Share

10. KEDATANGAN BASTI

Malam ini, Rani dan Ibnu sungguh di buat terkejut dengan kepulangan Basti ke rumah setelah hampir satu bulan lebih laki-laki itu berpamitan untuk mencari pekerjaan ke luar kota.

Kedatangan Basti di sambut baik oleh ke dua Ibu dan Bapak mertuanya. Malam itu, Basti membawa banyak barang belanjaan sebagai buah tangan untuk seluruh keluarga Raline. Meski, kedatangannya kali ini hanya untuk mengantar sebuah berita buruk.

Surat perceraiannya dengan Raline sudah di tangan, namun belum dia tanda tangani. Entah kenapa, rasanya berat sekali bagi Basti untuk melepaskan Raline. Dia tidak perduli jika dia harus di anggap sebagai seorang laki-laki yang telah ingkar janji, tapi Basti terus berpikir dan mencari cara untuk memecahkan masalah ini tanpa harus ada kata cerai. Hingga akhirnya dia pun memutuskan untuk pulang.

Sebelum Basti benar-benar menandatangani surat itu, ada baiknya dia kembali memastikan apa Raline masih tetap pada keputusannya untuk bercerai, atau mungkin ada sebuah keajaiban yang bisa membuat hati Raline terbuka dan mau menerima kehadiran Basti seutuhnya.

Jadi, tak ada salahnya jika Basti kembali berusaha.

"Wah, ada artis di rumah kita? Kiara pikir, Mas Basti udah lupa jalan pulang, mentang-mentang udah sukses! Pake ilmu apaan? Kok bisa sih, mendadak tenar cuma dalam waktu satu bulan?" suara nyinyir Kiara terdengar dari arah dalam. Wanita berpiyama kuning itu baru saja keluar dari kamarnya saat dia mendengar suara Rani memanggilnya.

"Wuidih, liat tuh Bu, dia bawa mobil ke sini? Keren Bu mobilnya," ucap Kiara lagi saat dilongoknya di luar halaman rumah mereka kini terparkir sebuah toyota rush silver yang bertengger manis di sana.

"Mudah-mudahan sih bukan mobil pinjeman," lanjut Kiara lagi. Dan tanpa merasa malu ataupun gengsi, Kiara justru mengambil secomot pizza di meja yang tadi di bawa oleh Basti. Lalu, dia ikut-ikutan kepo dengan isi barang belanjaan yang masih berjejer rapi di atas meja. Belum sama sekali di sentuh oleh Rani dan Ibnu.

"Kiara! Kalau bicara itu jangan suka sembarangan!" omel Rani yang langsung memelototi Kiara. Tapi yang di omeli malah santai-santai saja dan terlihat asik mengubek-ubek isi tas-tas belanjaan yang di bawa oleh Basti.

"Nggak apa-apa, Bu. Kiarakan masih kecil, jadi apa yang dia bilang, nggak terlalu saya ambil hati," ucap Basti yang kini merasa perlu memberi sedikit pelajaran pada gadis manis bermulut pedas itu.

"Enak aja, lo bilang gue masih kecil! KTP gue udah jadi tau! Tahun depan juga gue lulus SMA," dumel Kiara yang tidak terima dibilang anak kecil. Tatapannya tajam melotot ke arah Basti, tapi yang di tatap justru malah tersenyum-senyum tipis.

"Raline sekarang sudah bekerja di Salon. Hari ini dia sedang shift siang dan pulang malam. Jadi, kamu istirahat saja dulu di kamar, sambil menunggu Raline pulang," ucap Rani pada menantunya itu.

"Iya, Bu. Gampang,"

"Sebelumnya, kami mengucapkan banyak-banyak terima kasih padamu, atas uang yang sering kamu kirimkan akhir-akhir ini. Tapi, semua itu terasa berlebihan bagi kami. Mulai sekarang, simpan saja uangmu untuk dirimu dan Raline. Rumah tangga kaliankan masih panjang, masih banyak keperluan yang harus kalian penuhi," kali ini suara Ibnu yang terdengar.

Basti tersenyum menaggapi kalimat Bapak Mertuanya itu. "Nggak apa-apa, Pak. Anggap saja itu semua uang balas budi saya atas kebaikan kalian pada saya selama ini," katanya tulus. Harus Basti akui, tak ada orang tua mana pun yang memiliki hati dan jiwa sebesar orang tua Raline. Mereka itu adalah sosok orang tua panutan. Orang tua impian. Dan melihat mereka, Basti seolah mendapat kasih sayang yang selama ini tak pernah di dapatkan olehnya dari orang tua kandungnya sendiri.

"Tau nih, Bapak sama Ibu sok munafik pake nolak rejeki. Kalau nggak mau uang pemberian dari Mas Basti, mending uangnya buat Kiara aja,"

"Hus, kamu ini. Udah sana masuk kamar, tidur! Besok kamu kan harus sekolah," bentak Rani seraya menjitak kepala Kiara.

Kiara hanya ngedumel kecil dan kembali mencomot satu potong pizza lagi.

"Enak," katanya sambil melirik ke arah Basti sebelum akhirnya ABG itu ngibrit ke dalam kamar. "Makasih ya, sering-sering aja kayak gini, biar gue nggak nyinyirin lo lagi," teriak Kiara satu detik sebelum dia menutup pintu kamarnya.

Rani dan Ibnu hanya bisa geleng-geleng kepala. Mereka sungguh tak enak hati atas kelakuan Kiara yang dianggapnya tidak tahu malu. Sementara Basti hanya tersenyum simpul. Dia tahu, sebenarnya Kiara itu tidak seburuk yang dia kira.

"Ya sudah, kalau begitu saya izin pamit ke kamar dulu, Bu." ucap Basti kemudian. Dia menenteng dua tas jinjing berisi pakaian dan sepatu wanita yang dia beli khusus untuk Raline.

Seharian ini jadwal syutingnya sangat padat. Belum lagi saat dia harus meluangkan waktunya untuk membeli semua oleh-oleh itu. Waktu istirahatnya benar-benar terkikis.

Sambil menunggu kepulangan Raline, ada baiknya Basti tidur sebentar di kamar.

***

Raline menjatuhkan tubuhnya di lantai gudang dan menselonjorkan ke dua kakinya yang pegal setelah berdiri hampir lima jam lebih dengan memakai high heels tujuh centi. Dia merasakan urat-urat kakinya seperti mengeras dan tertarik. Ngilu. Itulah satu kata yang mampu menggambarkan apa yang Raline rasakan saat ini di telapak kakinya yang mulai keram dan kesemutan. Belum ditambah kelingking kaki kanannya yang lecet dan sedikit berdarah. Pantas saja dia merasakan nyeri yang terasa sampai ke ubun-ubun kepala setiap kali dia hendak melangkahkan kaki kanannya.

Maklum, ini hari weekend. Itulah sebabnya salon tempat Raline bekerja ramai pengunjung. Sesuai dengan keramaian gedung mallnya.

"Mei, tolong dong ambilin betadine di kotak P3K di depan, gue capek banget nih, nggak kuat jalan lagi," kata Raline pada rekan kerjanya Meimei yang kini sedang berdiri di samping Raline setelah wanita berambut ikal itu menenggak satu gelas air putih yang di ambilnya dari galon.

"Kaki lo lecet lagi Lin?" tanyanya kemudian. Dia mengalihkan pandangannya ke arah kaki telanjang Raline.

"Iya nih, padahal yang kemarin aja belum kering, makanya jadi berdarah sekarang. Perih banget," Raline berkata dengan wajah yang mulai meringis, tangannya dia gunakan untuk memijit-mijit betisnya yang pegal.

"Ya udah, gue ambilin, sebentar," Meimei pun pergi setelahnya.

"Thank's Meimei yang cantik," puji Raline seraya tersenyum kecil.

Sejujurnya, Raline senang bekerja di sini. Di sebuah salon ternama yang cabangnya kini tersebar di berbagai pelosok negeri. The Jhon'S Salon. Itulah nama salon tempat Raline bekerja sekarang. Di mana dia menjabat sebagai tim Creambath, atau anak CR, panggilan singkatnya.

Semua pekerja di sini baik-baik dan sangat berjiwa sosial tinggi. Meski terkadang ada saja masalah yang timbul, mengingat anggota karyawan dalam satu salon itu bisa mencapai lebih dari 20 orang dan dibagi menjadi dua shift, pagi sampai sore serta siang sampai malam.

Biasanya masalah utama yang seringkali terjadi di sini, itu adalah masalah jatah. Di mana tim kasir atau orang depan yang bertugas menerima tamu seringkali salah memberi jatah atau tugas kepada para Stylish ataupun tim Creambath. Sebenarnya hanya masalah miss komunikasi, tapi hal itu justru bisa menjadi besar, jika tamu yang dimaksud adalah tamu loyal berjiwa dermawan yang suka memberi tips dengan nominal rupiah yang besar.

Intinya, lagi-lagi masalah uang. Dan tamu seperti ini yang biasanya menjadi incaran para pegawai salon. Sebab, mereka bekerja di sini tidak hanya mengandalkan gaji perbulan dari perusahaan saja, tapi juga mengandalkan uang tips dari para tamu mereka. Dan semua kembali lagi pada sistem jatah dari kasir. Mereka sebagai pegawai service di larang keras memilih-milih tamunya sendiri, terkecuali jika tamu itu sendiri yang memilih ingin di beri pelayanan oleh siapa. Itu yang akan di namakan sebagai tamu mentes atau pelanggan tetap salon mereka.

Dan hebatnya, selama tiga minggu Raline bekerja di Salon ini, dia sudah memiliki cukup banyak pelanggan tetap. Meski, kebanyakan dari tamu-tamu langganannya berasal dari kalangan pria berumur dan sudah menikah. Alias, om-om genit.

Sementara Raline tidak merasa terganggu sedikitpun, selama mereka masih bersikap sopan padanya saat Raline memberikan pelayanannya baik itu creambath, menicure-pedicure, refleksi, atau back therapy masaage. Maka, selama itu juga Raline akan bersikap baik pada mereka. Intinya, hargailah orang lain jika kamu ingin di hargai.

"Woy, nape lu Lin? Ngerem aje di gudang? Tepar lu abis pegang Pak Bowo? Hahaha..."

Raline mendongak dan melihat Mak Lia berdiri di ambang pintu gudang.

"Iya, Mak. Padahal durasi refleksi cuma satu jam, dia minta tambah-tambah terus, idih," sahut Raline dengan ekspresi bergidik, membayangkan sosok laki-laki tua bangka bernama Bowo yang kini selalu mencari Raline jika dia datang ke salon ini.

"Ya lu bilang aje kalau lewat durasi, pembayaran dua kali lipat pak, begitu," jelas Mak Lia dengan logat betawinya yang kentara.

Raline terkekeh, sementara Mak Lia kembali ke depan karena mendapat panggilan dari kasir-kasirnya, Clara dan Riana.

Mak Lia adalah Superveser The John's Salon cabang GHI atau Grand Hotel Indonesia. Wanita berusia 38 tahun dengan dua orang anak. Orangnya baik, asik di ajak bergaul, tegas dan sangat pintar menangani masalah. Dia selalu menuntaskan masalah yang terjadi di salon ini hingga sampai ke akar-akarnya. Dia paling tidak suka jika karena masalah kecil lantas bisa merusak kerjasama tim dalam hal pelayanan customer demi menaikkan omset salon. Dan Mak Lia, tidak akan tanggung-tanggung untuk memberikan hukuman bagi siapa saja karyawannya yang terbukti bersalah.

"Nih, betadinenya. Eh, ada tamu mentes tuh Lin, lekong (laki), mau Creambath sama lo kata Mak Lia. Cucok (cakep) deh orangnya. Tapi kayaknya gue baru liat, abis biasanya mentes(langganan) lo kan om-om genit semua," tutur Meimei yang baru saja kembali dari depan.

Raline menerima betadine dari tangan Meimei seraya mencibir. "Eh, lo pikir gue yang mau punya langganan Om-Om genit? Merekanya aja yang kegatelan, maunya di grepe-grepe sama cewek," ujar Raline lantang. Jelas, dia tidak terima jika selalu jadi bahan ejekan di salon ini, di mana para tamu pria berusia di atas 40 tahunan akan menjadi pelanggan tetap salon setiap kali mereka melihat Raline. Entah apa yang mereka lihat dari dirinya, padahal Raline merasa dirinya itu biasa-biasa saja. Bahkan banyak yang mengatakan kalau dia itu pendek. Itulah sebabnya Raline diwajibkan menggunakan heels dengan hak yang sangat tinggi hanya untuk menutupi kekurangannya itu.

"Lo mau tau nggak alesannya kenapa, banyak Om-om genit yang kepincut sama lo?" Meimei berjongkok di sebelah Raline. Lalu dia mulai membisikkan sesuatu di telinga wanita bergigi gingsul itu. "Soalnya, toket (buah dada) lo gedong (gede)! Wkwkwkwwk,"

"Sialan lo!" Raline melempar gulungan tissue yang dia gunakan untuk membersihkan kakinya ke wajah Meimei yang langsung menjerit jijik dan menjauh dari gudang.

Raline menatap sejenak ke arah buah dadanya yang terkadang suka terlihat di bagian belahannya yang tersingkap jika dia sedang mengenakan pakaian dengan lingkar leher yang pendek. Raline pun merogoh syal di saku celananya dan mulai melilitkannya di leher. Panjang syal itu akan sedikit membantu menutupi area belahan dadanya yang sedikit terbuka. Sebenarnya dada Raline itu kecil, mungkin ini karena pengaruh hormon di masa kehamilannya yang membuat buah dada Raline terlihat lebih besar.

"RALINE, CR. MENTES. MASKARAIN(masukin) YA?" suara Mak Lia yang melengking bak toa masjid terdengar menusuk telinga Raline.

"Ya ampun, Mak, gak bisa apa liat karyawannya santai sedikit," gumam Raline seraya bangkit dan mulai mengenakan kembali heelsnya.

"Ouchhh..." rintih Raline tertahan saat dia merasakan jari kelingkingnya harus kembali menjerit kesakitan karena terhimpit oleh heelsnya yang sudah semakin menyempit.

Dia berusaha berjalan normal, supaya terkesan tidak memalukan. Masa iya, dia harus berjalan pincang di depan customernya sendiri?

Apa kata dunia?

***

"Thank's ya tumpangannya," Teriak Raline pada Joane, salah satu Stylish di tempatnya bekerja yang baru saja mengantar Raline pulang. Dari Joanelah Raline mendapat info lowongan pekerjaan di salon GHI. Sebab, jarak rumah mereka yang memang tidak terlampau jauh. Dan Raline memang selalu nebeng motor Joane setiap kali mereka satu shift.

Raline mulai memasuki halaman rumahnya dan berhenti di teras karena dia harus membuka tali sepatu ketsnya yang kemudian dia simpan di rak sepatu yang terletak di dalam rumah.

Keadaan rumah sudah sepi saat Raline pulang. Pasti semua penghuninya sudah asik terbuai dalam mimpi masing-masing. Karena memang selalu seperti itu, sebab Raline selalu pulang hampir tengah malam jika dia masuk shift siang.

Usai mengunci pintu, Raline langsung melangkah masuk ke dalam kamarnya. Dia melempar asal tas selempangnya dan langsung menuju lemari pakaian untuk mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur.

Raline sudah membuka kemeja hitamnya dan celana jeans hitamnya. Menyisakan pakaian dalam yang masih melekat di tubuhnya yang bisa dibilang sexy.

Kulitnya yang putih, mulus dan halus. Payudaranya yang padat serta bokongnya yang bulat, dengan pinggul yang ramping bak gitar spanyol, cukup merangkum bahwa tubuh Raline masuk ke dalam kategori tubuh wanita ideal, jika saja diimbangi dengan tinggi badan yang sesuai. Namun sayangnya, tinggi badan Raline termasuk ke dalam kategori rendah atau di bawah rata-rata standart. Hanya, 155 cm saja.

Dan usia kehamilannya yang mulai memasuki bulan ke tiga, masih belum memberi tanda-tanda perubahan fisik yang cukup signifikan, karena perutnya masih terlihat rata.

Raline hendak melepas bra berenda hijau yang dia kenakan saat tiba-tiba pintu kamarnya di buka dari luar.

"Arrgghhhhh..." Raline yang terkejut setengah mati kontan berteriak dan malah menjatuhkan bra miliknya yang memang sudah terlepas. Jadilah dia berdiri dengan tubuhnya yang hampir bugil dihadapan seorang laki-laki yang jelas dia kenal.

"BASTI!!!" pekik Raline yang langsung menutupi payudaranya yang kini terpampang bebas dan jelas.

Basti mematung di tempatnya dengan tatapan yang tertuju pada satu titik. Bahkan saking terkejutnya Basti justru malah tidak bisa bergerak. Ke dua bola mata berwarna merah maroon itu kini terlihat melebar. Jakun Basti terlihat naik turun setelah dia menelan salivanya sendiri. Aliran darahnya seolah berdesir dan ada sesuatu yang berdenyut hebat di area selangkangannya.

"KELUAR NGGAK!" teriakan Raline kembali terdengar saat wanita itu kini sudah melilit asal tubuhnya dengan selimut. Raline benar-benar di buat kesal. Tapi sayangnya, yang di teriaki bukannya malah keluar justru malah masuk dan berjalan cepat ke arah Raline seraya menutup mulut Raline dengan satu telapak tangannya. Sedang tangan lainnya Basti gunakan untuk mengunci ke dua tangan Raline ke belakang.

Raline masih terus mencoba untuk berteriak.

"Diem Lin! Nggak enak nanti di denger sama Bapak dan Ibu, sangkanya aku ngapa-ngapain kamu lagi?" ucap Basti dengan wajahnya yang terlihat panik.

Raline masih meronta. Tapi Basti tidak juga melepas pegangannya.

"Janji dulu kamu nggak bakal teriak lagi?" ancam Basti yang sesekali menengok ke arah pintu. Takut-takut Bapak atau Ibu mertuanya tiba-tiba memasuki kamar Raline. Atau bisa saja si biang kerok Kiara yang nongol. Aduh, bisa tambah runyam masalahnya. Pikir Basti lagi.

Akhirnya, Raline pun menyanggupi perintah Basti dengan memberi isyarat berupa anggukan di kepalanya. Perlahan, Basti mulai melepas tangannya dari mulut dan tangan Raline. Laki-laki itu langsung beranjak ke arah pintu untuk menutup pintu itu dan menguncinya dari dalam.

Raline merapatkan selimut yang melilit tubuhnya. Dia terlihat sangat kesal. Tatapan tajamnya terus menghunus ke arah Basti.

"Ngapain kamu ada di sini?" tanya Raline dengan nada galak. Dia melipat ke dua tangannya di depan dada. Bola matanya masih intens memantau gerak gerik Basti, takut-takut laki-laki itu akan melakukan gerakan-gerakan secara tiba-tiba seperti tadi. Jadi, Raline lebih memilih untuk menjaga jarak aman dari Basti. Meski, dia sendiri tidak bisa memungkiri adanya getaran-getaran aneh saat dirinya di himpit oleh Basti tadi. Bahkan saat mulut Basti terasa begitu dekat dengan telinganya. Raline merasa dirinya seolah disetrum oleh listrik bertegangan tinggi. Seluruh urat syarafnya menegang seketika dan memacu jantungnya bekerja secara abnormal.

Kini, Raline masih terus berusaha untuk menetralkan perasaannya.

"Pakai baju dulu sana, nanti baru kita bicara," ucap Basti dengan tubuh membelakangi Raline. Laki-laki itu baru saja membuka jendela kaca di kamar Raline yang menghadap ke jalanan. Entah mengapa Basti merasa suhu di dalam kamar Raline tiba-tiba memanas. Dia sadar tubuhnya membutuhkan angin segar.

Raline memunguti pakaiannya yang tercecer juga bra nya yang tadi terjatuh di lantai. Dengan bibir yang terus mengerucut jengkel, dia mulai melangkah ke luar, menuju kamar mandi.

Saat hendak masuk ke dalam kamar mandi, Raline justru kembali dikagetkan dengan Kiara yang ternyata baru saja keluar dari dalam kamar mandi. Ke dua wanita itu sontak menjerit tertahan secara bersamaan tepat saat tubuh mereka saling beradu satu sama lain.

Raline kembali membetulkan posisi selimut yang melilit di tubuhnya karena hampir saja melorot, saat Kiara tak kunjung beranjak dari dalam kamar mandi.

Kiara sangat shock melihat kakaknya keluar dengan busana yang dia pikir cukup ekstrim. Di tambah setelah kemudian dia teringat dengan suara-suara teriakan Raline dari dalam kamarnya beberapa menit yang lalu. Sebab, gara-gara mendengar teriakan itu, Kiara jadi terbangun dan malah kepingin buang air kecil.

"Wah, abis ngapain lo Mba? Keluar kamar pake kostum beginian?" tanya Kiara dengan tatapan menyelidik dengan nada bicara yang terkesan mengejek. Dia memperhatikan sang Kakak dari mulai ujung jari kaki sampai puncak kepala Raline.

"Oh, gue tau... Mba abis ena-ena ya sama Mas Basti?" tebak Kiara sambil menggerakkan ke dua jari telunjuknya yang di buat menyatu beberapa kali tepat dihadapan wajah Raline.

Hal itu jelas membuat pipi Raline merona. Tapi lagi-lagi dia berusaha untuk tidak terbawa suasana. Raline harus tetap pada pendiriannya semula.

"Ye... Anak kecil nggak usah sok tau deh lo!" omel Raline yang mencoba menerobos masuk ke dalam kamar mandi. "Minggir, gue mau masuk,"

"Cie... Udah damai cie... Baguslah kalau begitu, itu tandanya, mulai sekarang gue harus lebih bersikap manis sama kakak ipar gue, hahahha..." Kiara berlari setelah kembali menggoda sang Kakak dengan guyonannya.

Sementara Raline langsung memasuki kamar mandi untuk berganti pakaian.

Perasaannya saat ini sungguh tidak menentu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status