PGK 90Setelah mengobrol panjang sepanjang malam, Mandala tak kunjung melakukan apapun sesuai dengan harapan Humairah. Pria itu malah mengajaknya untuk tidur karena hari yang sudah larut.“K-kamu mau langsung tidur, Mas?” tanya Humairah ragu, memastikan.Mandala mengangguk. “Kamu pasti capek kan? Yuk tidur,” ajak Mandala.Dia sudah lebih dulu membaringkan tubuhnya di atas ranjang, tertidur dengan posisi membelakangi Humairah. Sikap Mandala yang seperti itu sedikit banyaknya menyakiti hati Humairah.Apa suaminya sedang berpura-pura tidak tahu? Bukankah malam pertama tidak dihabiskan hanya dengan tidur seperti ini?Namun, Humairah tak ingin mengambil pusing, dia berpikir bahwa mungkin saja Mandala benar-benar sedang lelah sehabis acara tadi. Dia pun memilih ikut berbaring di sebelah Mandala, menatap punggung suaminya.**Keesokan harinya, Mandala terbangun dan sedikit bingung melihat kabarnya yang berbeda dari biasa. Ia menatap sekeliling, mengumpulkan kesadarannya. Setelah beberapa men
Seminggu setelah pernikahan mereka, tak kunjung ada peningkatan apapun dari hubungan Humairah dan Mandala, apalagi masalah ranjang yang tak kunjung selesai.Saat sedang tertidur, mendadak Mandala merasa haus dan terbangun. Dia tak sengaja mendengar suara isak tangis lirih, membuat Mandala seketika menegang. Mandala menatap jam yang masih menunjukkan pukul dua dini hari.Apakah dia sedang berhalusinasi?Dengan keberanian yang dikumpulkan, Mandala membalikkan tubuhnya perlahan karena penasaran. Matanya membulat terkejut melihat bahwa Humairah lah yang sedang menangis itu.“Ya Allah, Ya Rabb. Apakah hamba termasuk istri yang gagal? Apakah ada yang salah dari diri hamba sehingga suami hamba tidak ingin menyentuh hamba?”Humairah menumpahkan isi hatinya yang selama beberapa hari belakangan ini membebani hatinya. Tangisnya pecah sepanjang dia menceritakan keluh kesahnya dalam doa.Mandala yang mendengar doa Humairah yang sangat dalam itu mendadak menjadi merasa bersalah. Ia buru-buru bangk
PGK 91Keduanya melaksanakan salat sunnah dengan penuh khidmat dipimpin oleh Mandala sebagai imam.Selepas mengucapkan kalimat salam, Mandala pun berbalik memposisikan tubuhnya berhadapan dengan Humairah. Tangannya diambil oleh Humairah, diciumi punggung tangannya.Mandala pun mencium kening Humairah, ia mengambil ponselnya dan membacakan doa yang telah dia cari sebelumnya. Walaupun ada perasaan malu, tetapi Mandala berusaha menyingkirkan perasaan itu karena rasa sayangnya pada Humairah yang lebih besar.Humairah sendiri sangat menghargai usaha suaminya, dia tak menertawakan atau meremehkan Mandala yang membaca doa sambil melihat ponsel.“Aamiin,” ucap Mandala mengakhiri doanya.Keduanya saling menatap malu-malu, sedikit canggung. Mandala berinisiatif untuk memulai duluan, ia menciumi kening istrinya, turun pada kedua pipi, hidung, dan berakhir pada bibir istrinya.Awalnya hanya kecupan biasa, tetapi Mandala kembali melanjutkannya menjadi lebih panas. Setelah berciuman beberapa menit,
PGK 92 Humairah membawakan secangkir kopi untuk Buya, meletakkannya dengan sopan dan hati-hati di atas meja, juga bersama sepiring pisang goreng yang menemani. “Terima kasih, ya, Nak,” ucap Buya, mengalihkan pandangannya dari kitab yang sedang dia baca. “Suamimu ke mana?” “Mas Mandala sedang ada kelas buat ajar para santri Buya, baru pulang satu jam lagi kayaknya,” ucap Humairah. Ia tak langsung pergi setelah memberikan kopi untuk Buya, melainkan tetap berdiri di sebelah Buya. Hal itu disadari oleh Buya, beliau seketika menutup dan meletakkan kitab yang dibacanya tadi. “Ada apa, Nak? Mau bicara apa?” tanya Buya. Humairah tersenyum kecil, ia duduk di kursi dan menatap Buya. “Begini Buya ... beberapa hari ini Mas Mandala menceritakan keinginannya untuk belajar agama lebih dalam, Mas Mandala katanya ingin memperbaiki lagi ilmu agamanya.” Ia memainkan jemarinya gugup. “Jadi, Maira dan Mas Mandala berharap kalau Buya bisa membantu mengajarkan ilmu agama pada Mas Mandala,” ucap Humai
Buya pun menoleh, menatap Mandala. “Katakan apa pertanyaanmu, Nak. Insyaallah kalau Buya tahu jawabannya pasti akan Buya bantu jawab.”“Bagaimana menjadi pemimpin yang baik? Dan menurut Buya bagaimana seorang pemimpin seharusnya bersikap,” tanya Mandala.Buya mengangguk-angguk pelan, paham ke mana arah tujuan pertanyaan Mandala saat ini. Buya terdiam sejenak, merangkai kata-kata jawaban di dalam kepalanya.“Begini, Nak Mandala. Pemimpin khususnya dalam hal rumah tangga itu layaknya kapten bagi kapalnya, jika pemimpinnya saja buta arah bagaimana nasib penumpangnya? Nak Mandala pasti bisa membayangkan hal ini,” ucap Buya.“Seorang pemimpin itu harus tahu jelas kemana tujuan kapalnya akan berlabuh, di pelabuhan mana mereka akan berhenti, dan harus tahu rute apa yang akan dia ambil agar kapalnya bisa selamat hingga ke tujuannya,” ucap Buya lagi.Mandala mendengar dengan saksama, memperhatikan serius penjelasan Buya.“Jadi pemimpin harus bisa bijaksana dalam menentukan setiap keputusan dal
BAB 93“Kak, hari ini kamu bisa antar aku buat belanja bulanan gak? Bahan makanan di kulkas udah pada habis ternyata,” ucap Klarisa sembari merapikan kerah kemeja Daffa.Daffa terdiam sejenak, seperti sedang memikirkan sesuatu. Raut itu tak luput dari perhatian Klarisa.“Kalau kamu sibuk gak apa-apa kok, aku bisa pergi sendiri,” tebak Klarisa.Daffa terdengar menghela napas panjang, ia menggenggam tangan Klarisa menyesal. “Maaf ya, hari ini jadwal aku lumayan padat dan banyak meeting soalnya perusahaan mau adain event besar. Kamu pergi sama Yunda aja, ya?” tawar Daffa.Sungguh dia benar-benar menyesal harus menolak ajakan Klarisa, padahal Daffa juga sangat ingin menemani istrinya. Namun, akhir-akhir ini perusahaannya sedang sibuk karena merencanakan acara tahunan besar.“Gak usah, Kak. Aku pergi sendiri aja, lagian Yunda juga kan harus jaga Cila,” ucap Klarisa.“Perginya sama sopir tapi ya? Nanti aku ke kantor bawa mobil sendiri aja, biar kamu bisa diantar sopir,” tawar Daffa lagi. “A
Getaran ponselnya membuat fokus Daffa terpecah, awalnya dia menolak panggilan tersebut karena berasal dari nomor tak dikenal, ditambah saat ini dia sedang rapat bersama para sponsor. Namun panggilan itu tak hanya sekali, tetapi terus mengganggu Daffa dan membuatnya menghela napas sepanjang. Dia pun berpamitan dan izin mengangkat telepon sebentar, berjalan keluar dari ruang rapat. “Selamat siang, apa ini benar dengan Bapak Daffa, suami dari Ibu Klarisa?” Suara wanita terdengar menyapanya di seberang sana, membuat Daffa mengernyitkan kening bingung. “Ya benar, saya suami dari Klarisa. Ada apa ya?” “Kami dari Rumah Sakit Mutiara Hati ingin mengabarkan bahwa Ibu Klarisa mengalami tabrak lari dan bawa ke rumah sakit kami. Kami berharap Bapak Daffa bisa datang secepatnya untuk mengurus administrasi Ibu Klarisa.” Tubuh Daffa mendadak mematung, telinganya seolah berdengung kencang hingga membuat kepalanya sakit dan oleng seketika. Andai dia tak segera sadar dan berpegang pada tembok, tub
BAB 95Daffa terduduk diam di sebelah ranjang Klarisa, lengkap dengan pakaian sterilnya. Ia seperti kehilangan semangat hidup melihat Klarisa terbujur tak berdaya dengan sejumlah alat yang menempel di badannya.Sudah dua hari Klarisa tak sadarkan diri, dan Daffa memilih menghabiskan waktunya untuk menjaga istrinya. Berharap jika Klarisa sadar, dia adalah orang pertama yang melihatnya.Daffa mengabaikan seluruh pekerjaannya dan melimpahkan tanggung jawab itu pada asisten pribadinya. Handri yang mengetahui hal itu pun turut membantu putranya dan mengambil alih sementara pekerjaan Daffa.“Sayang, ayo sadar. Aku kangen banget dengar suara kamu loh,” ucap Daffa parau.Matanya telah bengkak karena terlalu banyak menangis, penampilannya sangat berantakan.“Cila dari kemarin tanyain kamu mulu loh kapan mamanya bangun, dia juga udah kangen sama kamu,” ucap Daffa lagi.Dia terus mengajak Klarisa bercerita, seolah Klarisa sadar dan bisa mendengarnya. Dokter pun yang menangani Klarisa memberikan