Share

HARTA KARUN VOC

Penulis: Yoyok RB
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-01 10:27:20

Tepi pantai kawasan Sindanglaut. Angin laut bertiup dengan kencang ketika serombongan orang dengan seragam VOC, tampak berjalan sambil membawa peti-peti terkunci. Mereka membawa peti-peti itu ke sebuah gua tak jauh dari pantai. Jumlah rombongan itu adalah 40 orang, dibawah pimpinan Kapten Herman Bondervijnon. Satu per satu anggota rombongan itu memasuki gua. Kapten Herman yang terakhir memasuki gua sambil memastikan tidak ada orang lain yang melihat mereka. Gua di tepi pantai itu cukup besar, walaupun pintu masuk gua tampak kecil. Di bagian dalam bentuk gua itu seperti kubah besar.  Beberapa orang memegang obor untuk menerangi gua yang gelap gulita itu. Dengan diterangi cahaya obor mereka terus memasuki perut gua itu. Mereka perjalan dengan pelan dan sangat hati-hati, karena jalan yang tidak rata dan licin. Bunyi gemericik air di seluruh penjuru gua mengiringi langkah kaki mereka.

“Kapten, kita pilih ke kiri atau kanan!” tanya Jan Bocnan yang berjalan paling depan saat tiba di  sebuah persimpangan.

“Pilih sebelah kanan saja!” kata Herman dengan yakin. “Rechts! Rechts!” teriak Herman memberi perintah pada anak buahnya untuk masuk lorong gua sebelah kanan.

Mereka segera berjalan beriringan menuju lorong gua sebelah kanan. Jalan yang mereka lalui semakin lama semakin sempit. Hingga akhirnya hanya ada sebuah lubang sempit di depan mereka.

“Hoe dit? Apakah kita harus lewat lubang ini?” tanya Jan Bocnan.

“Ja! Ini jalan satu-satunya menuju tempat yang aman, cepat masuk! Gaan! Gaan!” perintah Kapten Herman pada pasukannya untuk segera masuk ke dalam lubang sempit itu.

Lubang itu hanya cukup dimasuki satu orang dengan posisi merangkak. Satu per satu masuk ke dalam lubang itu. Jan Bocnan yang pertama kali masuk lubang itu, obor dipegang oleh Otto Vollenhoven yang berdiri di belakang Jan Bocnan. Dengan agak kesulitan, Jan Bocnan merangkak memasuki lubang itu. Setelah Jan Bocnan lenyap masuk ke dalam lubang itu, Otto mengulurkan obornya kepada Jan Bocnan agar Jan bisa melihat dalam kegelapan. Beberapa saat lamanya semua terdiam menunggu isyarat dari Jan untuk masuk ke dalam lubang.

“Wow! Fantastisch! Luar biasa!” teriak Jan.

“Wat is het? Jan! Ada apa?” tanya Kapten Herman penasaran.

“Lihat saja sendiri!” teriak Jan dari balik dinding gua.

Kapten Herman segera memerintahkan pasukannya untuk segera melewati lubang itu, dengan terlebih dahulu memasukkan peti-peti yang mereka bawa.

Setelah melewati lubang kecil itu, terjawablah mengapa Jan berteriak dengan penuh kekaguman. Di belakang jalan sempit itu terdapat sebuah ruangan yang sangat luas dan tinggi. Di tengah-tengahnya terdapat sebuah danau yang luas, tepinya sama sekali tidak terlihat. Di langit-langit gua yang tinggi terdapat sebuah lubang cahaya yang menerangi seluruh isi gua. Sekarang mereka tidak perlu memakai obor lagi untuk penerangan. Kapten Herman berjalan menuju tepi danau, dia mengeluarkan teropongnya dari saku, dan mulai melihat dengan teropongnya ke ujung danau yang jauh.

“Verdomt! Ujung danau ini tidak kelihatan,“ gerutu Kapten Herman sambil terus melihat ke ujung danau dengan teropongnya.

“Bagaimana selanjutnya?” tanya Jan Bocnan.

Kapten Herman tidak menjawab tetapi dia mengeluarkan sebuah peta dari saku bajunya.

“Menurut peta ini, di ujung danau itu terdapat sebuah daratan, tetapi aku tidak melihat apapun,” kata Kapten Herman sambil menyerahkan peta itu pada Jan Bocnan.

Jan Bocnan melihat peta itu sekilas, kemudian dia memandang danau yang luas di depannya.

“Er is maar een manier!“ gumam Jan Bocnan, hanya ada satu cara.

“Apa itu?” tanya Kapten Herman.

“Kita harus menyeberangi danau ini untuk mencari ujung danau,” kata Jan Bocnan.

Kapten Herman berpikir sejenak, kemudian dia memandang ke sekelilingnya mencari sesuatu.

“Ja! Kita harus menyeberangi danau ini! Sekarang, semuanya cari alat untuk menyeberang, perahu, rakit, atau apapun! Cepat laksanakan! Snel! Cepat!“

Tanpa diperintah dua kali, anak buah Kapten Herman segera bergegas menyebar ke seluruh penjuru gua. Kapten Herman hanya memandangi anak buahnya yang menyebar ke segala arah. Dia berdiri di dekat tumpukan peti-peti yang terkunci. Pandangan Kapten Herman kini beralih ke peti-peti itu. Isi peti-peti itu adalah emas batangan yang berasal dari kapal Roode Leeuw. Emas batangan itu sebenarnya berasal dari New Guinea dan  akan dikirim ke Batavia. Kapten Herman selaku kapten kapal ternyata punya pikiran lain. Berbekal sebuah peta tua dari Daeng Mangading, perompak dari Celebes, Kapten Herman mendaratkan kapalnya di Sindanglaut dan mencari gua yang tertera dalam peta. Kapten Herman berencana menyembunyikan emas batangan itu. Emas itu akan diambil setelah dia mendapatkan kapal baru dan akan melarikan diri ke Portugal. Disana dia membelanjakan  emas-emas itu dan akan hidup dengan tenang. Kapten Herman berpikir bahwa gaji seumur hidupnya sebagai prajurit VOC tidak akan dapat membuatnya kaya raya. Peti berisi emas yang dibawanya adalah 80 buah peti, jadi masing-masing orang akan mendapatkan dua peti penuh emas batangan. Jika emas itu dijual akan berharga jutaan gulden, cukup untuk hidup mewah sampai tua. Kapten Herman sendiri tidak tahu darimana asal emas batangan itu. Dia hanya diperintahkan mengambil emas-emas itu dari New Guinea dan membawanya ke Batavia untuk diserahkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Kapten Herman telah merencanakan dengan matang pelariannya. Pertama dia mengirim kabar bahwa kapalnya mengalami kerusakan. Kemudian dia mengirimkan permintaan bantuan. Setelah itu dia mendaratkan isi dan awak kapal di Sindanglaut, dan menenggelamkan kapal Roode Leeuw. Mereka mendarat di pantai Sindanglaut dengan sekoci-sekoci penyelamat.

“Kapten! Kapten! Kijken naar deze! Lihat ini!“ teriak Pieter Cornelisz dengan nada gembira.

“Ada apa?” tanya Kapten Herman penasaran sambil berlari ke arah Pieter yang berada di tempat yang agak tersembunyi dan gelap.

Pieter berdiri di sebuah sudut, didekatnya tampak  lima buah rakit yang berlumut dan tertumpuk dengan rapi.  Kapten Herman segera memeriksa rakit-rakit itu. Tampaknya semua rakit itu masih dapat digunakan.

“Panggil semua rekanmu, dan angkat rakit-rakit ini ke danau! Cepat!“ perintah Kapten Herman dengan penuh semangat.

Beberapa saat kemudian, puluhan anak buah Kapten Herman bergegas mengangkat kelima rakit itu ke danau. Dalam waktu singkat kelima rakit itu sudah berada di atas air danau yang dingin. Jan Bocnan mencoba menaiki rakit itu. Kemudian setelah dirasa rakit itu cukup kuat dan tidak akan tenggelam, Jan Bocnan mengangkat sebuah peti dan menaruhnya di atas rakit.

“Nee! Nee! Biarkan peti itu dulu. Kamu pergi saja dulu ke sana, jika benar-benar ada daratan di ujung sana, kamu dapat membawa peti-peti itu!” Kapten Herman mencegah Jan membawa peti itu.

“Pieter, Tijmen, Frans, Daniel! Temani Jan Bocnan! Jika sudah menemui daratan segera kembali!” perintah Kapten Herman.

Keempat orang yang dipanggil Kapten Herman segera naik ke rakit yang dinaiki Jan Bocna. Kemudian tanpa bersuara mereka segera mendayung rakit menuju ke ujung danau yang tak terlihat. Kapten Herman dan prajurit VOC lainnya menunggu dengan tegang. Kapten Herman berjalan mondar-mandir sambil sesekali melihat dengan teropongnya ke arah Jan Bocnan dan rekan-rekannya yang semakin lama terlihat semakin mengecil dan akhirnya tidak terlihat lagi.

Kesunyian kini menyelimuti gua itu. Kapten Herman dan kawan-kawan yang menunggu di tepi danau tidak berniat berkata sepatah katapun. Mereka menunggu dengan cemas apa yang akan terjadi pada Jan Bocnan dan kawan-kawan. Satu jam telah berlalu, tidak ada tanda-tanda kemunculan Jan Bocnan dan kawan-kawan. Kapten Herman tampak gelisah, teropongnya menyapu seluruh penjuru danau, tetapi tidak ada tanda-tanda kemunculan rakit yang dinaiki Jan Bocnan.

Setelah menunggu selama dua jam, barulah terlihat rakit dari arah danau menuju ke arah Kapten Herman dan anak buahnya.

“Itu mereka!” teriak Otto Vollenhoven kegirangan.

Mereka segera berlarian ke tepi danau tidak sabar menanti kabar yang dibawa Jan Bocnan dan kawan-kawan.

“Apa yang terjadi?”

“Ada apa di sana?”

“Bagaimana keadaan di sana?”

“Mengapa lama sekali?”

Berbagai pertanyaan meluncur ketika Jan Bocnan mendarat di tepi danau. Wajahnya sama sekali tidak menampakkan kecemasan atau ketakutan, malah menampakkan kegembiraan. Itu artinya Jan menemukan sesuatu yang berarti.

“Ja! Kami menemukan daratan di sana. Gua ini adalah kubah yang melengkung yang sangat luas, sehingga ujung danau tidak kelihatan. Di sana ada celah kecil yang menghubungkan gua ini dengan lembah kecil yang dikelilingi tebing-tebing curam yang sangat tinggi. Di sana banyak tumbuhan dan binatang liar. Kami sudah mengelilingi lembah itu, dan satu-satunya jalan menuju lembah itu adalah melalui gua ini. Jadi tidak mungkin ada orang lain yang mengetahui keberadaan lembah itu!” terang Jan Bocnan dengan penuh semangat, setelah dia turun dari rakit.

“U bent verkeerd, Jan, Kamu salah, sudah banyak yang mengetahui lembah itu. Pembuat peta ini dan rakit-rakit itu menunjukkan bahwa tempat itu sudah pernah dijamah manusia tetapi dilupakan. Tetapi jangan khawatir, kita akan membuat jebakan-jebakan sehingga orang yang masuk akan celaka jika tidak tahu caranya. Sekarang mari kita berangkat ke sana!” kata Kapten Herman mengoreksi keterangan Jan dan memberi perintah pasukannya untuk segera berangkat.

Mereka segera berangkat menuju lembah yang diceritakan Jan Bocnan. Peti-peti terkunci berisi emas batangan dinaikkan ke atas rakit. Mereka segera mendayung rakit-rakit mereka menyeberangi danau menuju lembah tersembunyi. Tanpa mereka sadari seseorang  berpakaian kulit ular mendengarkan semua pembicaraan mereka dari suatu celah tersembunyi di langit-langit gua. Seekor monyet kecil tampak bertengger di pundaknya.

“Ayo, Wanara! Mereka tampaknya sudah pergi, ayo kita pergi. Sudah cukup yang kudengar tadi!” kata orang itu yang ternyata buta kedua matanya sambil melompat turun dari persembunyiannya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yoelianto A Saputro
ini baru cerita. makin banyak cerita sejarah makin ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   PERPISAHAN

    Matahari mulai bergeser ke barat. Tetapi di dalam gua Sindanglaut suasana tetap gelap tidak ada bedanya siang dan malam. Rombongan Kyai Rangga telah berada di pintu keluar gua. Tetapi suasana cukup gelap, mereka tidak bisa melempar-lempar peti tanpa ada penerangan.“Buat obor!” perintah Kyai Rangga.Dwipangga segera mengeluarkan batu pemantik kemudian mencoba membuat api. Tetapi gagal, lagipula tidak ada ranting kering atau apa pun yang dapat digunakan untuk menyalakan api di gua itu.“Maaf Kanjeng Tumenggung, saya tidak dapat menyalakan api,” kata Dwipangga merasa menyesal.“Hmm, tidak ada jalan lain, kita harus membawanya keluar dengan panduan Badra. Jadi kita terpaksa harus bolak-balik masuk ke dalam gua untuk mengeluarkan peti-peti ini,” kata Kyai Rangga.Maka ke sepuluh orang itu harus empat kali bolak-balik keluar masuk gua untuk mengeluarkan peti-peti itu. Untungnya di luar ada Lasmini dan Suzane yang sigap membantu, sehingga mereka dapat lebih cepat mengeluarkan peti-peti itu

  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   HARTA KARUN VOC

    Suasana mendadak hening. Semua mata menatap pada tumpukan peti yang terbuat dari baja tahan karat itu. Di atas masing-masing peti terdapat simbol VOC berwarna keemasan. Ada pegangan di kanan dan kirinya untuk mengangkat peti itu. Di bagian tutupnya ada gembok besar berwarna perak. Di gembok itu juga ada logo VOC, walau samar karena tertutup tanah. Semuanya ada 80 peti.“Sarip, coba kau buka salah satu peti itu,” kata Kyai Rangga.Sarip segera menghunus goloknya dan menebas gembok yang mengunci peti itu dengan kekuatan penuh.Triiingg!! Terdengar suara benturan keras, gembok terlepas dari tempatnya. Semua penasaran ingin segera melihat isinya.“Buka peti itu!” kata Kyai Rangga yang juga ingin segera melihat isi peti itu.Sarip segera membuka peti itu dan membuat semuanya terbelalak. Batangan-batangan emas berkilauan terdapat dalam peti itu. Sarip mengambil satu batang dan mengamatinya dengan saksama. Ada tulisan dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sarip dan ada lambang piramida ter

  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   JEBAKAN MAUT

    Rombongan Kyai Rangga mulai menjelajahi daratan aneh itu. Mereka berjalan dengan pelan mengikuti Badra yang tetap berjalan di depan. Kyai Rangga berada tepat di samping Badra.“Kamu yakin sudah tahu tempatnya?” tanya Kyai Rangga.“Ya, sangat yakin karena waktu itu aku berada di sini dan mengamati setiap gerakan pasukan VOC yang menyembunyikan harta karun itu. Dan jangan lupa, Wanara juga melihatnya!” kata Badra sambil menunjuk Wanara di pundaknya.Wanara melompat-lompat kecil sambil meringis dan mengeluarkan bunyinya yang khas, seolah mengiyakan kata-kata Badra.Anggota rombongan yang lain mengikuti Badra dan Kyai Rangga sambil melihat-lihat disekitar mereka dengan penuh ketakjuban.“Jangan menyentuh apa pun, dan jangan mengambil apa pun yang ada di sini,” kata Kyai Rangga mengingatkan pada rombongannya.“Mengapa?” tanya Jampang.“Sudah, patuhi saja, jika tidak ingin ada kejadian buruk,” kata Suropati sambil mengingat kejadian yang pernah dialaminya saat memasuki gua itu.Walaupun kur

  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   LEMBAH RAHASIA

    Sindanglaut. Siang hari. Cuaca sangat cerah, tidak ada awan sama sekali di angkasa, ketika Kyai Rangga dan rombongannya mendarat di pantai Sindanglaut. mereka segera berjalan menuju ke arah gua di tepi pantai itu. Mereka berjalan beriringan, sampai di depan gua mereka berhenti. “Sebaiknya hanya laki-laki saja yang masuk,” kata Kyai Rangga setelah berada di depan gua. Semua pandangan tertuju pada Lasmini dan Suzane. Tampaknya semua setuju bahwa kedua wanita itu tidak ikut masuk ke dalam gua. “Bagaimana?” tanya Kyai Rangga. “Ya, kami akan menunggu di luar gua sambil berjaga-jaga. Lagipula Suzane membawa anak kecil,” kata Lasmini. Semua setuju untuk meninggalkan Lasmini, Suzane dan si kecil Roberth di luar gua. Kyai Rangga memimpin di depan diikuti oleh Suropati, Sakera, Sarip, Dwipangga, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Ketika mereka hampir masuk gua mendadak terdengar sebuah suara. “Aku juga ikut, sudah lama aku m

  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   PANTAI SINDANGLAUT

    Tengah laut. Siang hari. Di atas binatang raksasa berbentuk pulau. Rombongan Kyai Rangga tengah melaju dengan kencang menuju ke Sindanglaut. Semua masih terdiam setelah Kyai Rangga menyatakan bahwa Lembu Sora adalah seorang pengkhianat. Mereka semua terkejut dan tidak menyangka bahwa Lembu Sora, yang selama ini merupakan orang kepercayaan Kyai Rangga adalah pengkhianat. “Sejak kapan Kanjeng Tumenggung mengetahui kalau Lembu Sora adalah pengkhianat?” tanya Suropati penasaran. “Bukankah dia ikut membunuh Kanigoro?” Sarip juga ikut mengajukan pertanyaan. Kyai Rangga tidak langsung menjawab, dia memandang semua yang ada, semua orang yang telah ikut dalam penyerangan ke Batavia. “Hmm, akan kuc

  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   MENUJU SINDANGLAUT

    Kyai Rangga segera berlari menuju ke pulau hidup, diikuti oleh Suropati, Sakera, Dwipangga, Suzane yang menggendong Roberth, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Mereka berlari dengan cepat tanpa melihat ke belakang. “Tunggu!” teriak Sarip yang tiba-tiba muncul dari belakang bersama Lasmini. “Kami ikut!” teriak Sarip sambil berlari mengejar rombongan Kyai Rangga di depan. “Ya, ayo cepat!” teriak Kyai Rangga, menoleh sambil terus berlari. Sarip dan Lasmini segera berlari mengikuti Kyai Rangga dan yang lainnya. Dalam sekejap rombongan itu telah naik ke atas pulau itu. “Semua ke

  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   PULANG

    Kyai Rangga melihat gudang perbekalan yang sudah tidak berbentuk lagi, porak-poranda, semua sapi yang dibawa mati dalam keadaan mengenaskan. Ada yang terbakar, ada yang terbunuh, dan ada yang tercebur ke laut. Semua perbekalan sudah tidak berbentuk lagi. Kesedihan tampak di wajah Kyai Rangga, walau dia sangat senang dengan kedatangan Suropati dan kawan-kawan. Tetapi kesedihan tidak dapat disembunyikan dari wajahnya.Sakera yang hendak mengajak Kyai Rangga bergurau mengurungkan niatnya ketika melihat raut wajah Kyai Rangga. Dia ikut memandang reruntuhan benteng darurat di pelabuhan.“Tidak ada harapan lagi, pasukan Mataram tidak akan mendapat perbekalan yang dibutuhkan,” kata Kyai Rangga pada dirinya sendiri.“Bukankah kita dapat mendatangkan lagi?” tanya Arya Tejawungu.“Tidak ada waktu lagi,” jawab Kyai Rangga pendek.Mendadak dari kejauhan Lembu Sora dan Bhre Wiraguna berkuda dengan cepat menghampiri Kyai Rangg

  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   SERANGAN MAUT

    Panasnya tornado api membuat kapal raksasa yang terbuat dari baja memerah dan mulai meleleh. Semua sudah membayangkan penumpang kapal raksasa itu sudah tewas karena kepanasan. Tetapi dugaan itu meleset, karena baja di kapal itu hanya lapisan luarnya. Saat lapisan bajanya meleleh, tampaklah lapisan berwarna putih di dalamnya, bahan yang tahan api dan sangat kuat. Semua yang memandang dengan takjub, benar-benar kapal yang luar biasa.Sementara itu Bayu, Agni, Anila, dan Lindhu sudah mulai kehabisan tenaga. Tornado api perlahan mulai mengecil dan lenyap. Air laut kembali normal. Bayu jatuh terduduk, begitu juga Agni, Anila, dan Lindhu. Tenaga mereka benar-benar terkuras.“Bagaimana ini, kapal itu tidak dapat dihancurkan!” kata Arya Tejawungu.“Kita bertempur sampai titik darah penghabisan!” kata Kyai Rangga sambil berdiri, tenaganya sudah pulih kembali.Semua mata memandang ke arah kapal raksasa di laut, menunggu apa yang selanjutnya

  • PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA   BANTUAN PENGUASA KEKUATAN ALAM

    Pelabuhan Sunda Kelapa. Menjelang tengah hari. Pasukan asing berpakaian hitam-hitam datang menyerbu ke dermaga. Pasukan Mataram tidak sanggup menghadapinya, senjata pasukan asing itu begitu mematikan. Kyai Rangga yang masih memulihkan tenaganya hanya dapat memandang pasukan asing itu menyerbu.“Gawat! Apa yang harus kami lakukan?” tanya Arya Tejawungu pada Kyai Rangga.“Biar kami saja yang menghadapi mereka!” kata Bayu yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka didampingi oleh Lindhu, Agni, dan Anila.Kyai Rangga tampak tersenyum senang melihat kedatangan empat saudara seperguruan itu. Kini dia merasa tenang dan melanjutkan memulihkan tenaganya, karena yakin empat orang itu akan sanggup mengatasi pasukan asing itu.Keempat penguasa kekuatan alam itu segera menyerbu pasukan asing. Agni mengeluarkan api yang dibantu oleh Anila sehingga menimbulkan tornado api yang segera menyambar pasukan asing.Tornado api itu berputar dengan cepat dan membakar semua pasukan asing yang mendekat. Pasukan a

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status