"Apa?!" Mata Utari membelalak tidak percaya."Mereka siapa? Bhama 'kah?" tanya Utari cepat."Iya, Kak!""Jawab yang benar, mereka itu siapa aja? Nggak mungkin cuma Bhama!" Kesabaran Utari mulai habis. "Bhama yang tidur sama Vina di kamar!" jawab Raka cepat.Napas Utari sesak seketika, kalimat Raka bagaikan pukulan berat yang menghantam dadanya. Utari sedikit terhuyung kehilangan keseimbangan.Sedih, marah, dan kecewa kini bereaksi cukup buruk di kepalanya. Utari terpejam, tangannya bergetar menahan akal sehatnya agar tetap bekerja."Nggak mungkin," gumam Utari.Utari kembali mengangkat wajahnya menatap Raka, "Dari sekian banyak cowok dan hanya tiga cewek, kenapa hanya Bhama yang meniduri Vina!" cecar Utari mulai kehilangan kendali, tanpa sadar tangannya sudah berada di kerah kaos Raka dan menariknya.Raka menatap Utari ketakutan. "Aku nggak tahu, Kak. Aku mabuk berat, nggak mungkin ingat.""Kamu sendiri bagaimana?" Tatapan Utari tajam, menerabas jendela hati Raka yang berusaha keras
"Ta-tari?" Saka gugup, dia menatap jemari, sadar rokoknya habis terbakar udara, baranya hampir mengenai kulit, Saka membuangnya di bawah tatapan penuh intimidasi Utari. Tangannya sedikit kaku saat meraih gelas yang jatuh, dibiarkannya genangan kopi di meja begitu saja. "Ada apa?" Suara Saka terdengar dipaksakan, mencoba menyembunyikan kegugupan. Utari mendekat, langkahnya tegas, tatapannya tajam menusuk, "Jelaskan, Saka!" Saka meraih beberapa lembar tisu dan mengelap genangan kopi dengan gerakan asal. "Apanya?" Utari menarik tangan Saka, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya, Saka tidak bisa mengelak lagi. "Kamu pasti tahu maksudku, harusnya aku bertanya saat Bhama tiba-tiba memutuskanku, kalau saja ... kalau saja, aku tahu apa yang sebenarnya terjadi, pasti Bhama ... pasti Bhama tidak akan begini." Saka menarik tangannya dari Utari. Pandangannya jatuh ke lantai. Kepergian Bhama yang tragis masih meninggalkan luka yang cukup dalam untuk orang-orang terdekatnya, termasuk S
"Saat sampai di jembatan, saya melihat Bhama sudah berdiri di atas besi pembatas. Dan dia ...." Pak Lis membuang napasnya dengan berat.Pak Jamal yang mendengarkan pun terbawa suasana tegang."Saya melihat dengan mata kepala sendiri, detik-detik dia melompat ...," ucap Pak Lis, kepalanya tertunduk, terlihat bagaimana dia menyayangkan perbuatan keponakannya.Keduanya saling diam, Mereka sama-sama tahu karakter Bhama sebelum ini. Badannya kekar karena bekerja keras, kulitnya sedikit kecoklatan karena sering terkena matahari, garis wajahnya tegas layaknya pria sejati. Dia punya senyum yang khas, jika dia bicara terlihat berkharisma membuat siapa saja betah bercakap dengannya.Namun, hatinya lembut dan penuh kasih sayang pada ibu dan Hanum, dia juga ikhlas memikul tanggung jawab yang saat itu belum menjadi miliknya dengan lapang dada. Bhama selalu ceria dan tidak mengeluh.Semua orang terkejut, dengan langkah terakhir yang diambil Bhama."Jadi ... itu murni keinginan Bhama? Bukan ada kece
Melisa dan Utari berusaha mengejar, sayangnya mobil hitam itu melaju kencang seolah dia tahu sesuatu tengah mengancamnya."Udah, Tar ...," ucap Melisa ngos-ngosan. "Kita pulang aja!"Utari pun kesulitan mengatur napas, dia mengangguk mengiyakan ajakan Melisa. Keduanya berjalan kaki, jarak area pemakaman dengan rumah Utari tidaklah jauh, tidak sampai 15 menit dengan berjalan kaki.Keduanya berjalan perlahan, Melisa tampak gelisah, "Tar ... aku mau ngomong sesuatu, tapi--""Apa? Ngomong aja!" sambar Utari menanggapi, dia menatap Melisa dengan yakin."Ehm, ini cuma desas-desus, obrolan orang tua, Tar, bukan fakta," lanjut Melisa."Katakan, Mel! Aku butuh banyak informasi, banyak pertanyaan di kepalaku yang entah dimana jawabannya," ungkap Utari mencoba meyakinkan Melisa yang bertele-tele."Soal jembatan di kampung kita itu, kata orang tua jembatan keramat. Memang dulu ada beberapa kasus orang yang meninggal di sana, konon ... dijadikan ... tumbal," ucap Melisa ragu.Utari menatap sepupun
"Tari ... bangun, Nak!" Bu Ratna mengusap wajah Utari perlahan.Kepala Utari berdenyut nyeri seiring kesadarannya yang kembali. Utari menyipitkan mata dan menyapu pandangan. Dia di kamarnya. Dengan keras Utari mencoba mengingat kejadian sebelum dia kehilangan kesadaran. Tragedi."Bhama, Bu?" ucap Utari mengadu, suaranya parau.Bu Ratna memeluk putrinya dengan sedih, kembali dia usap air mata di wajah Utari dengan gemetaran."Ikhlaskan, Nak! Ikhlaskan!" Bu Ratna mencoba menguatkan putrinya, meski dirinya pun tidak yakin bisa.Kabar tragis itu meledak dan menjadi buah bibir, banyak video amatir beredar di sosial media. Kejadian tragis, yang sangat disayangkan semua orang.Keesokan paginya, langit kelabu seolah turut berkabung, menyelimuti suasana pemakaman Bhama. Angin dingin menusuk, membawa aroma bunga layu bercampur tanah basah.Warga desa membeludag, berkerumun di sekitar pusara yang masih terbuka. Di tepi liang lahat, Bu Mirah menangis tersedu, tubuhnya disangga oleh Hanum yang waj
"Ada yang Bunu* diri!""Ada yang lompat di jembatan!""Ada yang jatuh!"Suara teriakan segerombolan remaja laki-laki itu menggema, mengguncang udara sore yang mulai gelap, suasana yang harusnya tenang kini menjadi gaduh. Warga yang mendengar langsung bergabung berlarian ke arah jembatan.Beberapa memekik ngeri, yang lain hanya terpaku dengan wajah tegang. Dari bawah jembatan, suara air sungai mengalir deras bertemu bebatuan menambah suasana mencekam.Teriakan warga cukup mengusik Utari yang sedang termenung di terasnya, hatinya patah setelah ditinggal kekasihnya menikah. Namun kegemparan ini mengalihkan perhatiannya."Ada yang lompat di jembatan!"Bu Ratna dan Pak Jamal --orang tua Utari, keluar dari rumah, menyambut teriakan warga yang menyebarkan kabar yang sangat tabu dengan wajah yang terkejut dan tidak percaya. Mereka bertiga saling menatap dan bertanya lewat pandangan mata."Bener enggak itu? Masa sih?" tanya Bu Ratna tidak percaya hal semengerikan itu terjadi di kampungnya.Pak