Share

Kesaksian 2

Author: Betti Cahaya
last update Last Updated: 2025-04-27 06:22:38

"Saat sampai di jembatan, saya melihat Bhama sudah berdiri di atas besi pembatas. Dan dia ...." Pak Lis membuang napasnya dengan berat.

Pak Jamal yang mendengarkan pun terbawa suasana tegang.

"Saya melihat dengan mata kepala sendiri, detik-detik dia melompat ...," ucap Pak Lis, kepalanya tertunduk, terlihat bagaimana dia menyayangkan perbuatan keponakannya.

Keduanya saling diam, Mereka sama-sama tahu karakter Bhama sebelum ini. Badannya kekar karena bekerja keras, kulitnya sedikit kecoklatan karena sering terkena matahari, garis wajahnya tegas layaknya pria sejati. Dia punya senyum yang khas, jika dia bicara terlihat berkharisma membuat siapa saja betah bercakap dengannya.

Namun, hatinya lembut dan penuh kasih sayang pada ibu dan Hanum, dia juga ikhlas memikul tanggung jawab yang saat itu belum menjadi miliknya dengan lapang dada. Bhama selalu ceria dan tidak mengeluh.

Semua orang terkejut, dengan langkah terakhir yang diambil Bhama.

"Jadi ... itu murni keinginan Bhama? Bukan ada kecelakaan atau ehm ...." Pak Jamal masih mengharap kenyataan yang lebih baik.

"Bukan Pak Jamal, polisi sudah memeriksa semuanya. Memang Bhama, sangat berbeda hari itu," ucap Pak Lis.

Pak Jamal menunduk kehabisan kata, kedatangannya berharap mencari berita yang positif tapi keadaan mantan calon menantunya memang seterpuruk itu.

"Saya berteriak, saya hanya berpikir turun menggapai Bhama secepat mungkin, akal saya juga sempat hilang saat itu."

Pak Jamal melihat ada banyak luka goresan di lengan dan wajah Pak Lis. "Pak Lis turun lewat mana?" tanya Pak Jamal heran.

Pak Lis membuang napasnya lagi, "Dari sisi kanan, sisi yang paling dekat dengan saya waktu itu."

"Ya Alloh, Pak. Di sisi itu curam sekali!" Pak Jamal terkejut.

Pak Lis menggeleng lemah, "Kalau memutar ke jalan yang biasa di lewati, kelamaan, Pak. Saya panik, saya ...."

"Iya, maaf kalau harus mengingatkan Pak Lis lagi."

"Nggak papa Pak Jamal, saya juga terus terbayang kejadian itu." Pak Lis melihat kedua telapak tangannya, "Bhama masih hidup di pangkuan saya, Pak Jamal saat itu. Saya berteriak minta tolong dan warga mulai berdatangan. Saya masih berharap Bhama bisa bertahan sampai pertolongan datang. Tapi ... tidak sampai 10 menit, Bhama sudah enggak ada." Suara Pak Lis lemah.

Pak Lis menyeka air matanya, "Saya sempat menuntun Bhama syahadat, meski yang dia lakukan adalah dosa besar, saya harap ... anak baik itu tidak di neraka." Pak Lis menyelesaikan kalimatnya dengan tergugu.

Pak Jamal kembali menepuk pundak Pak Lis, tubuhnya gemetaran.

"Pak Lis sudah hebat dan kuat, tidak semua orang sanggup membayangkan jika ada di posisi Pak Lis."

"Kalau saya nggak kuat, gimana keluarga ini Pak Jamal?" lanjut Pak Lis memaksa kuat, "Keluarga kakak saya sangat rapuh sejak kakak saya gila. Sekarang ...?" Pak Lis menggeleng lemah tidak berani membayangkan nasib keluarga ini melewati kepiluan yang terus menimpa mereka tanpa ampun.

"Tolong luruskan kabar yang beredar, Pak. Kami masih syok, terpukul, dan kehilangan. Jangan menambah luka kami dengan cerita yang ditambah atau melenceng jauh," pinta Pak Lis mengakhiri.

Pak Jamal mengangguk, dia mengurung niat untuk menanyakan prihal kronologi pernikahan Bhama dan Vina. Terlalu kejam untuk Pak Lis yang sudah kewalahan bercerita.

"Jangan sungkan menghubungi saya, kalau Pak Lis, Bu Mirah, Hanum, atau Pak Sigit butuh sesuatu," ucap Pak Jamal mencoba menghibur, mereka tidak sendiri menghadapi tragedi ini.

"Maaf, Pak Jamal. Kami sudah menyakiti keluarga Pak Jamal sebelumnya, sampaikan maaf kami untuk Mba Utari, saya yakin, Bhama masih cinta dengan Mba Utari," ucap Pak Lis terisak.

Pak Jamal menunduk, tragedi keluarga ini menular membebani hatinya, "Enggak Papa, semua sudah takdir. Tapi ... saya sudah menganggap Bhama seperti anak saya sendiri, jadi jangan sungkan."

***

Siapa Vina? Dari mana asalnya? Bagaimana Bhama bisa mengenal bahkan menghamili perempuan itu?

Utari menatap jauh ke luar jendela kamarnya dengan pertanyaan yang belum terpecahkan. Beberapa minggu yang lalu mungkin pertanyaan ini sangat menyakitkan tapi sekarang pertanyaan itu harus dia pecahkan.

Hanya Utari yang tahu benar betapa rapuhnya hati Bhama jika berhubungan dengan keluarga. Utari-lah yang selalu memberi dukungan, semangat, dan cinta, agar Bhama terus bertahan. Mereka berharap di masa depan, kehidupan Bhama akan jauh lebih baik bersama Utari. Tapi sekarang harapan itu lenyap, hancur luluh lantak.

Utari berdiri mematut wajahnya di cermin. Utari mengusap wajahnya, muram dan sedih. Rambut panjangnya dia ikat, lalu Utari meraih jaketnya dan melangkah keluar, dia tidak mau berdiam diri di kamar, dia takut menjadi gila dengan semua pertanyaan tanpa jawaban.

"Mau kemana, Nak?" tanya Bu Ratna cemas, dia sedikit menahan Utari di depan pintu.

"Mau nyari temen ngobrol, Bu," jawab Utari.

"Jangan dulu, Nak. Orang-orang masih menyangkut pautkan kamu dengan kematian Bhama," cegah Bu Ranta khawatir.

"Biarin, Bu. Tari nggak papa, kok!"

"Jangan, Nak!" Bu Ranta belum melepas putrinya.

"Bu ... ibu tahu apa yang Tari sesali? Tari ninggalin Bhama dan percaya sama pengkhianatannya dia, padahal hati kecil Tari tahu dan percaya Bhama nggak mungkin sejahat itu sama Tari atau sama perempuan itu, Bhama bukan penjahat seksual, Bu," jelas Utari tegas, meski napasnya naik turun tertahan sesak.

"Tapi, Tari ...."

"Tari harus mencari jawaban, Bhama ... enggak mungkin mengkhianati Tari! Dan masalah apa yang membuat Bhama mengambil jalan seburuk itu, Tari harus tau, Bu!" ucap Utari penuh tekad, matanya memohon ibunya untuk mengerti.

"Tari nggak mau lagi lari dari Bhama," Utari meraih tangan ibunya yang menatapnya ragu, "Percaya sama Tari, Bu. Tari kuat, Tari harus menuntaskan semua hal yang mengganjal ini, Bu!"

"Ibu cuma khawatir, Nak."

"Biarin, Bu," ucap Pak Jamal yang baru saja sampai rumah, "Bapak mendukungmu, Tari, bapak juga tau ada yang janggal dari pernikahan Bhama."

Utari mengangguk, dukungan bapaknya telah memberinya kekuatan. Utari pun pergi.

Rumah Saka, tempat pertama yang Utari tuju. Dia adalah sahabat Bhama. Utari mendapati Saka tengah melamun, bahkan lelaki itu membiarkan rokok di jarinya terbakar tanpa dihisap.

"Ehm!"

Saka tampak terkejut, wajahnya penuh tanda tanya, dia langsung berdiri dan kakinya menabrak gelas kopi yang masih penuh hingga minuman itu tumpah.

"Ta-tari?"

Dukung cerita ini yuk, dengan like, komen, subcribe, dan follow.

Terimakasih teman-teman.

.

.

.

.

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU   Bhama melakukannya atau tidak?

    "Apa?!" Mata Utari membelalak tidak percaya."Mereka siapa? Bhama 'kah?" tanya Utari cepat."Iya, Kak!""Jawab yang benar, mereka itu siapa aja? Nggak mungkin cuma Bhama!" Kesabaran Utari mulai habis. "Bhama yang tidur sama Vina di kamar!" jawab Raka cepat.Napas Utari sesak seketika, kalimat Raka bagaikan pukulan berat yang menghantam dadanya. Utari sedikit terhuyung kehilangan keseimbangan.Sedih, marah, dan kecewa kini bereaksi cukup buruk di kepalanya. Utari terpejam, tangannya bergetar menahan akal sehatnya agar tetap bekerja."Nggak mungkin," gumam Utari.Utari kembali mengangkat wajahnya menatap Raka, "Dari sekian banyak cowok dan hanya tiga cewek, kenapa hanya Bhama yang meniduri Vina!" cecar Utari mulai kehilangan kendali, tanpa sadar tangannya sudah berada di kerah kaos Raka dan menariknya.Raka menatap Utari ketakutan. "Aku nggak tahu, Kak. Aku mabuk berat, nggak mungkin ingat.""Kamu sendiri bagaimana?" Tatapan Utari tajam, menerabas jendela hati Raka yang berusaha keras

  • PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU   Malam Dengan Minuman Keras

    "Ta-tari?" Saka gugup, dia menatap jemari, sadar rokoknya habis terbakar udara, baranya hampir mengenai kulit, Saka membuangnya di bawah tatapan penuh intimidasi Utari. Tangannya sedikit kaku saat meraih gelas yang jatuh, dibiarkannya genangan kopi di meja begitu saja. "Ada apa?" Suara Saka terdengar dipaksakan, mencoba menyembunyikan kegugupan. Utari mendekat, langkahnya tegas, tatapannya tajam menusuk, "Jelaskan, Saka!" Saka meraih beberapa lembar tisu dan mengelap genangan kopi dengan gerakan asal. "Apanya?" Utari menarik tangan Saka, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya, Saka tidak bisa mengelak lagi. "Kamu pasti tahu maksudku, harusnya aku bertanya saat Bhama tiba-tiba memutuskanku, kalau saja ... kalau saja, aku tahu apa yang sebenarnya terjadi, pasti Bhama ... pasti Bhama tidak akan begini." Saka menarik tangannya dari Utari. Pandangannya jatuh ke lantai. Kepergian Bhama yang tragis masih meninggalkan luka yang cukup dalam untuk orang-orang terdekatnya, termasuk S

  • PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU   Kesaksian 2

    "Saat sampai di jembatan, saya melihat Bhama sudah berdiri di atas besi pembatas. Dan dia ...." Pak Lis membuang napasnya dengan berat.Pak Jamal yang mendengarkan pun terbawa suasana tegang."Saya melihat dengan mata kepala sendiri, detik-detik dia melompat ...," ucap Pak Lis, kepalanya tertunduk, terlihat bagaimana dia menyayangkan perbuatan keponakannya.Keduanya saling diam, Mereka sama-sama tahu karakter Bhama sebelum ini. Badannya kekar karena bekerja keras, kulitnya sedikit kecoklatan karena sering terkena matahari, garis wajahnya tegas layaknya pria sejati. Dia punya senyum yang khas, jika dia bicara terlihat berkharisma membuat siapa saja betah bercakap dengannya.Namun, hatinya lembut dan penuh kasih sayang pada ibu dan Hanum, dia juga ikhlas memikul tanggung jawab yang saat itu belum menjadi miliknya dengan lapang dada. Bhama selalu ceria dan tidak mengeluh.Semua orang terkejut, dengan langkah terakhir yang diambil Bhama."Jadi ... itu murni keinginan Bhama? Bukan ada kece

  • PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU   Kesaksian

    Melisa dan Utari berusaha mengejar, sayangnya mobil hitam itu melaju kencang seolah dia tahu sesuatu tengah mengancamnya."Udah, Tar ...," ucap Melisa ngos-ngosan. "Kita pulang aja!"Utari pun kesulitan mengatur napas, dia mengangguk mengiyakan ajakan Melisa. Keduanya berjalan kaki, jarak area pemakaman dengan rumah Utari tidaklah jauh, tidak sampai 15 menit dengan berjalan kaki.Keduanya berjalan perlahan, Melisa tampak gelisah, "Tar ... aku mau ngomong sesuatu, tapi--""Apa? Ngomong aja!" sambar Utari menanggapi, dia menatap Melisa dengan yakin."Ehm, ini cuma desas-desus, obrolan orang tua, Tar, bukan fakta," lanjut Melisa."Katakan, Mel! Aku butuh banyak informasi, banyak pertanyaan di kepalaku yang entah dimana jawabannya," ungkap Utari mencoba meyakinkan Melisa yang bertele-tele."Soal jembatan di kampung kita itu, kata orang tua jembatan keramat. Memang dulu ada beberapa kasus orang yang meninggal di sana, konon ... dijadikan ... tumbal," ucap Melisa ragu.Utari menatap sepupun

  • PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU   Pemakaman Yang Pilu

    "Tari ... bangun, Nak!" Bu Ratna mengusap wajah Utari perlahan.Kepala Utari berdenyut nyeri seiring kesadarannya yang kembali. Utari menyipitkan mata dan menyapu pandangan. Dia di kamarnya. Dengan keras Utari mencoba mengingat kejadian sebelum dia kehilangan kesadaran. Tragedi."Bhama, Bu?" ucap Utari mengadu, suaranya parau.Bu Ratna memeluk putrinya dengan sedih, kembali dia usap air mata di wajah Utari dengan gemetaran."Ikhlaskan, Nak! Ikhlaskan!" Bu Ratna mencoba menguatkan putrinya, meski dirinya pun tidak yakin bisa.Kabar tragis itu meledak dan menjadi buah bibir, banyak video amatir beredar di sosial media. Kejadian tragis, yang sangat disayangkan semua orang.Keesokan paginya, langit kelabu seolah turut berkabung, menyelimuti suasana pemakaman Bhama. Angin dingin menusuk, membawa aroma bunga layu bercampur tanah basah.Warga desa membeludag, berkerumun di sekitar pusara yang masih terbuka. Di tepi liang lahat, Bu Mirah menangis tersedu, tubuhnya disangga oleh Hanum yang waj

  • PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU   Tragedi Besar

    "Ada yang Bunu* diri!""Ada yang lompat di jembatan!""Ada yang jatuh!"Suara teriakan segerombolan remaja laki-laki itu menggema, mengguncang udara sore yang mulai gelap, suasana yang harusnya tenang kini menjadi gaduh. Warga yang mendengar langsung bergabung berlarian ke arah jembatan.Beberapa memekik ngeri, yang lain hanya terpaku dengan wajah tegang. Dari bawah jembatan, suara air sungai mengalir deras bertemu bebatuan menambah suasana mencekam.Teriakan warga cukup mengusik Utari yang sedang termenung di terasnya, hatinya patah setelah ditinggal kekasihnya menikah. Namun kegemparan ini mengalihkan perhatiannya."Ada yang lompat di jembatan!"Bu Ratna dan Pak Jamal --orang tua Utari, keluar dari rumah, menyambut teriakan warga yang menyebarkan kabar yang sangat tabu dengan wajah yang terkejut dan tidak percaya. Mereka bertiga saling menatap dan bertanya lewat pandangan mata."Bener enggak itu? Masa sih?" tanya Bu Ratna tidak percaya hal semengerikan itu terjadi di kampungnya.Pak

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status