Home / Young Adult / PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU / Bhama melakukannya atau tidak?

Share

Bhama melakukannya atau tidak?

Author: Betti Cahaya
last update Last Updated: 2025-05-20 10:23:03

"Apa?!" Mata Utari membelalak tidak percaya.

"Mereka siapa? Bhama 'kah?" tanya Utari cepat.

"Iya, Kak!"

"Jawab yang benar, mereka itu siapa aja? Nggak mungkin cuma Bhama!" Kesabaran Utari mulai habis.

"Bhama yang tidur sama Vina di kamar!" jawab Raka cepat.

Napas Utari sesak seketika, kalimat Raka bagaikan pukulan berat yang menghantam dadanya. Utari sedikit terhuyung kehilangan keseimbangan.

Sedih, marah, dan kecewa kini bereaksi cukup buruk di kepalanya. Utari terpejam, tangannya bergetar menahan akal sehatnya agar tetap bekerja.

"Nggak mungkin," gumam Utari.

Utari kembali mengangkat wajahnya menatap Raka, "Dari sekian banyak cowok dan hanya tiga cewek, kenapa hanya Bhama yang meniduri Vina!" cecar Utari mulai kehilangan kendali, tanpa sadar tangannya sudah berada di kerah kaos Raka dan menariknya.

Raka menatap Utari ketakutan. "Aku nggak tahu, Kak. Aku mabuk berat, nggak mungkin ingat."

"Kamu sendiri bagaimana?" Tatapan Utari tajam, menerabas jendela hati Raka yang berusaha keras menutupi sesuatu.

"Ap-anya?" Suara Raka tercekat.

Utari melepas cengkraman tangannya di kerah kaos yang mulai mencekik leher Raka dengan sedikit kasar, "Kamu juga mabuk, nonton film terlarang, kamu juga cowok, dan ada cewek di sana, kamu pasti melakukan hal terlarang itu juga, kan?" desak Utari.

Raka terbatuk kecil, mengejutkan ketika gadis seperti Utari memiliki tenaga yang kuat. "Udah aku bilang, Kak. Aku mabuk parah, bangun aja nggak bisa, gimana mau ngelakuin hal itu? Aku cuma liat sebentar waktu mereka nonton film itu, lalu aku nggak ingat apa-apa, kepalaku berat!" jawab Raka, kini suaranya terdengar jujur di telinga Utari.

Utari terdiam, otaknya berpikir keras.

"Udah, Kak. Jangan bahas orang yang udah nggak ada!" Raka menggunakan kesempatan itu untuk masuk lalu menutup pintu rumahnya rapat-rapat, meninggalkan Utari begitu saja.

"Hey ... tunggu!" Utari mengejar tapi kali ini terlambat, Urari mengetuk pintu rumah itu.

"Udah, Kak. Aku nggak mau bahas orang yang udah nggak ada, apalagi orang yang matinya bu*uh diri kaya gitu!" seru Raka dari dalam dengan ketakutan, tubuhnya bergidik ngeri.

"Jawab dulu, dimana alamat Vina?" Utari pun harus sedikit berteriak.

"Aku nggak tahu! Tolong ... cukup, Kak."

Utari mundur, setelah mendengar cerita Raka, otaknya mulai membayangkan apa saja yang kiranya terjadi pada malam itu, tepat di balik pintu yang ada di depannya. Di rumah ini.

Membayangkan, kekasihnya benar melakukan hubungan itu, mengkhianati cintanya, mendustai janji setia dan menghancurkan masa depan yang mereka rencanakan dengan indah.

"Nggak mungkin!" Utari menggeleng, hatinya menolak dengan penuh keyakinan, "Bhama nggak kaya gitu!"

Tapi akal sehatnya membantah, "Tapi jika di bawah pengaruh minuman keras, bagaimana? Apa dia tetap Bhama yang aku kenal?"

Utari hampir gila.

Di dalam kamar, Raka menghubungi seseorang melalui telephone. "Ceweknya Bhama mulai ngusik kejadian itu, gimana ini? Kamu harus beresin Utari, jangan sampe dia ngobrak ngabrik rahasia kita!" bisik Raka khawatir.

"Sial ... kenapa perempuan itu ngorek-ngorek, sih? Awas kalau kamu buka mulut!"

Dan, Utari kembali berjalan, langkahnya terasa mengambang. Kepalanya sibuk dengan banyaknya fakta besar yang terlambat dia ketahui.

Hingga saat tiba di persimpangan Utari ragu, jalan mana yang harus dia ambil, pulang atau bertemu Bhama.

Langkah Utari dikontrol oleh hatinya, setapak demi setapak menyusuri jalanan tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri. Dunia Utari membisu, beberapa orang menyapa tapi diabaikan begitu saja, hanya riuh di kepalanya yang memikirkan banyak fakta janggal dan terpotong layaknya misteri.

Tanpa sadar Utari sudah ada di depan makam Bhama, tanahnya masih basah dan bunga di atasnya masih segar. Utari masih belum percaya, Bhama sudah tiada. Utari limbung, dia jatuh terduduk begitu saja.

Utari memeluk erat-erat nisan yang masih berupa kayu sederhana. Air matanya membanjiri tanah itu, meski tanpa suara keras, Utari cukup lepas melepas beban di hatinya.

"Harusnya kamu bilang ... kenapa kamu nggak cerita? Aku yakin bukan kamu yang menghamili Vina, kan? Kamu nggak kaya gitu, kan, Bhama!?"

"Kamu pasti sedih karena dituduh, kan?"

"Apa itu yang buat kamu putus asa?"

"Aku yakin, cinta itu masih kurasakan, Bhama ...."

"Maaf, aku yang bodoh. Aku tidak bisa membaca arti sebenarnya dari perpisahan yang kamu minta, andai aku memakai logika ... bukan hati, pasti aku tidak terlambat mengetahui masalah sebesar ini. Aku nggak bisa membiarkan kamu pergi dengan cara begini, Bhama ... bangun ...."

Utari terpejam, entah kalimat apa yang sepadan dengan kesedihannya kali ini, mungkin tidak ada. Dia hanya tahu, ada rasa tenang yang menyusup perlahan ke hatinya saat dia memeluk gundukan tanah dan sepotong kayu yang menjadi gerbang keabadian Bhama. Seolah, dia tengah memeluk Bhama.

"Pasti berat, ya. Kamu mikirin masalah ini sendiri, kamu lupa ... kamu punya aku yang akan selalu percaya sama kamu." Utari mulai terisak, tersiksa penyesalan tentang waktu yang tidak bisa diputar kembali walau hanya sedetik.

"Bhama ... aku kangen ... gimana ini? Aku kangen kamu!" Utari tergugu.

"Sakit, Bham. Aku harus gimana? Kamu jahat, kamu terlalu jahat!" Utari meracau sendiri dalam tangisnya.

Dari jauh, seorang lelaki memperhatikan apa yang Utari lakukan. Langkahnya tertahan, dia bersembunyi di antara semak dan pepohonan, membiarkan Utari melepaskan kesedihannya. Dia hanya mencuri dengar setiap ungkapan rindu dan cinta Utari pada Bhama yang sudah terpisah dunia yang berbeda.

Tangannya mengusap air mata yang ikut jatuh terbawa kesedihan Utari di depan sana. Sebuah tas ransel tergendong di bahu kirinya. Lelaki itu membuang napas, seolah kesedihan Utari juga menjadi kesedihannya.

Cukup lama. Hingga lelaki yang mengenakan sepatu itu berjalan mendekat. Utari menyadari dia tidak sendiri saat sebuah bayangan menimpanya. Utari mendongak dengan wajah basah penuh air mata, beberapa kelopak bunga dan butiran tanah ikut menempel di wajah Utari.

"Tari ...," ucap lelaki itu mengasihani.

Melihat sosok yang berdiri di atasnya, tangis Utari makin menjadi. Utari tetap di posisinya dengan tangis yang tergugu, seolah tubuhnya lemas kehilangan kekuatan.

Lelaki itu ikut berjongkok di samping Utari, tangannya terulur menuju punggung gadis yang tidak berdaya di depannya, perlahan, menepuk-nepuk punggung itu agar tenang.

Tangis Utari makin lepas, entah kapan rasa kehilangannya itu bisa berubah menjadi ikhlas, dan semua pertanyaan di kepalanya berubah menjadi doa. Utari terlalu lupa, kalau Bhama pergi ke alam yang jauh berbeda.

Detik demi detik berlalu, posisi keduanya tetap sama. Hanya tangis Utari yang perlahan mereda, seiring kekuatannya yang mulai kembali.

Lelaki itu menatap tajam pada kayu nisan yang di lepas Utari.

"Bhama ...!"

Dukung cerita ini yuk, sengan like, komen, subcribe dan follow. Oh iya, jangan lupa kasih rating teman-teman. Terimakasih.

Cukup Utari sama Bhama yang sedih, semoga hari teman-teman semua indah dan bahagia.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU   Cincin Istimewa

    "Bu ... doain ya, aku mau bicara sama Pak Jamal soal permintaanya untuk segera menikahi Utari," ucap Bhama berpamitan pada Bu Mirah yang tengah sibuk dengan setrikaan tetangga."Iya, Bham, mudah-mudahan mereka ngerti, kalau kalian berjodoh pasti semuanya dipermudah, kok!" jawab Bu Mirah merestui."Bagus nggak, Bu?" tanya Bhama menunjukan sesuatu.Mata Bu Mirah berbinar, "cantik, Bham ... semoga Tari suka."Lalu saat malam tiba, sepeda motor keluaran lama berhenti di depan rumah Utari, Bu Ratna melihat anak gadisnya turun dan mengajak lelaki yang mengantarnya pulang untuk masuk."Pak ... ada Bhama itu, sini!" seru Bu Ratna memanggil suaminya.Beberapa waktu yang lalu mereka mempertanyakan keseriusan Bhama pada Utari."Assalamualaikum ...." Utari masuk disambut ibu dan bapaknya, Bhama pun mengucap salam dan menyalami kedua orang tua Tari dengan sopan."Aku ke dalam dulu," ucap Tari, dia baru saja pulang dari kampus, secara sengaja dia membiarkan Bhama bicara dulu dengan orang tuanya, se

  • PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU   Nikahi

    "Sialan, Anggara!" Damar menahan geram, tangannya terkepal erat, sementara hatinya tidak tega mendengar setiap kalimat yang keluar dari Hanum."Ayo laporkan dia ke polisi!" ajak Utari di puncak kemarahannya."Jangan ...!" Hanum menggeleng lemah, wajahnya pucat."Jangan takut, Num!" Damar mencoba menenangkan, nada suaranya melunak, meski masih diliputi kemarahan.Hanum menggeleng lagi, kali ini lebih kuat, air mata mengalir di pipinya. "Dia pernah bilang, kalau pun dia masuk penjara, paling tidak akan lama. Dia punya uang, Kak. Dia punya banyak orang dalam. Setelah dia keluar ... dia akan ngejar aku lagi." Suaranya bergetar, napasnya tersengal. "Sementara aku ... malunya akan seumur hidup."Utari menatap Hanum dengan mata basah. "Num, kita ada di sini untuk kamu. Kamu nggak sendiri." Tapi kata-kata itu terasa hampa ketika Hanum menunduk, menghindari tatapan mereka."Melaporkan Mas Anggara, artinya mengungkap aibku," ucap Hanum akhirnya, suaranya lirih, hampir tak terdengar. "Rasanya ..

  • PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU   Anggara Baji*ngan

    PERHATIAN.Bacanya pelan-pelan, Kakak. Di sini alurnya mundur, terus mundur lagi. Selamat membaca."Betul, Num. Kami nggak bisa apa-apa dan akan terus kelimpungan begini kalau nggak tahu masalah sebenarnya apa, tolong jujur pada kami, kami janji akan membantu dan melindungimu dari Anggara," tegas Damar.Hanum menunduk tanpa berani menatap Damar apalagi Utari, tangan yang memegang segelas teh manis pun bergetar, dia mencengkram erat-erat pegangan di gelas itu."A-aku ...."Tangan Utari terulur meraih tangan Hanum yang gemetaran, meski kepalanya masih berat dia berusaha bangun untuk lebih dekat dan memberi Hanum kenyamanan. Damar yang melihat inisiatif Utari pun sigap membantu Utari untuk duduk tegak.Hanum sontak menatap mata Damar, pandangannya memancarkan cinta yang begitu tulus pada Utari. Hatinya sakit mengingat Bhama, meski harusnya dia baik-baik saja. Hanum berusaha keras menekan perasaannya. Bagaimana pun Utari berhak melanjutkan hidup dan bahagia."Num ... berat ya? Sejahat itu

  • PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU   Jujur Pada Kami

    "Antar anak gadis Pak Jamal ini pulang. Kalau dia melawan ... bolehlah kasih sedikit pelajaran," ucap Anggara dengan nada dingin.Anggara menyeret Hanum masuk ke dalam gudang. Hanum meronta, tapi kekuatannya tidak sebanding. Di luar, Utari berusaha mengejar, tapi langkahnya dihadang oleh Raka, Tegar, dan Januar."Hanum!" seru Utari."Pergi, Kak! Aku nggak apa-apa!" teriak Hanum dari dalam gudang, mencoba menyembunyikan rasa takutnya sebelum pintu gudang itu dibanting menutup. Hanum tidak ingin ada orang lain yang terbawa oleh masalahnya."Hanum!" Utari menatap pintu itu dengan panik, tapi tiga lelaki di depannya menahan langkahnya."Kalian nggak malu ngelawan perempuan rame-rame begini?" Utari mencoba menekan ketakutannya, suaranya penuh keberanian yang hampir memudar."Kita nggak ngelawan, Kak," ucap Raka, suaranya terdengar tenang, tapi ada nada ancaman yang samar. "Ayo, aku antar Kakak pulang. Hanum cuma mau dibantu belajar sama Anggara. Ujian dia sudah dekat, kan?"Utari menatap R

  • PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU   Permainan Kotor Anggara

    Tegar masuk ke dalam ruangan dengan langkah tergesa-gesa, wajahnya datar, tapi sorot matanya menyiratkan keraguan yang mulai tumbuh. "Saka udah beres, Bos," ucapnya singkat, suaranya nyaris tanpa intonasi.Anggara, yang duduk santai di kursi sambil memainkan pemantik api, tersenyum penuh kemenangan. "Bagus ... biar dia tahu siapa yang dia tantang!" ucapnya sambil tertawa kecil, suaranya dingin seperti ancaman terselubung.Tegar hanya mengangguk, senyumnya getir. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, bagaimana pun Saka adalah teman kecilnya, tapi dia memilih diam."Mas Damar juga udah pergi lagi. Sekarang aman," tambah Raka dari sudut ruangan, memastikan semua berjalan sesuai rencana.Anggara berdiri, memasukkan pemantik api ke sakunya. "Kan udah kubilang. Semua bakal beres. Kalau aku yang urus, hasilnya pasti sempurna."Januar, yang berdiri di dekat pintu, ikut bersuara sambil tertawa kecil. "Nggak ada yang bisa ngalahin Bos Anggara. Emang keren banget!"Mereka tertawa bersama, sepe

  • PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU   Fitnah Keji

    "Aku bilang bukan satu, mungkin bukan satu orang, atau satu orang tapi tidak sekali! Yang jelas, orang yang tidur di sebelahku tanpa busana adalah Mas Bhama!" tegas Vina, sorot matanya tajam menusuk, seakan ingin memojokkan Utari hingga tak ada ruang untuk bernapas."Bhama nggak mungkin ngelakuin hal itu!" seru Utari, suaranya pecah karena emosi. Matanya memanas, seolah-olah api membakar hatinya yang kini dipenuhi rasa sakit bercampur marah."Dia mabuk, apa pun bisa terjadi, Mba! Aku nggak mengada-ada!" balas Vina dengan nada yang tak kalah tinggi, bersikukuh mempertahankan klaimnya.Utari berdiri mendadak. Napasnya memburu, jemarinya mengepal erat. "Kamu!" serunya penuh geram, kata-katanya tertahan di kerongkongan karena dadanya begitu sesak.Beberapa detik yang lalu, Utari merasa simpati terhadap Vina, perempuan yang dikiranya korban permainan kotor Anggara dan teman-temannya. Tapi sekarang? Sikap Vina memusnahkan rasa iba itu. Yang tersisa hanya kemarahan."Tari..." Saka, yang dudu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status