“Nak Ajeng ada apa, Nak. Apa kamu bermimpi buruk?” panggil Nek Imah.
“Ni Imah?” ucapku sambil menatap wanita tua yang sedang duduk di sampingku.
Aku yang masih binggung dengan semua yang terjadi kemudian berusaha untuk bangkit dan duduk, tetapi entah mengapa tubuhku terasa tidak bertenaga dan sangat lemah. Bahkan untuk menggerakkan tanganku pun terasa susah.
“Nak Ajeng, jangan bangun dulu. Sekarang lebih baik Nak Ajeng beristirahat lebih dulu, ninik akan mengambilkan makanan untuk Nak Ajeng,” ujar Ni Imah.
Wanita tua itu kemudian bangkit setelah mengatakan hal itu, tapi aku lalu menarik tangannya dan bertanya kepadanya apa yang terjadi padaku. Tapi Ni Imah tetap memintaku untuk beristirahat dan dia beserta suaminya akan menjelaskan nanti setelah aku pulih, dan aku hanya bisa menurut dengan kondisiku saat ini.
Aku yang masih terbaring di tempat tidur hanya bisa mengingat-ingat apa yang terjadi. Tapi tak berselang berapa lama, Ki Joko dan Ni Imah masuk bersama ke dalam gubuk mereka ini.
“Bagaimana keadaanmu, Nak Ajeng? Apa tubuhmu masih terasa lemas, Nak?” tanya Ki Joko.
“Iya, Ki. Ajeng hanya bisa menggerakkan tangan dan kaki Ajeng saja, tapi Ajeng belum bisa menggerakkan badan Ajeng,” jawabku sambil menatap Ki Joko dan Ni Imah, “Apa yang terjadi padaku, Ki?” lanjutku dengan rasa khawatir yang menghantuiku.
Ki Joko yang berdiri di samping istrinya kemudian terdiam sambil memandangiku, lalu Ki Joko langsung keluar tanpa mengatakan apapun lagi kepadaku, dan meminta istrinya untuk memberiku makan.
“Ni, ada apa dengan Ajeng? Kenapa tubuh Ajeng bisa seperti ini?” tanyaku ketika Ni Imah akan menyuapiku.
“Sudah, lebih baik Nak Ajeng makan saja dulu. Nanti bila akik kembali, kita akan menanyakan hal ini, Nak Ajeng,” jawab Ni Imah.
Ni Imah kemudian menyuapiku dan tidak mengizinkanku untuk bertanya lagi, dan itu membuatku semakin binggung dan takut dengan apa yang terjadi.
***
“Ki, apa yang harus kita lakukan sekarang. Bagaimana bila Nak Ajeng tidak bisa berjalan lagi?” terdengar suara Ni Imah samar-samar.
“Kita lihat saja beberapa hari ini, Ni. Selama itu, tolong beri ramuan ini kepadanya, dan apapun hasilnya nanti kita serahkan kepada Gusti Pangeran, Ni.” Terdengar suara Ki Joko menjawab pertanyaan dari istrinya samar-samar.
Aku yang baru saja bangun hanya bisa diam menatap pintu dari gubuk ini, dan mendengarkan pembicaraan dua orang tua renta tersebut.
Ketika Ki Joko menyebutkan nama Gusti Pangeran membuatku ngeri dan juga takut. Karena aku tidak tahu siapa yang di maksud oleh Ki Joko dengan nama Gusti Pangeran itu. Apakah itu Pangeran Dayu ataukah Pangeran yang lainnya, dan itu cukup membuatku ingin pergi dari tempat ini.
Aku yang masih tidak bisa menggerakkan tubuhku, terus saja berusaha dan memaksa tubuhku untuk bangkit. Tapi bukannya bergerak, tubuhku malah terasa sangat sakit dan aku tidak melanjutkan apa yang aku lakukan.
“Apakah aku?” ucapku lirih.
Belum juga aku memahami apa yang terjadi pada tubuhku terdengar suara pintu terbuka, dan aku kemudian memejamkan mata kembali dan berpura-pura tidur.
“Apa dia sudah bangun, Ki?”
“Sepertinya belum, Ni. Kalau begitu, ninik jaga saja Nak Ajeng. Akik ke kebun dulu, dan jangan lupa bila dia bangun minumkan ramuan itu.”
Aku yang mendengar apa yang Ki Joko dan Ni Imah bicarakan tetap diam, dan ketika terdengar suara derit pintu terbuka lagi dan memastikan tidak mendengar suara siapapun di dalam gubuk ini, aku lalu membuka mataku.
Melihat gelas bambu yang diletak di sampingku membuatku ingin tahu apa isi dari bambu itu. Tapi aroma yang ada di dalam bambu itu membuatku mual. Sehingga tanpa sadar aku memuntahkan apa yang aku makan tadi.
“Nak Ajeng ada apa? Kenapa kamu bisa muntah seperti ini?” tanya Ni Imah panik.
Aku yang masih merasa mual dan ingin muntah hanya bisa mengabaikan apa yang dikatakan Ni Imah, dan wanita tua itu kemudian mengambilkan aku air dan meminumkannya kepadaku.
“Ni Imah, apa yang ada di gelas bambu itu? Mengapa bau sekali?” tanyaku setelah aku tidak muntah lagi.
“Seperti apa yang saya katakan sebelumnya, Cempaka. Bila kamu melewati pintu itu, maka kamu harus memilih. Kamu atau masmu yang akan hidup?” jawab Tuan Wisesa mengulangi pertanyaannya.“Ayah—,” ucap Dimas. Namun ayahnya segera menghentikannya dengan memberi isyarat.“Apa saya harus melakukannya, Tuan?” tanyaku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar.Pertanyaan yang Tuan Wisesa berikan benar-benar di luar dari perkiraanku. Bagaimana bisa dia bertanya seperti itu ketika Mas Budi atau Wirya tidak sadarkan diri. Apakah ini ada hubungannya dengan Pangeran Dayu?“Harus! Karena hanya itu saja yang bisa saya lakukan untuk meneruskan keturunan kalian,” tegas Tuan Wisesa membuatku tidak bisa berpikir.“Ma –maksud, Tuan?”“Ketika saya memutuskan untuk menyelamatkan kalian, ada hal yang harus digantikan untuk mengakhiri penjanjian terlarang itu, dan ayahmu s
“Cukup, Yah! Jangan—,” cegah ibu Dimas menghentikan suaminya. Namun Tuan Wisesa langsung menghentikan tindakan istrinya dengan memberi isyarat tangan.Ibu Dimas yang tadinya seperti menentang suaminya langsung terdiam begitu suaminya memberi tanda. Wanita itu seperti tidak berdaya bila suaminya seperti itu.“Jangan ada yang berani berbicara atau menyela apa yang saya katakan lagi. Bila tidak, jangan salahkan saya bila kalian tidak bisa berbicara lagi setelah itu!” ancam Tuan Wisesa.Mendengar ancaman Tuan Wisesa semua orang terlihat takut, termasuk aku. Tapi aku juga ragu apakah ancaman dari pemilik rumah ini benar-benar akan menjadi nyata atau tidak bila ada orang yang melanggarnya. Bila itu benar terjadi, itu artinya Tuan Wisesa bukan hanya kaya raya, tapi dia juga bukan orang biasa.“Cempaka, Wirya, saya tahu ini akan mengejutkan kalian berdua. Tapi ini adalah kebenarannya, dan kalian berhak tahu semua ini. Kalian be
“Iya, bukti. Tanpa bukti kalian tidak bisa menuduh keponakankan melakukan hal yang kalian tuduhkan,” ujar ibu Dimas dengan lantang.Semua orang hanya diam ketika ibu Dimas berkata seperti itu. Namun ayah Nirmala tiba-tiba mendekati istri Tuan Wisesa itu, dan mengatakan kepadanya bahwa dia akan menunjukkan bukti yang dia minta.Tegang dan bertanya-tanya, mungkin itu yang ada dalam pikiran beberapa orang yang ada di sini, termasuk aku. Hal itu terlihat dari raut wajah mereka ketika melihat perdebatan antara kakak beradik itu.“Bukti itu ada di sini dan saya akan mengatakannya di depan kalian semua,” ujar ayah Nirmala tak kalah lantang dengan ibu Dimas.Ketegangan semakin terasa ketika ayah Nirmala mengatakan hal itu. Pria itu diam sejenak sambil menatap keluarganya, terutama kedua anaknya. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini, yang pasti itu bukan sesuatu yang mudah, dan itu terlihat sekali dari sorot matanya yang menampakkan k
Aku yang masih membeku kemudian berbalik dan menatap semua orang yang ada di dalam ruangan ini. Mereka semua menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan, dan itu membuatku sangat tidak nyaman.“Mas Wisesa, apa maksud mas? Memangnya siapa Cempaka itu? Dan apa hubungannya dengan semua ini?” tanya ayah Nirmala memecah keheningan di antara kami semua.Tuan Wisesa bukannya menjawab pertanyaan adik iparnya, tapi dia malah menatapku dan mendekatiku. Ayah Dimas itu lalu mengajakku untuk kembali ke tempatku semula dan dia mengenalkanku kepada kedua orang tua Nirmala bukan sebagai pelayan rumah ini. Melainkan sebagai wanita yang seharusnya memang menikah dengan Dimas.Mendengar hal itu membuatku sangat terkejut. Bukan hanya aku, tapi semua orang yang ada di ruangan ini. Bahkan aku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar berusaha untuk memahami itu semua, tapi aku tetap tidak mengerti.“Apa maksud Mas Wisesa?” tanya ayah Nirmala memecah keheningan di antara kami semua.“Apa
“Ayah, tidak usah membahas hal ini lagi. Nirmala sudah menerima keputusan Dimas. Jadi kita tidak perlu memperpanjang masalah ini,” ujar Nirmala masih sambil berdiri dan menatap kami semua secara bergantian.“Nirmala, apa maksudmu nak? Bagaimana bisa kamu berkata seperti itu? Bukankah kamu ingin menjadi istri Dimas?” tanya ibu Nirmala terlihat heran.Bukan ibu Nirmala saja yang dibuat heran dan binggung, tapi kami semua yang ada di sini. Bagaimana bisa dia mengatakan menerima keputusan Dimas dengan semudah itu. Mencurigakan!“Benar Nirmala ingin menjadi istri Dimas. Tapi …,” Nirmala menggantung jwabannya dan menatapku sesaat, “Dimas tidak mencintai Nirmala, Bu. Dimas mencintai Cempaka, wanita yang duduk di samping Dimas saat ini,” lanjut Nirmala.“A –apa? Maksudmu pelayan wanita itu, Nirmala?” ucap ibu Nirmala terlihat terkejut.“Bulek!” bentak Dimas tiba-tiba
“A –ayah,” ucap Birawa terlihat terkejut.Pria yang baru saja datang itu terlihat sama terkejutnya seperti Birawa. Wajahnya yang hampir mirip dengan istri Tuan Wisesa tampak dingin menatap putranya itu, dan tak lama seorang wanita tiba-tiba muncul di belakang pria yang masih berdiri di depan pintu menatap dingin Birawa.“Birawa, kamu di sini nak?” ucap wanita tua itu dengan wajah yang tidak bisa aku artikan.Tapi wanita itu tidak bersikap dingin seperti ayah Birawa yang masih saja membeku. Wanita itu kemudian melangkah untuk mendekati Birawa. Namun pria yang bergelar ayah Birawa segera menahannya.“Ingat tujuan kita datang kemari!” tegas ayah Birawa sambil melirik wanita yang sepertinya istrinya.“Itu orang tua Nirlama dan Birawa,” bisik Damar tanpa aku tanya.Aku yang sudah menduga hal itu hanya diam, dan tidak menanggapi apa yang adik Dimas itu katakan. Walaupun awalnya aku cukup terkej