Taman sekitar apartemen masih ramai dengan orang-orang yang menikmati udara di sore hari. Permaisuri A Yin belum sepenuhnya pulih dari keterkejutan saat hampir ditabrak oleh anak kecil yang mengendarai skuter. Napasnya masih sedikit tersengal, dan ia menatap Li Wei yang kini berdiri di sampingnya."Kau baik-baik saja?" tanya Li Wei, suaranya sedikit lembut. Ia sendiri bingung mengapa sangat khawatir dengan wanita itu.Permaisuri Yin menegakkan tubuhnya dan bersikap tenang layaknya seorang ratu. Meski dirinya masih diliputi rasa aneh dan kebingungan terhadap kehidupan di luar istana ini terlalu penuh kejutan."Aku hanya tidak terbiasa," ucap A Yin, matanya masih melihat taman di bawah apartemen. "Tidak ada anak kecil dengan alat seperti itu di istana. Kita juga belum pernah punya anak."Li Wei tersenyum. Membahas soal anak tentu ada interaksi intim antara lelaki dan perempuan dan ia belum pernah merasakan itu. Matanya juga berbinar seperti menikmati ketidaktahuan Permaisuri Yin tentang
"Apa ini!" Li A Yin terlonjak, hampir ia menjatuhkan radio dari genggamannya. Matanya melihat penuh keheranan.Di dalam jeep yang menuju ke Shanghai, Permaisuri Li A Yin memegang perangkat kecil dengan penuh waspada. Benda itu memiliki kenop dan tombol-tombol aneh, dan tiba-tiba ada suara lelaki asing yang berbicara dengannya.“Tidak sopan, berani kau dengan seorang permaisuri.”Li Wei, yang sedang fokus mengemudi melirik sekilas sambil memutar bola mata "Radio. Itu hanya siaran, bukan sihir. Haduuuh, dari mana dia ini berasal?"Permaisuri Li A Yin mengerutkan keningnya, ia masih mencurigai benda tersebut."Bagaimana suara seseorang bisa terperangkap di dalam kotak ini? Sangat mustahil! Apakah dia seorang yang abadi?"Li Wei tertawa kecil. "Tidak, itu hanya teknologi." Ia tahu, setiap perjalanan dengan Permaisuri Li A Yin berarti menjawab pertanyaan demi pertanyaan dan lelaki itu cukup menikmatinya.“Ini.” Li Wei memberikan sesuatu.“Apa ini?” A Yin menerima sebungkus cokelat.“Kau t
Li Wei ingin meninggalkan makam, tetapi Li A Yin mengejar dan menarik bajunya. Permaisuri tak mau ditinggal karena ia juga takut di dalam makamnya sendiri.“Fujin, kenapa kau tega meninggalkanku di sini?” A Yin menahan baju Li Wei dan lelaki itu berusaha menepisnya.“Aku bukan suamimu, lepaskan aku.”“Kita sudah menikah, kita dinikahkan oleh kaisar dan akan menjadi pasangan abadi di langit juga bumi, kenapa kau lupa, Fujin!” A Yin menentak kakinya. “Nyonya, maaf tapi sepertinya kau salah orang.”“Mana mungkin salah orang, lihat wajahmu sama dengan suamiku, kecuali bajumu yang seperti pengemis. Ya mungkin kau baru kembali dari peperangan.” A Yin menatap Li Wei sambil berkedip cepat. Lelaki itu jadi semakin takut.“Nyonya, kau bicara apa? Tidak ada lagi peperangan di sini, tolong lepaskanlah aku.”“Lalu kenapa kau kemari, dan kenapa aku bisa di sini?”“Ya, mana aku tahu, ini makam, kau terkubur di sana ribuan tahun lamanya, dan aku berniat mencuri perhiasanmu untuk menyambung hidup, N
Udara di sekitar makam kuno kerajaan terasa dingin, jauh berbeda dari hawa lembab panas yang menyelimuti desa. Cahaya senja turun di antara pepohonan tua, memberikan bayangan panjang yang pada sosok masa lalu yang masih berdiam di tempat itu.Li Wei berhenti sejenak, ia merasakan sesuatu yang tak biasa. Bisikan halus menerpa telinganya. Suara seorang perempuan, lembut tetapi menusuk hati.Lelaki berpotongan rambut tentara itu mengedarkan pandangan dan mencari sumber suara i. Teman-temannya sibuk membongkar pintu batu yang tertutup rapat dan tidak menyadari kegelisahan yang mulai menyelinap dalam benaknya.Rasa sakit di dadanya semakin kuat, serasa ada tangan tak kasat mata yang menggenggam erat jantungnya. Pandangannya berputar, dan pada sudut makam yang remang-remang, ia melihat sosok samar seorang perempuan berbalut pakaian kerajaan.Li Wei terhuyung mundur. Wajahnya memucat saat mata perempuan itu bertemu dengan matanya. Sepasang mata yang terasa begitu dekat, seperti menggali kena
Para selir berpakaian mewah dengan sulaman burung merak. Mereka berlutut dalam barisan yang panjang dan mata mereka penuh ketakutan. Permaisuri utama, duduk di singgasana. Bibirnya tersenyum saat pandangannya melirik tajam ke arah para selir yang menjadi musuhnya dalam perebutan kekuasaan. Suasana yang penuh ketegangan berubah seketika saat Raja Li Wei, lelaki yang dikenal berhati baja, menghempaskan cangkir araknya ke lantai dengan keras.Bunyi tembaga beradu dengan marmer, arak berhamburan, mengotori permadani merah yang membentang di bawah kaki mereka. “Cukup!” suara raja menggelegar, memecah kebisuan dan mengguncang nyali para selir hingga mereka menundukkan kepala lebih dalam. “Aku sudah muak mendengar keluhan kalian tentang siapa yang lebih layak, siapa yang lebih berhak atas kehormatanku! Apakah kalian pikir kerajaan ini tempat bermain untuk ambisi kecil kalian? Apakah kalian lupa bahwa aku yang memegang kekuasaan, bukan kalian!” Para selir menggigit bibir, sebagian menahan
Di jalan utama menuju istana kekaisaran, iring-iringan Raja Li Wei melaju dengan tenang, diiringi para pengawal yang mengenakan jubah biru.Di dalam tandu utama, Putri Jiaran duduk diam, matanya sayu meski tidak ada lagi air mata yang bisa ia keluarkan.Di belakangnya, seorang pelayan dengan hati-hati menggendong Pangeran Rui yang masih terlalu kecil untuk memahami kehilangan yang baru saja menimpa keluarganya. Saat gerbang istana kekaisaran terbuka, Kaisar Li Zu Min telah berdiri di halaman utama, ditemani para pejabat istana dan bangsawan lainnya. Begitu Raja Li Wei turun dari kudanya dan melangkah ke depan, keheningan menyelimuti seluruh istana. Kaisar menatap wajah saudaranya yang lelah, lalu mengalihkan pandangan ke Jiaran dan Rui. Dengan langkah tenang, ia menghampiri mereka, lalu menghela napas panjang sebelum berkata, suaranya berat dengan rasa kehilangan. "Ratu Yin adalah perempuan yang luar biasa. Chang An turut berduka bersamamu, Adikku."Jiaran menundukkan kepala, tanga