudah memberitahukannya: &ldquo
Di luar ia sudah dijemput oleh Ki Jalak Ireng. “Bagaimana, Kawan Anom, bisa...?” “Jalak Ireng,”Juragan Srandak datang dari arah belakang, “ tolong suruh beberapa anak buahmu untuk memberitahukan kepada seluruh warga desa untuk mengambil beras bagian mereka. Tiap kepala keluarga bagikan satu karung satu karung.” “Oh, baik, Juragan...!” Juragan Srandak beralih kepada Raden Anom dan bertanya, “Apakah ada barang lain yang Angger Anom butuhkan buat warga desa?” “Oh, untuk sementara baru beras dulu, Juragan. Biar mereka sendiri nanti yang akan datang membeli barang-barang kebutuhan mereka di t
Melalui Ki Jalak Ireng pula Raden Anom memberitahukan kepada setiap rakyat yang datang di gudang berasnya Juragan Srandak agar besok mereka datang ke rumahnya Ki Prana, ia akan membagi-bagikan harta kepada mereka. “Ki Jalak Ireng juga harus datang ke rumah Ki Prana besok untuk mengamankan jalannya pembagian harta itu. Ajak serta beberapa anak buahnya. Bagian Ki Jalak beserta anak buahnya pasti ada,”ucap Raden Anom. “Oh, tentu Kawan Anom. Kami pasti akan datang...!” Ki Jalak Ireng tak mampu menyembunyikan rasa senangnya. Menjelang sore hari, Raden Anom berserta Ki Prana sekeluarga balik ke rumah setelah berpamitan kepada Juragan Srandak. “Jika Angger belum melanjutkan perjalanan, berkesemp
“Tidak, Bu. Tak ada yang disebut banyak buat orang sebaik Ki Prana sekeluarga. Simpanlah, Bu. Itu semua isinya ada tiga ratus keping.” “Duh, Gusti...,” desah Ki Prana. “Ini banyak sekali, Ngger.” “Tak mengapa, Ki, Bu, Dik Laksmi, simpanlah...!” “Te-terima kasih, Mas Anom. Mas Anom sudah sangat baik kepada keluarga saya.” Raden Anom langsung mengangkat wajahnya dan menatap kepada Laksmi. Baru kali itu ia mendengar suara gadis itu. Suaranya terdengar lembut dan halus. “Iya sama-sama, Laksmi. Semasih saya bisa berbagi, saya pasti melakukan
Raden Anom manggut-manggut dengan wajah menunduk. Ia hendak mengatakan sesuatu, tetapi ketukan di pintu membuat seisi rumah serentak menoleh ke arah pintu. “Ki Prana..., apakah kalian belum tidur?” Itu yang bersuara adalah Ki Jalak Ireng. Ki Prana dan Raden Anom saling berpandangan. Istri Ki Prana dan Laksmi langsung menggeser duduk mereka ke belakang Ki Prana. “Kami datang hanya ingin mengantarkan sesuatu buat Kawan Anom dan Ki Prana sekeluarga.” Terdengar lagi suara Ki Jalak Ireng. Tak ada suara garang seperti biasanya. “Bukankan saja pintunya,” pinta
Dagu Raden Anom terangkat. Ia merasa itu sebuah kabar yang menarik perhatiannya. Tetapi ia bertanya,“Kenapa Juragan Srandak ingin mencari pengawal pribadi lagi, kan sudah ada sampean bertiga dan lain-lain?” “Kami kan hanya menjaga harta dan kepentingan beliau di desa ini saja, Kawan Anom. Yang hendak beliau cari adalah pengawal beliau jika sewaktu-waktu beliau pergi ke suatu tempat, tentu harus dikawal oleh pengawal pribadi yang ilmunya setingkat dengan kesaktian beliau sendiri, atau di atas itu.” “Jika beliau seorang yang sakti mandraguna mengapa mesti menggunakan pengawal pribadi lagi, Ki Jalak?” “Ya mungkin itu juga sebagai bentuk gaya hidup saja, Kawan Anom. Tetapi saya kira, Lurah Srandak ingin menaikkan