"Aku mau minta bantuanmu Mas, tolong jualkan rumah ini, hasil penjualannya untuk mencicil hutangku padamu."
"Hutang?"
"Mas, bantuanmu itu aku anggap sebagai hutang, aku tidak mau menerimanya lagi secara cuma-cuma. Kamu sudah memberiku mobil, padahal perasaanku sudah tak enak untuk itu. Aku merasa berhutang padamu. Tolonglah jangan membuatku tak nyaman seperti ini."
"Baiklah, untuk rumah kau boleh mencicilnya. Untuk mobil, biarkan saja. Itu pemberianku padamu," jawab Mas Hasbi yang membuatku merasa lega.
"Iya mas, aku minta tolong ya mas, jualkan rumah ini, mungkin hasilnya tak banyak tapi..." ucapku lagi.
"Kamu yakin mau jual rumah ini?"
"Iya mas, aku sangat yakin," sahutku lagi. Lebih baik aku jual rumah ini, agar kenanganku bersama Mas Rizki menghilang bersamaan dengan itu.
"Baiklah, akan kubantu."
"Tolong kirimkan nomor rekeningmu padaku, mas. Aku punya sedikit tabungan, cuma seratus juta tapi bisa unt
Nadia termenung, cukup lama. Tak ada sahutan apapun darinya. Kuperhatikan wajahnya yang terlihat kuyu. Seperti tak punya semangat, atau karena dia kelelahan, entahlah. Mungkin dia terlalu larut dalam kesedihan dengan masalahnya akhir-akhir ini. Sungguh, dalam hatiku, ingin sekali membahagiakannya atau setidaknya bisa menghapus luka di hatinya. Aku lebih senang melihatnya tersenyum, ia terlihat lebih cantik. Sudah tujuh tahun hubunganku kandas, namun sampai saat ini aku masih sangat mencintainya. Aku sudah berusaha untuk melupakan, tapi semuanya begitu sulit. Sangat sulit. Bayangannya selalu hadir menari-nari dalam pikiranku. "Maaf mas, sepertinya aku belum bisa memikirkan untuk menikah lagi. Berikan aku waktu untuk sendiri. Kau pulang saja, mas..." sahutnya yang membuatku tertegun. Apa sebesar itu rasa cintanya pada Rizki? Hingga menolakku? Atau apakah dia masih trauma? "Kenapa?" "Mas, aku baru bercerai dua bulan yang lalu. Aku bu
Kuhempaskan tubuhku duduk di sofa. Aku tersenyum kembali membayangkan raut wajah Nadia yang tersipu malu. Sungguh menggemaskan."Ciee, yang habis pulang nganterin calon..." sindir Mbak Nisa.Aku menoleh ke arahnya. Dia pasti berpikir aku tersenyum karena Andin."Gimana responnya?" tanya Mbak Nisa kembali."Apaan sih mbak? Ini bukan tentang Andin," jawabku."Terus? Kamu senyam-senyum sendiri kenapa? Kamu kayak orang yang sedang jatuh cinta.""Hmmm...""Tuh benar kan, jadi kamu jatuh cinta juga sama Andin? Benar sih, dia kan cantik, menarik, mbak aja sebagai perempuan suka, apalagi kamu sebagai laki-laki.""Mba, sudah kubilang, ini bukan tentang Andin. Aku memang jatuh cinta mba, tapi bukan dengan dia. Ada orang lain yang aku cintai mba, jadi jangan jodoh-jodohkan aku lagi dengan Andin.""Siapa?" tanya Mbak Nisa ingin tahu."Menurut mbak?""Mbak kan bukan dukun, jadi gak tahu.""Dari dulu sampai
Aku takkan bosan mengatakan itu padamu, Nadia, sampai kau benar-benar akan menerimaku sebagai suamimu. Aku akan terus mengatakannya padamu. Jika kau menolak aku tidak akan pantang menyerah, ya, kau benar. Aku akan terus berusaha sampai aku mendapatkannya. Prok ... Prok ... Prok ... Suara tepukan tangan membuat kami menoleh ke sumber suara. Tetiba Rizki datang diwaktu yang kurang tepat. Apa maksudnya coba? Dia mengganggu sekali. Ingin kupukuli dia saat ingat dialah penyebab aku dan Nadia berpisah. Tapi kalau aku main kekerasan, itu artinya aku belum dewasa. Akan kuselesaikan ini baik-baik. "Aw aw aw, rupanya ada yang melamar mantan istriku, padahal udah ditolak. Gak punya malu ya..." sindir Rizki, perkataannya mulai lancang. Sabar, sabar, aku tidak boleh terpancing. Aku tak boleh emosi. Rizki sepertinya sengaja ingin menjebakku agar bisa mengikuti keinginannya, berbuat kekerasan, mungkin. Nadia menoleh ke arahku. Aku tersen
Braakk ...! Kupukul meja yang ada di hadapanku, membuat ibu terkejut. "Apa yang kau lakukan, Rizki!" bentak ibu. "Nadia, Bu." "Ada apa lagi dengan Nadia? Kamu kan sudah pisah sama Nadia? Dia bikin masalah apa lagi?" "Dia menolakku, Bu. Dia tidak mau menerima aku kembali!" "Baguslah, untuk apa juga kamu kembali sama dia. Dia kan mandul!" Aku terdiam mendengar ucapan ibu. Gemuruh panas dan amarah di dadaku belum juga hilang. Terbayang kembali kejadian tadi. Kau mempermalukan aku di depan Hasbi, Nadia. Aku tidak terima, benar-benar tidak terima. Nadia lebih memilih Hasbi dari pada aku yang sudah pernah jadi suaminya. "Lagian kamu ngapain masih terus ketemu Nadia? Kamu udah punya istri. Urusin tuh istri barumu, suruh masak. Biar kamu gak kelaparan kayak gini," celetuk ibu. "Keysha sudah masak, bu. Tapi aku yang gak selera menyantap masakannya. Gak enak, gak seperti masakan ibu maupun Nadia," keluhku.
Akhir-akhir ini perhatian Mas Hasbi menurutku berlebihan, dia jadi sering menghubungiku, lewat WA maupun telepon. Tapi kalau boleh jujur, ada rasa bahagia di sudut hatiku ketika diperhatikan seperti ini. Entahlah rasanya berbunga-bunga. Siang itu saat jam istirahat kantor, dia datang bersama seorang teknisi untuk memasang CCTV di teras toko, di dalam toko dan di bagian belakang rumah. "Mas, buat apa sih pasang CCTV segala?" tanyaku terheran-heran. "Buat mantau kamu," ledeknya sambil tersenyum. "Ini sudah selesai semua, Mas," ujar teknisi itu. "Baik, terima kasih ya pak," sahut Mas Hasbi sambil memberikan upah untuknya. Setelah orang itu pergi, aku kembali menanyakan hal itu lagi pada Mas Hasbi. "Mas, buat apa pasang CCTV segala?" Dia tersenyum. "Tidak apa-apa, biar bisa pantau kamu." "Ih gitu lagi jawabannya." Aku mencebiknya namun dia justru terkekeh. "Kamu mau makan siang, Mas?"
'Om Rizki eh maksudku Mas Rizki jahat, dia pergi-pergi sendiri tapi aku gak boleh pergi,' batinku mulai meracau sendiri. Ada rasa jengkel di hati. Kalau boleh aku katakan Mas Rizki egois. Pantas saja dulu Tante Nadia di rumah terus, terkesan udik, ternyata Mas Rizki yang mengekangnya. Lama-lama kalau begini terus aku juga bosan. Aku butuh refreshing. Sayang, anak ini yang jadi penghalang. Dulu kupikir dengan adanya anak ini Mas Rizki akan bertambah sayang padaku. Bukankah keturunan yang dia mau? Itu juga yang menjadi sumber pertengkaran mereka dulu. Hah, tapi sekarang, aku merasa perilakunya berubah padaku, sepertinya dia sudah tak sayang lagi padaku. Segala hal dikekang, dan aku gak boleh pergi kemana-mana, diapun jarang di rumah. Tiap hari libur kerja dia pun pergi sendiri. Dia lebih memilih pergi bersama ibunya dari pada menemaniku. Bolehkah aku ragukan kesetiaannya? Apa memang sikapnya begitu? Tidak puas deng
Pertanyaan itu cukup membuatku terkejut. Bagaimana mungkin seorang Andhika masih mau denganku yang sudah jadi istri orang lain. Apalagi sekarang aku sedang hamil dan penampilanku tidak seperti dulu lagi."Aku yakin, kamu itu hamil anakku, Key," ucap Andhika lagi.Aku mendongak ke arahnya. Tatapannya padaku begitu serius. Kedua tangannya kembali membingkai wajahku."Kenapa kamu memilihnya kalau kamu tidak bahagia? Kemana wajah ceria Keysha yang dulu? Kamu terlihat begitu sedih dan kesepian. Aku sangat yakin, kamu tidak bahagia sama suamimu yang kaya itu kan? Cepatlah katakan padaku! Akan kuberi pelajaran untuknya!" tukas Andhika lagi.Aku berlalu meninggalkannya dengan langkah cepat, setengah berlari."Key, tunggu Key, jangan lari. Takutnya kamu jatuh," teriaknya.Benar saja, karena aku kurang hati-hati, aku tersandung batu. Beruntung Andhika dengan sigap menopang tubuhku."Key, sudah kubilang hati-hati, takutnya ka
"Dari siapa semua ini?" tanyanya dengan nada tak suka. Aku terdiam. "Katakan dari siapa?!" bentak Mas Rizki. "Kenapa marah? Ini tadi dikasih temen," jawabku berusaha untuk tenang. "Temen, temen siapa? Laki-laki apa perempuan?" "Temen kuliah, mereka semua patungan lalu ngasih ke aku. Mereka sudah tahu keadaanku kalau aku sedang hamil," kilahku lagi mencoba berbohong. "Kamu gak bohong kan? Kamu cerita apa sama mereka semua? Jelek-jelekin aku?" "Ya enggaklah, mas kan suami aku, masa aku jelek-jelekin kamu," sahutku lagi. Aku membawa kotak perlengkapan bayi itu ke dalam kamar. Merapikannya satu persatu ke dalam lemari. Terbayang kembali sosok Andhika yang perhatian padaku. Tumben? Tiba-tiba dia muncul dan memberikan perhatian padaku. "Kenapa kamu senyam-senyum sendiri?" tanya Mas Rizki mengage