PGK 92 Humairah membawakan secangkir kopi untuk Buya, meletakkannya dengan sopan dan hati-hati di atas meja, juga bersama sepiring pisang goreng yang menemani. “Terima kasih, ya, Nak,” ucap Buya, mengalihkan pandangannya dari kitab yang sedang dia baca. “Suamimu ke mana?” “Mas Mandala sedang ada kelas buat ajar para santri Buya, baru pulang satu jam lagi kayaknya,” ucap Humairah. Ia tak langsung pergi setelah memberikan kopi untuk Buya, melainkan tetap berdiri di sebelah Buya. Hal itu disadari oleh Buya, beliau seketika menutup dan meletakkan kitab yang dibacanya tadi. “Ada apa, Nak? Mau bicara apa?” tanya Buya. Humairah tersenyum kecil, ia duduk di kursi dan menatap Buya. “Begini Buya ... beberapa hari ini Mas Mandala menceritakan keinginannya untuk belajar agama lebih dalam, Mas Mandala katanya ingin memperbaiki lagi ilmu agamanya.” Ia memainkan jemarinya gugup. “Jadi, Maira dan Mas Mandala berharap kalau Buya bisa membantu mengajarkan ilmu agama pada Mas Mandala,” ucap Humai
Buya pun menoleh, menatap Mandala. “Katakan apa pertanyaanmu, Nak. Insyaallah kalau Buya tahu jawabannya pasti akan Buya bantu jawab.”“Bagaimana menjadi pemimpin yang baik? Dan menurut Buya bagaimana seorang pemimpin seharusnya bersikap,” tanya Mandala.Buya mengangguk-angguk pelan, paham ke mana arah tujuan pertanyaan Mandala saat ini. Buya terdiam sejenak, merangkai kata-kata jawaban di dalam kepalanya.“Begini, Nak Mandala. Pemimpin khususnya dalam hal rumah tangga itu layaknya kapten bagi kapalnya, jika pemimpinnya saja buta arah bagaimana nasib penumpangnya? Nak Mandala pasti bisa membayangkan hal ini,” ucap Buya.“Seorang pemimpin itu harus tahu jelas kemana tujuan kapalnya akan berlabuh, di pelabuhan mana mereka akan berhenti, dan harus tahu rute apa yang akan dia ambil agar kapalnya bisa selamat hingga ke tujuannya,” ucap Buya lagi.Mandala mendengar dengan saksama, memperhatikan serius penjelasan Buya.“Jadi pemimpin harus bisa bijaksana dalam menentukan setiap keputusan dal
BAB 93“Kak, hari ini kamu bisa antar aku buat belanja bulanan gak? Bahan makanan di kulkas udah pada habis ternyata,” ucap Klarisa sembari merapikan kerah kemeja Daffa.Daffa terdiam sejenak, seperti sedang memikirkan sesuatu. Raut itu tak luput dari perhatian Klarisa.“Kalau kamu sibuk gak apa-apa kok, aku bisa pergi sendiri,” tebak Klarisa.Daffa terdengar menghela napas panjang, ia menggenggam tangan Klarisa menyesal. “Maaf ya, hari ini jadwal aku lumayan padat dan banyak meeting soalnya perusahaan mau adain event besar. Kamu pergi sama Yunda aja, ya?” tawar Daffa.Sungguh dia benar-benar menyesal harus menolak ajakan Klarisa, padahal Daffa juga sangat ingin menemani istrinya. Namun, akhir-akhir ini perusahaannya sedang sibuk karena merencanakan acara tahunan besar.“Gak usah, Kak. Aku pergi sendiri aja, lagian Yunda juga kan harus jaga Cila,” ucap Klarisa.“Perginya sama sopir tapi ya? Nanti aku ke kantor bawa mobil sendiri aja, biar kamu bisa diantar sopir,” tawar Daffa lagi. “A
Getaran ponselnya membuat fokus Daffa terpecah, awalnya dia menolak panggilan tersebut karena berasal dari nomor tak dikenal, ditambah saat ini dia sedang rapat bersama para sponsor. Namun panggilan itu tak hanya sekali, tetapi terus mengganggu Daffa dan membuatnya menghela napas sepanjang. Dia pun berpamitan dan izin mengangkat telepon sebentar, berjalan keluar dari ruang rapat. “Selamat siang, apa ini benar dengan Bapak Daffa, suami dari Ibu Klarisa?” Suara wanita terdengar menyapanya di seberang sana, membuat Daffa mengernyitkan kening bingung. “Ya benar, saya suami dari Klarisa. Ada apa ya?” “Kami dari Rumah Sakit Mutiara Hati ingin mengabarkan bahwa Ibu Klarisa mengalami tabrak lari dan bawa ke rumah sakit kami. Kami berharap Bapak Daffa bisa datang secepatnya untuk mengurus administrasi Ibu Klarisa.” Tubuh Daffa mendadak mematung, telinganya seolah berdengung kencang hingga membuat kepalanya sakit dan oleng seketika. Andai dia tak segera sadar dan berpegang pada tembok, tub
BAB 95Daffa terduduk diam di sebelah ranjang Klarisa, lengkap dengan pakaian sterilnya. Ia seperti kehilangan semangat hidup melihat Klarisa terbujur tak berdaya dengan sejumlah alat yang menempel di badannya.Sudah dua hari Klarisa tak sadarkan diri, dan Daffa memilih menghabiskan waktunya untuk menjaga istrinya. Berharap jika Klarisa sadar, dia adalah orang pertama yang melihatnya.Daffa mengabaikan seluruh pekerjaannya dan melimpahkan tanggung jawab itu pada asisten pribadinya. Handri yang mengetahui hal itu pun turut membantu putranya dan mengambil alih sementara pekerjaan Daffa.“Sayang, ayo sadar. Aku kangen banget dengar suara kamu loh,” ucap Daffa parau.Matanya telah bengkak karena terlalu banyak menangis, penampilannya sangat berantakan.“Cila dari kemarin tanyain kamu mulu loh kapan mamanya bangun, dia juga udah kangen sama kamu,” ucap Daffa lagi.Dia terus mengajak Klarisa bercerita, seolah Klarisa sadar dan bisa mendengarnya. Dokter pun yang menangani Klarisa memberikan
Pagi ini Arsyla sudah dititipkan di rumah Raida, dan disambut dengan bahagia oleh Humairah. Semenjak di Jakarta, Humairah menjadi sangat dekat dengan Arsyla, dia selalu memastikan Arsyla tidak kesepian karena ibunya tidak ada.“Onty, Cila boleh nanya gak?” tanya Arsyla di tengah-tengah aksinya main boneka.Humairah yang sedang menemani pun menatap Arsyla lembut. “Boleh. Mau tanya apa Cila Sayang?”“Mama kok belum bangun-bangun ya, Onty? Mama bakal bangun kan? Mama gak bakal tinggalin Cila kan?”Pertanyaan yang keluar dari mulut polos Arsyla membuat Humairah terdiam, tetapi dengan cepat dia kembali sadar dan mengusap kepala Arsyla. “Mama Cila gak kenapa-kenapa kok. Mama cuma butuh istirahat banyak biar cepat sembuh, jadi Cila jangan khawatir ya. Selama Mama gak ada, Cila main sama Onty dan Uncle aja.”**Mandala menepuk pundak Daffa yang baru saja mengurus administrasi, Klarisa telah melewati masa kritis dan akan dipindahkan ke ruang rawat biasa. Namun, dokter juga belum bisa memastik
BAB 96Mandala mengeluarkan jaket kulitnya dari lemari dan mengenakannya, membuat Humairah yang baru saja masuk menatap Mandala heran.“Mau ke mana malam-malam gini, Mas?” tanya Humairah. Pasalnya jam telah menunjukkan pukul sebelas, dan itu sudah cukup larut.Mandala menoleh, ia menghampiri istrinya dan menciumi kening Humairah. “Ada urusan yang harus aku selesaikan. Kamu tidur duluan aja ya,” ucap Mandala.Humairah mengernyitkan kening, jawaban Mandala sama sekali tak menjawab pertanyaannya. “Mas? Kamu gak aneh-aneh kan? Walaupun ini kota besar dan bukan lagi lingkungan pesantren, tolong selalu ingat Gusti Allah, ya?” Ada sirat kekhawatiran di kedua matanya.Ia mengusap rahang suaminya, sedikit tak rela membiarkan Mandala untuk pergi selarut ini. Apalagi Humairah tak tahu tujuan Mandala akan ke mana dan berbuat apa.“Doain aja ya? Aku bukan mau melakukan hal jahat, apalagi hal yang melanggar agama. Aku hanya ingin mengungkap kebenaran, dan aku mohon doa kamu. Bantu aku biar semuanya
“Risa sekarang sedang koma,” ucap Mandala, ia menundukkan kepalanya. “Sebenarnya kalau boleh jujur, aku menyesal sudah memberikan izin pada Daffa untuk kembali dengan adikku.”“Setelah bersama Daffa, bukan kebahagiaan yang adikku dapatkan, tapi Risa malah selalu ditimpa kemalangan,” tambahnya.Gea mengangkat kursinya dan mencoba duduk lebih dekat dengan Mandala, ia mengusap-usap tangan Mandala dengan malu-malu. Seolah sedang menguatkan pria itu.“Kak aku tahu banget perasaan kamu. Selama ini aku lihat di rumah pun Kak Risa gak pernah bahagia, Kak Risa selalu sibuk dengan banyak hal. Aku kadang kasian liat Kak Risa harus urus suami, urus anak, urus rumah, kerja pula,” ucap Gea mengompori.“Aku juga sebenarnya menyesal telah menikah dengan istriku sekarang.”Ucapan Mandala kali ini berhasil mengejutkan Gea, membuat gerakannya yang sedang mengelus terhenti seketika. Ia menatap Mandala penuh harap.“M-maksud Kakak? Bukannya istri Kak Mandala adalah perempuan baik-baik?” tanya Gea gugup.M