Rangga terlahir sebagai anak yang bertubuh lemah sehingga tidak becus belajar silat. Bapaknya mengirimnya belajar di Padepokan Mpu Waringin. Ketika belajar di Padepokan Mpu Waringin, terjadi peristiwa pembunuhan terhadap Mpu Waringin dan hilangnya Kitab pusaka perguruan Sang Hyang Agni. Rangga dituduh membantu Gondo Kakak seperguruannya melakukan pembunuhan dan mencuri Kitab Sang Hyang Agni. Terancam akan dibunuh oleh para murid Mpu Waringin, Rangga melarikan diri dari padepokan. Saat terjebak di tengah hutan, sampailah Rangga di komplek makam kuno disebuah tempat yang dikenal sebagai Lembah Hantu. Mbah Janti penunggu lembah hantu dan komplek makam itu telah menyelamatkan nyawanya. Kedatangannya di Lembah Hantu dan pertemuan dengan Mbah Janti pada akhirnya akan mengubah jalan hidupnya. Dalam pengembaraannya, pertemuannya dengan Pendekar Raja Racun akhirnya membuka tabir siapa dirinya sebenarnya.
Lihat lebih banyakHari ini hari pertama Rangga datang ke Padepokan Sekar Jagad milik Mpu Waringin untuk belajar silat. Dengan diantar oleh Jalu murid senior di padepokan, tibalah mereka di sebuah ruangan besar berlantai paving terakota yang disusun rapi dengan tikar pandan tergelar di atasnya.
Beberapa murid menoleh ke arah Jalu dan Rangga, sedangkan yang lainnya acuh tak acuh asyik rebahan bersantai di tikarnya setelah seharian beraktivitas. Jalu menunjuk ke sudut ruangan. "Ini ruang tidurnya, di pojok sana masih ada tempat kosong." "Baik Kangmas, terimakasih,"jawab Rangga. Rangga berjalan menuju pojok kamar sambil membawa buntelan pakaian ganti melewati beberapa murid yang sudah tiduran di atas tikar. "Permisi, permisi numpang lewat." Tiba-tiba, Rangga merasa keseimbangannya hilang. "Brruuuk," Rangga jatuh tersungkur, seseorang telah menjegal kakinya. "Ha ha ha ha....si anak manja jatuh. Aduuh kasian kamu...sakit ya," Hasta salah satu murid di padepokan dan teman-temannya menertawakan Rangga. Rangga segera bangun, wajahnya tampak marah. Dia berjalan menghampiri Hasta lalu menegurnya "Aku tidak punya salah sama kalian, kenapa kalian mencari gara-gara denganku?!" Wajah Hasta berubah, selama ini belum pernah ada satu muridpun yang berani kepadanya. Tapi kali ini ada seorang murid baru yang dimatanya tampak klemar-klemer berani menantangnya. "Kamu berani sama aku? Baiklah, kita akan berkelahi, yang menang akan menjadi pemimpin para murid di sini, jika kalah dia harus bersedia menjadi pelayan kami dan memberi upeti lima kepeng setiap bulan," tantang Hasta. Mendidih darah Rangga mendengar ejekan Hasta. "Siapa takut? Ayo, majulah aku akan melawanmu!" tantang Rangga. "Kurang ajar kamu anak baru, baru saja datang sudah berani sama Kakak seperguruan!" Hasta langsung menerjang Rangga, tangannya bergerak memukul hidung Rangga. Rangga terkejut diserang tiba-tiba, tangannya berusaha menangkis, tapi dia justru kesakitan ketika tinju Hasta mengenai tangannya. Tangan Hasta bergerak lebih cepat meninju lagi wajah Rangga. "Buuk." Dahi Rangga terkena tinju Hasta, kepalanya mendadak pusing dan pandangannya berkunang-kunang. Samar-samar dia mendengar suara seseorang membentak Hasta dan terdengar perdebatan sengit yang sudah tidak jelas terdengar di telinganya, setelah itu dia pingsan. Ketika sadar, Rangga mendapati dirinya sudah terbaring di tikar. Di tikar sebelah kanannya nya duduk seorang pemuda yang usianya lebih tua darinya. Pemuda itu memandang Rangga dengan pandangan acuh tak acuh “Sudah tidurlah, siapkan tenagamu, besok kamu akan menghadapi cobaan yang lebih parah dari mereka.” “Apa seperti itu adat di sini kalau ada murid baru masuk? Apa mereka tidak takut jika Mpu Waringin tahu” Tanya Rangga. Pemuda itu hanya tersenyum getir “Mereka pandai menutupinya, jika ketahuan mereka akan memberikan seribu satu alasan seolah mereka yang teraniaya. Entah ilmu pelet atau pengasihan apa yang dimiliki Hasta sehingga Mpu Waringin bahkan begitu percaya kepadanya.” “Sudahlah Kangmas Gondo, kamu jangan membuatnya semakin takut di sini. Yang penting kalau kita bisa menghindari Hasta dan teman-temannya selamatlah kita,” sela salah seorang murid yang duduk di sebelah kiri Rangga. Hmmm…ternyata namanya Gondo, tampaknya dia tidak takut dengan Hasta, pikir Rangga. “Tak ada salahnya dia tahu Badra, aku bisa melihat tubuhnya lemah, sudah pasti dia bakal jadi sasaran empuk Hasta dan teman-temannya. Tapi meskipun badannya lemah, nyalinya nyali macan,” tukas Gondo. Tampaknya Gondo dan Badra ini orang baik, aku yakin tidak semua murid di sini seperti Hasta, pikir Rangga. Tiba-tiba Rangga merasa pusing dan kembali rubuh. “Ah, kepalaku pusing,” keluh Rangga. Gondo mengambil sesuatu dari buntelannya lalu memberikan pada Rangga, namun masih dengan sikap acuh tak acuh. “Ini minumlah, besok pagi kamu sudah sembuh.” Rangga menerimanya dengan ragu-ragu, “Obat apa ini?” Gondo menoleh menatap tajam mata Rangga. “Kenapa kamu masih nanya? Kamu pikir aku mau meracunimu? Kamu mau besok bangun dalam keadaan lemas tak berdaya lalu mereka akan bertindak lebih kejam lagi mengerjaimu?” Walaupun dia tampak galak, tapi sepertinya dia orang baik, batin Rangga. "Baiklah aku akan meminumnya,"Rangga merasa tak enak hati pada Gondo. Rangga teringat dia masih membawa bumbung bambu berisi air bekal perjalanannya. Dia segera menelan tablet dari Gondo, lalu merebahkan tubuhnya di tikar, mencoba memejamkan matanya. Beberapa saat kemudian, dirasakannya obat itu mulai bekerja, rasa pusingnya mulai berkurang dan rasa sakit di tubuhnya berangsur hilang. Rangga menghembuskan nafas lega mengetahui kondisi tubuhnya mulai membaik. “Kangmas Gondo terimakasih atas obatnya, sekarang aku sudah tidak sakit lagi,” ujar Rangga. Tidak ada jawaban dari Gondo, yang ada hanya suara dengkuran halus. Ketika dia menoleh, Gondo ternyata sudah tertidur pulas. Rangga menghela nafas lalu kembali memejamkan matanya. “Dia memang begitu, terlihat tidak peduli tapi sebenarnya baik,” Badra yang tidur di sebelahnya menimpali. “Apakah dia juga sering dijadikan bulan-bulanan kelompok Hasta?” Tanya Rangga. “Dia murid satu angkatan dengan Kangmas Jalu, sepertinya Hasta juga sungkan kepadanya. Yang jelas selama aku di sini aku belum pernah meihat Hasta menghajar Kangmas Gondo,” jelas Badra. "Oh, pantas, jika dia satu angkatan dengan Kangmas Jalu, sudah pasti Hasta sungkan kepadanya,' ujar Rangga. Malam itu Rangga tidak bisa tidur dengan nyenyak, perubahan situasi dan perlakuan yang dialaminya membuatnya takut untuk segera tidur. Dia kuatir jika sewaktu-waktu Hasta dan teman-temannya kembali mengerjainya saat masih tidur. ***** Byuuur." Rangga gelagepan, wajah, rambut, selimut dan bajunya basah kuyup. Seseorang telah menyiram wajahnya dengan air. Sebagian air telah masuk ke hidung dan mulutnya membuatnya terbatuk batuk dan hidungnya terasa perih. “Hei, ini bukan di rumahmu, molor terus seperti juragan. Bangun dan segera ke lapangan latihan silat!” Rangga menoleh, terlihat Jalu memegang siwur (gayung dari batok kelapa) yang masih meneteskan air. Sinar Matahari sudah menerobos masuk dari jendela kamar, sadarlah Rangga dia sudah bangun kesiangan. “Maaf Kangmas Jalu, saya ketiduran terlalu lama. Tapi saya mau sarapan dulu, apakah sarapannya sudah siap?” Tanya Rangga. “Sarapan? Kamu itu sudah terlambat sarapan, tidak ada sarapan buat kamu. Lekas bangun dan pergilah ke halaman!” perintah Jalu dengan gusar. Rangga tertegun, baru disadarinya, setelah semalaman tidak tidur akhirnya dia bangun kesiangan. Perutnya mulai terasa lapar tapi dia tidak bisa sarapan karena waktu sarapan sudah terlewat. Dengan langkah gontai Rangga berjalan menuju halaman. Setelah Rangga pergi Jalu bergumam sendiri “Dasar anak manja klemar-klemer, harusnya dia tidak belajar di sini bikin repot saja anak itu.” Rangga telah tiba di halaman, beberapa murid terutama dari geng Hasta mulai menyoraki dan mengejeknya. “Wheeei…juragannya baru bangun!” seru Hasta ketika melihat Rangga memasuki halaman tempat berlatih. Hasta dan teman-temannya bertepuk tangan sambil menyoraki Rangga. Semua mata tertuju pada dirinya, Rangga hanya bisa berjalan dengan kepala tertunduk menahan rasa malu. Suara teriakan gerombolan Hasta terhenti ketika melihat Jalu datang. “Semua bersiap, latihan akan segera dimulai!” Seru Jalu. Para murid segera menyusun barisan. Rangga menelusuri wajah para murid namun dia tidak melihat keberadaan Gondo. “Dimana Kangmas Gondo? Kenapa dia tidak ikut berlatih?” Tanya Rangga pada Badra. “Gondo adalah murid yang belajar ilmu pengobatan, jadi dia tidak ikut di sini,” jawab Badra. “Sebenarnya aku sudah mengatakan pada Mpu Waringin bahwa aku lebih tertarik dengan ilmu pengobatan mengingat kekuatan tubuhku tidak mendukung. Tapi kenapa mereka tetap memintaku berlatih silat,” keluh Rangga. “Semua murid baru tetap harus menguasai dasar-dasar jurus-jurus silat khas Padepokan Sekar Jagad. Setelah tiga tahun belajar atau jika dia memang tidak berbakat menjadi pesilat, baru boleh memilih ilmu pengobatan,” jelas Badra. "Oh ya, kenapa tadi kalian tidak membangunkanku supaya tidak kesiangan?" tanya Rangga, "Kami sudah berusaha membangunkanmu, tapi kamu nggak bangun-bangun. Mungkin kamu terlalu sakit karena pukulan Hasta dan efek obat yang kamu makan semalam,' ungkap Badra. Tak lama kemudian Mpu Waringin datang, dia memberikan beberapa instruksi kemudian mulai meperagakan jurus-jurus silat. Setelah itu semua murid bergerak mempraktekan jurus-jurus silat tadi. Jalu dan beberapa murid senior lainnya berkeliling mengawasi gerakan-gerakan para murid dengan sebatang rotan di tangan. Saat semua bergerak mengikuti instruksi pelatih, Jalu mengawasi gerakan para murid di tiap barisan dengan seksama. Saat melewati Rangga, tiba-tiba tangan Jalu bergerak memukul kaki Rangga membuat Rangga kesakitan. “Hei, kenapa Kangmas memukul saya?” protes Rangga “Kuda-kudamu kurang lebar dan posisi tubuhmu kurang turun. Dengan sikap tubuh sepertimu, kuda-kudamu kurang kuat dan lawan akan dengan mudah menjatuhkanmu,” ujar Jalu. Usai berlatih di halaman selama dua jam, Jalu memerintahkan murid-murid baru memisahkan diri. Hari itu adalah saatnya latihan kekuatan fisik, “Rangga, cepatlah kemari, kami sudah menunggumu lama!” seru Jalu. Rangga duduk bergabung bersama teman-temannya, mendengarkan instruksi Jalu. “Sekarang waktunya latihan ketahanan fisik! Kalian harus mengambil air dari sungai di belakang lalu diisikan ke bak penampungan air. Saat berlari tidak boleh ada air yang tumpah. Sudah jelas perintahnya?" "Sudah jelas!"jawab para murid serempak. Jalu tersenyum puas "Kalau sudah jelas, sekarang segera ambil ember dan pikulan lalu kerjakan!” Para murid segera bergerak mengambil ember kayu dan pikulan, kemudian berlari ke sungai. Rangga melihat, jarak antara permukaan tanah dengan sungai agak jauh. Dia harus menuruni undakan batu agar dapat mengambil airnya. Saat membawa ember yang sarat dengan air menuju tepian sungai, airnya sudah tumpah sebagian. Ketika membawa air sambil berlari, hanya sedikit air yang dapat dia bawa sampai bak penampungan. Setelah tiga kali bolak balik membawa air, tiba-tiba pandangan mata Rangga berkunang-kunang, kepalanya pusing dan perutnya terasa melilit sakit. Rangga baru ingat, dia belum sarapan, setelah itu tubuhnya ambruk ke tanah."Ah, aku tidak menginginkannya Romo, yang kuinginkan hanyalah hidup damai bersama Saras,"kata Rangga.Dipo tersenyum menanggapi keinginan anaknya"Ooh, anak Romo ini rupanya sudah pengen kawin ya?"Rangga tersadar lalu tersipu malu."Bukan begitu Romo, itu memang keinginan saya. Lagipula belum tentu juga Bhre Pajang setuju. Para Raja bawahan yang lain pasti juga ingin meminang Saras."Dipo menepuk bahu Rangga lalu berkata."Sudahlah, seminggu lagi upacara akan dilaksanakan. Kamu bersiaplah, ini aku sudah belikan kamu celana gringsing, jarik, selendang sutera dan seperangkat perhiasan emas untuk ikut upacara. Sebentar aku ambil dulu di kamar."Dipo atau Gajah Mada berdiri dari duduknya lalu masuk ke kamarnya. Saat kembali dia membawa satu kotak kayu lalu diletakan di depan Rangga."Ini, ambilah untukmu. Kulihat bajumu sudah lusuh dan sobek, jadi aku belikan yang baru."Rangga membuka kotak kayu itu dan di dalamnya dia mendapati ada pakaian dan seperangkat perhiasan emas permata di dala
Dipo mendekati Rangga yang masih duduk terpaku di tepi sendhang. Ditepuknya bahu anaknya lalu berkata"Semua sudah berlalu, ayo kita pulang sekarang."Suara ayam berkokok mulai terdengar di kejauhan, Rangga dan Dipo memacu kuda mereka pulang ke rumah.******Setelah kutukan pisau bedah Ra Tanca dimusnahkan di sendhang Sela Pitu, Rangga pulang dengan tubuh lelah namun hati lapang. Malam itu, ia tertidur pulas di pembaringan di rumahnya, diiringi suara cengkerik dan desir angin dari kebun belakang. Namun, tidurnya tidak tenang.Dalam mimpinya, Jiwo muncul. Wajahnya cemberut dan penuh amarah yang terpendam. Ia menagih janji lama."Kamu berhutang padaku, Rangga. Sesuatu yang paling kau sayangi, entah nyawamu... atau Saras."Rangga terbangun dengan dada sesak, karena lelah dia bangun kesiangan. Matahari sudah tinggi saat ia bersiap meninggalkan rumah. Dia tahu, waktu menepati janji telah tiba.Sebelum berangkat, ia menulis lontar untuk Saras. Tulisannya tergesa namun jujur: Saras, maafkan
Terkesiap Awehpati melihat serangannya gagal. Tangannya bergerak kembali merogoh sesuatu dari kantongnya, namun sebelum dia kembali bergerak, sebuah benda berkilat meluncur ke arah Awehpati. "Jleeeb!" Sebuah senjata rahasia pisau kecil berbentuk bintang sudah menempel di dahinya. Ternyata Tudjo bergerak lebih cepat, melempar pisau bintang ke arah Awehpati. Tudjo mendekat memeriksa Awehpati, setelah yakin Awehpati sudah mati, dia menyeret jasad Sang Raja Racun untuk dikuburkan. ******* Malam lengang. Angin bertiup pelan menyusup lewat celah jendela, membawa bau tanah basah dan daun kering. Rangga tiba-tiba terbangun dari tidurnya, perlahan dia duduk bersila di atas tikar pandan, matanya memandangi lemari kayu jati tempat ia menyimpan benda-benda penting. Di dalam sana, tersimpan pusaka pisau bedah milik Ra Tanca, tabib dan algojo berdarah dingin yang menewaskan ayah kandungnya, Jayanegara. Tiba-tiba "Glodag... Glodag..." Lemari itu bergetar sendiri. Suara besi beradu kayu terden
Langit mendung menggantung rendah di atas hutan kecil di pinggiran kota Trowulan. Di tengah rerimbunan pepohonan, Rangga berdiri diam. Di genggamannya, sebilah pisau bedah yang dulu digunakan Ra Tanca untuk membunuh Raja Jayanegara. Pisau yang sekarang ditakdirkan menuntaskan dendam, atau menghancurkan kebenaran.Awehpati menatap Rangga dari balik bayangan pohon Trembesi tua, sorot matanya penuh keyakinan dan dendam yang menyala dingin. “Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Rangga,” ucap Awehpati. Rangga menganggukan kepala dengan setengah hati.Awehpati tersenyum puas“Bagus, kalau begitu cepat lakukan! Pisau itu menunggu penebusannya. Dendam Ra Tanca harus ditegakkan, Gajah Mada harus mati!”"Tentu, tunggu saja di situ." Dipo duduk di pendopo, menyisipkan daun sirih ke dalam mulutnya. Tudjo telah meIaporkan perjalanannya mencari Saras dan membunuh Hasta. Dia sedikit lega Rangga selamat, tapi sudah lebih dari seminggu Rangga belum juga datang. Dia mulai cemas dengan keselamatan
Langkah-langkah Hasta kini mulai goyah. Tubuhnya menyerap lebih banyak energi jahat dari yang mampu ditanggung, dan mantra Lipyakara yang mengikatnya dengan dunia arwah mulai berbalik menelan jiwanya sendiri.Namun ia masih tertawa.“Cahaya dari empat penjuru? Heh... aku akan menutup langit itu dengan malam abadi!”Hasta mengangkat kedua tangannya tinggi, memanggil kekuatan terakhirnya. Terdengar suara bergemuruh, langit gua terbuka seperti mulut raksasa, dan dari sana mengalir kabut hitam yang berbentuk tangan-tangan raksasa yang terbuat dari roh para leluhur yang dikutuk.Rangga menyempitkan mata.Dia sepertinya memanggil Arwah Calon Arang, pikir Rangga.Langit runtuh, dan suara ribuan ratapan terdengar serentak. Tudjo yang berada di luar gua berseru,“Medang! Segera pasang Mantra Gayatri, jangan biarkan roh-roh ini keluar dari gua!”Medang menancapkan pedangnya ke tanah. Segel kuno menyala dalam bentuk lingkaran raksasa di mulut gua, menahan arwah-arwah jahat itu di dalam. Namun t
Suara batu yang runtuh menggema di gua raksasa itu. Dinding yang terbentur tubuh Hasta retak. Debu dan pecahan kecil berjatuhan, namun dari balik reruntuhan, suara tawa lirih terdengar lagi.“Ha ha ha ha...bagus, Rangga… sungguh kekuatan yang layak kau warisi dari Sang Hyang Agni. Tapi itu belum cukup untuk mengalahkanku.”Hasta berdiri tertatih, tubuhnya kini setengah hancur. Kulitnya yang seperti kitab-kitab gosong terkelupas, menampakkan jaringan daging hitam berdenyut. Dari dadanya mengalir asap hitam seperti racun hidup.Tiba-tiba, Hasta menancapkan tangannya ke tanah. Getaran keras merambat, tanah berguncang. Seketika bau seperti ubi gosong merebak memenuhi gua. Dari kegelapan, muncul puluhan makhluk hitam tak bernama—tubuh tinggi kurus, mata merah menyala, gigi runcing seperti serangga neraka. Suara mereka mencicit seperti suara tikus got yang mencari mangsa.“Makhluk-makhluk ini tumbal yang gagal. Tapi tak ada yang sia-sia di tanganku. Habisi mereka!” perintah Hasta.Makhluk-m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen