Share

PERJALANAN KE BARAT

Matahari mulai terlihat di ufuk timur, ketika Adijaya dan para prajuritnya berhasil sepenuhnya memadamkan api yang membakar gedung pusaka. Sisa asap masih mengepul di udara. Tampak wajah-wajah kelelahan di sekeliling gedung pusaka itu, setelah hampir semalaman mereka merusaha memadamkan api. Adijaya sengaja tidak memberitahu Kyai Rangga tentang kejadian di gedung senjata. Dia tidak ingin mengganggu istirahat Kyai Rangga yang akan menempuh perjalanan jauh. Tetapi sekarang dia tahu ada yang ingin mengganggu atau setidaknya mencegah Kyai Rangga sampai di Batavia. Adjiaya segera memanggil Bhre Wiraguna, Lembu Sora, dan Arya Tejawungu.

“Waktu kita terbatas, sebentar lagi matahari terbit, aku tidak ingin Kyai Rangga mendengar satu kata pun tentang kejadian di gedung pusaka. Aku ingin perjalanan Kyai Rangga ke Batavia tidak menemui halangan apapun, untuk itu, kuperintahkan pada kalian untuk mencegah siapapun atau pasukan apapun yang berniat keluar dari ibukota setelah kepergian Kyai Rangga. Jika mereka tetap melawan, habisi,” jelas Adijaya pada ketiga orang bawahannya itu.

Tanpa banyak bicara ketiga orang itu segera menjalankan perintah Adijaya. Mereka bergerak dengan cepat, sehingga begitu matahari terbit, semua jalan keluar dari ibukota telah dijaga ketat, bahkan saking ketatnya semutpun tidak akan lolos dari hadangan mereka.

Sementara itu, di Dalem Kadipaten, Kyai Rangga sudah siap-siap berangkat, kuda kesayangan Kyai Rangga yang berbulu putih bersih telah disiapkan. Dua puluh prajurit dari pasukan khusus pimpinan Bhre Wiraguna telah menaiki kuda mereka masing-masing, tinggal menunggu perintah untuk berangkat. Kyai Rangga keluar dari dalem kadipaten diiringi oleh Nyai Satumi.

“Baiklah Nyai, aku berangkat sekarang,” kata Kyai Rangga sambil menaiki kudanya.

Bhre Wiraguna memberi isyarat pada pasukannya untuk  segera membentuk barisan disekeliling Kyai Rangga. Kemudian dengan sebuah teriakan yang keras dan hentakan pada kuda  masing-masing, berangkatlah rombongan itu meninggalkan kadipaten Tegal, meninggalkan kepulan debu diudara dan diriingi doa dari Nyai Satumi.

Begitu Kyai Rangga meninggalkan ibukota, semua pintu keluar segera ditutup, balok-balok kayu besar dipasang ditengah jalan dijaga oleh prajurit dengan pedang terhunus. Adijaya beserta puluhan prajuritnya berjaga di pintu keluar sebelah timur kadipaten. Tak lama dia berjaga disitu, mendadak muncul serombongan pasukan dipimpin langsung oleh Patih Sindurejo hendak keluar dari ibukota kadipaten. Adijaya segera menghadang rombongan itu.

“Oh, Kanjeng patih rupanya, hendak kemana paduka di pagi yang cerah ini?” sapa Adijaya sesaat setelah rombongan Patih Sindurejo mendekatinya.

“Hmm, eh.. sebagai penguasa sementara kadipaten Tegal, aku memutuskan untuk berpatroli mengelilingi kadipaten, untuk memastikan keadaan aman dan tentram sepeninggal Kanjeng Adipati,” jawab Patih Sindurejo.

“Mohon maaf, kanjeng patih, sebaiknya untuk tugas sepele seperti itu biarlah hamba yang melakukannya. Kanjeng patih sebaiknya mengatur pemerintahan dan tinggal memberi perintah,” kata Adijaya.

“Aku ingin memeriksa sendiri keamanan di kawasan ini, karena merupakan amanah yang diberikan oleh Kanjeng Adipati padaku,” kata Patih Sindurejo mencari alasan.

“Sekali lagi mohon maaf, kanjeng patih, semua tugas pengamanan sudah diberikan pada hamba, dan hamba tidak ingin kanjeng patih berhadapan dengan bahaya. Biarlah hamba dan para prajurit yang akan menghadapinya,” kata Adijaya, tetap dengan penuh kesopanan.

“Jadi, kamu melarangku untuk keluar dari kadipaten?” tanya patih Sindurejo, mulai naik pitam.

“Bukan begitu, hamba hanya ingin menjaga keselamatan kanjeng patih,” kata Adijaya, berusaha untuk tidak terpancing kemarahan patih Sindurejo.

“Aku bisa menjaga keselamatan diriku sendiri!” bentak patih Sindurejo, yang sudah kehilangan kesabarannya.

“Mohon beribu maaf kanjeng patih,” kata Adijaya tetap dengan sikap merendah.

Patih Sindurejo terlihat sangat marah, dia menghela kudanya untuk menerjang Adijaya dan prajuritnya. Tetapi dengan sigap Adijaya mengambil sebuah tombak dari tangan salah seorang prajuritnya dan menghadang laju kuda dengan tombak mengarah ke leher kuda yang melaju. Melihat sikap Adijaya itu, patih Sindurejo segera menarik tali kekang kuda untuk menghentikan lajunya.

“Keparat! Apa maksudmu!” teriak patih Sindurejo.

“Hamba hanya menjalankan perintah!” jawab Adijaya tegas, dengan tombak masih terjulur.

“Prajurit! Serang!” teriak patih Sindurejo pada pasukannya.

Serentak terdengar bunyi pedang dan keris yang terhunus dari kedua pasukan yang berhadapan itu. Pertempuran tak dapat dihindari, dua pasukan itu saling serang. Adijaya dengan tombak terhunus menerjang ke arah patih Sindurejo. Tetapi Patih Sindurejo telah siap, pedangnya dapat menangkis serangan itu, tetapi dia hilang keseimbangan dan hampir terjatuh dari kudanya. Melihat kesempatan itu dengan satu gerakan cepat tombak Adijaya telah menghunjam ke tubuh kuda tunggangan Patih Sindurejo. Tak pelak lagi, kuda itu jatuh berdebam dengan darah mengucur deras. Patih Sindurejo dengan sigap melompat dari punggung kuda sebelum kuda itu jatuh mencium tanah.

Patih Sindurejo berdiri dengan kuda-kuda kokoh, siap menunggu serangan Adijaya. Tetapi Adijaya tidak langsung menyerang dia hanya menunggu. Tak sabar, patih Sindurejo bergerak mendahului menyerang Adijaya. Pedang milik Patih Sindurejo menyambar-nyambar mencarai sasaran. Adijaya hanya menangkis dan berusaha menghindar, dengan sesekali melancarkan serangan yang tak terduga. Patih Sindurejo terus menyerang dengan membabi-buta. Adijaya dengan tenang dan waspada tetap bertahan dari serangan itu.

Sementara itu, di pintu keluar kadipaten yang lain, beberapa pasukan bersenjata yang mencoba keluar dari kadipaten berhasil dihalau oleh pasukan Adijaya yang menjaga dengan ketat. Bahkan beberapa orang ditangkap dan segera diperiksa, tetapi tidak ada yang mengaku siapa yang menyuruh mereka dan tujuan mereka keluar dari kadipaten. Orang-orang itu segera dibawa ke penjara untuk diperiksa lebih lanjut.

Saat Adijaya dan pasukannya disibukkan oleh para penyusup yang hendak keluar dari kadipaten, Kyai Rangga dan rombongannya telah jauh meninggalkan kadipaten Tegal. Mereka memacu kuda dengan kecepatan sedang, agar kuda tidak mudah lelah. Mereka akan berkuda sepanjang pantai utara pulau jawa hingga sampai di Batavia. Dibutuhkan waktu dua hari penuh untuk menempuh jarak sekitar 329 km itu, dengan istirahat beberapa kali dan jika tidak ada halangan di jalan. Saat ini mereka telah memasuki daerah Brebes, mereka tetap memacu kudanya dengan kecepatan sedang.

Pada saat yang sama pintu keluar Kadipaten Tegal, Adijaya mulai berhasil memukul mundur Patih Sindurejo. Kini giliran Adijaya yang melancarkan serangan dengan cepat dan terarah, hasilnya dalam beberapa jurus, tombak Adijaya telah berhasil melukai lengan kanan kanan Patih Sindurejo. Hal itu membuat posisi Patih Sindurejo tidak menguntungkan. Tangan kanannya yang memegang pedang menjadi lemah karena luka di lengannya mengeluarkan darah terus menerus. Menyadari hal itu, Patih Sindurejo segera memutuskan untuk melarikan diri. Dengan suatu gerakan salto ke belakang, Patih Sindurejo menjauhi Adijaya, dan berikutnya dengan langkah cepat dia melarikan diri dari arena pertempuran meninggalkan pasukannya yang masih sengit bertempur. Adijaya sengaja tidak mengejar Patih Sindurejo, tetapi dia memanggil salah seorang prajuritnya dan memerintahkannya untuk membuntuti Patih Sindurejo.  Mengetahui pimpinannya telah melarikan diri, pasukan Patih Sindurejo segera menghentikan serangan mereka dan hendak ikut melarikan diri. Tetapi pasukan Adijya dengan sigap berhasil menangkap dan melucuti senjata mereka. Adijaya tampak tersenyum puas dengan hasil kerja pasukannya.

“Bawa mereka ke penjara! Tetap waspada, jangan sampai ada orang yang berhasil keluar sampai besok pagi!” perintah Adijaya kepada pasukannya, kemudian dia meninggalkan tempat itu untuk memeriksa tempat lainnya.

Kyai Rangga dan rombongannya terus memacu kuda mereka melintasi jalanan berdebu di sepanjang kawasan Brebes, sebelum akhirnya mereka sampai di sebuah tepi hutan.

“Apakah kita akan memasuki hutan ini?” tanya Bhre Wiraguna.

“Sebaiknya kita jalan memutar saja lewat daerah persawahan, hutan ini kelihatannya terlalu rindang, kita bisa tersesat di dalamnya,” kata Kyai Rangga.

“Kalau begitu kita harus lewat bukit kecil sebelah timur itu?” tanya Bhre Wiraguna.

“Tampaknya hanya itu jalan yang terdekat,” kata Kyai Rangga.

Mereka segera memutar kudanya untuk diarahkan ke bukit kecil itu. Rombongan itu tetap memacu kudanya diiringi matahari yang bersinar semakin panas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status