Share

HARTA KARUN VOC

Tepi pantai kawasan Sindanglaut. Angin laut bertiup dengan kencang ketika serombongan orang dengan seragam VOC, tampak berjalan sambil membawa peti-peti terkunci. Mereka membawa peti-peti itu ke sebuah gua tak jauh dari pantai. Jumlah rombongan itu adalah 40 orang, dibawah pimpinan Kapten Herman Bondervijnon. Satu per satu anggota rombongan itu memasuki gua. Kapten Herman yang terakhir memasuki gua sambil memastikan tidak ada orang lain yang melihat mereka. Gua di tepi pantai itu cukup besar, walaupun pintu masuk gua tampak kecil. Di bagian dalam bentuk gua itu seperti kubah besar.  Beberapa orang memegang obor untuk menerangi gua yang gelap gulita itu. Dengan diterangi cahaya obor mereka terus memasuki perut gua itu. Mereka perjalan dengan pelan dan sangat hati-hati, karena jalan yang tidak rata dan licin. Bunyi gemericik air di seluruh penjuru gua mengiringi langkah kaki mereka.

“Kapten, kita pilih ke kiri atau kanan!” tanya Jan Bocnan yang berjalan paling depan saat tiba di  sebuah persimpangan.

“Pilih sebelah kanan saja!” kata Herman dengan yakin. “Rechts! Rechts!” teriak Herman memberi perintah pada anak buahnya untuk masuk lorong gua sebelah kanan.

Mereka segera berjalan beriringan menuju lorong gua sebelah kanan. Jalan yang mereka lalui semakin lama semakin sempit. Hingga akhirnya hanya ada sebuah lubang sempit di depan mereka.

“Hoe dit? Apakah kita harus lewat lubang ini?” tanya Jan Bocnan.

“Ja! Ini jalan satu-satunya menuju tempat yang aman, cepat masuk! Gaan! Gaan!” perintah Kapten Herman pada pasukannya untuk segera masuk ke dalam lubang sempit itu.

Lubang itu hanya cukup dimasuki satu orang dengan posisi merangkak. Satu per satu masuk ke dalam lubang itu. Jan Bocnan yang pertama kali masuk lubang itu, obor dipegang oleh Otto Vollenhoven yang berdiri di belakang Jan Bocnan. Dengan agak kesulitan, Jan Bocnan merangkak memasuki lubang itu. Setelah Jan Bocnan lenyap masuk ke dalam lubang itu, Otto mengulurkan obornya kepada Jan Bocnan agar Jan bisa melihat dalam kegelapan. Beberapa saat lamanya semua terdiam menunggu isyarat dari Jan untuk masuk ke dalam lubang.

“Wow! Fantastisch! Luar biasa!” teriak Jan.

“Wat is het? Jan! Ada apa?” tanya Kapten Herman penasaran.

“Lihat saja sendiri!” teriak Jan dari balik dinding gua.

Kapten Herman segera memerintahkan pasukannya untuk segera melewati lubang itu, dengan terlebih dahulu memasukkan peti-peti yang mereka bawa.

Setelah melewati lubang kecil itu, terjawablah mengapa Jan berteriak dengan penuh kekaguman. Di belakang jalan sempit itu terdapat sebuah ruangan yang sangat luas dan tinggi. Di tengah-tengahnya terdapat sebuah danau yang luas, tepinya sama sekali tidak terlihat. Di langit-langit gua yang tinggi terdapat sebuah lubang cahaya yang menerangi seluruh isi gua. Sekarang mereka tidak perlu memakai obor lagi untuk penerangan. Kapten Herman berjalan menuju tepi danau, dia mengeluarkan teropongnya dari saku, dan mulai melihat dengan teropongnya ke ujung danau yang jauh.

“Verdomt! Ujung danau ini tidak kelihatan,“ gerutu Kapten Herman sambil terus melihat ke ujung danau dengan teropongnya.

“Bagaimana selanjutnya?” tanya Jan Bocnan.

Kapten Herman tidak menjawab tetapi dia mengeluarkan sebuah peta dari saku bajunya.

“Menurut peta ini, di ujung danau itu terdapat sebuah daratan, tetapi aku tidak melihat apapun,” kata Kapten Herman sambil menyerahkan peta itu pada Jan Bocnan.

Jan Bocnan melihat peta itu sekilas, kemudian dia memandang danau yang luas di depannya.

“Er is maar een manier!“ gumam Jan Bocnan, hanya ada satu cara.

“Apa itu?” tanya Kapten Herman.

“Kita harus menyeberangi danau ini untuk mencari ujung danau,” kata Jan Bocnan.

Kapten Herman berpikir sejenak, kemudian dia memandang ke sekelilingnya mencari sesuatu.

“Ja! Kita harus menyeberangi danau ini! Sekarang, semuanya cari alat untuk menyeberang, perahu, rakit, atau apapun! Cepat laksanakan! Snel! Cepat!“

Tanpa diperintah dua kali, anak buah Kapten Herman segera bergegas menyebar ke seluruh penjuru gua. Kapten Herman hanya memandangi anak buahnya yang menyebar ke segala arah. Dia berdiri di dekat tumpukan peti-peti yang terkunci. Pandangan Kapten Herman kini beralih ke peti-peti itu. Isi peti-peti itu adalah emas batangan yang berasal dari kapal Roode Leeuw. Emas batangan itu sebenarnya berasal dari New Guinea dan  akan dikirim ke Batavia. Kapten Herman selaku kapten kapal ternyata punya pikiran lain. Berbekal sebuah peta tua dari Daeng Mangading, perompak dari Celebes, Kapten Herman mendaratkan kapalnya di Sindanglaut dan mencari gua yang tertera dalam peta. Kapten Herman berencana menyembunyikan emas batangan itu. Emas itu akan diambil setelah dia mendapatkan kapal baru dan akan melarikan diri ke Portugal. Disana dia membelanjakan  emas-emas itu dan akan hidup dengan tenang. Kapten Herman berpikir bahwa gaji seumur hidupnya sebagai prajurit VOC tidak akan dapat membuatnya kaya raya. Peti berisi emas yang dibawanya adalah 80 buah peti, jadi masing-masing orang akan mendapatkan dua peti penuh emas batangan. Jika emas itu dijual akan berharga jutaan gulden, cukup untuk hidup mewah sampai tua. Kapten Herman sendiri tidak tahu darimana asal emas batangan itu. Dia hanya diperintahkan mengambil emas-emas itu dari New Guinea dan membawanya ke Batavia untuk diserahkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Kapten Herman telah merencanakan dengan matang pelariannya. Pertama dia mengirim kabar bahwa kapalnya mengalami kerusakan. Kemudian dia mengirimkan permintaan bantuan. Setelah itu dia mendaratkan isi dan awak kapal di Sindanglaut, dan menenggelamkan kapal Roode Leeuw. Mereka mendarat di pantai Sindanglaut dengan sekoci-sekoci penyelamat.

“Kapten! Kapten! Kijken naar deze! Lihat ini!“ teriak Pieter Cornelisz dengan nada gembira.

“Ada apa?” tanya Kapten Herman penasaran sambil berlari ke arah Pieter yang berada di tempat yang agak tersembunyi dan gelap.

Pieter berdiri di sebuah sudut, didekatnya tampak  lima buah rakit yang berlumut dan tertumpuk dengan rapi.  Kapten Herman segera memeriksa rakit-rakit itu. Tampaknya semua rakit itu masih dapat digunakan.

“Panggil semua rekanmu, dan angkat rakit-rakit ini ke danau! Cepat!“ perintah Kapten Herman dengan penuh semangat.

Beberapa saat kemudian, puluhan anak buah Kapten Herman bergegas mengangkat kelima rakit itu ke danau. Dalam waktu singkat kelima rakit itu sudah berada di atas air danau yang dingin. Jan Bocnan mencoba menaiki rakit itu. Kemudian setelah dirasa rakit itu cukup kuat dan tidak akan tenggelam, Jan Bocnan mengangkat sebuah peti dan menaruhnya di atas rakit.

“Nee! Nee! Biarkan peti itu dulu. Kamu pergi saja dulu ke sana, jika benar-benar ada daratan di ujung sana, kamu dapat membawa peti-peti itu!” Kapten Herman mencegah Jan membawa peti itu.

“Pieter, Tijmen, Frans, Daniel! Temani Jan Bocnan! Jika sudah menemui daratan segera kembali!” perintah Kapten Herman.

Keempat orang yang dipanggil Kapten Herman segera naik ke rakit yang dinaiki Jan Bocna. Kemudian tanpa bersuara mereka segera mendayung rakit menuju ke ujung danau yang tak terlihat. Kapten Herman dan prajurit VOC lainnya menunggu dengan tegang. Kapten Herman berjalan mondar-mandir sambil sesekali melihat dengan teropongnya ke arah Jan Bocnan dan rekan-rekannya yang semakin lama terlihat semakin mengecil dan akhirnya tidak terlihat lagi.

Kesunyian kini menyelimuti gua itu. Kapten Herman dan kawan-kawan yang menunggu di tepi danau tidak berniat berkata sepatah katapun. Mereka menunggu dengan cemas apa yang akan terjadi pada Jan Bocnan dan kawan-kawan. Satu jam telah berlalu, tidak ada tanda-tanda kemunculan Jan Bocnan dan kawan-kawan. Kapten Herman tampak gelisah, teropongnya menyapu seluruh penjuru danau, tetapi tidak ada tanda-tanda kemunculan rakit yang dinaiki Jan Bocnan.

Setelah menunggu selama dua jam, barulah terlihat rakit dari arah danau menuju ke arah Kapten Herman dan anak buahnya.

“Itu mereka!” teriak Otto Vollenhoven kegirangan.

Mereka segera berlarian ke tepi danau tidak sabar menanti kabar yang dibawa Jan Bocnan dan kawan-kawan.

“Apa yang terjadi?”

“Ada apa di sana?”

“Bagaimana keadaan di sana?”

“Mengapa lama sekali?”

Berbagai pertanyaan meluncur ketika Jan Bocnan mendarat di tepi danau. Wajahnya sama sekali tidak menampakkan kecemasan atau ketakutan, malah menampakkan kegembiraan. Itu artinya Jan menemukan sesuatu yang berarti.

“Ja! Kami menemukan daratan di sana. Gua ini adalah kubah yang melengkung yang sangat luas, sehingga ujung danau tidak kelihatan. Di sana ada celah kecil yang menghubungkan gua ini dengan lembah kecil yang dikelilingi tebing-tebing curam yang sangat tinggi. Di sana banyak tumbuhan dan binatang liar. Kami sudah mengelilingi lembah itu, dan satu-satunya jalan menuju lembah itu adalah melalui gua ini. Jadi tidak mungkin ada orang lain yang mengetahui keberadaan lembah itu!” terang Jan Bocnan dengan penuh semangat, setelah dia turun dari rakit.

“U bent verkeerd, Jan, Kamu salah, sudah banyak yang mengetahui lembah itu. Pembuat peta ini dan rakit-rakit itu menunjukkan bahwa tempat itu sudah pernah dijamah manusia tetapi dilupakan. Tetapi jangan khawatir, kita akan membuat jebakan-jebakan sehingga orang yang masuk akan celaka jika tidak tahu caranya. Sekarang mari kita berangkat ke sana!” kata Kapten Herman mengoreksi keterangan Jan dan memberi perintah pasukannya untuk segera berangkat.

Mereka segera berangkat menuju lembah yang diceritakan Jan Bocnan. Peti-peti terkunci berisi emas batangan dinaikkan ke atas rakit. Mereka segera mendayung rakit-rakit mereka menyeberangi danau menuju lembah tersembunyi. Tanpa mereka sadari seseorang  berpakaian kulit ular mendengarkan semua pembicaraan mereka dari suatu celah tersembunyi di langit-langit gua. Seekor monyet kecil tampak bertengger di pundaknya.

“Ayo, Wanara! Mereka tampaknya sudah pergi, ayo kita pergi. Sudah cukup yang kudengar tadi!” kata orang itu yang ternyata buta kedua matanya sambil melompat turun dari persembunyiannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status