Pak Dirga menghentikan langkahnya ketika aku aku bertanya kepadanya, dan pria tua itu lalu berbalik menatapku.“Ikut saja dengan saya, Nak Cempaka,” jawab Pak Dirga.“Saya tidak akan ikut dengan anda, Pak Dirga. Kalau bapak ingin berbicara dengan saya, kita bicara di sini saja,” tolakku.Pak Dirga hanya diam dan menatapku setelah aku mengatakan hal itu. Bahkan bergerak dari tempatnya saja tidak, dan itu membuatku semakin takut.Ketika pria tua itu baru saja akan memasuki hutan itu pikiranku sudah tidak enak, dan aku takut kejadian akan di masa lalu akan terjadi lagi. Lagi pula aku juga tidak bisa langsung percaya dan ikut dengan pria tua itu.Kami berdua diam di tempat kami masing-masing tanpa ada yang berbicara, dan tak lama pria itu kemudian melangkah mendekatiku. Tapi karena aku merasa takut, aku lalu melangkah mundur untuk menjaga jarak dengan pria tua itu.“Ada apa denganmu, Nak. Bapak tidak akan menyakitimu. Bukankah tadi kamu meminta bapak untuk berbicara denganmu di sini saja,
Aku yang terkejut dengan apa yang baru saja aku lihat hanya bisa membeku dan bersembunyi di balik pohon. Karena kecurigaan dan ketakutanku selama ini akhirnya menjadi nyata.Untung saja di sekitar pemakaman desa ini ada beberapa pohon besar. Sehingga aku bisa bersembuyi sambil mengintip apa yang terjadi.Awalnya ketika aku baru saja pergi dan bersembuyi di balik pohon sambil mengawasi Pak Dirga semua baik-baik saja. Tapi lama kelamaan aku melihat sesuatu yang aneh ketika pria tua itu menoleh ke sekitar seperti mencari sesuatu.“Nak Cempaka, Nak Cempaka,” panggil Pak Dirga sambil menoleh sekitar seperti mencariku, “Kmau di mana Nak Cempaka?” lanjutnya.Karena tidak mendapat jawaban dariku, pria tua itu kemudian kembali menatap makam Ajeng, dan pemandangan tak terduga tiba-tiba terjadi.Kaki Pak Dirga yang awalnya sama seperti kakiku, tiba-tiba hilang dan berubah menjadi ekor ular. Sedangkan badannya tetap sama seperti sebelumnya, dan itu membuatku merasa ngeri dan juga takut.Karena ak
Orang yang sedang mencariku itu sekarang sedang dikerumuni oleh beberapa wanita yang ada di warung ini. Bahkan sekarang untuk melihat wajahnya secara jelas saja aku hampir tidak bisa, tapi aku masih ingat sekali bagaimana wajah dan bentuk tubuh dari orang itu.“Cempaka, ada apa denganmu? Apa kamu kenal dengan pria itu?” tanya Mbak Siti menyadarkanku.“Tidak, Mbak. Aku tidak mengenalnya,” jawabku berbohong tanpa memandang Mbak Siti dan masih menatap pria yang duduk di ujung warung ini.“Benarkah kamu tidak mengenalnya, Cempaka? Kalau kamu tidak mengenalnya, mengapa dia bisa tahu kamu bekerja di sini?”Pertanyaan Mbak Siti membuatku menoleh ke arahnya, dan aku lalu mengatakan kepadanya bahwa aku benar-benar tidak tahu siapa dia, dan mungkin saja dia hanya pelanggan di warung Bu Darmi ini dan dia mengenalku dari warung ini.“Apa kamu yakin dia pelanggan kita, Cempaka? Karena sepertinya baru kali ini mbak melihat pria itu datang ke sini.”“I –Iya, Mbak. Dia pelanggan kita dan dia juga per
Aryo hanya tersenyum begitu aku melontarkan pertanyaan itu, dan dia lalu duduk di salah satu pohon patah yang ada di hutan di mana kami berada saat ini.“Duduklah di sini, Ajeng. Aku akan menceritakan semuanya,” jawab Aryo.Ada rasa enggan ketika aku akan duduk di samping Aryo. Jadi aku memilih untuk tetap berdiri dan mendengarkan cerita Aryo tentang bagaimana dia tahu bahwa aku adalah Ajeng.Ternyata pria itu tahu karena dia mengintip selama aku melakukan ritual bersama akik dan ninik, dan itu juga tanpa sepengetahuan akik dan ninik.Bahkan ketika aku pergi dan sudah mengganti identitasku dan wajahku, dia juga tahu dan masih mengikutiku hingga aku keluar dari desa hutan terlarang.Namun karena tugasnya sebagai pangeran tidak bisa dia tinggalkan dan abaikan, dia tidak bisa mengikutiku lagi. Tapi dia lalu meminta anak buahnya untuk mengikutiku hingga saat ini, dan dari anak buahnya itulah dia tahu di mana aku berada saat ini dan apa yang terjadi padaku.“Tunggu dulu, Aryo. Apa maksudmu
“Makam? Makam apa yang kamu maksud, Aryo?” jawabku berpura-pura tidak mengerti.“Tidak usah berpura-pura, Cempaka. Kamu tahu apa yang aku maksud. Jadi jangan berpura-pura lagi dan jelaskan kepadaku itu makam siapa,” ucap Aryo sambil mendekaatkan wajahnya dan menatapku dengan tatapan yang serius.Aku yang masih tidak tahu harus menjawab apa pada Aryo hanya diam membeku menatapnya kembali, dan kedua mata kami saat ini saling menatap satu sama lain seperti mencari jawaban dari pertanyaan kami masing-masing.Apakah aku harus menceritakan yang sebenarnya kepada Aryo, ataukah aku harus mengarang cerita tentang makam Ajeng itu seperti yang aku lakukan pada Pak Dirga?Pikiranku benar-benar kacau dan aku tidak tahu harus mempercayai Aryo atau tidak. Karena di dalam hatiku aku juga takut yang berdiri di hadapanku saat ini bukanlah Aryo yang asli, tapi orang suruhan Pangeran Dayu yang menyamar menjadi Aryo.Tapi cara bicara dan perilaku Aryo saat ini sama seperti Aryo yang aku kenal sebelumnya.
Mbak Siti dan juga Sri terlihat binggung dengan sikapku, dan mereka kemudian saling memandang lalu memandangku.“Ada apa denganmu, Cempaka? Mengapa kamu seperti terkejut seperti itu?” tanya Mbak Sri.“Ti –tidak, Mbak. Aku tidak terkejut kok,” elakku berusaha menutupi rasa terkejutku, “Aku hanya heran saja, kok Bu Darmi memberikan mbak baju kebaya putih seperti itu. Itu ‘kan seperti baju kebaya pengantin,” lanjutku.“Betul apa yang kamu katakan, Cempaka. Aku kok juga merasa seperti itu ya, aneh sekali,” tambah Sri.“Awalnya aku juga heran sama seperti kalian, tapi kata Bu Darmi kebaya ini cucok untukku dan acara yang akan kami hadiri besok lusa. Jadi aku akhirnya menerima apa yang Bu Darmi berikan. Lagi pula kebaya ini sangat bagus dan juga mahal, makanya aku tidak menolak,” jelas Mbak Siti.“Iya sih, Mbak Siti. Apa yang mbak katakan memang benar, tapi apakah mbak enggak merasa aneh Bu Darmi membelikan mbak baju mahal begitu. Karena setahuku, walaupun Bu Darmi baik kepada kita, tapi di
“Cempaka, aku takut. Apa Mbak Siti atau orang yang di luar tadi mendengar apa yang aku katakan?” ucap Sri dengan suara bergetar sambil menatap ke arah langit-langit kamarku.“Orang? Orang apa maksudmu, Sri?” tanyaku sambil menatap Sri yang masih memelukku.Bukannya jawaban yang aku dapat dari Sri, tapi suasana kamarku tiba-tiba menjadi sangat aneh. Karena lampu di kamarku jadi bergoyang ke sana kemari dan hidup nyala, dan itu membuat Sri tambah memelukku.“Ce –Cempaka, apa kita akan mati?” ucap Sri tiba-tiba.Aku yang masih menatap sekitar, langsung menatap Sri ketika dia mengatakan sesuatu yang menggangguku. Karena tidak mungkin kami akan mati hanya karena hal seperti ini saja.“Apa yang kamu katakan, Sri? Jangan berlebihan seperti itu! Kita tidak akan mati, tidak akan!” jawabku berusaha menenangkan Sri, padahal aku sendiri juga takut.“Nak Ajeng, baca apa yang akik pernah berikan kepadamu, dan jangan membuka matamu sampai kamu selesai membacanya,” tiba-tiba terdengar suara akik sepe
“Siapa kamu?” tanyaku tanpa berani menoleh ke belakang.Keringat dingin mengucur ke seluruh wajahku ketika hembusan angin menerpa tengkukku, dan bulu kudukku pun ikut berdiri.Karena masih tidak berani menengok ke belakang aku hanya diam dan menutup mataku. Tapi tiba-tiba sebuah tangan mencengkaram bahuku, dan entah mengapa aku merasa tangan itu tidak seperti tangan orang biasa. Tapi?“Cempaka,” panggil Aryo ketika aku membuka mata.Aku yang terkejut langsung mendorong Aryo menjauh dariku. Rasanya jantungku sudah mau lepas saja dari tempatnya karena ketakutan dan juga terkejut.“Ada apa denganmu, Cempaka. Kenapa kamu mendorongku?” protes Aryo.Karena tidak ingin mengganggu tidur Sri, aku lalu menarik telinga Aryo untuk ikut denganku dan pria itu terus saja merintih kesakitan sampai aku membawanya keluar dari kamarku.“Bagaimana kamu bisa masuk ke kamarku, Aryo? Apa kamu tidak takut ketahuan dan digebukin warga?”Aryo bukannya langsung menjawab pertanyaanku, tapi dia malah tertawa terb