"Maaf, Riss. Si Bagas ini, kalau bicara memang ceplas-ceplos." Ryan terkekeh malu.Aku hanya menarik nafas, mengeleng kepala melihat kekonyolan mereka. Sepertinya mereka sangat dekat."Oke ..." Bagas menarik nafas, tubuhnya menegak, berwajah serius."Bisa kita lebih serius? Tolong kerja samanya. Saat ini aku sedang berada di dekat client." Bagas menatap lekat netra, Ryan."Hoo, oke!" ujar Ryan sambil mengangkat tangan, menyatukan jari telunjuk dan jempolnya."Ehm ... bisa kamu jelaskan masalah ini dengan jelas. Meski aku sudah mendengar berita ini dari, Ryan. Tapi aku ingin mendengar semuanya dari clientku sendiri." pinta Bagas, kali ini wajahnya lebih antusias dari sebelumnya.Mata itu menyorot tajam, aku menghela nafas menyungging senyum kecut mengingat harus membahas tentang kedua musang itu."Astaga ...." Mendengar kisahku, Bagas tak henti menggelengkan kepala. Wajah yang tadi serius kini berubah mendung dengan tatapan iba."Lalu Hella, dia berada dimana sekarang?" tanya Bagas. A
Adam menatap lurus, seolah melihat kesungguhanku. Samar aku lihat Adam tersenyum miring, lalu menganggukkan kepalanya."Lu yakin?""Hmm!" aku mengangguk tegas."Oke," gumam, Adam seraya mengangguk pelan. "Tapi ..." kepala Adam celingukan, sebelum akhirnya mencondong agar lebih dekat denganku."Semua engga gratis," bisiknya pelan."Ini beresiko, kalau gagal ... bisa saja, gua ikut masuk ke penjara." sambungnya."Lu tenang aja. Motor gua, jadi milik lu. Kalau lu berhasil menjalankan tugas ini."Adam menyematkan senyum, kembali duduk ketempat semula."Kapan sidang kedua?" tanyanya."Tiga hari lagi," jawabku. Adam tak menjawab, namun senyum miring dibibirnya sudah mengatakan bahwa dia menyetujui rancana."Waktu besuk sudah habis!" suara petugas menggema didalam ruangan. Tatapan mata sinis selalu melekat padaku, tiap kali petugas sombong itu melihat keberadaan ini."Mau berbuat jahat apa lagi lu?" tanya petugas bernama Ryan dengan tatapan menyelidik.Aku tak menggubris, meneruskan langkah
Belum sempat aku menekan remote yang melekat dikunci mobil, pandanganku terhenti pada sosok laki-laki yang begitu familiar sedang berjongkok tepat disamping mobilku."A-dam ..." gumamku pelan, sambil mengamati gerak-geriknya yang sangat mencurigakan.Adam terlihat sibuk dibawah kolong mobil, mataku mengedar mencari keberadaan kamera pengawas, setahuku diarea parkir ada satu cctv."Hhh ... cctv menghadap arah lain. Itu berarti, tidak ada yang mengawasi kegiatannya." gumamku pelan sambil terus mengamatinya."Selesai juga," suara Adam terdengar sumringah, dia menepuk baju dan celana yang berdebu secara bergantian.Jarak antara aku dan dia hanya 10 meter, mata terus mengawasi gerak gerik dan sekitar. Waspada jika ada orang lain yang menemaninya."Tinn!"Suara klakson mobil terdengar saat aku menekan remot kontrol. Adam terlonjak kaget, sambil menepuk dadanya."Astaga, Ris-sa!" Mata itu terbelalak, Adam kembali memegangi dada saat sorotnya melihat keberadaanku.Aku tersenyum tipis, kaki me
"Lalu, saya harus bagaimana?" tanyaku gusar."Kalau memang bukan, Mbak Rissa yang menyebarkan. Mbak tidak perlu khawatir. Saya akan mencari tahu, siapa kiranya yang menyebar video itu." jawab Bagas."Oke. Saya serahkan semua sama, Mas Bagas. Semoga kali ini sidang berjalan dengan lancar. Tidak ada drama lagi." ucapku pelan."Mah ..." suara cempreng milik, Dila terdengar. Tak lama wajah imutnya menyembul dibalik pintu."Eh, anak Mamah sudah bangun. Kenapa sayang?" aku meregangkan tangan, Dila langsung masuk kedalam pelukkanku."Laper, sarapan yuk, Mah." ucapnya manja."Hayu, Mamah pun sudah laper." jawabku."Ini siapa, Mah?" Dila menunjuk, Bagas."Oh ... ini, teman kerja Mamah." jawabku."Hai, cantik." Bagas mengangkat tangan, sambil tersenyum lebar. Dila meringis, menyembunyikan wajah malunya."Dila memang begini, kalau bertemu orang baru." jelasku. Bagas mengangguk, masih tersenyum kearah Dila."Sudah, sarapan, Mas?" tanyaku."Eh, sudah. Ini saja minum kopi, sudah cukup." balas Bagas
Pov Author."Jangan ... jangan bawa anak saya!!" teriak Hanum saat kedua Polisi menggiring, Rudi keluar dari ruang sidang. Tatapan memelas yang terpancar dari sorot mata anaknya, membuat hati Hanum menjerit-jerit tidak terima."Bagaimana ini, Pak?" Hanum meratap pilu, hatinya sangat sakit mendengar keputusan, Hakim."Anak kita masuk penjara. Huhu ..." Hanum memukuli dada Jaya, untuk melampiaskan segala kecewanya. "Sabar, Buk. Mau bagaimana lagi. Toh kita sudah berusaha," desah, Jaya dengan nafas panjang."Aku tidak terima, Pak. Kasihan Rudi, lima tahun bukan waktu yang singkat!" balas Hanum dengan dada bergemuruh, tubuhnya benar-benar lemas fikirannya benar-benar berkecamuk."Nanti kita ajukan banding untuk meringankan hukuman, Rudi. Setidaknya Rudi pasti mendapati potongan hukuman, jika dia bisa berprilaku dengan baik." ujar Jaya menenangkan istrinya.Ingatan Hanum terus tertuju pada Rudi yang baru saja dibawa keluar oleh pihak berwenang, teriakan serta tatapan memelas anaknya membu
Dengan mesra, Jaya menuntun langkah Hella memasuki kantor KUA. Senyum manis selalu terukir dibibir tebal, Jaya. Menggambarkan suasana hati yang teramat bahagia.Sementara Hella, langkahnya terasa berat. Jantung memompa lebih cepat, ingin sekali menepis tangan bandot tua dihadapannya dan lari sejauh mungkin, namun kewarasan lebih dulu menyerang pikiran, terlebih saat pandangannya menyorot netra, Hamdan yang ada didekapannya.Nyesss!Hati begitu jelimet, sakit luar biasa hingga sekujur tubuh terasa lemas.Namun ... Hella bisa apa?Apa yang dia lakukan selain menurut?Kehidupan Hamdan jauh lebih penting dari pada harga diri, dan perasaannya. Hella tidak ingin akibat keegoisannya, Hamdan terkena dampaknya. Seperti kejadian kemarin.Dengan langkah berat, Hella mengikuti langkah Jaya. Wajah terutama matanya menjadi panas, saat melihat didalam sudah banyak orang berkumpul menunggu kedatangan mereka."Nah ... ini dia pengantinnya." sambut laki-laki setengah baya dengan senyum lebar. Meregangk
Rumah sederhana berwarna biru langit dengan halaman yang lumayan luas, terhampar tanaman hias beraneka ragam bunga membuat siapapun yang memandang merasa nyaman. Hella yang masih setengah sadar mengedarkan pandangan, bola matanya ke kiri dan kanan menelusuri setiap sudut halaman.Jaya, sang suami sedang menuntun langkahnya. Dibantu dengan beberapa orang yang tadi hadir diacara sakral mereka."Duduk disini ya, La. Istirahat saja, jangan banyak pikiran." ujar Jaya sambil menduduki tubuh Hella di atas sofa yang masih terbungkus plastik.Tanpa menunggu jawaban, Jaya langsung keluar, menemui rekannya yang ada diteras rumah."Kita tinggal tidak apa-apa kan?" samar suara percakapan Jaya dan rekan-rekannya terdengar. Hella yang sedang duduk beristirahat didalam, hanya diam dengan mata jelalatan mengitari setiap sudut rumah."Lumayan ..." desis batin, Hella. Tanpa sadar senyum tipis tersemat di bibirnya."Iya, tidak masalah. Makasih ya, sudah repot-repot bantuin ane." ujar Jaya dengan senyum l
Wisnu dan Ika saling berpandangan, saat mendapati Id-card Jaya yang ada dibawah kaki, Ika."Sudah diangkat jemurannya, Ka ...."Suara Hanum terdengar diluar kamar, tak lama Hanum sudah berdiri tepat didepan pintu dengan kening yang menaut kencang."Cepat ambil, Mas." ujar Ika sambil mengatupkan rahang."Kenapa, Ka?" "Eh, I-bu ..." Ika tergagap, matanya melirik cemas kearah Wisnu."Ada apa, kok pada tegang begitu?" ujar Hanum sambil melangkah masuk, membuat Ika semakin membeku ditempat."Aduh ..." Wisnu sengaja menjatuhkan keranjang cucian, dengan cepat tangannya mengambil Id-card lalu mengantunginya disaku celana."Hati-hati, Nu. Dikeranjang ada seragam Bapak, yang sudah disetrika nanti berantakan lagi." ujar Hanum sambil berjongkok, memunguti pakaian yang berjatuhan."Eh iya. Maaf, Buk. Tidak sengaja." sahut Wisnu sambil meringis, menyamarkan kepanikan."K-ok Ibu tidak makan?" ujar Ika dengan jantung bertalu-talu."Si Adek nangis itu, minta asi kayanya, Ka. Sudah lama kan dia tidurn