Beranda / Historical / PERMAISURI YIN / Menerima Keadaan

Share

Menerima Keadaan

Penulis: Rosa Rasyidin
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-01 21:18:39

“Kurang ajar, lelaki hidung belang. Habis ambil perawan dia kabur, bededah busuk, aku cincang baru tahu!” Permaisuri berdiri lagi dengan wajah penuh amarah. Jauh sekali perbedaan antara A Yin dan Su Yin walau wajah dan tubuh sama persis.

“Permaisuri, tenangkan dirimu. Jangan memaki pangeran kedua. Beliau itu pangeran yang berpengaruh setelah putra makhkota. Ditambah lagi pangeran adalah suamimu, jadi hormatlah dengan beliau.” Xu Chan mengingatkan sambil menelan ludah. Entah kali keberapa sudah ia melihat tuannya marah-marah sejak bangkit dari kubur.

“Peduli apa aku, walau dia kaisar sekalipun. Gubernur saja pernah aku penjarakan.” Su Yin duduk dan menarik napas panjang. Sore yang terasa berangin dan menerbangkan anak rambut di wajahnya.

“Permaisuri, hamba belum selesai bicara. Setelah melewati malam pertama, Pangeran Kedua mendapat panggilan perang mendadak dari perbatasan karena itu beliau pergi meninggalkan kita semua di sini.”

“Panggilan perang?” gumam Su Yin perlahan.

Ia masih harus beradaptasi bahwa dirinya tinggal di masa lalu. Masa di mana orang-orang suka berebut kekuasan dan berganti dari satu dinasti ke dinasti lainnya.

“Benar, Permaisuri, jadi bukan karena disengaja dan sebagai suami istri juga kalian sering saling berkirim surat. Apakah Permaisuri mau membacanya?”

“Malas, bukan urusanku baca surat cinta. Kau saja yang baca kalau mau.” Su Yin berdiri dan memandang sekeliling ruangan.

“Tidak ada di antara kami satu pun yang bisa baca tulis, Permasuri, barangkali engkau lupa.”

“Oh my god, di mana aku hidup sekarang ini, ckckckck!” Su Yin berjalan seorang diri. Lekas saja tiga hamba sahayanya menemani dari belakang.

Sore hari di mana senja akan terbit dengan warna orange yang menyilaukan dan angin yang bertiup juga semakin dingin. Su Yin tidak menggunakan mantel seperti tiga pelayannya.

“Permaisuri, hari semakin dingin, nanti engkau sakit lagi, ayo kita masuk ke dalam.”

“Tidak, aku masih ingin cari tahu tentang semuanya. Aku benar-benar lupa ingatan.” Alasan Su Yin saja. Padahal ia ingin tahu lebih dalam tentang istana naga perak tempatnya tinggal sebagai permaisuri pangeran kedua.

“Kalau begitu biar kami ambilan mantel untukmu.” Salah satu dari tiga hamba sahaya itu beranjak.

“Xu Chan. Apakah aku terkurung di dalam istana ini selamanya dan tidak punya keluarga?” Sebelah kaki Su Yin naik di penyangga patung singa di depan gapura masuk.

Xu Chan membelalakkan mata melihat tingkah tuannya. Su Yin memang demikan sebagai polisi. Gayanya yang cenderung laki-laki membuat dirinya jadi tegas di masa modern.

“Permaisuri, tidak baik perempuan seperti ini. Apalagi engkau panutan, turunkan kakimu.” Xu Chan memegang kaki tuannya.

“Eh, jangan sentuh, aku bisa sendiri. Jawab dulu pertanyaanku.”

“Permaisuri, engkau dipilih dari kalangan keluarga bangsawan biasa saja menjadi istri pangeran kedua agar tidak memiliki pengaruh terlalu kuat di dalam istana.”

“Lalu?”

“Saat engkau tertuduh membunuh menteri, seluruh keluargamu terlebih dahulu dieksekusi mati.”

“Bedebah!”

“Permaisuri, ini keputusan hakim agung atas perintah kaisar, pelankan suaramu.”

“Bagaimana mungkin aku membunuh menteri, aku ini penegak hukum!” Angin semakin kencang berembus dan menerbangkan rambut Su Yin.

Xu Chan tak tahu entah tuannya mengigau atau tidak. Yang jelas Permaisuri A Yin hanya istri pangeran tanpa kekuatan sama sekali, itu saja.

“Lupakan, anggap aku mengigau.” Su Yin sadar apa yang ia ucapkan barusan. “Jadi semua keluargaku sudah meninggal?”

“Benar, Permaisuri, lalu engkau dihukum minum racun sampai mati dan setelah dimakamkan giliran kami yang akan minum racun, tapi takdir berkata lain.”

Tak lama kemudian satu orang hamba sahaya datang memberikan Su Yin mantel bulu yang sangat indah.

“Wah, ini pasti mahal, kainnya halus dan tebal, wangi lagi.” Su Yin mencium mantel panjang itu.

“Hadiah dari Pangeran Kedua saat baru menikah. Hamba yakin beliau sangat menyayangimu.”

“Halah, pangeran pasti punya banyak istri. Tunjukkan padaku di mana istana para selir pangeran kedua itu.” Su Yin memakai mantel itu, bersin sedikit karena terbuat dari bulu beruang asli.

“Permaisuri, Pangeran Kedua itu orangnya lurus dan kaku, kerjanya latihan, belajar, memanah, berkuda, main pedang, lempar batu, itu saja. Nyaris tak ada waktu memikirkan perempuan.”

“Xu Chan, kau ini tak tahu baca tulis, tapi tahu gosip istana, ya, kalah berita selebritis dalam negeri sepertinya,” gumam Su Yin sambil tersenyum dengan bibir miring.

“Gosip, selebritis, apa itu Permaisuri?”

“Sudahlah lupakan. Jadi suamiku itu tidak punya selir?”

“Tidak tahu kalau di tempat perang, Permaisuri.”

“Aiyaah, perang pun masih ingat untuk kawin, hidup macam apa ini. Terserah dia sajalah, mau kembali mau mati di medan perang aku tidak peduli. Sekarang aku hanya ingin cari cara agar bisa kembali ke masa depan. Aku masih ada pekerjaan untuk mengungkap kasus pembunuhan. Hmmm takdir macam apakah yang aku jalani sampai harus terlempar ke masa lalu.” Tiba-tiba saja perut Su Yin berbunyi.

“Di mana minimarket, aku ingin makan mi pedas, nasi hangat dan telur rebus.”

“Maaf, apa maksudmu, Permaisuri.” Xu Chan bingung.

Su Yin menepuk jidatnya. Mau cari minimarket di mana. Listrik saja tidak ada di zaman dahulu.

“Aku lapar, apakah ada makanan?”

“Ada, tentu saja, Permaisuri. Ayo kita kembali ke dalam lagi pula hari sebentar lagi malam dan kita harus segera istirahat. Jam malam istana akan segera dimulai.”

“Jam malam?” Su Yin masih bingung. Ada banyak hal yang harus ia kuasai sebelum menemukan cara untuk kembali ke masa depan.

Empat orang itu masuk ke dalam istana naga perak. Dua hamba sahaya lainnya menutup pintu. Su Yin menghitung orang yang bekerja di kediamannya.

“Sekitar 20 orang, banyak juga, ya.”

“Semuanya punya tugas masing-masing, Permaisuri. Hamba yang paling dekat dan harus melayani kebutuhan pribadimu,” jawab Xu Chan.

“Kau ini orang mana?”

“Hamba budak belian yang sejak kecil tinggal di istana. Sejak engkau masuk baru dapat tempat yang lebih baik.”

“Lebih baik? Tuannya mati kau ikut mati, itu bukan lebih baik, Xu Chan, itu tolol namanya. Lebih baik kau kabur dari istana.”

“Permaisuri, hidup seorang hamba memang bergantung penuh pada tuannya. Kalau hamba kabur dan tertangkap hamba tidak akan dihukum mati tapi akan dijual sebagai pelacur dan melayani para lelaki hidung belang. Jadi lebih baik kalau pun mati, mati di sini saja.”

“Peraturan tak manusiawi macam apa ini? Gila, sinting yang buat peraturan.” Su Yin duduk di meja makan sambil menanti hidangan datang.

Tak lama kemudian meja penuh dengan makanan. Tidak hanya perut Su Yin yang berbunyi tapi para pelayan juga. Mereka belum makan sejak kemarin karena seharusnya hari ini dieksekusi mati.

“Ayo makan,” ajak Su Yin pada pelayannya.

Lalu ia memindahkan nasi dan lauk pauk ke dalam mangkuk. Su Yin diam sejenak, rasa makanannya sangat hambar tak seperti di zaman modern, tapi daripada tidak ada ya lebih baik makan saja.

“Kenapa diam saja, ayo makan,” ucapnya lagi.

Para pelayan diam. Merupakan kesalahan besar jika makan bersama para tuan. Hukumannya tidak main-main. Sampai sang permaisuri selesai makan para pelayan tidak bergerak.

“Kalian tidak dengar apa kataku, ayo makan!” Dengan suara Su Yin yang tegas, para pelayan duduk dan mengambil makanan sisa. Mereka makan dengan lahap karena sangat lapar.

“Makan saja harus drama.” Permaisuri dengan mata jernih itu menyesap teh hangat yang ada di depan mata. “Aaah, aku ingin minum soda dan kopi.” Tawar semua rasa makanan. “Apa tidak ada gula di sini?”

“Permaisuri, persediaan makanan di dapur kosong karena seharusnya …” Xu Chan diam.

“Sudahlah, habiskan makanannya. Aku masuk dulu ke kamar, terima kasih untuk hari ini.” Su Yin berjalan dengan gaya sangat maskulin hingga membuat para pelayan menganga.

“Kurasa jiwa permaisuri tertukar saat kematian. Mitosnya, kan, begitu.”

“Diam, kali ini permaisuri bukan perempuan cengeng dan aku yakin ke depannya akan lebih keras lagi. Ayo bagi makanan ini buat yang lain.”

***

Di dalam kamar usai membuka sutera berlapis dan hanya pakai pakaian dalam warna putih dengan rambut terurai panjang, Su Yin tak bisa tidur. Bukan karena kasurnya yang aneh dan selimut berwarna merah, melainkan ia ingat atas kematian seorang menteri.

“Kalau aku dituduh sebagai pembunuh seharusnya hidupku tidak akan baik-baik saja. Apalagi aku sudah dihukum mati. Paling tidak besok akan ada drama terjadi. Tapi siapa kira-kira yang menuduhku? Tubuh gadis ini saja masih sangat muda, tidak ada otot sama sekali, tangan putih, halus, mulus, wajah sendu seperti kurang kasih sayang. Aku tebak dia memukul nyamuk saja tidak bisa.”

Plak! Baru saja dibilang Su Yin menepuk nyamuk yang menempel di dahinya. Kalau dulu A Yin akan menepisnya begitu saja.

“Enak saja kau hisap darahku, hisap lemak kalau mau.” Nyamuk itu digepengkan oleh Su Yin.

Baru saja sang permaisuri ingin terlelap, ia seperti melihat bayangan hitam melintas di dalam kamarnya. Gadis itu tahu, tidak akan mungkin ia hidup tenang-tenang saja.

Pura-pura tidur adalah pilihan. Sampai seseorang berbaju dan bertopeng hitam datang dan mengarahkan pisau ke mata Su Yin.

Bersambung …

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • PERMAISURI YIN    Kebahagiaan yang Sempurna

    "Apakah kau gugup?" tanya Li Wei perlahan.“Sangat gugup karena harus berjalan sejajar dengan seorang pangeran berpakaian merah menyala,” bisik Su Yin sambil menahan debar. Ia nyaris tak percaya bisa melewati prosesi pernikahan di dunia sekarang.“Kalau begitu, aku harus meyakinkanmu bahwa pangeran ini tidak akan membuatmu tersandung di altar.” Li Wei tertawa dengan penuh kehangatan.Langkah mereka menyatu dan perlahan menapaki jalan yang ditaburi kelopak bunga peony sesuai permintaan Su Yin. Di kiri kanan, para tamu menunduk hormat. Semua terlihat bahagia.Tamu lebih banyak rekan kerja Su Yin. Jimmi datang dengan kekasihnya bahkan Jaksa Aaron menggandeng tangan Cecilia sepanjang prosesi berlangsung.“Ini terasa seperti mimpi,” gumam Su Yin.“Kalau ini mimpi,” jawab Li Wei sambil menoleh padanya, “aku harap kita tak pernah bangun.”Su Yin diam sejenak, lalu balas menatap dari balik tirai merah itu. “Jangan menatapku seperti itu, Li Wei. Aku bisa jatuh cinta padamu untuk kedua kalinya,

  • PERMAISURI YIN   Kehangatan

    Angin berembus perlahan di taman bunga, membawa harum bunga peony yang bermekaran di antara jalur batu berusia ratusan tahun. Su Yin berdiri di tengah taman, ia mengenakan jubah kebesaran seorang ratu. Perhiasan emas yang menghiasi rambut, membingkai sosoknya dengan aura seorang ratu yang disegani.Meskipun ia dikelilingi keindahan, hati Ratu Yin terasa hampa. Di kejauhan, suara musik istana menggema dari aula utama, tetapi hanya kesunyian yang menemani langkahnya di taman. Ke mana suami dan anaknya?Suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Su Yin menoleh. Di sana, dengan senyum manis dan mata yang memancarkan kelembutan serta cinta padanya, Raja Li Wei berdiri membawa seikat peony. Warna merah kelopak bunga tampak menyayu dengan pakaian kebesaran seorang raja."Aku pikir kau akan menyukai ini," ujar Raja Li Wei sambil menyodorkan bunga itu kepada Ratu Yin. "Bunga peony melambangkan keindahan seorang wanita serta kemuliaan dan cinta yang abadi."Su Yin menatap suaminya sejenak. Ra

  • PERMAISURI YIN   Pedang Kayu

    Su Yin membeku di pintu masuk unit apartemen. Di depan matanya, Nona Fang menekan Li Wei ke dinding, jemarinya mencengkeram leher lelaki itu dengan kekuatan yang luar biasa. Namun yang lebih mengerikan adalah cahaya berkilauan yang perlahan muncul dari dada Li Wei. Ya, mutiara keabadian terdesak keluar dari tubuh lelaki itu.Su Yin tidak pernah melihatnya secara langsung, tapi Li Wei pernah cerita mendapatkan mutiara keabadian tersebut dan akibatnya ia diincar oleh Nona Fang. Mutiara itu melayang, berpendar dengan energi murni, dan dalam sekejap diserap oleh Nona Fang. Li Wei terhuyung, bibirnya bergetar. Cahaya di matanya meredup, dadanya terangkat, seperti ada sesuatu yang menguras kehidupannya dari dalam. Nona Fang tak hanya menelan mutiara keabadian saja melainkan menginginkan energi murni miliknya juga. Su Yin tak berpikir dua kali. Dengan gerakan cepat, ia meraih pedang kayu Jimmi dan menerjang Nona Fang. Wanita dengan topeng emas itu tersungkur akibat dorongan dari Su Yin d

  • PERMAISURI YIN   Pancaran Energi

    Su Yin melemaskan bahunya yang terasa kaku setelah duduk berjam-jam di meja kantor. Jam sudah hampir tengah malam, dan ponselnya yang tergeletak di samping dokumen masih menunjukkan layar kosong. Li Wei belum menjawab panggilannya. Dengan tarikan napas dalam, Su Yin bangkit dan berjalan ke sudut ruangan tempat Officer Jimmi tengah merapikan loker pribadinya. Lelaki itu tampak sibuk mengemas barang-barang lamanya. Sesekali Jimmi menghela napas seolah-olah tenggelam dalam kenangan lama. “Apa kau pindah divisi?” Su Yin bersandar di pinggir pintu. Jimmi menoleh dan menjawab pertanyaan itu. “Bukan, Nona Yin, aku hanya beres-beres, akhirnya dapat waktu untuk itu.” Tatapannya kembali pada sebuah benda panjang yang ia keluarkan dari dalam loker. Sebuah pedang kayu dengan ukiran kuno di gagangnya. Su Yin langsung mengenali benda itu. "Itu milik Shen Du, leluhurmu?” ucap Su Yin keceplosan.Jimmi mengangkat pedang itu, lalu memperhatikan detailnya sejenak sebelum mengangguk. “Ya. Katanya

  • PERMAISURI YIN   Pencuri

    Angin malam berembus kencang, menerpa rambut Nona Fang yang berwarna merah. Dunia menjadi saksi bisu dari ambisi yang telah lama ia nantikan. Cahaya lampu kota bermain di matanya dan memantulkan kegembiraan yang bercampur dengan rasa sakit.“Aku bersumpah, sakit ini akan berakhir dengan mutiaramu.” Dengan jemari gemetar, ia menyentuh luka di wajahnya. Rasa perihnya tak sebanding dengan perjuangan yang telah ia lalui.Di bawahnya, apartemen Li Wei tampak sunyi. Para penghuninya tak menyadari bahaya yang mengintai. Nona Fang menarik napas dalam-dalam, bibirnya tersenyum tipis. Ia telah merusak rencana Li Wei dan selanjutnya ia akan menghancurkan hidup lelaki itu.***Lift apartemen bergetar pelan sebelum pintunya terbuka. Su Yin melangkah masuk dan menghela napas panjang. Ia lelah setelah seharian bekerja.Di sudut lift, Li Wei sudah berdiri lebih dulu, tangannya ia masukkan ke saku jaket. Tatapan lelaki itu sangat tenang tetapi menyembunyikan sesuatu.“Kau dari mana?” tanya Su Yin, kar

  • PERMAISURI YIN   Merajut Masa Depan

    Su Yin menyandarkan punggung pada dinding dapur yang hangat. Seragam polisinya tergantung rapi di kursi rotan. Hari itu ia baru saja kembali dari patroli malam di distrik tenggara, matanya masih menyimpan kelelahan, tapi bibirnya tersenyum saat mendengar suara kuas Li Wei di ruang sebelah. Sejak tinggal bersama, kehadiran Li Wei seperti menghangatkan kehidupannya yang dingin. Bahkan lelaki itu punya cita rasa masakan yang lebih baik darinya. Selain tentunya kebutuhan batin Su Yin akan cinta dipenuhi oleh Li Wei. Mereka hanya mengulang kemesraan di masa lalu saja.Di dalam studio mungil itu, Li Wei menggerakkan kuasnya perlahan di atas kanvas. Warna-warna lembut mengalir dari jemarinya. Ia mengabadikan cahaya pagi yang menembus tirai jendela. Ia tahu hidup mereka tak akan mudah. Su Yin bekerja dalam risiko, dan ia sendiri masih berjuang untuk menjual lukisan demi menabung masa depan. Tapi justru dalam ketidakpastian itu, mereka menemukan kehangatan.Sayangnya dari balik gang sempit y

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status