"Gila! Bocah ini kecepatannya terus meningkat," gumam Janaka keheranan. Dia yang sudah mengerahkan seluruh kemampuannya jelas dibuat bingung dengan kemampuan lawan. Seolah-olah pemuda yang telah menyusup ke dalam perguruan Gunung Setan itu tidak memiliki batas ilmu kanuragan. Ketiga tetua lainnya pun merasakan hal sama seperti yang dirasakan Janaka. Bisa terlihat sekarang posisi mereka yang semula terus menekan menjadi tertekan. Dan itu akibat dari lawan yang menambahkan kecepatannya. “Sudah muak aku dengan permainan ini!” teriak Jalu. Pendekar muda itu berpikir akan mengalami kesulitan sendiri jika tidak segera menyelesaikan pertarungan yang saat ini terjadi. Dan itu jelas karena racun yang berada di tubuhnya kembali menunjukkan reaksinya.Jalu mengalirkan lebih banyak tenaga dalam pada bilah pedangnya. Cahaya yang semakin terang pun menyeruak keluar, hingga membuat mata keempat tetua itu tidak bisa fokus pada pertarungan. Dan kesempatan itu dimanfaatkan Jalu untuk terus memberi s
Ketiga Tetua perguruan Gunung Setan tersebut mulai membentuk energi pelindung. Masing-masing dari mereka juga mempersiapkan kuda-kuda untuk menggunakan jurus terbaik yang mereka miliki. Mereka bertiga sadar jika lawan yang dihadapi meskipun muda tapi memiliki kemampuan individual lebih baik dari mereka bertiga. Dan kematian Janaka yang mengenaskan bisa dijadikan tolak ukur betapa kuatnya pedang pusaka yang digunakan pemuda tersebut. Mereka bertiga lantas menyerang bersamaan dan tidak membiarkan Ranu menyerang balik atau menemukan celah. Pedang yang mereka bertiga gunakan berkelebatan mengeluarkan sinar di gelapnya malam akibat tertimpa sinar rembulan. Kombinasi serangan mereka bertiga masih cukup baik meski Janaka tidak ada di dalamnya.Kombinasi serangan yang tanpa henti dari berbagai arah membuat Jalu tidak bisa menggunakan ilmu Pedang Puncak Halilintar secara leluasa, Namun jurus pedang yang lain dan dipadukan dengan ajian Langkah Pemabuk Gila nampaknya cukup bisa mengimbangi ser
Mendapati anggotanya tidak ada yang beranjak selangkah pun untuk mematuhi perintahnya, Tetua dua pun dibuat naik pitam seketika. “Bangsat! Pengecut kalian semua! Setelah kami membunuh dia, selanjutnya kalian yang akan kami habisi!” bentaknya penuh emosi. Diharapkan ancaman itu bakal membuat anggota perguruan Gunung Setan yang masih hidup tergerak untuk membantu, tapi nyatanya sama saja. Mereka lebih takut kepada kematian dari pada ancaman yang dilontarkan tetua dua. Anggota yang berjumlah kurang lebih dua ratus orang itu tampaknya bisa berpikir secara realistis. Kecuali jika ketua perguruan Gunung Setan, Ageng Pamuju yang turun tangan secara langsung, mungkin mereka akan langsung turun membantu. Tapi faktanya sosok pemimpin yang doyan menyetubuhi gadis perawan itu tidak terlihat batang hidungnya sedikitpun. Dan itu yang menimbulkan keraguan di pikiran mereka. “Kang Reso, tampaknya kita harus melawan dia berdua saja,” ujar tetua empat. Sosok berfisik sedang dan yang paling muda di
“Baiklah, kalian berdua boleh pergi. Tapi jangan pernah kembali lagi ke tempat ini atau nyawa kalian berdua tidak akan kuberi ampun!” ucap Jalu datar dan mengancam. Reso dan Waji menghela napas lega. Keduanya tanpa berpikir lagi langsung melesat meninggalkan Perguruan Gunung Setan secepat mungkin. Mereka berdua tidak peduli lagi dengan anggota perguruan yang masih bergerombol dalam jarak empat puluhan meter. Kepergian tetua dua dan tetua empat meninggalkan pertanyaan dalam benak ratusan anggota yang kebingungan. Mereka tak menyangka jika dua tetua tersisa yang diharapkan bisa menjadi dewa penolong nyatanya telah pergi tanpa pamit. Rasa takut akan kematian jelas menguasai pikiran setiap anggota perguruan yang masih hidup. Entah siapa yang memulai, tapi tiba-tiba saja anggota yang jumlahnya masih dua pertiga dari keseluruhan anggota perguruan Gunung Setan itu tiba-tiba berhamburan berlarian pergi dari perguruan menyusul Reso dan Waji. Jalu tersenyum tipis melihat hal itu. Dia tidak
“Bedebah! Pasti penyusup itu yang telah membuat semua anggotaku ketakutan.” Ageng Pamuju merutuk dalam hati. Ada rasa sesal kenapa tadi dia harus mementingkan memenuhi syahwatnya terlebih dahulu dari pada melawan si penyusup. Rasa percayanya yang terlalu tinggi kepada empat orang tetua bawahannya, kini berakibat dia harus sendirian di perguruan yang telah didirikan sejak empat puluh tahun lalu. Lelaki tua yang memiliki ajian awet muda itu berjalan lunglai masuk ke dalam rumahnya. Melihat banyaknya jasad anggota yang telah tewas telah membuatnya mual. Dia berpikir jika tidak mungkin untuk menguburkan semua sendiri, tapi jika bertahan di tempat itu, pasti bau busuk dari jasad yang sudah menjadi bangkai akan membuatnya kesulitan sendiri. Ageng Pamuju memasuki kamanrnya. Dia berpikir harus bisa mengambil langkah selanjutnya untuk kembali mengumpulkan anggota. Nama besar perguruan Gunung Setan harus kembali bergabung di blantika dunia persilatan. Di dalam sebuah bangunan, suasana heni
Beberapa saat lamanya beristirahat, rasa lelah yang mendera tubuh Jalu pun berangsur menghilang. Pemuda berparas tampan itupun bangkit berdiri dan diikuti Ayu Wulandari yang juga berdiri setelahnya. “Ayo kita pulang. Ibumu saat ini pasti sangat cemas,” ajak Jalu. Memang benar apa yang dikatakan pemuda itu, Nyi Sundari dalam beberapa hari terakhir kebingungan menunggu kedatangan Jalu dan putrinya yang belum juga kembali. Rasa cemasnya begitu besar akan keselamatan mereka berdua. Bahkan dalam dua hari terakhir dia tidak tidur sama sekali, sehingga Aji sampai memanggil tabib untuk menjaga kesehatan istrinya. Dua hari berikutnya, sudah empat hari Nyi Sundari tidak bisa memejamkan matanya sedikitpun. Tidak hanya itu, bahkan dia pun tidak berhasrat untuk mengisi perutnya. Tubuhnya terduduk lemas di kursi dalam rangkulan suaminya.“Kalaupun mereka ada masalah di perjalanan, aku yakin Jalu pasti akan bisa mengatasinya,” kata Aji menenangkan istrinya. Nyi Sundari hanya diam seribu bahasa.
Ketua perguruan aliran hitam yang berdiri di puncak Gunung Setan itu berjalan meninggalkan bekas perguruannya yang sudah hampir rata dengan tanah. Setelah berjalan hampir lima ratus meter, dilihatnya puluhan orang yang berkumpul di dekat sebuah pohon besar. Bola matanya menyipit untuk memastikan bahwa seragam yang dikenakan sekumpulan orang-orang itu adalah murid-muridnya. Ageng Pamuju pun berjalan mendekat begitu memastikan penglihatannya tidak salah. “Apa yang sedang kalian lakukan di sini?” Sontak orang-orang yang sedang berbicara satu sama lain itu menoleh ke belakang. Begitu mengetahui jika sosok yang baru menegur mereka itu adalah Ageng Pamuju, puluhan murid perguruan Gunung Setan tersebut langsung memberi sikap hormat. “Maaf, Ketua. Kami berkumpul di tempat ini karena bingung tidak tahu harus kemana. Mau kembali ke perguruan, tapi takut jika pendekar itu kembali lagi dan menghabisi kami semua,” balas seorang anggota yang paling senior di antara lainnya. “Sebenarnya kalian
"Cepat, Istriku, kapal sudah hendak berlayar!" seru seorang lelaki berparas tampan berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Di pundaknya tergantung sebilah pedang dan di tangannya sebuah kotak kayu berukuran sedang dibawanya sambil berlari.Di sampingnya, sesosok wanita cantik berambut panjang sepunggung dan kurang lebih baru berusia dua puluh tiga tahun, tampak berlari ketakutan sambil menggendong seorang bayi mungil yang baru beberapa bulan terlahir ke dunia.Keduanya tampak panik dan berekspresi sama seperti penumpang lain yang berlarian ketika kapal hendak berlayar. Sesekali si suami menoleh ke belakang ketakutan. Tidak ada satupun yang peduli dengan kepanikan keduanya, sebab kepanikan seperti itu adalah sesuatu yang biasa terlihat.Dalam jarak cukup jauh di belakang, puluhan prajurit bergerak memasuki wilayah pelabuhan yang hari itu cukup ramai. Sorot mata mereka semua tertuju tajam kepada seluruh orang yang ada di pelabuhan."Itu mereka berdua! Cepat kejar dan tangkap atau kalian