"Bhama ...." Suaranya penuh penyesalan. Sejenak lelaki itu berdoa, menengadahkan tangan ke arah langit senja yang temaram.
"Kamu sih sok hebat! Semangat hidupmu terlalu tinggi. Saat orang kasihan sama kamu, kamu malah ketawa ... seolah kesedihan itu bukan apa-apa buatmu!" ucapnya dengan nada getir, meskipun matanya sedikit berembun. "Harusnya ... semangat itu kamu diirit aja, Bham! Jangan boros di awal, kan jadi begini—" Utari bangkit, matanya yang sembab penuh emosi. Tangannya refleks memukul lengan lelaki itu. "Kamu masih bisa bercanda!" celetuk Utari dengan suara paraunya, matanya menatap tajam meski tangisnya masih menguasai. "Aw! Emangnya salah? Aku cuma ngomong. Harusnya Bhama jujur saja sejak dulu ... ada kita, kok, teman-temannya, yang siap dengar apa pun masalah dia. Bhama ini yang sok kuat dan sok hebat. Jatah hidup yang harusnya panjang jadi kepotong gara-gara semangat hidupnya habis di awal!" protes lelaki itu panjang, tapi nadanya sarat penyesalan meski terdengar seperti candaan. "Tetap aja omonganmu keterlaluan!" Utari kembali menunduk, pikirannya terguncang. Kalimat yang terdengar ringan itu menikam hatinya. Bhama terlalu semangat, terlalu kuat di depan mereka, hingga tak ada seorang pun yang menyadari hatinya yang rapuh. "Kamu ini kenapa, Tari?" suara lelaki itu melembut, mencoba memahami rasa sakit yang memenuhi dada Utari. "Emangnya kalau kamu nangis kayak tadi, Bhama bakal bangun? Bhama bisa hidup lagi?" katanya sambil menatap nisan Bhama, tajam tapi penuh kedukaan. Utari tersentak, hal sesederhana itu tak terpikir olehnya. "Damar ...!" isak Utari kesal, menahan amarah dan sedih yang bercampur menjadi satu. Lelaki bernama Damar itu benar. Damar kembali menatap kayu nisan Bhama, pandangannya berubah serius dan dalam. Ada sesuatu yang tak mampu ia ucapkan. "Semua orang sedih, Tari. Bahkan orang yang mungkin tidak mengenal Bhama, yang hanya tahu kisahnya dari kabar yang bebas beredar. Lihat, kan? Sudah nggak ada aja, dia masih bisa sok hebat!" gumam Damar, suaranya rendah tapi tajam menghujam. Utari mencengkeram tanah bercampur bunga di makam Bhama. Tangannya bergetar. Sebanyak apa pun air matanya, takkan membuat Bhama hidup lagi. Kini kesedihannya perlahan berubah menjadi amarah, menjadi tekad yang membara dalam diam. "Ayo pulang, sudah sore," ucap Damar dengan nada lembut, sedikit memaksa. Tangan Damar terulur, membersihkan wajah Utari dari tanah dan kelopak bunga serta bekas banjir air mata. Gerakannya lembut, tapi penuh tekanan yang tak terucapkan. Kedua tangannya berhenti di pundak Utari, menggenggamnya erat. Pandangan mereka bertemu, dan untuk sesaat dunia terasa berhenti. "Kamu harus melanjutkan hidup!" bisiknya dalam suara yang serak. Meski terasa suram, Utari tahu, ia harus beranjak. Harus menemukan jalannya sendiri. Dia mengangguk pelan, meskipun langkahnya terasa berat. "Ayo pulang, aku lapar," ucap Damar mengiringi langkah mereka, mencoba menghidupkan suasana dengan caranya yang khas. Utari hanya diam, tak mampu membalas. "Ibumu masak apa, Tari?" Damar kembali bertanya ringan. "Makan di rumahmu sendiri," gumam Utari dengan suara lemah. "Aku kangen masakan Bu Ratna!" sahut Damar, membuat Utari mendengus kecil. "Jangan numpang makan di rumahku," tolak Utari pelan, meski nada suaranya sedikit lebih tenang. Damar menyenggol pundaknya dengan lengan. "Ayolah, aku lapar habis perjalanan jauh." "Kenapa kamu pulang?" tanya Utari pelan, suaranya sedikit gemetar. "Harusnya aku pulang beberapa hari yang lalu ... iya, kan?" Kini suara Damar terdengar sedikit terbata, penuh beban yang tak ia akui. Utari melirik lelaki itu, matanya memancarkan rasa ingin tahu yang bercampur kesal. "Kamu juga mau sok kuat, kan? Nangis aja kayak aku tadi!" celetuk Utari, menyindirnya. Ia tahu Damar hanya menutupi rasa sakitnya dengan canda yang terkadang menusuk. Keduanya melanjutkan langkah dalam diam. Dalam pikirannya, Damar teringat hari ketika ia memutuskan merantau. Tepat setelah Bhama, sahabatnya, mengakui akan menyatakan cinta pada Utari beberapa tahun silam. Pikiran Damar kembali melayang ke beberapa minggu yang lalu, saat Saka mengirim pesan singkat, mengabarkan pernikahan Bhama yang mendadak. Damar mencoba mengajukan cuti, tapi pekerjaan menahan langkahnya. Dan kini, semuanya terlambat. Bahkan untuk sekadar berbicara empat mata dengan Bhama, atau membuat sebuah perhitungan dengannya karena telah melukai Utari, sudah tidak bisa. *** Malam itu, ponsel Utari berdering, layar menampilkan nomor asing tanpa nama. Nada dering yang terdengar berulang-ulang hanya membuat jantungnya semakin gelisah. Berkali-kali ia abaikan panggilan itu, hingga akhirnya sebuah pesan masuk. [ Kak Tari, ini Tegar. Tolong ke rumah Raka sekarang. Dia kesurupan arwah Bhama dan nyariin Kak Tari! ] Bibir Utari bergetar saat membaca pesan itu. Detak jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya. Tanpa pikir panjang, ia menyambar jaket dan langsung berlari keluar rumah. Jari-jarinya gemetar saat meneruskan pesan itu kepada Damar. Langkahnya semakin cepat, kakinya seolah tak merasakan dinginnya malam. Napasnya terengah-engah, rambut panjangnya terurai dan berkibar tertiup angin. Di tengah sunyi malam, sayup-sayup terdengar suara teriakan seseorang. Suara itu semakin mendekat dan mengirimkan rasa dingin yang menjalari punggungnya. Utari mempercepat langkahnya, lututnya terasa lemas, namun ia tetap berlari. Akhirnya, ia tiba. Rumah Raka tampak remang dan sunyi, jauh dari hiruk-pikuk tetangga. Tempat itu memang sering dijadikan tempat berkumpul anak muda, apalagi orang tua Raka sering pergi bekerja keluar kota. Namun malam ini, suasana berbeda. Mencekam. Pintu terbuka. Raka berdiri di tengah ruangan dengan tubuh yang gemetar hebat, matanya memutih. Tatapannya kosong, tapi tajam. Utari berhenti di ambang pintu, tubuhnya serasa membeku. "Tari ...." Suara berat keluar dari mulut Raka. Tapi itu bukan suaranya. Itu suara yang begitu dikenal Utari. Suara Bhama. "Kak Tari, tolong!" seru Tegar dengan suara paniknya. Ia berusaha memegangi tubuh Raka yang memberontak. "Raka ... dia kesurupan arwah Bhama!" Anggara, yang berdiri di sisi lain dan memegangi lengan Raka, tiba-tiba menatap Tegar dengan curiga dan, tanpa berpikir, memukul pundaknya. "Eh ... maksudku, Mas Bhama. Iya, Mas Bhama!" Tegar buru-buru mengoreksi ucapannya dengan wajah tegang. Utari melangkah maju dengan hati-hati. Dadanya sesak, campuran antara rindu, takut, dan kebingungan. Ia memang ingin melihat Bhama lagi, tapi ... tidak seperti ini. "Tari ... maafkan aku ...." Suara Raka semakin dalam dan berat, lebih mirip Bhama. "Aku ... aku ingin minta maaf. Aku khilaf. Aku menghamili wanita itu ... aku mabuk waktu itu ... Tari, aku minta maaf ...." Pernyataan itu seperti tamparan keras bagi Utari. Kata-kata Bhama yang keluar dari mulut Raka menghantam hatinya dengan brutal. Raka semakin meronta, tubuhnya menggelepar, dan suara itu kembali menggema di ruangan. "Aku nggak punya keberanian untuk menghadapi kamu. Selama ini aku pengecut. Aku menyesal, aku ... aku ingin meminta maaf padamu, Tari." Tubuh Raka tiba-tiba kaku sejenak, lalu kembali menggelepar dengan keras. "Kepalaku sakit! Tolong ... kepalaku sakit!" teriaknya, wajahnya memerah seperti menahan rasa sakit yang tak tertahankan. Utari tercekat. Perkataan itu langsung mengingatkannya pada hari nahas itu. Saat Bhama terjatuh, kepala adalah bagian yang paling parah mengalami luka. Tangan Utari gemetaran, kakinya lemas, namun ia tetap mendekat. Ia tahu ini bukan logis, tapi hatinya terlanjur dikuasai emosi. "Bhama ...." Suara Utari serak, hanya berakhir sebagai bisikan berat yang tak sampai keluar dari tenggorokannya. Namun sebelum ia bisa menyentuh tubuh Raka, pria itu berteriak lebih keras, tubuhnya menegang seperti dihantam sesuatu yang tak kasat mata. Ruangan itu terasa dingin, seperti ada energi lain yang mendadak memenuhi udara. Utari menggigit bibirnya, bulir keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia hanya bisa berdiri terpaku, memandang pria di hadapannya yang tampak seperti ... Bhama. Tapi bukan Bhama. Utari berusaha, "Bhama ...!" teriak Utari pada akhirnya, dia tidak tahan melihat Raka yang kesakitan seolah dirinya adalah Bhama. Di luaran, Damar dan Saka berlari secepat mungkin mendengar teriakan Utari. Udah subcribe belum, Kakak? Nanti ketinggalan lho ... Tetap semangat ya, jangan sampai putus asa, apapun masalah kita! Hanya harus bertahan hidup kok, nggak semua masalah harus selesai, kan?"Bu ... doain ya, aku mau bicara sama Pak Jamal soal permintaanya untuk segera menikahi Utari," ucap Bhama berpamitan pada Bu Mirah yang tengah sibuk dengan setrikaan tetangga."Iya, Bham, mudah-mudahan mereka ngerti, kalau kalian berjodoh pasti semuanya dipermudah, kok!" jawab Bu Mirah merestui."Bagus nggak, Bu?" tanya Bhama menunjukan sesuatu.Mata Bu Mirah berbinar, "cantik, Bham ... semoga Tari suka."Lalu saat malam tiba, sepeda motor keluaran lama berhenti di depan rumah Utari, Bu Ratna melihat anak gadisnya turun dan mengajak lelaki yang mengantarnya pulang untuk masuk."Pak ... ada Bhama itu, sini!" seru Bu Ratna memanggil suaminya.Beberapa waktu yang lalu mereka mempertanyakan keseriusan Bhama pada Utari."Assalamualaikum ...." Utari masuk disambut ibu dan bapaknya, Bhama pun mengucap salam dan menyalami kedua orang tua Tari dengan sopan."Aku ke dalam dulu," ucap Tari, dia baru saja pulang dari kampus, secara sengaja dia membiarkan Bhama bicara dulu dengan orang tuanya, se
"Sialan, Anggara!" Damar menahan geram, tangannya terkepal erat, sementara hatinya tidak tega mendengar setiap kalimat yang keluar dari Hanum."Ayo laporkan dia ke polisi!" ajak Utari di puncak kemarahannya."Jangan ...!" Hanum menggeleng lemah, wajahnya pucat."Jangan takut, Num!" Damar mencoba menenangkan, nada suaranya melunak, meski masih diliputi kemarahan.Hanum menggeleng lagi, kali ini lebih kuat, air mata mengalir di pipinya. "Dia pernah bilang, kalau pun dia masuk penjara, paling tidak akan lama. Dia punya uang, Kak. Dia punya banyak orang dalam. Setelah dia keluar ... dia akan ngejar aku lagi." Suaranya bergetar, napasnya tersengal. "Sementara aku ... malunya akan seumur hidup."Utari menatap Hanum dengan mata basah. "Num, kita ada di sini untuk kamu. Kamu nggak sendiri." Tapi kata-kata itu terasa hampa ketika Hanum menunduk, menghindari tatapan mereka."Melaporkan Mas Anggara, artinya mengungkap aibku," ucap Hanum akhirnya, suaranya lirih, hampir tak terdengar. "Rasanya ..
PERHATIAN.Bacanya pelan-pelan, Kakak. Di sini alurnya mundur, terus mundur lagi. Selamat membaca."Betul, Num. Kami nggak bisa apa-apa dan akan terus kelimpungan begini kalau nggak tahu masalah sebenarnya apa, tolong jujur pada kami, kami janji akan membantu dan melindungimu dari Anggara," tegas Damar.Hanum menunduk tanpa berani menatap Damar apalagi Utari, tangan yang memegang segelas teh manis pun bergetar, dia mencengkram erat-erat pegangan di gelas itu."A-aku ...."Tangan Utari terulur meraih tangan Hanum yang gemetaran, meski kepalanya masih berat dia berusaha bangun untuk lebih dekat dan memberi Hanum kenyamanan. Damar yang melihat inisiatif Utari pun sigap membantu Utari untuk duduk tegak.Hanum sontak menatap mata Damar, pandangannya memancarkan cinta yang begitu tulus pada Utari. Hatinya sakit mengingat Bhama, meski harusnya dia baik-baik saja. Hanum berusaha keras menekan perasaannya. Bagaimana pun Utari berhak melanjutkan hidup dan bahagia."Num ... berat ya? Sejahat itu
"Antar anak gadis Pak Jamal ini pulang. Kalau dia melawan ... bolehlah kasih sedikit pelajaran," ucap Anggara dengan nada dingin.Anggara menyeret Hanum masuk ke dalam gudang. Hanum meronta, tapi kekuatannya tidak sebanding. Di luar, Utari berusaha mengejar, tapi langkahnya dihadang oleh Raka, Tegar, dan Januar."Hanum!" seru Utari."Pergi, Kak! Aku nggak apa-apa!" teriak Hanum dari dalam gudang, mencoba menyembunyikan rasa takutnya sebelum pintu gudang itu dibanting menutup. Hanum tidak ingin ada orang lain yang terbawa oleh masalahnya."Hanum!" Utari menatap pintu itu dengan panik, tapi tiga lelaki di depannya menahan langkahnya."Kalian nggak malu ngelawan perempuan rame-rame begini?" Utari mencoba menekan ketakutannya, suaranya penuh keberanian yang hampir memudar."Kita nggak ngelawan, Kak," ucap Raka, suaranya terdengar tenang, tapi ada nada ancaman yang samar. "Ayo, aku antar Kakak pulang. Hanum cuma mau dibantu belajar sama Anggara. Ujian dia sudah dekat, kan?"Utari menatap R
Tegar masuk ke dalam ruangan dengan langkah tergesa-gesa, wajahnya datar, tapi sorot matanya menyiratkan keraguan yang mulai tumbuh. "Saka udah beres, Bos," ucapnya singkat, suaranya nyaris tanpa intonasi.Anggara, yang duduk santai di kursi sambil memainkan pemantik api, tersenyum penuh kemenangan. "Bagus ... biar dia tahu siapa yang dia tantang!" ucapnya sambil tertawa kecil, suaranya dingin seperti ancaman terselubung.Tegar hanya mengangguk, senyumnya getir. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, bagaimana pun Saka adalah teman kecilnya, tapi dia memilih diam."Mas Damar juga udah pergi lagi. Sekarang aman," tambah Raka dari sudut ruangan, memastikan semua berjalan sesuai rencana.Anggara berdiri, memasukkan pemantik api ke sakunya. "Kan udah kubilang. Semua bakal beres. Kalau aku yang urus, hasilnya pasti sempurna."Januar, yang berdiri di dekat pintu, ikut bersuara sambil tertawa kecil. "Nggak ada yang bisa ngalahin Bos Anggara. Emang keren banget!"Mereka tertawa bersama, sepe
"Aku bilang bukan satu, mungkin bukan satu orang, atau satu orang tapi tidak sekali! Yang jelas, orang yang tidur di sebelahku tanpa busana adalah Mas Bhama!" tegas Vina, sorot matanya tajam menusuk, seakan ingin memojokkan Utari hingga tak ada ruang untuk bernapas."Bhama nggak mungkin ngelakuin hal itu!" seru Utari, suaranya pecah karena emosi. Matanya memanas, seolah-olah api membakar hatinya yang kini dipenuhi rasa sakit bercampur marah."Dia mabuk, apa pun bisa terjadi, Mba! Aku nggak mengada-ada!" balas Vina dengan nada yang tak kalah tinggi, bersikukuh mempertahankan klaimnya.Utari berdiri mendadak. Napasnya memburu, jemarinya mengepal erat. "Kamu!" serunya penuh geram, kata-katanya tertahan di kerongkongan karena dadanya begitu sesak.Beberapa detik yang lalu, Utari merasa simpati terhadap Vina, perempuan yang dikiranya korban permainan kotor Anggara dan teman-temannya. Tapi sekarang? Sikap Vina memusnahkan rasa iba itu. Yang tersisa hanya kemarahan."Tari..." Saka, yang dudu