"Aku ke sini cuma mau mengantar surat perceraian kita, Lin..." ucap Basti memecah keheningan yang tercipta di antara dirinya dan Raline sejak lima belas menit yang lalu, sekembalinya sang istri dari kamar mandi.
Suasana kian terasa semakin canggung, persisnya setelah insiden tadi. Sebuah insiden yang hampir saja membuat Basti kehilangan kendali dan lepas kontrol, karena saking takjubnya melihat pemandangan indah yang terpampang jelas didepan mata kepalanya sendiri. Sebuah ketidaksengajaan yang memanjakan mata dan menyegarkan pikiran.
"Tapi aku belum menandatangani berkas itu. Dan alasan aku datang ke sini malam ini, aku cuma mau memastikan lagi, apa iya kita ini memang harus bercerai Lin? Apa nggak ada jalan keluar lain untuk menyelesaikan masalah kita selain bercerai?" lanjut Basti lagi. Dia mulai mengutarakan niat utamanya kenapa dia kembali mendatangi rumah Raline. Sungguh besar harapannya kepada Raline malam ini.
Raline yang kini hanya diam dan tertunduk dalam duduknya di atas kasur lantai. Dia duduk saling berhadapan dengan Basti.
Akhir-akhir ini, Raline terus dihantui oleh mimpi-mimpi buruk dalam tidurnya. Seolah siluet potongan demi potongan kejadian di malam pemerkosaan itu terus berputar-putar dan silih berganti dalam mimpinya. Raline tahu, bahwa sekeras apapun usahanya untuk kembali mengingat apa yang terjadi malam itu, tidak bisa membuahkan hasil yang baik. Hasil yang sesuai dengan harapan Raline. Di mana dia bisa membuktikan bahwa memang bukan Bastilah pelakunya.
Dalam hati kecilnya, Raline seringkali berpikir mustahil memang, Basti melakukan hal sebejad itu pada seorang wanita, terlebih pada Raline. Setelah segala perilaku baik Basti kepadanya selama ini. Selama masa persahabatan mereka berlangsung sejak SMA.
Raline tahu, Basti itu memang anak yang nakal. Di sekolah dulu, dia seringkali bolos pelajaran. Dia seringkali mendapat hukuman. Dia selalu melawan apa yang dikatakan oleh guru-guru di sekolah. Bahkan dia sampai tidak naik kelas selama dua tahun berturut-turut dikarenakan seluruh nilai rapornya merah dan absennya yang buruk.
Di sekolah, Basti memang tidak populer. Tapi sebagai salah satu cowok ganteng dengan latar belakang keluarga yang kaya raya, serta sikap dingin, cuek, bengis, pendiam, dan penyendirinya justru membuat Basti populer di kalangan kaum hawa. Raline seringkali mendengar banyak cewek-cewek di sekolahnya bahkan hingga ke adik dan kakak kelas mereka yang membicarakan sosok Basti. Banyak sekali wanita yang diam-diam menyimpan perasaan pada Basti, meski pada akhirnya mereka lebih memilih untuk memendam perasaan mereka daripada memberanikan diri untuk PDKT dengn Basti. Sebab mereka tahu, hal itu hanya akan menjadi sesuatu yang sia-sia. Sama halnya seperti yang dilakukan Raline, yang hanya bisa mengagumi sosok Basti dari kejauhan tanpa pernah berani untuk mendekat apalagi menyapa lebih dulu, walau mereka satu kelas.
Tak ada satu pun wanita di sekolah yang berani mendekati Basti karena merasa takut pada sosok Basti yang menurut mereka misterius. Pernah suatu hari ada siswi yang nekat mencoba menyapa Basti di kantin dan mengajak Basti ngobrol, namun yang di dapat olehnya hanyalah sebuah tatapan sinis yang sangat mengerikan. Hingga akhirnya siswi itu pun mundur teratur dan tak pernah berniat untuk melirik Basti lagi. Dia sakit hati atas sikap Basti padanya. Padahal dia hanya berniat baik ingin menjalin hubungan yang lebih akrab dengan laki-laki yang selalu terlihat sendirian di sekolah itu.
Hingga pada suatu hari, Raline masih mengingat hari itu sampai detik ini.
Tepatnya, hari Rabu tanggal 10 Oktober.
Saat tiba-tiba Basti menyapa Raline lebih dulu.
Dan hari itu, bertepatan dengan hari di mana kelas mereka kedatangan seorang siswa baru bernama Bayu yang kebetulan memilih duduk satu meja dengan Raline yang pada saat itu duduk sendiri karena teman satu bangkunya sedang sakit.
Hari itu Raline mengabadikan momen itu di kalendernya dan selalu mengingatnya saat kalimat pertama keluar dari mulut Basti sewaktu laki-laki itu menyapanya untuk pertama kali.
*
"Raline Septia Wulandari, boleh minta tolong?" ucap sebuah suara laki-laki bernada datar. Dia berdiri tepat di samping meja Raline.
Raline yang sedang asik berkutat dengan buku bacaannya sontak terkejut dan langsung mendongak ke arah suara.
"Basti?" pekik Raline yang semakin dibuat terkejut. Dia sungguh tak menyangka dengan kehadiran Basti yang begitu tiba-tiba di hadapannya. Terlebih, laki-laki itu mengajaknya bicara.
"Biasa aja kali ekspresinya. Kayak liat hantu. Tolongin gue isi tugas ini dong, gue nggak ngerti," ucap laki-laki itu dengan cueknya. Dia duduk di sebelah Raline dengan sebuah buku matematika yang dia bawa dan dia berikan pada Raline.
Raline yang masih shock sempat tertegun beberapa saat. Namun setelah dia berhasil mengontrol debaran di hatinya, dia pun akhirnya mampu berkata-kata juga.
*
Dan dari situlah semua bermula.
Kedekatan mereka, hingga berakhir di dalam kamar ini. Malam ini, sebagai sepasang suami istri yang sah.
Basti masih menunggu jawaban Raline. Wanita itu kini malah asik dengan tatapannya di depan jendela dengan arah pandang menuju langit.
Perlahan, Basti pun bangkit dari kasur dan berjalan mendekat ke arah Raline di jendela. Mereka berdiri berdampingan dan sama-sama menatap ke arah langit yang bersinar cerah malam ini.
Diam-diam, Basti justru mencuri-curi pandang ke arah Raline. Malam ini, Raline terlihat sangat cantik. Juntaian anak-anak rambut yang memenuhi daerah sekitar tengkuknya sangat indah. Alisnya yang tebal alami. Hidungnya yang bangir. Kelopak matanya yang bulat. Serta dua gingsulnya yang terlihat saat dia tersenyum. Bagi Basti, semua itu sempurna di matanya.
Sampai detik ini, cuma Raline satu-satunya wanita yang berhasil menarik perhatian seorang Bastian Dirgantara. Bahkan sampai laki-laki itu tidak nyenyak tidur dan tidak enak makan, karena terus menerus terbayang wajah Raline. Wajah yang selalu membuatnya merindu. Meski tanpa pernah menemukan titik temu, dari sepintal sisa rindunya yang semu.
Dan malam ini, biarlah Basti memuaskan diri menatap Raline hingga dia bosan.
"Bas," Suara Raline cukup membuat Basti tersadar dari keterpesonaannya. Dia mengalihkan tatapannya ke arah lain. Tak mau Raline tahu kalau sejak tadi dia terus menatap wajah manis Raline secara diam-diam.
Basti masih berpura-pura menatap langit saat dia merasakan sesuatu yang tidak biasa menyentuh tubuhnya.
Raline meraih tubuh Basti dan mendekapnya erat. Dibenamkan wajahnya dalam-dalam tepat di dada Basti yang terbalut kaus tipis. Basti bisa merasakan dekapan itu semakin mengencang. Basti masih diam tanpa reaksi apapun. Jujur, dia masih belum percaya dengan ini semua.
Raline memeluknya malam ini? Ada apa? Kenapa?
Semoga ini bukan mimpi! Pikir Basti membatin. Dia terus bertanya sendiri dalam hati, mengenai sikap Raline yang terlihat berbeda.
Dan saat Basti hendak membalas pelukan itu, Raline malah melepas pelukannya dan mendongakkan kepalanya menatap wajah Basti.
Ke dua pasang mata mereka kini saling menatap intens satu sama lain.
Basti dengan tatapan bahagianya, namun penuh dengan tanda tanya. Sementara Raline, dengan tatapan yang seolah sedang berusaha mencari-cari sesuatu.
Raline masih terus menatap Basti. Berharap dia bisa menemukan jawaban dari apa yang sangat ingin dia ketahui. Hingga sesuatu yang terjadi setelahnya, cukup membuat jantung Basti hampir saja mau copot.
Tepatnya saat tiba-tiba Raline mengucapkan sesuatu.
"Kiss me, Bas?"
Bastian DirgantaraSetelah keluar dari terik matahari yang membakar diri, aku tergelincir jatuh dari tempatku bernaung sebelum ini.Tempat di mana pertama kalinya kita bertemu.Saat itu, waktu seolah berhenti di sana.Aku masih berjalan pada jalur yang sama. Aku masih memandang pada titik yang sama.Langit di tepi pantai ini.Saat aku melihatnya lebih dalam, Langit itu melebur dan berubah menjadi kaca. Tapi setelahnya langit itu membeku dan berubah menjadi sebuah cermin.Langit itu membentuk bayangan wajahmu.Raline Septia Wulandari...Hanya wajahmu, tak ada yang lain.Aku memang berpura-pura telah melupakanmu selama ini, semua itu aku lakukan demi Stella, demi Aksel.Tapi sekarang, aku kembali sendirian. Tanpa mereka. Aksel m
"Bu, ayo dong Bu, cepetan! Ibu lama banget nih dandannya! Kita udah kelaperan tau, Bu..." panggil Delisha yang begitu bersemangat saat dia tahu sang Kakak Devano, mengajaknya ke resort yang dulu pernah jadi milik mereka. Katanya sih mau di undang makan malam sama orang kaya gitu. Terus ikutan nimbrung acara bakar ayam di tepi pantai. Pasti seru banget deh!"Aduh... Ibunya Devano udah kayak Abg aja deh, dandan pake lama daritadi, nanti kita keburu kehabisan makanannya, Bu," kali ini Devano yang protes. Pasalnya, dia sudah mati pegal daritadi harus gendong rindu yang nggak mau di taruh sama sekali."Iya, sabar... Nggak enakkan kalo dateng ke acara resmi Ibu keliatan kucel," Raline mempercepat kegiatan make upnya. Merapikan posisi pakaiannya sekali lagi, barulah setelah itu dia keluar dari dalam kamar.Devano sempat terpana melihat penampilan sang Ibu yang tidak seperti biasanya. Devano memang tidak memungkiri lagi, baginya, Raline adalah wanita tercantik di dunia.
Devano pulang ke rumah dengan wajah sumringah. Nyeri di sekujur tubuhnya seolah tak lagi dia rasa karena saat ini dia pulang dengan membawa berita gembira."Assalamualaikum, Bu, Ibu... Devano pulang, Bu..." teriaknya seraya berlari kecil ke dalam rumahnya yang terbilang sangat sederhana."Asik, Mas Dev bawa makanan," seru Delisha salah satu adik Devano. Delisha dengan sigap merogoh ke dalam kantong plastik yang di bawa sang Kakak. Dia terlihat sangat gembira."Ibu mana, Dek?" tanya Devano pada Delisha saat tak di dapatinya sang Ibu. Sementara ke dua adiknya yang lain, Rania yang baru berumur empat tahun dan Rindu yang berumur dua tahun, terlihat sedang tertidur pulas di kamar."Tadi, Pak De Kahfi ke sini jemput Ibu, katanya sih mau ajak Ibu ke rumah sakit, perginya buru-buru banget, terus Ibu titip Rania sama Rindu ke Delisha. Untung Rindu nggak rewel. Delisha cape daritadi, jagain mereka, Mas lama banget pulangnya, terus itu muka kenapa coba, biru-biru b
"Jangan bawa saya ke kantor polisi, Om. Kasihan Ibu di rumah, Om..." tangis bocah itu terdengar miris. Mengiris hati Basti."Sekarang, kamu tunggu dulu di mobil, Om. Om urus dulu masalahmu dengan orang-orang ini di dalam ya?"Basti mengajak bocah itu memasuki mobilnya di mana Aksel dan Keyra tengah menunggunya di dalam. Dan setelah itu, Basti beranjak kembali menuju resort tadi."Iyyuuuwwhh bauuu! Papah apa-apaan sih? Sampah dibawa masuk ke mobil! Idih!" Keyra berteriak dengan ekspresi jijiknya yang kelewat lebay. Dia menggerutu sendiri dan memilih keluar dari dalam mobil. Aksel pun jadi ikutan keluar. Masalahnya mereka sedang di pinggir jalan raya."Keyra, nggak boleh bicara seperti itu! Ayo masuk lagi, bahaya ini pinggir jalan," ajak Aksel yang mencoba menarik tangan anaknya untuk kembali masuk ke dalam mobil.Keyra menepis kasar tangan sang Bunda. Dia cemberut dan
Delapan tahun berlalu.Semua berjalan dengan baik dan sesuai dengan harapan.Keyra tumbuh menjadi anak yang cantik, manis, pintar, enerjik dan sangat menggemaskan.Aksel menjelma menjadi sosok ibu yang baik dan sangat feminim. Dan hal itu jelas membuat Basti semakin tergila-gila padanya."Kenapa sih, liburan sekolah tahun ini kita cuma ke Jogya? Biasanya juga keluar negeri," gerutu Keyra di jok belakang. Bibir mungilnya terus cemberut di sepanjang perjalanan. Dia memilin kepang kudanya seraya memeluk boneka teddy bear coklat kesayangannya, yang dia beri nama, Devano, sama seperti nama aktor tampan asal malaysia, sahabat Tantenya Anggun, yang sangat dia idolakan."Ke luar negeri kemana lagi sih? Semua penjuru dunia udah kita datenginkan? Sekali-sekali kita liburan di dalam negerikan nggak apa-apa, cantik... Sekalian Papah bisa membantu meringankan pekerjaan Om Bayu,"
Hari berganti. Musim berubah. Waktu berputar pada porosnya. Detik demi detik berlalu. Menyisakan asa pilu yang menggerogoti diri pun mengikis nurani. Penyesalan itu pun datang kian bertubi-tubi.Laki-laki itu tetap diam tanpa kata. Tetap dengan tatapannya yang kosong dan menerawang jauh ke depan.Tubuhnya terlihat lebih kurus, wajahnya tirus dan tidak terawat, hingga di tumbuhi janggut-janggut tebal yang tumbuh tak beraturan di seputaran dagunya. Sinar bola mata coklat maroon itu meredup tak bercahaya bahkan selalu terlapisi oleh cairan bening yang berkaca-kaca. Rambutnya yang awut-awutan dan sudah memutih, terlihat seperti sarang burung yang kotor.Laki-laki itu terdiam dalam duduknya yang tepekur di lantai, di dalam sebuah panti rehabilitasi khusus lansia pengidap gangguan jiwa. Dia terlihat mengukir sebuah nama di lantai itu menggunakan jari telunjuknya.BASTIAN, anakku...Satu titik air matanya jatuh tanpa mampu lagi dia tahan.*
Khalid, Kamal dan Kahfi benar-benar mewujudkan kata-kata mereka.Yaitu, mengurus semua keperluan pernikahan Keanu dan Raline.Hanya dalam waktu satu bulan semuanya rampung secara sempurna.Dan inilah saatnya.Dimana sang adik bungsu mereka mengucap ikrar janji suci di hadapan sang maha pencipta.Acar ijab kabul itu berlangsung sederhana di kediaman Keanu yang dihadiri oleh beberapa kerabat dekat saja. Sebab acara hanya diadakan secara sederhana tanpa ada resepsi apapun.Raline terlihat cantik dalam balutan kebaya putihnya, pun Keanu yang terlihat sangat gagah dalam balutan jas hitamnya serta sebuah peci hitam di kepalanya.Wali hakim di tunjuk sebagai wali pernikahan Raline, sebab Raline tak memiliki sanak saudara laki-laki selain almarhum Ibnu.Acara pagi itu dimulai dengan pembacaan doa oleh penghulu, sebelum acara Ijab dan kabul terlaksana. Setelah lima belas menit pembacaan doa usai, penghulu pun melanjutkan prosesi acara k
Hari ini Raline libur bekerja, begitupun Keanu, yang memang sudah mengundurkan diri dari pekerjaannya. Jadilah, seharian ini Keanu mengajak Raline berjalan-jalan dengan Vixion merah kesayangannya.Keanu mengajak Raline ke sebuah air terjun di daerah bogor.Curug Putri Kencana namanya.Curug yang berada di Desa Karang Tengah, Babakan Madang, Bogor, ini aksesnya cukup mudah dengan kendaraan pribadi, seperti mobil dan motor.Setelah membayar tiket masuk seharga Rp 15 ribu, pengunjung bisa seru-seruan menikmati segarnya air terjun hingga melompat dari jembatan bambu setinggi 10 meter. Bisa juga mendirikan tenda dengan membayar biaya tambahan Rp 15 ribu saja. Dan itulah yang Raline dan Keanu rencanakan. Mereka akan menginap satu malam dengan satu tenda yang telah mereka sewa sebelumnya. Tenda yang mereka dirikan tepat menghadap ke arah air terjun."Dingin banget, Mas airnya," seru Raline seraya mencipratkan air ke wajah Keanu. Membuat wajah Keanu menger
Kayla meninggal dunia.Keanu benar-benar terpukul atas kepergian Kayla, setelah perjuangan panjang dan pengorbanannya selama ini, ternyata Tuhan berkehendak lain.Raline terus menemani Keanu sepanjang prosesi pemakaman Kayla. Sampai laki-laki itu kembali ke rumahnya bersama ke tiga Kakak laki-lakinya.Khalid, Kamal dan Kahfi.Mereka terlihat sangat perhatian terhadap Keanu."Ikhlas, Nu. Kayla udah tenang sama Mamah dan Papah di sana. Dia sudah bahagia sekarang. Jangan di tangisi terus," ucap Khalid sang Kakak tertua. Dia duduk di sebelah Keanu seraya mengelus pelan bahu adiknya."Sekarang giliran lo perhatiin diri lo sendiri. Lo udah berjuang keras demi Kayla selama ini sampai-sampai lo nggak mikirin kehidupan lo. Udah waktunya lo berumah tangga, bahagia..." sambung Kahfi menambahi."Kayla juga pasti bakal seneng kalau liat lo bahagia, iyakan Mas?" kali ini suara Kamal yang terdengar, dia melirik Khalid dengan ke dua alisnya yang naik