"Dila sayang, ini Tante. Buka pintunya!"mataku membulat, mendengar suara teriakan perempuan yang begitu aku kenal."Dila ... ini Tante Hella, sayang." lagi, suara demit itu kembali terdengar.Pelan ... kepala menoleh kearah, Dila yang sibuk membuka bungkus makanan dengan mata fokus menatap layar televisi. Langkah kupercepat, menghampiri Bik Narti yang wajahnya sudah menegang.Teriakkan Hella kembali terdengar, membuat gigiku mengerat saking kesalnya."Bik, bawa Dila kekamar belakang. Biar ular ini, aku yang urus!" titahku tegas. Bik Narti mengangguk patuh, dengan langkah cepat dia menuju kearah, Dila."Cantik, bawa makanannya kekamar ya. Diluar ada penyemprotan nyamuk banyak asap," ucap Bik Narti seraya mengambil plastik makanan, lalu menuntun Dila masuk kekamar belakang.Aku bernafas lega, setidaknya Dila langsung menurut tidak banyak bertanya.Aku atur nafas sebelum keluar dari pintu, mencoba bersikap biasa saja. Karna dilingkungan baru ini, tidak ada yang tahu masalahku sama sekal
Aku tersenyum tipis, dalam hati sedikit senang melihat Ibu-Ibu yang mulai membicarakan sinis tentang, Mbak Rissa."Sabar ya, Mbak. Biarkan saja. Saudara seperti itu, nanti juga kena batunya." cibir Ibu gendut. Aku hanya mengangguk, tersenyum miris mendengarnya."Mbak nya sudah makan?" tanya Wulan. Aku menggeleng pelan."Ya ampun," Wulan menghela nafas panjang. Sepertinya mereka benar-benar iba melihatku."Kasihan ya?""Ih, Mamah Dila. Aku jadi gemes sendiri." Ibu gendut mencebik, menimang Hamdan dengan tatapan sendu."Saya ambilkan makan ya?" tawar Wulan."Tidak usah, Mbak. Saya tidak mau merepotkan." balasku."Tidak apa, kasihan anakmu." sahutnya. Akhirnya aku mengangguk, Wulan menatap prihatin lalu masuk kedalam rumahnya. Pun aku tak bisa menolak, karna perut sudah mulai keroncongan."Memang ada masalah apa, Mbak sebelumnya. Maaf jika pertanyaan saya kurang berkenan." tanya Ibu muda yang sejak tadi hanya diam."Hanya salah paham, Mbak. Saya kesini juga mau minta maaf. Tapi malah diu
"Mbak, tunggu sebentar." seru Wulan sambil jalan tergesa menyusulku. "Ini buat ongkos, maaf ya hanya sedikit." ucapnya sambil menyelipkan lembaran uang berwarna hijau ditanganku.Aku hanya mengangguk, lalu berterimakasih meski hati ini dongkol luar biasa.Bagaimana mungkin, orang seperti Wulan yang punya rumah bagus dan mobil mewah memberiku uang hanya dua puluh ribu saja.Yang benar saja, pelit sekali, bukan?"Hati-hati ya. Saya doakan, semoga Mbak Hella bisa menemukan jalan keluar." aku hanya tersenyum kecut, lalu mengangguk dengan pelan.Mata menoleh sendu kearah rumah Mbak Rissa, berharap pintunya terbuka lalu Dila berteriak memanggil namaku. Namun nihil, hampir lima menit aku berdiri didepan rumahnya, takku lihat Dila keluar dari pintu."Sudah ... jangan berharap sama manusia seperti itu. Doakan saja, semoga Rissa cepat sadar diri. Syukur-syukur kena azab." ketus Wulan, saat melihatku yang masih menatap rumah Mbak Rissa."Saya masuk dulu," ucapnya saat suara teriakan terdengar me
"Gimana, hhhm?" Lagi-lagi aku bergidik, saat kepalanya mendekat kewajahku. Sorot matanya melihatku dengan tatapa penuh dengan nafsu, membuat jantung ini bergenderang dengan kuat. Suara kekehan terdengar, Pak Jaya tertawa melihat ekpresiku. "Jangan terlalu tegang, aku tidak ingin memaksa. Aku ingin semua hal dilakukan atas dasar saling suka. Tidak ada paksaan atau apapun itu," lirihnya ditelinga. "Aku hanya ingin bernegoisasi padamu, jika mau aku akan menanggung biaya hidupmu juga Hamdan. Kalau tidak, aku tidak masalah." lanjutnya. Kini kepalanya sedikit menjauh, namun sorotnya tetap saja menikamku dengan lekat. "Sekarang makanlah, untuk melayaniku kamu butuh tenaga, bukan?" Saliva terasa menggumpal ditenggorokan, keringat dingin bercucuran saat tangannya membelai rambut hingga wajahku. Aku berada dalam posisi yang sangat sulit, seakan tidak bisa pergi atau menolak keinginannya. "Pak ..." lirih suaraku, tertelan rasa gugup. "Tidak bisakah, kamu menganggapku sebagai ana
Pov Larissa."Siap, Pak. Saya pasti datang." jawabku mantap.Aku tutup sambungan telepon dengan dada berdebar, tak terasa sidang tuntutan sudah diujung mata.Bismillah ... semoga langkahku benar, dan kehidupanku kedepannya akan jauh lebih baik."Sa ..." Tania menepuk pelan pundak, repleks aku menoleh dan mengangkat dagu."Ada yang nyariin tuh, di loby," ucapnya."Siapa?" tanyaku seraya mengantungi gawai disaku blazerku."Orangtua, kayanya mertua lu deh," Tania nampak berfikir."Mertua?" Tania mengangguk mantap."Seiingat gua sih, iya. Soalnya gua ga nanya, lagi buru-buru tadi." jawab Tania seraya berbalik badan menuju kursi kerjanya.Kuhembuskan nafas panjang, memandang gawai yang penuh dengan panggilan Ibu mertua. Sejak kemarin, aku memang mengabaikan panggilannya. Aku tak mengira Ibu akan datang kekantor tempatku bekerja.Mau tidak mau, aku menemui beliau. Kebetulan pekerjaanku sudah selesai hanya menunggu bel pulang saja.Langkah demi langkah menelusuri lorong, hati sudah tak enak,
Pov Author.Dengan perasaan jengkel, Hanum menarik tangan Jaya. Hatinya begitu kesal, mulutnya bergerak-gerak merutuki sikap egois menantunya.Sementara Rissa, hanya mematung ditempat. Menyesapi hati yang semakin tersayat-sayat."Rissa itu sombong, kita sudah bicara baik-baik. Dia seperti semakin besar kepala." Hanum menghentikan langkah saat keluar pintu utama, menormalkan detak jantung yang berdetak dengan ngilu.Rudi ... seburuk apapun dia, tetap anak kandungnya. Tidak rela, jika Rudi mendekam dipenjara hanya karna masalah rumah tangga saja.Baginya kesalahan, Rudi tidak begitu fatal. Rudi hanya tersesat dan main-main, itu saja."Sebagai istri, seharunya dia sedikit mengalah. Toh semua sudah terjadi, Rudi sudah menyesal dan minta maaf berkali-kali. Maunya apa sih," sambungnya sambil memegangi dada. Hati begitu panas, mengingat penolakan Rissa.Jaya mengusap-usap punggung belakang, Hanum mencoba menenangkan. Pasalnya banyak orang yang keluar masuk pintu, menatap heran kearah mereka.
"Dek, lihat nih." Wisnu begitu semangat menyodorkan gawai pada Ika.Ika yang masih setengah hati menerima kehadiran Wisnu, hanya mendengkus, tak menanggapi.Wisnu menghela nafas sedikit kesal, lalu menaruh gawai tepat didepan wajah istrinya."Lihat dulu ..." paksanya."Kenapa sih." Ika merengut."Ini, Mas Rudi kan?" ujarnya. Ika menatap lurus kearahnya dengan pandangan tak suka, meraih gawai lalu melihat layar."Apaan sih, ganggu aja." cebik, Ika sambil melihat layar.Wisnu tersenyum miring, saat melihat Ika melebarkan mata melihat isi video didalam layar."Hot juga ya, Mas mu itu." cibir Wisnu. "Aku dengar saat ini dia dipenjara, dilaporkan sama istrinya sendiri, Mbak Rissa." cecar Wisnu dengan suara yang begitu ringan, menyudutkan Ika.Nafas Ika tercekat, dia memandang kearah, Wisnu dengan tatapan tak percaya."Pantas saja, sudah seminggu kamu melahirkan dia tak datang menjenguk anak kita. Mbak Rissa pun, hanya sekali datang itu pun di rumah sakit." ucap Wisnu dengan fikiran meneraw
Pov Larissa."Dila, kenapa Bik?" tanyaku saat memasuki rumah, alis menaut saat melihat Dila yang terduduk dengan wajah lesu."Tidak tahu, Neng. Sejak pulang sekolah sudah murung begitu. Ditanyain, cuma geleng kepala saja." jawab Bik Narti, tangannya sibuk menaruh segelas es jeruk dan cemilan diatas meja.Aku hela nafas panjang, pandangan masih tertuju pada gadis kesayanganku."Kamu kenapa sayang?" tanyaku pelan, sambil menaruh bobot diatas sofa, tepat disampingnya.Dila menghembuskan nafas panjang, pandangannya perlahan menoleh kearahku."Hemm?" aku membelai rambutnya penuh kasih, menunggunya berbicara."Mah ... emang benar ya. Ayah sekarang ada di penjara?"Nyeees!Hatiku langsung berdenyut ngilu mendengarnya.Aku dan Bik Narti saling beradu tatap, wajahku tegang dengan perasaan yang begitu was-was."Ayah, lagi kerja." kilahku berusaha tersenyum. Dila menunduk tak bersemangat, hatiku menjadi ketar-ketir dibuatnya."Kerja di penjara?" ulangnya menatap sedih."Dila tahu, penjara itu ap