Share

Bab 002

last update Last Updated: 2024-10-15 09:24:37

Secara alami pada saat lahir dalam tubuh Bayu sudah tertanam dua kekuatan angin dan petir, sementara kesaktian Darah Peri tidak ikut masuk ke dalamnya.

Jadi anak ini sudah memiliki kelebihan dalam tubuhnya, hanya belum bisa mengendalikan dan memanfaatkannya.

Bayu juga mewarisi bakat luar biasa ayahnya, yaitu daya ingat yang kuat. Hanya saja dia lambat dalam mempraktekkan arahan sang ayah untuk mengendalikan kekuatan yang dia miliki.

Sehingga sampai di umur yang keduabelas, Bayu belum mampu mengendalikan dan memanfaatkan kesaktian angin petir dalam tubuhnya.

Ditambah lagi peristiwa di Padepokan Cakrabuana yang menyeret nama Panji membuat upaya sang ayah dalam mengajari anaknya jadi terhambat.

Akhirnya Panji menyerahkan pendidikan sang anak kepada Eyang Ismaya. Siapa tahu walaupun tidak bisa menggunakan kekuatan alami yang dimiliki, tapi masih memiliki ilmu lain warisan dari Eyang Ismaya.

"Tentu saja, aku sudah menganggap Bayu seperti cucuku sendiri. Aku juga senang ada orang yang akan mewarisi semua ilmuku. Aku percaya pada rencanamu, Panji. Dan aku yakin kalian akan bisa mengatasinya."

"Terima kasih, Eyang!" Panji menjura.

"Jaga dirimu baik-baik, Bayu!" Paramita mengusap kepala anaknya lembut penuh kasih sayang. "Untuk sementara kau akan tinggal bersama Eyang. Jangan nakal, turuti apa yang Eyang perintahkan."

"Baik, Ibu."

Paramita memeluk Bayu beberapa lama seolah hendak berpisah dalam waktu yang lama. Betapa pun hati seorang ibu begitu lembut menyayangi anaknya.

"Oh, ya. Satu lagi, Eyang," kata Panji. "Aku sudah membawakan sesuatu untuk Eyang di ruang belakang. Nyai, ayo kita hadapi mereka!"

Eyang Ismaya hanya mengangguk pelan dengan kening sedikit mengkerut karena belum tahu apa yang telah dibawa Panji.

Kemudian sepasang suami istri itu keluar yang langsung disambut oleh para pendekar dalam jumlah banyak -mungkin sampai seratus orang lebih- mengurung halaman rumah.

Bayu dan Eyang Ismaya tidak bisa melihat keluar karena pintu sudah ditutup kembali. Lalu terdengar suara teriakan dan bentakan yang menuntut pertanggungjawaban atas perbuatan Panji.

"Aku tidak berguna, Eyang. Aku tidak mampu membantu Ayah dan Ibu," ucap Bayu dengan nada menyesal.

"Bukan begitu," sanggah Eyang Ismaya. "Tapi belum saatnya!"

Kemudian Eyang Ismaya mengambil sebuah buntalan kecil yang sudah tersimpan di sebelah kanan si kakek sepuh ini. Buntalan tersebut dibuka dan diletakkan di depan Bayu.

"Apa ini, Eyang?"

"Ayahmu menitipkan dua benda itu untuk kau pakai agar selalu dalam keadaan selamat dan tidak kurang suatu apa pun."

Bayu mengambil kedua benda itu. Ternyata berupa ikat pinggang dan rompi berwarna hitam.

"Itu adalah Sabuk Ajaib dan Rompi Halimunan. Pakailah sebagai pelapis bagian dalam. Kau sangat membutuhkan dua benda itu."

Tanpa banyak kata lagi, Bayu bangkit lalu melangkah ke kamarnya membawa dua benda pusaka yang dulu selalu menemani petualangan ayahnya.

Beberapa saat kemudian anak berumur dua belas tahun ini muncul lagi. Dua pakaian pusaka tadi sudah dikenakan di bagian dalam.

"Sabuk Ajaib akan membuatmu selalu bertenaga, tidak pernah merasa kelelahan. Kalau terluka di bagian dalam atau luar, maka akan cepat menyembuhkan."

"Lalu Rompi Halimunan?" tanya Bayu.

"Bila kau usap bahu sebelah kanan, maka sosokmu tidak akan terlihat termasuk benda yang kau pegang. Jika ingin terlihat lagi, maka usap bahu kiri."

Wajah Bayu ternganga mendengar fungsi kedua pakaian pusaka ini. Rasanya ingin segera mencoba, tapi di luar sana sudah terdengar gemuruh angin dari ilmu-ilmu tingkat tinggi.

Ayah dan ibunya telah terlibat dalam pertarungan tidak seimbang. Dua orang melawan banyak. Namun, baik Bayu atau Eyang Ismaya tampak tenang saja.

Sebab, mereka yakin bisa saja Panji dan Paramita membantai habis lawan-lawannya walaupun jumlahnya sangat banyak.

"Kita lihat apa yang dibawa ayahmu!" Eyang Ismaya malah mengajak Bayu ke ruang belakang.

Sementara di luar memang terjadi pertempuran sengit. Sepasang pendekar digjaya, Pendekar Angin Petir bersama istrinya yang memiliki pusaka Pedang Seribu Kembang melawan lebih dari seratus pendekar aliran putih.

Seperti dugaan Eyang Ismaya dan Bayu, sepasang suami istri sakti ini tidak sungguh-sungguh dalam bertarung. Mereka lebih banyak menghindar.

Jikapun menyerang, maka serangannya tidak menimbulkan luka serius. Memang benar, bisa saja Panji mengendalikan angin dan memunculkan petir guna menghempaskan semua lawannya, tetapi tidak dilakukan.

Panji mempunyai rencana sendiri untuk membersihkan namanya yang sudah tercoreng. Padepokan terbesar kini hancur dan semua orang menetapkan Panji adalah pelakunya.

Dalam satu kesempatan, suami istri ini saling pandang lalu sama-sama mengangguk. Kejap berikutnya mereka melesat meninggalkan pengeroyok yang terus melepaskan serangan bertubi-tubi.

"Mereka kabur!"

"Kejar!"

Sebagai pendekar aliran putih tentu mereka bersikap kesatria. Yang diburu adalah Panji Saksana Pendekar Angin Petir saja. Maka tidak akan melibatkan yang lainnya, bahkan istrinya sekalipun. Karena yang menjadi sasaran hanya Panji saja.

Sepasukan pendekar golongan putih ini dipimpin oleh Wirapati si Tapak Sakti. Murid-murid dari Perguruan Teratai Emas juga ikut turun membantu.

Bahkan di antara mereka juga ada Jaya Antea alias Pendekar Cakar Sakti yang mendapatkan ilmu Dewa Racun secara tidak sengaja.

Dulu Jaya Antea sempat ditolong Panji ketika hampir tewas di tangan dedengkot Laskar Kalong Hideung. Sekarang demi menegakkan keadilan dia harus memburu sang penolongnya. Dia harus mengesampingkan balas budi terlebih dahulu.

Semua pendekar akhirnya mengejar Panji dan Paramita yang melesat cepat. Dalam waktu singkat halaman rumah itu menjadi sepi lagi.

Sementara itu di ruang belakang rumah. Eyang Ismaya dan Bayu sama-sama terkejut melihat benda yang tergeletak di lantai.

Ternyata jasad Ki Abiasa. Rupanya diam-diam Panji pergi ke Padepokan Cakrabuana dengan ilmu meringankan tubuh yang sangat cepat lalu mengambil jasad Ki Abiasa dan dibawa ke sini.

"Apa maksudnya ini, Eyang?"

"Ini akan menjadi tugasmu, dan tugasku juga. Walaupun aku sudah meninggalkan padepokan, tapi rasa tanggung jawabku masih ada."

Eyang Ismaya jongkok di depan jasad Ki Abiasa yang dulu menjadi bawahannya sewaktu masih di Padepokan Cakrabuana. Tangan kanannya yang dialiri hawa sakti menjulur memeriksa mayat itu.

Sementara Bayu memperhatikan bentuk luka yang tercetak di bagian dada atas sebelah kanan. Dia memang baru melihat korban akibat terkena ilmu Pukulan Geledek.

Tiba-tiba Eyang Ismaya terkejut sambil menarik tangannya.

"Ada apa, Eyang?"

"Ikut ke rumahku!"

Eyang Ismaya memanggul jasad Ki Abiasa ke bahunya. Lalu segera keluar meninggalkan rumah ini. Bayu hanya bisa mengikuti dari belakang.

Setelah kepergian dua orang ini, datanglah satu pasukan prajurit yang dikirim kerajaan untuk menangkap Panji terkait Padepokan Cakrabuana. Peristiwa tragis itu telah sampai juga ke istana.

Namun, saat diperiksa rumah sudah dalam keadaan kosong.

"Mereka sudah kabur. Tetapkan Pendekar Angin Petir beserta keluarganya adalah buronan kerajaan. Siapa pun yang menemukan harus menangkap mereka!" kata pemimpin pasukan yang tidak lain adalah Senapati Pranajaya, suaminya Nala Ratih.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PENGENDALI ANGIN PETIR   Bab 191

    Bayu keluarkan semua ilmu yang dimiliki satu persatu dilepaskan menghajar Buta Koneng. Terutama dari kesaktian Dewa Petir dan Dewa Angin. Sett! Derr! Dimulai dari Ilmu Tinju Bayu. Pukulan yang terbentuk dari angin yang dipadatkan. Tinju ini bisa merobohkan bukit. Namun, sosok Buta Koneng tak sedikit pun goyah. Yang terjadi malah tercipta serangan balik serupa mengancam si pemiliknya. Bayu bukannya tidak tahu hal tersebut. Dia memang sengaja dan tentunya sudah punya antisipasi agar serangan balik itu tidak mengenai dirinya seperti yang dialami empat pemimpin kelompok. Di saat yang tepat, Rompi Halimunan langsung aktif. Sosok Bayu tiba-tiba lenyap sehingga serangan balik tersebut hanya menemui sasaran kosong. "Hah!" Buta Koneng terkejut bukan main. Padahal dia memperkirakan lawannya akan hancur oleh ilmunya sendiri, tapi mengapa bisa begitu? Bayu sudah muncul lagi. Dia melepasliark

  • PENGENDALI ANGIN PETIR   Bab 190

    Hawa sakti sangat kuat menebar di seantero tempat. Ki Sela Waru bersama pengikutnya beringsut mundur hingga cukup jauh.Begitu pula empat pemimpin kelompok walaupun dalam keadaan terluka berat, mereka berusaha menjauh dari arena pertarungan.Termasuk Panji Saksana, tapi tidak jauh seperti yang lainnya. Sedangkan di tempat lain, para pendekar golongan putih menantikan pertarungan yang pasti akan sengit.Hawa sakti tersebut berasal dari Bayu yang mengerahkan seluruh kesaktian yang dimiliki. Tenaga Angin, Petir, Bintang, kesaktian Kitab Aksara Sakti dan Kitab Buana Sampurna."Keluarkan semua kekuatan yang kau punya, Bocah!" teriak Buta Koneng masih percaya diri dengan Ilmu Raga Waja yang belum terkalahkan.Namun, setelah memamerkan kekuatannya, Bayu masih tampak berdiri tenang, sepertinya tidak akan melakukan serangan."Apa maksud anak ini?" batin Panji Saksana.Sebelum ke pertarungan antara Bayu dengan Buta Koneng. Tampak

  • PENGENDALI ANGIN PETIR   Bab 189

    Pertarungan empat pemimpin kelompok melawan Buta Koneng terus berlangsung. Tokoh masa lalu yang bangkit lagi ini tampak sangat percaya diri dengan ilmunya.Buta Koneng membiarkan dirinya diserang sedemikian rupa. Ilmu Raga Waja membuat badannya kebal seperti baja.Ilmu ini memang mirip dengan ilmu yang dimiliki Soca Srenggi dulu setelah memakan telur badak siluman. Ilmu ini juga membuat pemiliknya hidup abadi sampai dunia kiamat.Yang pertama Ki Mandu Reksa melepaskan pukulan dengan tenaga dalam besar, menggunakan ilmu yang baru saja di dapat dari janin milik Nindya Saroya.Wutt!Segelombang angin kuat melesat menghantam dada Buta Koneng laksana tinju raksasa yang hendak mendobrak gunung.Dess! Wutt!Ki Mandu Reksa kaget bukan main, serangannya tidak mempan terhadap tubuh lawan. Malah seperti berbalik menghantam diri sendiri sampai tubuhnya terpental lalu jatuh.Brukk!"Uakh! Sialan keparat!"K

  • PENGENDALI ANGIN PETIR   Bab 188

    Kaki gunung Salak sebelah barat.Malam hari terasa mencekam. Hawa membunuh berkeliaran. Satu persatu kelompok yang berambisi ingin menjadi yang terkuat di dunia persilatan telah sampai di sana.Mereka tidak meneruskan naik ke lereng. Terlalu dekat dengan sarang musuh akan sangat berbahaya. Empat kelompok tersebut akan memancing Buta Koneng turun.Kalau memang merasa paling kuat pasti akan turun. Jika ingin menjaga harga diri, maka harus menyongsong musuh ke depan. Bukan menunggu.Hal ini disadari oleh Buta Koneng sendiri. Walau dianjurkan untuk tetap menunggu di markas oleh anak buahnya, sosok tinggi besar ini tidak ingin kehilangan muka."Kita akan hadapi mereka di bawah. Semua bersiap, saat menggenggam dunia persilatan!"Maka Buta Koneng segera memimpin pengikutnya untuk turun gunung.Sebelum sampai ke kaki gunung, masih di lereng yang agak tinggi, kelompok Buta Koneng mengawasi ke bawah.Meski malam gelap, ta

  • PENGENDALI ANGIN PETIR   Bab 187

    Buta Koneng menoleh kepada orang yang berbicara tadi. Lelaki setengah baya. Setelah dipindai, tenaga dalam orang ini masih di bawah Ki Sela Waru.Bahkan Ki Sela Waru sendiri tampak heran mendengarnya. Jelas raut wajahnya menunjukkan tidak suka."Kau jangan lancang bicara!" sentak Ki Sela Waru, tapi dengan suara pelan dan ditekan hampir berbisik."Siapa yang kau maksud orang yang akan merintangi langkahku?" tanya Buta Koneng. Suara hempasan napasnya bagai tiupan angin keras."Saya mendapatkan keterangan bahwa ada beberapa kelompok yang berhasil mendapatkan kekuatan sakti dari janin anak-anaknya Bayu Bentar," jawab lelaki setengah baya salah satu anak buah Ki Sela Waru tadi."Maksudmu kesaktian alami yang dimiliki calon anak-anaknya Bayu Bentar?" tanya Ki Sela Waru karena dia juga sempat mendengar kabar tersebut.Bahkan dia juga telah merencanakan akan menculik tiga istri Bayu setelah berhasil membangkitkan Buta Koneng, tapi ternya

  • PENGENDALI ANGIN PETIR   Bab 186

    Orang tua berpakaian serba hitam ini memiliki rambut keriting diikat kepala warna merah. Wajahnya kelimis tirus dan keriput. Kedua matanya tampak cekung, tapi sorotnya sangat tajam."Usia kandungannya masih muda. Nanti kalau sudah lebih dari empat purnama, baru aku bisa menyedot kesaktian alami yang ada dalam janinnya. Masukkan dia ke kamarku!"Dua orang yang tadi membawa Nindya Saroya segera memindahkan wanita yang sudah tak sadarkan diri itu ke dalam kamar lelaki serba hitam ini.Kamar yang dimaksud ternyata berada di balik ruangan ini. Di belakang lelaki tua tersebut, tepat pada sudut ruangan ternyata ada sebuah pintu batu yang dibuka dengan cara dorong lalu digeser ke kiri.Setelah terbuka, barulah kamar lelaki tua itu terlihat dari luar. Nindya Saroya dimasukkan ke sana. Di baringkan di atas tempat tidur terbuat dari kayu. Dua orang tadi sudah keluar lagi.Sementara Santana palsu memperhatikan setiap sudut ruangan sembari menyesuaika

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status