Share

PENDEKAR KEMBARA SEMESTA
PENDEKAR KEMBARA SEMESTA
Author: Suwito Sarjono

Bunga Puspajingga di Tebing Gunung Sumbing

Suro Joyo harus bisa mendapatkan Bunga Puspajingga. Kalau sampai tidak bisa memetik bunga itu, maka seumur hidupnya bakal merasa gagal berbakti kepada ibundanya. Juga merasa gagal berbakti kepada ayahanda. Sang ayahanda yang memerintahkan Suro Joyo untuk memetiknya.

“Aku akan memetik bunga itu walau harus menempuh resiko apa pun!” tekat membaja di dada sang pemuda sambil memandang puncak Gunung Sumbing. Gunung yang kokoh berdiri menantang para pendekar untuk menaklukkannya.

Sudah beredar kabar di kalangan pendekar bahwa Bunga Puspajingga yang ada di tebing Gunung Sumbing telah mekar. Bunga itu menjadi incaran para pendekar dari delapan penjuru mata angin karena memiliki banyak khasiat yang sangat hebat.

“Setelah kupetik, Bunga Puspajingga akan kubawa pulang ke Istana Kerajaan Krendobumi untuk menyembuhkan Ibunda Niken Sari,” gumam Suro Joyo.

Pendekar tampan berpakaian serba putih itu berdiri di kaki gunung yang segera didaki. Sebelum mendaki, dirinya teringat tentang kedua kaki ibundanya yang lumpuh sejak Suro Joyo masih bayi sampai sekarang.

Kelumpuhan kaki Niken Sari akibat pukulan maut dari ajian seorang pendekar pilih tanding dari golongan hitam bernama Jati Kawangwamg. Saat Suro Joyo masih bayi, Krendobumi diserang Jati Kawangwang yang memiliki kesaktian luar biasa. Penyerang yang sangat hebat dan kebal segala macam senjata itu punya julukan Dewa Naga Baja.

Raja Agung Paramarta, ayahanda Suro Joyo kalah dalam pertarungan melawan Dewa Naga Baja. Agung Paramarta diselamatkan Maeso Item. Sedangkan Niken Sari yang mengalami kelumpuhan pada kedua kakinya diselamatkan Trinil Manis.

“Untung saja kedua orang tuaku diselamatkan para pendekar sakti itu,” kenang Suro Joyo pada Maeso Item dan Trinil Manis. Sepasang pendekar yang tidak akur, tapi sama-sama mewariskan segala macam ilmu yang mereka miliki kepada Suro Joyo. Sepasang pendekar yang sebenarnya tidak layak disebut ‘sepasang’ karena mereka tinggal di pesanggrahan yang berbeda.

Maeso Item, suka berpakaian compang-camping, suka bersikap nyleneh alias aneh, tinggal di Goa Setan, memiliki julukan Pengemis Gila Goa Setan. Trinil Manis suka bersyair, berpikiran agak miring, memiliki julukan Penyair Edan Pantai Selatan, tinggal di sebuah pesanggrahan yang berada di Pantai Selatan.

Atas didikan kedua gurunya yang aneh, tapi berilmu dahsyat, Suro Joyo berhasil merebut kembali tahta Krendobumi dari tangan Jati Kawangwang. Tahta kembali ke tangan Agung Paramarta. Sekilas terbayang di benak Suro Joyo saat dirinya bertarung hidup-mati melawan si Dewa Naga Baja.

Saat itu lawan Suro Joyo tidak mempan segala macam jenis senjata sakti. Jati Kawangwang juga kebal segala macam ajian. Untung saja Suro Joyo mengetahui titik lemah musuh bebuyutan Kerajaan Krendobumi. Trinil Manis yang memberitahu Suro Joyo tentang kelemahan ajian lawan. Kelemahan si Dewa Naga Baja terletak di kepala bagian belakang. Ada bagian seluas lobang mata uang yang bisa ditembus dengan senjata atau pun ajian.

Saat Jati Kawangwang sedikit lengah, Suro Joyo menggunakan ajian andalannya, ajian Rajah Cakra Geni. Ajian dari Maeso Item. Dari telapak tangan kanan memancar sinar berbentuk cakra. Pukulan dari telapak itu adl pukulan Cakra Geni. Benda apa saja yang kena hantaman, bakal lebur.

Hantaman dari ajian Suro Joyo menyambar bagia belakang kepala Jati Kawangwang. Tubuh Jati Kawangwang tumbang. Tergeletak di tanah. Suro Joyo ingin mendekat uti memastikan lawannya masih hidup ataukah sudah binasa.

Namun di luar dugaan Suro Joyo, ada sosok pendekar wanita berpakaian serba ungu bergerak sangat cepat. Pendekar wanita itu menyambar tubuh Jati Kawangwang. Tubuh Dewa Naga Baja lenyap dalam kelebatan kilat si pendekar misterius.

“Kalau saja waktu itu aku tidak kelelahan, pasti kukejar,” gumam Suro Joyo. “Aku masih penasaran. Jati Kawangwang sudah mati atau hanya terluka.”

Suro Joyo sampai sekarang masih memikirkan tentang bagaimana keadaan Jati Kawangwang. Kalau dia Jati Kawangwang masih hidup, tentu masih merasa gusar. Jati Kawangwang tentu akan kembali ke Krendobumi untuk menguasai kerajaan itu kembali. Dia telah merasakan enaknya menjadi raja dengan cara merebut paksa tahta dari yang berhak. Rasa nikmat itu tentu ingin dirasakannya lagi.

“Seandainya Jati Kawangwang masih hidup dan ingin merebut kembali Krendobumi, aku sudah siap menghadapinya,” kata Suro Joyo lirih, yang hanya bisa didengar diri sendiri. “Aku tidak akan membiarkan Krendobumi lepas dari tangan Ayahanda.”

Sejenak Suro Joyo melupakan tentang Jati Kawangwang. Dia kembali memikirkan cara tercepat untuk memetik Bunga Puspajingga. Kedua kaki ibundanya yang lumpuh harus disembuhkan secepatnya. Suro Joyo merasa sangat kasihan kepada sang ibu. Niken Sari tidak bisa menggunakan kedua kakinya untuk berjalan selama belasan tahun. Ingin secepatnya Suro Joyo melihat ibunya bisa berjalan dan melakukan apa saja dengan kedua kakinya.

Masalahnya aku tidak tahu jalan paling dekat menuju puncak gunung. Suro Joyo berkata dalam hati. Ini ada jalan bercabang. Satu menuju ke arah tenggara. Satunya menuju arah timur laut. Di antara dua jalan ini, mana yang paling cepat menuju puncak Gunung Sumbing?

Di puncak kebingungannya untuk memilih satu dari dua jalan yang mesti dilalui, ada seorang pendekar berjalan dari arah barat berhenti di pertigaan. Tidak jauh dari tempat Suro Joyo berdiri. Pendekar yang juga muda usia itu bernama Garjitalung. Dia sosok pendekar muda berwajah tampan, tidak kalah rupawan dibandingkan Suro Joyo.

Garjitalung mengenakan pakaian warna coklat muda yang cerah. Kecerahan warna pakaian itu menambah penampilannya semakin menawan. Di pinggangnya terselip tombak pendek yang terbungkus sarung kulit binatang warna hitam. Di dunia persilatan, Garjitalung termasuk pendekar hebat yang diperhitungkan oleh sesama pendekar.

Ketika melihat Suro Joyo, Garjitalung terlihat kaget. Dia tidak menyangka ada orang yang telah lebih dulu sampai di pertigaan ini. Dahi Garjitalung berkerut, merasa asing dengan sosok pendekar muda berpakaian serba putih. Dia cermati sosok pemuda yang berdiri di depannya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Keduanya bertatapan sejenak. Suro Joyo ingin bertanya, tapi Garjitalung mendahului.

”Hei, apa kamu tahu jalan terdekat menuju Gunung Sumbing?” tanya Garjitalung. Nada suaranya kasar. Sikapnya kurang menyenangkan bagi orang lain yang belum mengenalnya.

”Hei, kamu ini mau Tanya, apa mau ngejek?” Suro Joyo balik bertanya. Rasa kesal terdengar dari nada suara.

”Monyet! Beraninya kamu balik bertanya! Apa kamu belum tahu siapa aku?”

”Lho, memangnya kamu ini siapa? Kamu merasa lebih hebat ya?”

”Brengsek! Jangan bersikap sembarangan! Bisa-bisa nyawamu melayang dengan sia-sia!”

”Kamu juga jangan bersikap sembarangan pada orang yang belum kamu kenal. Bisa-bisa kamu kehilangan muka!”

Gemeretak gigi Garjitalung. Sikap dan kata-kata Suro Joyo membuatnya naik pitam. Dia yang selama ini dihargai sesama pendekar, kini serasa diremehkan oleh orang yang menurutnya bukan orang yang terkenal di belantara persilatan.

”Bangsat! Diam atau kurobek mulutmu!” gertak Garjitalung untuk menekan mental lawan bicara.

”Lho..., apa hakmu kok pakai nyuruh-nyuruh diam!” Suro Joyo menjawab dengan enteng. Sikapnya tenang, tidak terbawa arus kemarahan lawan bicara yang sikapnya menjengkelkan.

”Agaknya mulutmu perlu dibungkam secara paksa, hiaaat!”

Garjitalung langsung melancarkan pukulan-pukulan mautnya untuk menghantam wajah Suro Joyo. Pukulan-pukulannya gencar dan cepat untuk membungkam orang yang menyinggung perasannya.

***

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Suwito Sarjono
terima kasih atas atensinya
goodnovel comment avatar
Purwo Agung
alur ceritanya masih bisa di tebak, penuturan katanya yang kaku... over all okelah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status