Beberapa hari kemudian, seluruh pasukan penyerbu dari Celebes dan Bali dipulangkan dalam keadaan semuanya baik-baik saja. Bahkan mereka diantar beramai-ramai oleh segenap rakyat Tanaru di Pelabuhan Wadu Mbolo. Yang paling berat meninggalkan Tanaru adalah Kapitan Almos dan Sergeant Ruben. Namun mereka berjanji, suatu saat mereka akan kembali lagi ke Tanaru, dan ingin belajar banyak hal dari Galara Mudu dan Dato Hongli. Bagi kedua tokok kompeni itu, Galara Mudu sudah mereka anggap sebagai dewa penyelamat bagi hidup mereka, dan mereka harus memuliakannya.
Sementara itu, serdadu tawanan yang terdahulu yang berjumlah seratusan orang, hampir separonya menolak untuk kembali ke Celebes, karena sebagian sudah merasa Tanaru dan rakyat Tanaru adalah kampung halaman dan keluarga besarnya. Bahkan sebagian besar dari mereka sudah memiliki kekasihnya masing-masing, dan mereka sangat mencintai satu sama lainnya. Mereka rela jika bangsanya meng
Kehadiran mereka berdua dalam warung makan itu langsung menjadi perhatian dari semua pelanggan warung. Antara satu sama lain mendekatkan kepala mereka dan membisikkan sesuatu. Entah apa yang mereka katakan. Namun dari ekspresi wajah yang tampak, mereka sedang merasa aneh. Aneh pada penampilan La Mudu dan laki-laki yang menyertainya, Satra. Satu orang berpenampilan kumal dan seorang lagi berpenampilan seperti laki-laki Jazirah Arab yang bersih dan berwibawa. Baik La Mudu dan Satra merasakan pandangan heran dari orang-orang itu, tetapi keduanya tetap bersikap tenang dan seolah-olah tak tahu saja. Keduanya mengambil sebuah meja yang agak di pojok kanan depan ruangan. Seorang laki-laki muda pelayan datang menghampiri dan menanyakan makanan yang hendak dipesan. “Apa saja lauknya?”
Rumah Satra berada di sebuah perkampungan yang terletak di pinggiran kotarajaAyutthaya yang bernama Chang Tay. Dilihat dari kondisi rumah-rumah di perkampungan tersebut yang terlihat kumuh, mayoritas penduduk di perkampungan itu tentulah hidup di bawah garis kemiskinan. Penampilan mereka pun terlihat sama kumuhnya dengan kondisi perkampungan mereka. Tak jarang La Mudu dan Satra berpapasan dengan para laki-laki kurus yang memikul air atau yang sedang beristirahat di pinggiran jalan. Menurut Satra, mereka mengambil air untuk keperluan sehari-hari cukup jauh di luar desa. Yaitu di sumur-sumur dangkal yang digali di aliran sungai yang telah mengering. “Kemarau tiga tahun yang melanda telah membuat sebagian negeri ini mengalami kekeringan parah, Syeh Mudu,” cerita Satra sambil terus melangkah. “Hanya orang-orang yang mampu saja di kota in
Setelah terlebih dahulu menyelesaikan sholat asharnya, La Mudu menuju ke rumah Kanokwan. Ia diantar beramai-ramai oleh Sarta sekeluarga. Suami dari U Nan Kanokwan kondisinya memang sangat memprihatinkan. Laki-laki yang berusia 40-an tahun itu hanya tergolek lemah di tempat tidur kayunya yang reot. Namun saat La Mudu mengajaknya jabat tangan ia masih bisa mengulurkan tangannya dan mengucapkan sesuatu yang kurang jelas. Suaranya serak, mungkin karena terlalu lama berdiam diri. “Mau saya obati?” Laki-laki yang kemudian diketahui bernama Kamnan langsung mengangguk dengan wajah yakin. “Baik. Semoga Allah mengangkat penyakit di tubuhmu,” ucap La Mudu sambil tersenyum untuk memberikan semangat kepada laki-laki itu. Tak ingin berl
Hingga menjelang magrib, acara pengobatan itu baru selesai. Semua menghela nafas lega dan haru, terutama Satra sekeluarga. Selesai melaksanakan sholat maghribnya, La Mudu baru ingat, bahwa mereka belum makan. Nasi dan lauk sisa tadi siang sudah tak layak lagi untuk dinikmati, karena sudah mulai basi. Lalu kepada Satra ia bertanya, “Apakah di perkampungan ini ada toko yang menjual bahan makanan?” “Tentu, Syeh. Agak sedikit jauh dari sini. Terletak di sebelah timur sana.” “Belilah bahan makanan untuk dimasak. Beli yang mampu dibawa pulang. Apakah Pak Satra bisa ke sana...?” “Kami saja yang ke sana, Tuan Syeh...!” Itu yang berkata adalah Sakda. “Oh baiklah. Sakda akan pe
Saat itu kedua putri Sarta keluar dari dalam membawa bakul nasi dan lauk pauknya. Malam itu mereka makan dengan lahap dan penuh kekeluargaan. Setelah makan malam, La Mudu melaksanakan sholat isya’yang didahului dengan sholat sunat dua rakaat dan diakhiri dengan sholat sunat dua rakaat, lalu dilanjutkan dengan zikir dan wirid. Saat itu terdengar orang yang mengetuk pintu rumah. Sakda yang membukakan pintu. Ternyata tamu itu adalah Tuan dan Nyonya Kob Sinn. Keduanya dipersilakan masuk oleh Sakda. Ketika dilihatnya La Mudu sedang duduk tafakur di sisi lain ruangan itu, keduanya tak berani bersuara besar-besar, dan langsung menyalami Sarta dan istrinya lalu duduk di atas tikar, setelah dipersilakan oleh Sarta. La Mudu mengakhiri ziki
“Benar kata, Tuanku, jalan satu-satunya untuk mempermalukan orang asing yang mengaku diri sebagai seorang Dukun Sakti itu adalah Tuanku harus menantangnya. Suruh dia melakukan sesuatu hal yang mustahil!” usul salah seorang anak buahnya. “Benar, Tuanku, aku setuju! Tuanku harus menguji ilmu dia!” usul yang lain pula. Boon Nam mengangguk-angguk dengan bibir dicibirkan. Wajah pongahnya terlihat nyata. “Iya, aku memang akan menantang laki-laki itu. Aku telah memikirkan suatu tantangan apa yang harus aku berikan pada laki-laki sok sakti itu! Hua ha ha ha...!” Lalu beberapa hari kemudian, Boon Nam benar-benar membuktikan kata-katanya. Dengan diiringi oleh puluhan anak buahnya, sang dukun sakti yang juga seorang jawara itu datang ke rumahnya Sarta. Saat itu di halaman rumah itu sedang banyak orang
Pada suatu hari datang utusan dari istana kerajaan. Utusan itu merupakan salah seorang pembesar kerajaan yang dikawal oleh puluhan prajurit diterima oleh La Mudu di halaman depan rumah Sarta yang sederhana. Ia membawa pesan Baginda Raja agar Syeh Mudu datang ke istana di pusat kota, agar Baginda Raja sangat membutuhnya saat itu. La Mudu menyanggupi undangan itu dan akan segera datang menghadap baginda raja di istananya. “Silakan Tuan balik duluan ke istana, saya akan segera menyusul,” ucap La Mudu kepada sang utusan. “Baiklah, Tuan Syeh. Sekali lagi, Baginda Raja sangat mengharapkan kedatangan Tuan Syeh ke istananya. Ada hal yang sangat penting yang hendak Baginda Raja sampaikan kepada Tuan Syeh,” sahut pejabat utusan itu. “Baiklah, Tuan.” Lalu san
Setelah itu La Mudu beralih kepada sang pangeran yang berada di kamar berjeruji di sebelahnya lagi. Kondisi pemuda itu seperti yang diceritakan oleh ayahandanya, Baginda Prabu, tak kalah memprihatinkan. Pemuda itu lebih mirip pemuda pandir sejak lahir dengan wajah seperti ditekuk ke samping. Ketika La Mudu menyapanya dengan salam, pemuda itu hanya mempu menggerakkan posisi duduknya agar bisa melirik ke arah orang yang menyapanya. La Mudu meminta ijin kepada Baginda Raja agar ia bisa menemui langsung putranya ke dalam ruangan. Baginda Raja pun memerintahkan kepada penjaga agar membukakan pintu agar sang Tuan Syeh bisa masuk. La Mudu masuk, dan tanpa berkata apa-apa pun ia langsung duduk bersila di samping sang pangeran. Ia mengangkat kedua tangannya sembari mengangkat juga wajahnya ke atas dan memanjatkan doa untuk beberapa saat lamanya.&n