"Ta-tari?"
Saka gugup, dia menatap jemari, sadar rokoknya habis terbakar udara, baranya hampir mengenai kulit, Saka membuangnya di bawah tatapan penuh intimidasi Utari. Tangannya sedikit kaku saat meraih gelas yang jatuh, dibiarkannya genangan kopi di meja begitu saja. "Ada apa?" Suara Saka terdengar dipaksakan, mencoba menyembunyikan kegugupan. Utari mendekat, langkahnya tegas, tatapannya tajam menusuk, "Jelaskan, Saka!" Saka meraih beberapa lembar tisu dan mengelap genangan kopi dengan gerakan asal. "Apanya?" Utari menarik tangan Saka, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya, Saka tidak bisa mengelak lagi. "Kamu pasti tahu maksudku, harusnya aku bertanya saat Bhama tiba-tiba memutuskanku, kalau saja ... kalau saja, aku tahu apa yang sebenarnya terjadi, pasti Bhama ... pasti Bhama tidak akan begini." Saka menarik tangannya dari Utari. Pandangannya jatuh ke lantai. Kepergian Bhama yang tragis masih meninggalkan luka yang cukup dalam untuk orang-orang terdekatnya, termasuk Saka. "Kamu nggak usah tahu, Bhama ngelakuin itu juga buat kamu!" ucap Saka merendah, pandangannya kembali menunduk berusaha terlihat sibuk dengan kopi yang tumpah. "Apa maksudmu?" desak Utari yang makin haus penjelasan, hatinya kesal dan penasaran. "Jawab aku, Ka! Aku bisa gila kalau begini!" paksa Utari. Saka mendengus kesal, dia melempar gumpalan tisu bekas ke tempat sampah. "Lebih baik kamu nggak tahu apa-apa, ikhlasin Bhama, cuma itu yang harus kamu lakukan!" Utari menarik kursi dan duduk, kedua tangannya terlipat dan punggungnya bersandar erat. "Aku nggak akan pergi sebelum kamu kasih tahu yang sebenarnya!" ucap Utari memaksa. Saka mendesah berat, dia kesal melihat usaha Utari, dia pun ingin bicara tapi ada hal yang sebaiknya tidak disampaikan pada gadis itu. Saka ikut duduk, pandangannya menunduk, "Aku juga sedih, Tari." Suaranya merendah berharap Utari melepaskan dirinya. "Kalau gitu katakan semua Saka, apa yang terjadi pada Bhama? Siapa Vina? Benarkah Bhama yang menghamili perempuan itu?" Utari menggeleng berat baginya untuk menerima, "Bhama bukan orang seperti itu, Saka!" ucap Utari menyesali. Saka mengusap wajahnya, jelas terlihat dia terpojok. Penyesalan, kemarahan, dan kesedihan bercampur menjadi satu. "Aku yakin rangkaian kejadian itulah yang akhirnya membuat Bhama ... pu-tus asa!" lanjut Utari sedikit terbata. "Harusnya kamu tanya dia!" "Itulah yang aku sesali!" Saka melihat Utari dengan kasihan, gadis itu harus terluka berkali-kali. "Waktu itu," Saka mengalah, dia menarik napas dan mulai bicara, " Aku dan Bhama sedang duduk di pos. Lalu kami diajak Tegar ke rumah Raka untuk nonton bola, di sana ternyata udah ramai, ada Anggara, Raka, Januar, bahkan Ayu, Mayang, dan teman Mayang bernama Vina. Kami baru kenal di sana, ada juga beberapa teman Anggara yang aku enggak tahu." "Ternyata, mereka udah nyiapin minuman keras sebelumnya." Saka menunduk sambil memegangi kepalanya. "Lalu apa, Ka?" Utari penasaran, matanya tidak berkedip. "Aku menyesal ikut minum waktu itu," jawab Saka berat. "Bhama juga?" Saka mengangguk. "Tidak enak Utari, masa mau sok suci," Saka mendengus kesal, mungkin pada dirinya sendiri. "Aku dan Bhama jarang bergaul dengan mereka, harusnya ... kami menolak ajakan Tegar dari awal," sesal Saka. Utari mengerti penyesalan Saka, dia tahu benar Bhama jarang bergaul dengan mereka, beda level, apalagi Anggara, dia anak Pak Lurah yang terkenal suka bikin onar. "Lalu?" Utari menegang menunggu kelanjutan cerita Saka yang temponya terlalu pelan untuk Utari yang sangat ingin tahu. "Entahlah ...." "Jawab yang benar, Saka! Lalu apa? Kalian mabuk?" desak Utari, nada suaranya nyaris histeris. "Aku nggak tau! Aku bangun paling pertama, keadaan udah kacau." "Kacau bagaimana?" "Ya kamu pikir sendiri, Tari. Ada laki-laki perempuan dan kami semua mabuk!" teriak Saka, emosinya meledak. Saka menunduk, kedua tangannya menarik rambut dan memijit kepala dengan kasar. Pikirannya kembali ke beberapa waktu yang lalu. Masih teringat jelas saat Bhama datang ke rumahnya dengan wajah kebingungan. "Wanita itu hamil, Ka! Haduh!" keluh Bhama buntu. "Memangnya kamu beneran nidurin dia?" Saka pun terkejut. Bhama mondar mandir. "Aku nggak ingat, Ka. Aku bangun sudah di kamar dan cewek itu nangis di pojokan cuma pake selimut. Aku nggak ingat apapun!" "Yang lain udah nggak ada, cuma Raka sama Tegar tidur di ruang tamu. Aku bingung kenapa bisa di kamar dan ..., argh!!!" Bhama memukuli kepalanya berulang kali dengan keras. "Saka!" Guncangan keras tangan Utari menyeret Saka kembali, Bhama kini hanya ada diingatannya. "Aku tanya kenapa diam? Kalian rame-rame, kenapa Bhama yang menghamili Vina, banyak kemungki--" "Cukup, Tar. Cukup!" elak Saka marah. "Bukan cuma kamu yang kehilangan, aku juga, aku syok, aku sedih! Hargai perasaanku!" teriak Saka membuat Utari mundur. Utari diam, Saka mungkin benar. Dia adalah sahabat Bhama, meski dari Saka, Utari bisa menggali banyak hal, tapi Utari mungkin harus bersabar. Utari pun mulai melangkah, dia hendak meninggalkan Saka yang menunduk enggan menghadapinya. "Tari!" panggilan Saka menahan langkah Utari, gadis itu pun berhenti dan kembali menoleh. "Aku nggak tahu siapa yang salah, tapi keadaan saat itu memojokan Bhama, dia nggak bisa mengelak dari tanggung jawab dan harus menikahi Vina. Sudahlah Tari, ikhlasin Bhama!" Suara Saka penuh penekanan. Utari jelas kecewa, dia menggeleng dan pergi. Hatinya terlalu sakit untuk menangis, kini ambisinya semakin besar untuk mencari sebuah kebenaran yang hatinya percaya. Utari berpikir keras, bagaimana Bhama bisa terlibat kejadian seperti itu? Utari yang merasa paling mengenal Bhama, benar-benar kecolongan. Tanpa sadar, Utari melangkah ke rumah Raka. Utari mengetuk, pintu pun dibuka oleh Bu Rahma. "Tari? Tumben?" sapa Bu Rahma heran. "Raka ada, Bu? Saya ada perlu," jawab Utari. "Ada, sebentar." Bu Rahma pun masuk dan berteriak, "Raka ada yang nyari." Utari menunggu dengan penuh harap kalau Raka akan menjawab pertanyaannya. "Siapa?" Utari mendengar suara Raka dari dalam. Saat Raka muncul dari kamarnya dan melihat Utari di depan pintu, raut wajahnya berubah panik. Dia langsung masuk kembali ke kamar. Utari yang menyadarinya langsung menerobos masuk, dengan sigap dia menahan pintu kamar yang hendak di tutup. "Raka, tolong ... aku cuma mau nanya!" teriak Utari, untung kakinya berhasil mengganjal pintu. "Aku nggak tahu apa-apa, sumpah!" ucap Raka seperti ketakutan sambil berusaha menutup pintunya. "Kalau kamu nggak tahu apa-apa kamu nggak akan sembunyi kaya gini, buka Raka!" paksa Utari. Raka menurut, lagi pula saat ini orang tuanya ada di rumah, dia tidak ingin membuat keributan. Perlahan pintu terbuka, dan dengan wajah tertunduk dia menemui Utari dan berjalan ke teras. "Mau nanya apa?" tanya Raka lesu. "Ceritakan kejadian malam itu! Malam dimana kalian nonton bola bersama wanita bernama Vina lalu kalian mabuk!" cecar Utari mengintimidasi, usia Utari yang ada di atas Raka membuatnya berani meski keduanya bukan teman, hanya saling mengenal. "Ya ... begitu!" Raka nampak enggan menjawab. "Ceritain!" paksa Utari mulai kesal. "Kami mabuk Kak Tari," Raka terus berusaha menghindar, tapi tatapan intimidasi dan desakan Utari membuatnya terpojok. "Kami mabuk, terus selesai nonton bola ... ada yang nyalain film begituan, lalu ... mereka mulai kebawa—" "Film apa?!" "Film ... film terlarang," jelas Raka lesu. "Apa?!" Dukung cerita ini dengan like, komen, subcribe, dan follow ya teman-teman. Terimakasih."Apa?!" Mata Utari membelalak tidak percaya."Mereka siapa? Bhama 'kah?" tanya Utari cepat."Iya, Kak!""Jawab yang benar, mereka itu siapa aja? Nggak mungkin cuma Bhama!" Kesabaran Utari mulai habis. "Bhama yang tidur sama Vina di kamar!" jawab Raka cepat.Napas Utari sesak seketika, kalimat Raka bagaikan pukulan berat yang menghantam dadanya. Utari sedikit terhuyung kehilangan keseimbangan.Sedih, marah, dan kecewa kini bereaksi cukup buruk di kepalanya. Utari terpejam, tangannya bergetar menahan akal sehatnya agar tetap bekerja."Nggak mungkin," gumam Utari.Utari kembali mengangkat wajahnya menatap Raka, "Dari sekian banyak cowok dan hanya tiga cewek, kenapa hanya Bhama yang meniduri Vina!" cecar Utari mulai kehilangan kendali, tanpa sadar tangannya sudah berada di kerah kaos Raka dan menariknya.Raka menatap Utari ketakutan. "Aku nggak tahu, Kak. Aku mabuk berat, nggak mungkin ingat.""Kamu sendiri bagaimana?" Tatapan Utari tajam, menerabas jendela hati Raka yang berusaha keras
"Ta-tari?" Saka gugup, dia menatap jemari, sadar rokoknya habis terbakar udara, baranya hampir mengenai kulit, Saka membuangnya di bawah tatapan penuh intimidasi Utari. Tangannya sedikit kaku saat meraih gelas yang jatuh, dibiarkannya genangan kopi di meja begitu saja. "Ada apa?" Suara Saka terdengar dipaksakan, mencoba menyembunyikan kegugupan. Utari mendekat, langkahnya tegas, tatapannya tajam menusuk, "Jelaskan, Saka!" Saka meraih beberapa lembar tisu dan mengelap genangan kopi dengan gerakan asal. "Apanya?" Utari menarik tangan Saka, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya, Saka tidak bisa mengelak lagi. "Kamu pasti tahu maksudku, harusnya aku bertanya saat Bhama tiba-tiba memutuskanku, kalau saja ... kalau saja, aku tahu apa yang sebenarnya terjadi, pasti Bhama ... pasti Bhama tidak akan begini." Saka menarik tangannya dari Utari. Pandangannya jatuh ke lantai. Kepergian Bhama yang tragis masih meninggalkan luka yang cukup dalam untuk orang-orang terdekatnya, termasuk S
"Saat sampai di jembatan, saya melihat Bhama sudah berdiri di atas besi pembatas. Dan dia ...." Pak Lis membuang napasnya dengan berat.Pak Jamal yang mendengarkan pun terbawa suasana tegang."Saya melihat dengan mata kepala sendiri, detik-detik dia melompat ...," ucap Pak Lis, kepalanya tertunduk, terlihat bagaimana dia menyayangkan perbuatan keponakannya.Keduanya saling diam, Mereka sama-sama tahu karakter Bhama sebelum ini. Badannya kekar karena bekerja keras, kulitnya sedikit kecoklatan karena sering terkena matahari, garis wajahnya tegas layaknya pria sejati. Dia punya senyum yang khas, jika dia bicara terlihat berkharisma membuat siapa saja betah bercakap dengannya.Namun, hatinya lembut dan penuh kasih sayang pada ibu dan Hanum, dia juga ikhlas memikul tanggung jawab yang saat itu belum menjadi miliknya dengan lapang dada. Bhama selalu ceria dan tidak mengeluh.Semua orang terkejut, dengan langkah terakhir yang diambil Bhama."Jadi ... itu murni keinginan Bhama? Bukan ada kece
Melisa dan Utari berusaha mengejar, sayangnya mobil hitam itu melaju kencang seolah dia tahu sesuatu tengah mengancamnya."Udah, Tar ...," ucap Melisa ngos-ngosan. "Kita pulang aja!"Utari pun kesulitan mengatur napas, dia mengangguk mengiyakan ajakan Melisa. Keduanya berjalan kaki, jarak area pemakaman dengan rumah Utari tidaklah jauh, tidak sampai 15 menit dengan berjalan kaki.Keduanya berjalan perlahan, Melisa tampak gelisah, "Tar ... aku mau ngomong sesuatu, tapi--""Apa? Ngomong aja!" sambar Utari menanggapi, dia menatap Melisa dengan yakin."Ehm, ini cuma desas-desus, obrolan orang tua, Tar, bukan fakta," lanjut Melisa."Katakan, Mel! Aku butuh banyak informasi, banyak pertanyaan di kepalaku yang entah dimana jawabannya," ungkap Utari mencoba meyakinkan Melisa yang bertele-tele."Soal jembatan di kampung kita itu, kata orang tua jembatan keramat. Memang dulu ada beberapa kasus orang yang meninggal di sana, konon ... dijadikan ... tumbal," ucap Melisa ragu.Utari menatap sepupun
"Tari ... bangun, Nak!" Bu Ratna mengusap wajah Utari perlahan.Kepala Utari berdenyut nyeri seiring kesadarannya yang kembali. Utari menyipitkan mata dan menyapu pandangan. Dia di kamarnya. Dengan keras Utari mencoba mengingat kejadian sebelum dia kehilangan kesadaran. Tragedi."Bhama, Bu?" ucap Utari mengadu, suaranya parau.Bu Ratna memeluk putrinya dengan sedih, kembali dia usap air mata di wajah Utari dengan gemetaran."Ikhlaskan, Nak! Ikhlaskan!" Bu Ratna mencoba menguatkan putrinya, meski dirinya pun tidak yakin bisa.Kabar tragis itu meledak dan menjadi buah bibir, banyak video amatir beredar di sosial media. Kejadian tragis, yang sangat disayangkan semua orang.Keesokan paginya, langit kelabu seolah turut berkabung, menyelimuti suasana pemakaman Bhama. Angin dingin menusuk, membawa aroma bunga layu bercampur tanah basah.Warga desa membeludag, berkerumun di sekitar pusara yang masih terbuka. Di tepi liang lahat, Bu Mirah menangis tersedu, tubuhnya disangga oleh Hanum yang waj
"Ada yang Bunu* diri!""Ada yang lompat di jembatan!""Ada yang jatuh!"Suara teriakan segerombolan remaja laki-laki itu menggema, mengguncang udara sore yang mulai gelap, suasana yang harusnya tenang kini menjadi gaduh. Warga yang mendengar langsung bergabung berlarian ke arah jembatan.Beberapa memekik ngeri, yang lain hanya terpaku dengan wajah tegang. Dari bawah jembatan, suara air sungai mengalir deras bertemu bebatuan menambah suasana mencekam.Teriakan warga cukup mengusik Utari yang sedang termenung di terasnya, hatinya patah setelah ditinggal kekasihnya menikah. Namun kegemparan ini mengalihkan perhatiannya."Ada yang lompat di jembatan!"Bu Ratna dan Pak Jamal --orang tua Utari, keluar dari rumah, menyambut teriakan warga yang menyebarkan kabar yang sangat tabu dengan wajah yang terkejut dan tidak percaya. Mereka bertiga saling menatap dan bertanya lewat pandangan mata."Bener enggak itu? Masa sih?" tanya Bu Ratna tidak percaya hal semengerikan itu terjadi di kampungnya.Pak