Kondisi Calia jauh dari kata stabil. Sejak mengetahui bahwa Devan membatalkan pernikahan mereka dan malah memilih menikahi Cleo, emosinya tak terkendali. Hampir setiap hari Calia mengamuk. Ia melempar barang-barangnya, menghancurkan bingkai foto, bahkan merobek semua gaun pernikahan yang telah dipersiapkan dengan penuh harapan.
Pak Affandi dan ibu Calia, Sandara, sempat mencoba menenangkan putri mereka. Namun amukan Calia semakin menjadi-jadi. Jeritannya menggema hampir setiap malam. Ia terus mengulang nama Devan, memaki Cleo, dan menangis tanpa henti. Tak sanggup melihat putrinya menderita seperti itu, akhirnya mereka memutuskan untuk membawa Calia ke rumah sakit jiwa demi keselamatannya sendiri.Kini, Calia hanya bisa terbaring di ranjang putih bersih dengan tatapan kosong. Kadang tertawa sendiri, kadang menangis tiba-tiba. Hatinya hancur—terlalu dalam.Suasana ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara jam dinding berdetak pelan dan langkah kaki para peraKeesokan harinya, dengan wajah tenang meski hatinya bergejolak, Cleo datang ke kantor Darelano Corporation. Ia menunggu di lobi dengan amplop putih di tangannya—di dalamnya ada cek senilai satu miliar yang pernah Devan berikan kepada ayahnya saat pernikahan mereka.Dio, yang baru saja turun dari lantai atas, terkejut melihat Cleo.“Ada yang bisa saya bantu, Nyonya Cleo?” tanyanya hati-hati.Cleo mengulurkan amplop itu. “Tolong serahkan ini pada Devan. Aku hanya ingin menyelesaikan semuanya.”Dio ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. Ia membawa amplop itu ke ruang kerja Devan. Ketika masuk, Devan tengah membaca laporan. Tanpa bicara panjang, Dio meletakkan amplop itu di meja.“Dari Nyonya Cleo. Beliau bilang untuk membayar denda,” ucapnya singkat.Devan menatap amplop itu tajam, lalu membukanya perlahan. Saat matanya menangkap isi cek satu miliar itu, wajahnya mengeras. Genggamannya mengencang, dan napasnya tertahan—seolah cek i
Cleo berjalan cepat, bahkan hampir berlari. Perasaannya campur aduk, seperti benang kusut yang tak tahu harus ditarik dari mana. Di pikirannya hanya ada satu hal: membawa ayahnya ke rumah sakit secepat mungkin. Nafasnya tersengal, air matanya menetes begitu saja tanpa ia sadari.Tanpa sengaja, Cleo menabrak seseorang—Zayn. Tubuhnya terhuyung, dan Zayn spontan memegang kedua lengannya agar tidak jatuh. Saat itu juga mata Zayn menangkap wajah Cleo yang sembab, pipinya basah, matanya merah.“Cleo?” Zayn tampak terkejut. “Kamu kenapa? Kamu nangis?”Cleo menggeleng cepat, tapi suaranya tak keluar. Ia terlalu sibuk menahan air mata yang nyaris pecah kembali. Zayn memegang lengannya lebih erat, menatapnya penuh tanya.“Cleo, tenang dulu… ceritakan ke aku. Ada apa?”Dengan suara parau dan terbata, Cleo akhirnya membuka mulut, "Aku harus bawa Ayah ke rumah sakit. Dia... dia makin lemas. Aku takut terlambat."Zayn terdiam sejenak, lalu lan
Setelah mendapat penjelasan dari Raisa, wajah Devan mengeras. Tanpa membuang waktu, ia segera menekan nomor Dio di ponselnya.“Dio, siapkan beberapa bodyguard. Kita harus pergi sekarang,” perintahnya tegas.“Tapi, Tuan, ini sudah malam. Ada urusan apa?”“Tidak ada waktu untuk menjelaskan! Bawa juga cek kosong! Kita akan ke tempat Chen.”Dio tak berani bertanya lebih lanjut. Nada suara Devan sudah cukup menjadi peringatan.Devan mengepalkan tangannya erat. Dadanya sesak memikirkan Cleo. Wanita yang kini harus menggantikan posisi ayahnya, menanggung semua beban, dan berada di tempat sekeji itu demi keluarga."Kamu bukan milik tempat kotor itu, Cleo," gumamnya lirih, penuh amarah dan kegelisahan.Beberapa menit kemudian, rombongan mobil hitam melesat keluar dari halaman kantor Devan, menuju tempat Koh Chen—dengan satu misi: membawa pulang Cleo.Deru mesin mobil membelah sunyi malam. Di dalam mobil utama, Devan dudu
“Devan… turunkan aku di sini!”Devan mengerutkan alis. “Apa maksudmu?”“Aku mau turun. Sekarang!” Suaranya terdengar berat, seakan menahan luapan emosi yang sudah tidak sanggup lagi dia pendam.Devan menoleh cepat. “Cleo, jangan bercanda. Kita belum sampai rumah.”“Aku nggak bercanda!” suara Cleo meninggi, matanya berkaca-kaca. “Aku butuh waktu sendiri, Dev. Aku frustasi… semuanya terlalu berat.”Devan mengerem perlahan dan menepikan mobil ke sisi jalan. Ia menatap Cleo dengan sorot tajam yang berubah jadi kekhawatiran. “Cleo…”“Aku nggak akan lari. Aku cuma... butuh sendiri.” Cleo membuka pintu sebelum Devan sempat mencegahnya. “Tolong… biarkan aku sendiri!”Devan menatapnya lama, tapi akhirnya mengangguk pelan. “Jangan pergi jauh. Aku akan tunggu di sini.”Tanpa berkata apa-apa. Cleo berjalan menyusuri trotoar dengan langkah cepat, seakan ingin lari dari seluruh kenyataan. Udara malam menyambutnya dengan dingi
Setelah memastikan Cleo dalam pengawasan Farel dan merasa sedikit tenang, Devan segera menelpon Dio."Dio, ada jadwal penting hari ini? Atau berkas yang harus segera saya tandatangani?" tanyanya singkat.Dio yang sudah terbiasa dengan ritme kerja Devan langsung merespons cepat, "Ada dua dokumen penting yang harus ditandatangani hari ini, Pak. Dan sore nanti, Bapak dijadwalkan meeting dengan investor dari Korea.""Baik. Kirim semua berkas itu ke kantor. Aku segera ke sana sekarang," ujar Devan, mengakhiri panggilan.Tanpa membuang waktu, Devan melajukan mobilnya menuju kantor. Ia tahu, meski hati dan pikirannya masih tertinggal di kafe tempat Cleo berada, tanggung jawabnya sebagai CEO tak bisa ditunda._Matahari mulai condong ke barat, dan langit perlahan berubah jingga keunguan. Malam pun datang membawa keramaian baru di kafe tempat Cleo bekerja. Alih-alih sepi, kafe justru semakin ramai dipenuhi pelanggan yang datang silih berg
“Kak, pulang sekarang. Ayah sakit!"Cleo langsung menghentikan kegiatannya, wajahnya berubah pucat. “Ya Tuhan, kenapa nggak dari tadi kabarin?”“Aku udah coba nelpon, tapi HP kakak nggak aktif.”Devan yang sedari tadi memperhatikan dari kejauhan, segera menghampiri mereka. “Aku antar kalian pulang.”Namun sebelum Cleo menjawab, Willy menepis tawaran itu dengan sorot mata tajam. “Nggak perlu! Kami nggak butuh bantuanmu.”Devan sedikit terkejut, tapi tetap tenang. “Aku cuma ingin membantu, Willy.”“Membantu?” Willy menyeringai sinis. “Kamu pikir aku sebodoh itu? Mana mungkin Tuan Muda sekelas kamu mau nikahin kakakku yang miskin kalau nggak ada maksud tersembunyi!”“Willy!” seru Cleo, mencoba menenangkan.Tapi Willy tak menggubris. “Kak Cleo terlalu baik sampai nggak sadar dimanfaatin. Tapi aku tahu. Keluarga kita nggak selevel sama kamu. Jadi berhenti pura-pura peduli!”Devan berusaha menahan diri. “Kamu