Saraswati menatap Rangga dengan tatapan cemas, namun sejurus kemudian dia teringat sesuatu. Saraswati berdiri di belakang Rangga lalu menempelkan tangannya ke punggung Rangga. Nyai Bima dan suaminya terkejut melihat tindakan Saraswati. "Hei tunggu apa yang kamu lakukan?!"seru Nyai Bima. Nyai Bima berjalan mendekati Saraswati namun suaminya mencegahnya "Jangan...tunggu, gadis itu tidak bermaksud buruk, dia hanya ingin menolongnya." "Tapi Kangmas, kita tidak tahu apa dia melakukannya dengan cara yang benar atau tidak,"tukas Nyai Bima. Bima memperhatikan Rangga, terlihat wajah Rangga yamg semula merah seperti kepiting rebus, kini berangsur normal. "Dia sudah melakukannya dengan baik dan benar. Lihat wajah Rangga, dia sudah mulai berangsur normal,"ujar Bima. Nyai Bima memperhatikan dengan seksama, Rangga sekarang memang terlihat jauh lebih baik. Perempuan itu lega melihat kondisi Bima sudah mulai pulih. Tapi kemudian dia teringat sesuatu. Cepat sekali Rangga pulih, ilmu apa
"Gusti Putri Alit adalah putri bungsu Bhre Pajang Sureswari. Dia menghabiskan masa kecilnya di goa Selarong di kediaman keluarga bapaknya,"ungkap Rama. Tertegun Hasta mendengar penjelasan Rama, sejurus kemudian raut wajahnya tampak menyesal. "Sial, urusanku dengan Hasta jadi tambah panjang ditambah lagi aku harus berurusan dengan dia. Bhre Pajang sudah mengusirku, besok aku sudah harus pulang ke Trowulan,"ujar Hasta dengan geram. Rama menenangkan Hasta yang kecewa karena diusir dari Pajang "Kangmas Hasta tidak usah kuatir, masalah Hasta biar aku yang mengurusnya. Bhre Pajang boleh saja minta Rangga dibawa dalam keadaan hidup. Tapi aku tidak terima, Rangga dan teman-temannya sudah membunuh saudara-saudara seperguruanku. Mereka harus menerima balasannya!" Seorang abdi tiba-tiba masuk ke ruangan Hasta dengan tergesa-gesa "Ndoro Hasta, Ki Tunggul ingin bertemu dengan anda. Katanya ada berita penting yang harus segera disampaikan." "Suruh dia masuk!"perintah Hasta. Abdi itu
Pedagang kue itu menjambak rambut Siwi dengan kasar hingga sanggulnya berantakan. "Kamu mau bayar tidak? Kalau tidak kami akan membawamu ke Dhayksa!" "Maaf saya lapar tapi saya tidak punya uang? Saya...saya tidak bisa bayar,"ucap Siwi lirih. Mata Siwi memandang ke sekelilingnya namun tak seorangpun yang membelanya. Salah seorang penonton berseru memprovokasi orang-orang disekitarnya. "Dia bohong, mana ada maling mau ngaku!" "Kita bawa dia ke Dhayksa!"penjual kue bersiap menyeret Siwi pergi. "Tunggu!" Seorang laki-laki dengan pakaian yang indah dengan banyak perhiasan mendatangi Siwi. Laki-laki itu wajahnya tampan dan kulitnya bersih. Dia memakai selendang sutera berwarna hijau serasi dengan kipas dari bulu merak hijau di tangannya. Di belakangnya seorang abdi laki-laki berbadan gempal dan pendek mengikuti di belakangnya. Laki-laki itu meraih dagu Siwi dan meneliti wajahnya. Sejurus kemudian dia tersenyum, kecantikan Siwi masih memancar walaupun penampilannya kumal da
Tangisan bayi memecah ketenangan di Kasogatan Dharmasuci siang itu. Para bhiksuni di asrama bersuka cita menyambut kehadiran bayi laki-laki anak Siwi. Siwi tersenyum bahagia melihat anaknya terlahir selamat. Santini mendekatkan bayi yang sudah dibersihkan kepada Siwi. "Anaknya laki-laki, kamu sudah punya nama untuk dia?"tanya Santini Siwi menatap wajah anaknya lekat-lekat. Anak itu mirip dengan Hasta bapaknya. Kemudian dia berkata "Anak ini akan kunamai Shankara yang artinya pembawa keberuntungan. Semoga kelak hidupnya akan selalu beruntung." Senandung doa dari para bhiksuni menggema di seluruh relung Kasogatan Dharmasuci. Bersyukur atas kelahiran Shankara serta mendoakan Siwi dan Shankara. ***** Sementara itu Hasta sedang berada di kediaman keluarga Ra Kembar yang saat itu sedang dalam suasana duka. Sebuah acara selamatan sedang diselenggarakan oleh keluarga Ra Kembar. Saat itu rumah keluarga Ra Kembar dipenuhi oleh sanak saudara, teman dan rekan kerja Ra Kembar. Hast
Gajah Mada tercekat, berita itu membuatnya sedih sekaligus marah. Seseorang telah membunuh Rangga. "Hasta...siapa dia?"tanya Gajah Mada. "Saya mencari informasi ke salah satu murid Mpu Waringin yang selamat. Ketika dia menyebut nama Hasta, saya langsung menyelidiki soal Hasta. Dia adalah salah satu Senopati di pasukan Araraman dan Ra Kembar adalah pamannya,"jawab Tudjo. Gajah Mada terkejut, tak menyangka Hasta ternyata adalah seorang prajurit Majapahit keponakan Ra Kembar. Gajah Mada yang murka langsung berujar "Kurang ajar, prajurit rendahan saja beraninya dia mengganggu Rangga." "Sabar dulu Gusti Patih, kita harus memastikan dulu apakah Rangga memang sudah mati dibunuh Hasta atau dia sebenarnya masih hidup. Jangan sampai anda balas dendam ke orang yang salah,"Wasis mengingatkan. "Tadi sewaktu acara selamatan di rumah Ra Kembar, saya menguping pembicaraan Hasta dan dua anak buah kepercayaannya Tunggul dan Gembong. Menurut informasi murid Mpu Waringin, Tunggul dan Gembong d
Baru berendam beberapa menit, air di sekitarnya sudah tak lagi dingin. Rangga berpindah tempat yang airnya masih dingin. Tapi itupun tak banyak membantu. Saraswati terbangun dari tidurnya karena rasa haus di tenggorokannya. Dia membuka pintu kamarnya, lalu berjalan menuju ke dapur. Saat itu dia mendapati kamar Rangga sudah terbuka. Dia mengintip ke kamar dan dilihatnya tempat tidur Rangga yang sudah kosong. Perasaan Saraswati mulai tak enak. Dia segera menuju pintu depan, ternyata pintu depan juga sudah terbuka. Saraswati mengambil lampu minyak yang tergantung di dinding, lalu dia keluar rumah mencari Rangga. Matanya menjelajahi setiap sudut halaman dan jalan setapak di depan rumah, tapi bayangan Rangga tak juga tampak. Saraswati memutuskan untuk mengitari lingkungan di sekitar rumah mencari Rangga, namun bayangan Rangga tak juga di temukan. Dia berjalan ke halaman belakang menuju kebun sayur. Saraswati melihat beberapa tanaman sayur roboh terinjak-injak. Mungkin Rangga l
Tubuh Rangga semakin panas, dia masih tidak dapat mengendalikan energi Sang Hyang Agni di dalam. Suara teriakan Saraswati sudah tidak terdengar lagi tapi justru hal itu membuatnya cemas. Dalam keadaan tersiksa marena panas, Rangga mencari sosok Saraswati. Matanya tertuju pada dua sosok di tepi sungai. Lampu minyak yang diletakan Saraswati di atas batu, menerangi dua sosok di tepi sungai.Tampak Jiwo sedang melucuti pakaian Saraswati yang hanya diam terpaku tak bisa melawan. Mendidih darah Ramgga melihat Saraswati dilecehkan seperti itu. Tanpa mempedulikan rasa sakitnya, Rangga keluar dari sungai lalu menghampiri Jiwo dengan langkah terhuyung."Lepaskan dia, atau aku akan membunuhmu!"Jiwo menoleh menatap Rangga dengan gusar"Ooh kamu menantangku? Dalam keadaan lemah begini kamu menantangku apa kamu mau cari mati?!"Jiwo melangkah menghampiri Rangga lalu memukulnya. Rangga menangkis pukulan Jiwo namun tangkisannya begitu lemah sehingga ada saatnya Rangga roboh terkena pukulan Jiwo. Di
Namun Jiwo tak peduli, dia melangkah ke kamar Rangga, saat itu dia melihat Saraswati yang sedang menunggui Rangga minum madu. Hati Jiwo langsung terbakar melihat keakraban mereka berdua. "Rangga, lihat apa yang sudah kamu lakukan terhadapku! Sekarang aku harus membuntungi tanganmu sebagai balasannya! Saraswati, sebaiknya jauhi penjahat itu!" Saraswati langsung pasang badan di depan Rangga melindunginya. "Mau apa kamu Jiwo? Pergilah jangan ganggu dia! Aku akan selalu berada di sampingnya,"Saraswati mengusir Jiwo. Namun Jiwo yang sudah terbakar api cemburu tetap menghampiri Rangga dan menyerangnya. Spontan Saraswati mendorong Jiwo sehingga pemuda itu mundur beberapa langkah. Saraswati kemudian menyerang Jiwo yang mencoba mendekati Rangga. Kini Saraswati dan Jiwo terlibat dalam satu perkelahian di dalam kamar yang sempit. Rangga merasakan tubuhnya sudah membaik maka diapun bangun dari tidurnya. Dia tak ingin Saraswati yang bertarung untuknya dan membuat rumah Ki Bima berantak
"Sebagai pengganti matamu yang telah kami ambil, aku akan menggantinya dengan penglihatan mata ketiga,"ujar Saloka."Maksudmu aku diberi mata baru? Lalu mata siapa yang akan kalian gunakan sebagai pengganti?"tanya Jiwo keheranan.Saloka hanya tersenyum mendengar pertanyaan Jiwo."Kamu akan memiliki penglihatan mata batin tanpa batas. Kamu bisa melihat apa yang seharusnya tak terlihat."Jiwo tertawa sinis"Kalau cuma kaya gitu sih, dukun-dukun bahkan anak kecil bisa melihat makhluk halus. Apa istimewanya mata ketigaku?"Wajah Saloka berubah, dia tampak tidak suka disepelekan ilmunya."Kamu betul-betul orang yang tidak tahu terimakasih. Pandangan mata ketiga yang kuberikan kepadamu bukanlah mata ketiga biasa seperti yang dimiliki dukun-dukun kelas teri itu. Banyak orang yang menginginkan ilmu itu. Mereka rela bertapa bertahun-tahun untuk mendapatkan penglihatan Mata Ketiga itu tapi tak satupun dari mereka yang mampu memperolehnya karena syaratnya memang berat.""Baiklah kalau memang il
Kulitnya terasa perih karena berjalan menembus semak berduri dan terkena goresan ranting. "Buug!" Jiwo menabrak batang pohon besar yang menghalangi jalannya. Kepalanya pusing, kedua rongga matanya terasa sakit, setelah itu dia pingsan. Saat itu Jiwo merasa tubuhnya menjadi seringan kapas melayang keluar dari tubuhnya sehingga dia dapat melihat dirinya yang sedang terbaring di lantai hutan. Heei... aku bisa melihat sekarang, tapi apa aku sudah mati?pikir Jiwo. Sebuah lorong yang diterangi cahaya tiba-tiba terbentang di depannya. Jiwo terkejut melihat lorong bercahaya itu tiba-tiba sudah berada di depannya. Apakah lorong ini menuju nirwana?batin Jiwo sambil melangkah lebih dekat lagi mendekati pintu lorong. Jiwo terus melangkahkan kaki memasuki lorong, namun baru beberapa langkah masuk lorong, tiba-tiba saja tubuhnya ditarik oleh sebuah kekuatan besar, tersedot masuk lebih dalam ke dalam lorong dengan kecepatan tinggi. Jiwo berusaha keluar dari lorong tapi tak bisa. T
"Kami adalah penghuni tempat ini! Dan sekarang kamu tidur di atas istana Raja kami!""Istana apaan, aku tidur di atas batu kali,"jawab Jiwo setengah mengantuk.Namun orang-orang itu tampaknya tak mau peduli, mereka terus membangunkan Jiwo. Ada yang menggelitiki pinggangnya, menarik kupingnya atau menjambak rambutnya. Jiwo yang sudah kecapekan tak juga bangun walaupun tidurnya diganggu.Akhirnya karena Jiwo tak juga pindah tempat, makhluk-makhluk itu memindahkan Jiwo ke atas pohon Waru. Jiwo yang masih tak sadar dirinya berpindah tempat, dengan santainya berguling membalikan badan."Buug!"Badan jiwo jatuh dari atas pohon. Pemuda itu kesakitan dan memaki"Aduuh...sialan aku dipindah. Siapa yang mindah aku?!"Akhirnya Jiwopun menyerah, sambil memegangi kepalanya yang sedikit pusing gara-gara jatuh dari pohon, Jiwo duduk di bawah pohon. Rasa kantuknya sudah menghilang sama sekali. Tapi Jiwo masih bersyukur, pohonnya tidak tinggi sehingga tidak membahayakan dirinya. Udara yang dingin m
Namun Dhesta tak mengindahkan perintah bapaknya. Dia mengambil Kapak Setan lalu berlari menyongsong lawan dan menghalau pasukan clurit dari Sekte Bulan Sabit Emas suruhan Hasta. Kapak Dhesta berkelebat membabat para penyerang. Jumlah mereka tidak terlalu banyak namun mereka semua memiliki tingkatan ilmu silat di atas rata-rata sehingga membuat mereka kewalahan menghadapinya. "Anak bodoh, kamu pulang ke Lawu saja, apa kamu tidak memikirkan keselamatan Amrita?" Dhesta tertegun, karena sibuk menghadapi musuh, dia melupakan Amrita. "Amrita!"Dhesta langsung berlari mencari Amrita di dalam rumah. Di sana dia melihat Amrita sudah diseret keluar dari tempat persembunyiannya oleh dua laki-laki berambut panjang terurai dengan ikat kepala Bulan Sabit Emas. Masing-masing membawa senjata clurit. "Hei...jangan sentuh dia!" Dua pria bersenjata clurit menengok terkejut ketika melihat ada orang lain di situ. Keduanya menghunus clurit lalu langsung menyerang Dhesta. "Hiyaaa." Di dalam rumah
Nyi Blorong mengejar, berusaha menangkap Saraswati. Gadis itu mencoba melawan, dengan ilmu Sang Hyang Tirta dia menyapu tubuh Nyi Blorong dengan air laut. "Whuuur!" Nyi Blorong hanya mengangkat tangannya, air laut berbalik menghantam Saraswati membuat gadis itu terkejut saat menyadari air laut berbalik mengantam dirinya. Dia berusaha menghindar tapi air laut seolah berada dalam kendali Nyi Blorong. Air laut itu seperti selendang air yang mengejar Saraswati. Kemanapun dia menghindar selendang air laut akan selalu mengejarnya. "Ha ha ha kamu bocah kemarin sore mau melawanku dengan ilmu Sang Hyang Tirta? Akulah si pengendali air yang sejati. Kamu tidak akan bisa melawanku!" Saraswati terus bergerak menghindar, walaupun dia memiliki stamina yang prima, tapi terus-terusan bergerak menghindar makin lama membuatnya semakin kelelahan. Sementara Rangga masih terus berusaha menghabisi pasukan manusia tanpa mata sehingga tak sempat memperhatikan Saraswati. Hingga suatu saat selendang
Rangga menoleh ke arah yang ditunjuk Saraswati. Entah darimana datangnya, ada seorang laki-laki berjalan ke arah mereka dari arah pantai. Berdebar Rangga saat melihat cara jalan orang itu. Orang itu terlihat berjalan biasa. Namun ketika kakinya melangkah, hanya dalam beberapa detik saja orang itu sudah mendekat ke arah mereka. "Saras, kita kembali ke goa, dia bukan orang. Aku tak mau berurusan dengan makhluk-makhluk di sini,"Rangga menarik tangan Saraswati mengajaknya pergi. Tapi Saraswati melepaskan tangannya dari genggaman Rangga. "Dia orang, lihat...kakinya menapak di tanah, penampilannya biasa saja seperti kita. Kalau kamu mau masuk goa, masuk saja sendiri,"Saraswati masih ngotot bertahan. Rangga mulai kesal dengan sikap keras kepala Saraswati. "Ayo kita pergi sebelum dia sampai kemari? Apa kamu tidak curiga dengan cara berjalannya?Lihat dia kelihatannya berjalan biasa, tapi hanya dalam satu langkah saja dia sudah menjangkau.jarak yang cukup jauh!" Saraswati mulai menga
Saraswati tersadar dengan gugup dia berkata "Oh ya tentu saja, bapakku seorang pertapa. Dia sering bertapa di gunung-gunung di pulau Jawa ini. Pastinya dia pernah di sini, simbol makara adalah simbol dari keluarga kami." "Lalu apa maksud bapakmu meletakan patung makara itu di sini? Seharusnya patung ini diletakan di tempat yang mudah terlihat. Bukan di tempat tersembunyi di antara celah bebatuan goa. Sepertinya dia tak ingin tempat ini ditemukan orang,"tulas Rangga. Saraswati terdiam mengingat-ingat sesuatu laku berkata lagi. "Bapakku pernah bercerita tentang jalur menuju Laut Selatan melalui sebuah lorong yang terletak di wilayah Pajang. Mungkinkah lorong ini akan membawa kita langsung menuju Laut Selatan?" Rangga teringat pengalamannya saat membebaskan keluarga Prawara dari perjanjian pesugihan dengan Nyi Blorong. Saat itu dia bisa langsung menuju Laut Selatan dari halaman belakang rumah keluarga Prawara. "Ah, tidak aku tidak mau ke sana lagi. Malas aku bertemu dengan par
Mereka menerobos kerimbunan hutan di lereng Merapi. Ternyata jalur menuju goa itu tidak semudah yang terlihat dari jauh. Mereka masih harus berjalan agak jauh. Samar terdengar suara air mengalir dengan deras, semakin dekat suara air mengalir itu semakin jelas terdengar. Akhirnya tibalah mereka di depan sebuah bukit batu yang terjal. Di atas bukit batu itu ada sebuah goa. Sesampainya di depan bukit batu, Rangga berdiri terpaku. Bukit itu ternyata curam dan dipenuhi oleh bebatuan yang terjal, licin dan berlumut. "Kalau dengan cara biasa kita akan kesulitan mencapai goa itu,"Rangga berkomentar. "Lalu apa kamu mau mundur dan mencari tempat lain?"tanya Saraswati. "Tidak, kita tetap ke sana, kamu pegangan yang kenceng, aku bawa kamu ke sana,"Rangga memeluk pinggang Saraswati lalu melompat ke bukit batu, menapaki bebatuan dengan ilmu meringankan tubuh Sang Hyang Bayu. Saraswati yang terkejut berteriak kaget. "Hei, kamu tidak perlu menggendongku seperti ini. Aku juga bisa!" "Sudah
"Jolodhong adalah nama julukan teman-temannya di dunia hitam. Nama aslinya adalah Jayendra. Dia sahabat Nambi Mahapatih Majapahit saat itu. Saat Nambi pulang ke Lamajang karena Pranaraja bapaknya meninggal, Halayuda memfitnah Nambi dengan mengatakan bahwa Nambi akan memberontak. Sehingga pasukan Majapahit menyerang Nambi dan keluarganya Lamajang." "Apakah Eyang membantu Nambi memberontak?"tanya Jiwo. "Tentu saja, sebagai sahabat yang baik, Eyang Jolodhong memberitahu Nambi tentang kelicikan Halayuda. Dia kemudian membantu Nambi menghadapi pasukan Majapahit di Benteng Arnon,"tutur Bima. "Pemberontakan Nambi bisa ditumpas, lalu bagaimana nasib Eyang setelah penyerangan di Lamajang?"tanya Wening. Bima menghela nafas lalu berkata "Eyangmu tidak pulang ke Majapahit karena jika pulang dia bisa dibunuh. Setelah mengetahui Nambi telah gugur, aku dan ibuku ke Lamajang mencari bapakku. Tapi sayang sesampainya di Lamajang ibuku meninggal karena sakit dan kelelahan. Demi keselamatanku, bap