“Matilah kau sekarang juga!” Abimanyu mengulurkan tangan, kemudian muncul bola cahaya yang semakin besar. Ia arahkan pada Ustaz Ramli yang masih tidak berdaya.Beberapa detik kemudian, bola cahaya itu melesat dengan cepat ke arah Ustaz Ramli. Namun, belum sampai mengenai sasaran, cahaya itu kembali ke arah Abimanyu.“Sial!” umpat Abimanyu sambil menghindar.Tepat saat itu, muncul laki-laki memakai jubah putih dengan sorban senada di kepala. Tangan kanannya memutar tasbih sambil komat-kamit membaca sesuatu.“Abah ...,” panggil Ustaz Ramli lirih. Ia bersyukur Abah-nya muncul di saat yang tepat.“Biarkan dia menjadi urusanku. Kamu bawa mereka kembali ke alam manusia. Pintu masuk sudah kubuka,” ucap Abah tanpa menatap Ustaz Ramli.Ustaz mencoba berdiri dengan susah payah, ia memberi kode pada Dion dan Adisti untuk mendekat. Namun, ia tidak menemukan Aldi. Di mana dia? Ia berpegangan pada pohon yang kini kembali mengeluarkan cahaya dan bisa dilewati.“Kalian pulanglah dulu. Nanti aku akan
“Aku ....” Adisti sengaja menjeda ucapannya. Sedikit ragu ia mengucapkan apa yang ia inginkan.Dion semakin menahan napas karena Adisti semakin menekan tubuhnya. Ia laki-laki normal, perbuatan istrinya itu tentu saja membuat Dion sedikit sakit kepala.“Katakan, Adisti.” Suara Dion lirih, tetapi masih terdengar oleh Adisti.“Aku ... ingin mencoba menjadi istri yang sesungguhnya buatmu, Mas.”Akhirnya keluar dari bibir Adisti, kalimat yang sejak beberapa hari yang lalu ia pikirkan matang-matang. Wanita itu merasakan kedamaian saat di dekat Dion, bahkan ia merasa nyaman dengan semua perlakuan laki-laki itu. Berbeda jauh dengan Abimanyu yang hanya memanfaatkan dirinya di atas ranjang saja.Wajah Dion seketika semringah. Bahagia tentu saja. Sejak awal menikah, ia ingin Adisti menjadi istri yang sesungguhnya, bukan hanya perjanjian.“Benarkah?” tanya Dion memastikan. Ia tidak mau terlalu berharap karena takut kecewa.Adisti tidak menjawab, tetapi Dion merasakan wanita itu mengangguk dari ge
Adisti masih menautkan jarinya bingung. Di satu sisi ia ingin mengiyakan ajakan Dion, tapi bibirnya terasa berat untuk berucap apalagi mengangguk. “Yuk!” Dion meraih jemari Adisti membimbing wanita itu menuju kamar mandi untuk diajari berwudu. Walaupun sedikit ragu Adisti tetap mengikuti langkah Dion menuju kamar mandi. “Kamu lupa semuanya?” tanya Dion sambil melipat lengan bajunya. “Emm ... masih ingat sedikit sih.” “Niatnya?” tanya Dion lagi. Adisti menggeleng. Ia benar-benar lupa bagaimana niat wudu, entah kapan terakhir kali ia melakukan itu. Mungkin beberapa tahun lalu saat dirinya masih sekolah. Dion menghela napas sejenak sebelum akhirnya menuntun Adisti membaca niat berwudu. Awalnya bibir Adisti tampak kaku mengucap kata demi kata niat wudu, tetapi akhirnya ia bisa mengucapkannya walaupun terbata-bata. Dion memberikan contoh, terkadang harus mengulangi saat Adisti keliru urutannya. “pakailah ini.” Dion mengulurkan mukena berwarna putih dengan hiasan swaroski di beberap
“Bagaimana keadaan Abimanyu?” tanya Lastri khawatir. Ia menatap Hartanto kemudian kamar anaknya yang tertutup rapat. Wajahnya tidak bisa berbohong, ia sungguh mengkhawatirkan anaknya itu. Ia takut anaknya cacat, setelah penobatan yang gagal ia tidak mau mendapat hal buruk lagi.“Dia baik-baik saja. Pergilah,” usir Hartanto, ia tidak ingin diganggu saat mengobati Abimanyu pasca pertarungannya dengan Abah. Ia memang tidak menyukai cara Abimanyu dan Lastri yang memaksakan menguasai wilayah mereka, tetapi nuraninya tidak bisa dibohongi bahwa mereka tetaplah keluarga. Yang mana akan merasakan sakit jika salah satu ada yang terluka.“Mana mungkin aku bisa melakukan apa pun jika keadaan anakku saja belum pasti. Dia sudah lama tidak bangun, kamu tidak paham betapa khawatirnya aku sebagai ibunya,” sergah Lastri sambil memaksa masuk kamar Abimanyu.Semenjak masuk kamar itu, Hartanto melarangnya masuk. Ia sudah bersusah payah mencari keberadaan Abimanyu setelah beberapa waktu menghilang. Kini ia
“Kamu kenapa? Kok pucat?” Tanya Dion menautkan alis sambil fokus menyetir, sesekali ia melirik Adisti yang kian memucat. Tak kunjung ada jawaban, akhirnya Dion memilih menepikan mobil lalu menghentikannya. Laki-laki itu memiringkan tubuhnya menghadap Adisti, disentuhnya wajah ayu yang kini memucat. “Are you okay?” tanya Dion sekali lagi. Suaranya terdengar lembut dan mampu menghipnotis Adisti untuk menatapnya. “A–aku ....” Adisti tidak mampu meneruskan kalimatnya. Di satu sisi ia tidak tega melihat Dion kembali bersusah payah memikirkan nasibnya, tetapi jika dirinya diam bisa saja janin itu akan berkembang pesat seperti sebelumnya. Dion menaikkan alisnya, kemudian kedua tangannya berakhir di pundak Adisti. Ditatapnya dalam-dalam wanita yang telah mencuri hatinya sejak lama itu. Mencoba menelaah apa yang terjadi padanya. “Katakan saja, ada apa? Siapa tahu aku bisa membantu.” Lagi, suara lembut Dion membuat Adisti semakin dilema. Antara tidak tega dan memikirkan nasibnya sendiri s
“Ada apa dengan perutku? Kenapa tiba-tiba keras sekali?” gumam Adisti keheranan.Sekali lagi ia meraba perutnya yang masih tampak datar. Kemudian ia mengetuknya perlahan, suara seperti besi dipukul terdengar lirih.Kembali wajah Adisti memucat. Ada apa dengan kehamilannya kali ini? Seingatnya, kehamilan yang sebelumnya tidak seperti itu. Lantas, apa yang membuat berbeda kali ini?Adisti mengerang frustrasi, ia mengacak rambutnya dengan kasar, ditatapnya wajah yang kini terlihat pucat. Bagaimana ia menyelesaikan masalahnya kali ini? Apa Ia harus pergi ke rumah Ustaz Ramli sendirian tanpa memberitahu Dion, tetapi apa itu solusi yang baik? Apa yang harus ia katakan pada Dion nantinya?“Sialan!” umpat Adisti kesal karena tidak menemukan cara yang tepat. Ia melirik jam di tangan, masih terlalu pagi jika pergi ke rumah Ustaz Ramli sekarang.“Harus bagaimana ini?” gumam Adisti lelah. Ia benar-benar lelah mental dan fisik menghadapi masalahnya yang tak kunjung berakhir. Jika sebelumnya kehami
“Mas Dion, kamu laki-laki terbaik yang selama ini aku kenal. Tapi, maafkan aku yang tidak sempurna ini selalu memberimu banyak masalah. Jika kamu membaca surat ini, itu artinya mungkin aku telah pergi jauh. Salam.” Bibir Dion bergetar membaca setiap kata yang tertulis pada secarik kertas itu. Ia takpercaya Adisti menulis demikian, apa yang kurang dengannya selama ini? Mengapa wanita itu tega meninggalkannya di saat dirinya mulai merasa bahagia? Padahal dirinya tidak mempermasalahkan yang terjadi selama ini, tetapi mengapa Adisti menyerah dan pergi darinya?Dion meremas selembar kertas itu dengan perasaan campur aduk. Antara marah, cemas, dan kecewa menjadi satu. ia mengacak rambut dengan kasar. pergi ke mana lagi wanitanya itu? seingatnya Adisti tidak memiliki banyak teman, kecuali ... Sesil. Ya, hanya wanita itu yang ia ketahui dekat dengan Adisti. Apakah mungkin Sesil tahu ke mana perginya Adisti? Tidak. Mustahil Adisti memberitahu Sesil tentang masalahnya. Sesil tidak pernah menan
“Pergi ke mana kamu, Adisti,” gumam Dion sambil menatap trotoar, berharap menemukan Adisti dari sekian banyak pejalan kaki.Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore, itu artinya sekitar 2 jam dirinya memutari kota demi mencari Adisti. Namun, Dion sama sekali belum menemukan sosok Adisti. Pikirannya campur aduk, memikirkan keberadaan Adisti dan misteri testpack yang ia temukan. Ia yakin itu anak Abimanyu karena selama menikah ia belum menyentuh Adisti sama sekali.Ada sesal di hati Dion, mengapa tidak segera membawa istrinya ke rumah Ustaz Ramli.Tiba-tiba Dion mengernyit, ia teringat dengan Ustaz Ramli. Mengapa dirinya tidak meminta bantuan untuk mencari sosok Adisti? Ya, setahu Dion Ustaz Ramli bisa mencari orang yang hilang dengan mata batinnya.Senyum tersungging di wajah Dion, segera ia menginjak pedal gas lalu membelokkan mobil menuju rumah Ustaz Ramli. Namun, naas baginya karena tidak fokus menatap jalan dari arah berlawanan sebuah truk membunyikan klakson menabrak mobilnya dengan c