"Aduh Sekar, apa sih yang kamu lihat sampai kamu tidak mau masuk ke kampung itu," gerutu Dimas dengan nafas yang hampir putus karena mengejar Sekar. "Coba saja tadi kamu mau, pasti nasib kita tidak terlunta-lunta lagi seperti ini!" imbuh Dimas menghempaskan tubuhnya kasar bersandar pada batang pohon besar karena kelelahan.
"Maafkan saya!" Sekar meremas ujung baju yang ia kenakan dengan tangan kanannya.
Sementara Zaki terlihat sibuk membersihkannya luka bekas cakaran harimau yang berada di bahu Sekar. Beberapa kali, wajah' wanita itu meringis kesakitan.
"Memangnya apa yang kamu lihat, Sekar?" tanya Zaki.
"Aku tidak mungkin mengatakan kepada Zaki jika aku melihat lelaki yang mengenali tubuh wanita ini," batin Sekar.
"Tidak, aku hanya merasa kampung itu aneh saja," dusta Sekar melirik pada Zaki yang sudah selesai mengobati luka pada bahunya dengan ramuan tradisional yang ia am
Suara ramai penduduk yang sedang beraktivitas semakin membuat semangat Zaki, Sekar dan Dimas mempercepat langkah kaki mereka menuruni ladang para penduduk yang terletak di lereng Semeru. Para petani nampak sibuk mengolah ladang mereka yang berada di lereng Semeru."Ayo cepat!" seru Zaki memberikan aba-aba kepada Dimas dan Sekar yang mengekorinya.Dimas yang tidak dapat melihat dalam jarak jauh hanya mampu berpegang pada tangan sakit dan mengikuti langkah lelaki itu. Sementara Sekar, wanita itu berjalan di belakang tubuh Dimas."Hey ... Tolong kamu!" teriak Zaki melambaikan tangannya kepada para petani yang sedang berada di ladang.Beberapa para petani menoleh ke arah kedatangan Zaki, Dimas dan Sekar."Tolong, tolong kami!" teriak Dimas iku melambaikan tangannya, meskipun ia tidak dapat melihat di mana para petani itu berada, lelaki itu nampak sangat bersemangat.
"Lain kali adek tidak boleh banyak kecapean!" tutur lelaki yang mengenakan peci berwarna hitam pada wanita yang berbaring di atas ranjang pasien."Iya, iya, Mas!" tutur wanita bernetra indah itu pada Ustaz Zul."Aku tidak mau janin yang ada di dalam rahim kamu kenapa-kenapa!" Ustadz Zul membelai lembut ujung kerudung yang Anisa kenakan dengan wajah penuh kekhawatiran. Wanita yang sudah Ustaz Zul nikahi hampir satu tahun belakangan ini.Anisa menatap lekat pada suaminya, semburat senyuman tersungging dari kedua sudut bibir wanita itu. Nampak Ustaz Zul sangat menyayangi Anisa.Dreg, Dreg! Dreg!Ustaz Zul meraih ponsel dari dalam saku celananya. Sesaat menatap pada layar ponsel yang berkedip."Siapa?" tanya Anisa."Temanku!" jawab Ustaz Zul sekilas menatap pada istrinya kemudian menekan tombol hijau pada ponsel yang berdering."Halo, Mas!" sapa Ustadz Zul pada seseorang yang berada di balik telepon.Sejenak Ustaz Zul terdia
Zaki masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Foto wanita yang berada di dalam ponsel itu sama persis dengan Sekar. Wanita yang selama ini sudah banyak sekali menolongnya. Bahkan ia kenal hampir beberapa hari tinggal di kontrakan yang sama."Sekarang anda percayakan dengan apa yang saya katakan? Ustaz Zul menatap pada Zaki yang masih mengarahkan tatapannya pada layar ponsel, melihat gambar seorang wanita yang sama persis dengan Sekar."Tidak, ini sungguh aneh sekali! Ini tidak mungkin terjadi!" Zaki menggeleng, seperti tidak percaya dengan apa yang ia lihat.Ustaz Zul mengambil kembali ponsel miliknya. "Sebentar lagi mantan suami Mbak Indah akan segera ke sini untuk menjemput beliau," tutur Ustaz Zul."Apa, mantan suami!" desis Zaki mengeryitkan dahi, wajahnya terlihat sangat bingung. Netranya memicing pada lelaki yang duduk di hadapannya."Iya, Mbak Indah dulu memiliki suam
Wanita yang baru menyelesaikan shalatnya itu segera memanjatkan doa untuk keselamatan Putri semata wayangnya. Gadis yatim yang selama ini menjadi penenang jiwanya."Ya Allah, engkaulah sebaik-baiknya pelindung, maka hamba mohon lindungilah Putri hamba dimanapun dia berada," lirih wanita paruh baya itu di akhiri dengan beberapa doa-doa mustajab sebelum ia mengakhiri dengan amin.Tok! Tok!Suara ketukan pintu itu hampir tidak terdengar. Karena riuh rame suara hujan yang beradu dengan atap yang terbuta dari seng di rumah Rani. Bergegas wanita paruh baya itu melepaskan kerudung yang ia kenakan dan berjalan menuju ke arah pintu. Sesaat ia melirik jam yang tergantung pada dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam."Siapa malam-malam begini bertamu ke rumah," tutur wanita itu seraya membenarkan kerudung yang ia kenakan sebelum akhirnya membuka pintu."Rani!" ibu Rani n
Jakarta ...Zaki dan Dimas akhirnya menceritakan semua yang terjadi kepada dosen pembimbing mereka. Dengan berlinang air mata, Zaki dan Dimas menceritakan kejadian demi kejadian yang mereka alami selama di Ranu Pani.Lelaki bertubuh tambun yang berdiri di hadapan Zaki dan Dimas mendengus berat, wajahnya nampak terlihat sangat sedih sekali mendengar cerita para mahasiswa tersebut."Baiklah, bagaimana kalau nanti siang kita datang ke rumah ibunya Rani. Beliau sepertinya belum tahu tentang kabar ini," tutur Dosen itu menatap kepada Dimas dan Zaki secara bergantian.Zaki dan Dimas tidak menjawab, beberapa saat mereka saling bersitatap. "Baiklah, Pak?" lirih Zaki kemudian."Oh, iya, lalu sekarang Yuda ada di mana? Sepertinya kita perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut pada anak itu," tutur lelaki bertubuh tambun menatap pada Zaki."Entahlah, Pak, kami berdua tid
Bendera kuning sudah terpasang di depan rumah Rani. Beberapa pelayat pun sudah hampir memenuhi rumah sederhana itu. Para teman-teman Rani datang silih berganti untuk mengucapkan bela sungkawa atas kepergian Rani pada keluarganya.Wanita dengan kerudung berwarna coklat itu hanya terdiam, airmatanya telah mengering karena terus menangis. Sorot matanya menatap pada peti berwarna putih yang ada di hadapannya. Tidak ada yang diperbolehkan untuk membuka peti itu, karena kondisi jasad Rani yang sudah rusak. Sekalipun keluarga terdekat."Bu, jenazah Rani akan di kebumikan!" bisik Zaki yang datang menghampiri Ibu Rani.Wanita paruh baya itu menarik tubuhnya ke dekat peti. "Pergilah yang tenang Nak, ibu baik-baik saja, ibu ikhlas!" bisik ibu Rani pada peti jenazah putrinya, suara berat itu terdengar menyayat hati.Seorang wanita menarik tubuh wanita paruh baya itu dari dekat peti Rani. Kemudian beberapa lelaki
Yuda tercekat, menatap dengan seksama lelaki yang berada di hadapannya. Tubuhnya menggigil ketakutan, pemuda itu memundurkan beberapa langkah kakinya kebelakang, sorot matanya seksama memperhatikan lelaki yang berdiri di hadapannya."Ada apa, Yud? Jangan bilang kamu mau meninggalkan aku!" cetus lelaki berkumis putih itu dengan nada mengejek. Semburat senyuman sinis tersungging dari kedua sudut bibir lelaki asing itu."Si-siapa kamu?" ucap Yuda terbata.Lelaki itu kembali tergelak, "Yuda, Yuda, kamu tidak akan pernah bisa pergi dariku," cetus lelaki itu.Yuda semakin bingung bercampur penasaran. Menatap ketakutan pada lelaki yang berada di hadapannya."Yuda, Yuda, kamu benar-benar tidak mengenaliku!" Lelaki itu terkekeh. Mulutnya membaca mantra dan beberapa saat kemudian sapuan angin berhembus kencang.Yuda hampir terjungkal, saat angin berputar-pu
"Tidak!" teriak Yuda melempar koper berisi kepala manusia itu. Bergegas Yuda turun dari dalam mobil dengan jantung memburu. Nafasnya menderu, ketakutan.Yuda menyapu pandangannya ke sekeliling hutan. Pemuda itu justru semakin ketakutan. Suara lolongan anjing saling bersahutan di seluruh penjuru hutan membuat suasana semakin mencekam."Om Parlin!" teriak Yuda. Keringat membahasi kening lelaki itu. Beberapa kali Yuda menyeka keringat yang membasahi pelipisnya, sorot matanya waspada memperhatikan ke sekeliling dengan wajah ketakutan.Srek ... Srek ....Suara benda yang diseret membuat Yuda melonjak ketakutan. Yuda menggeser tubuhnya ke dekat pintu mobil. Sesekali ia mengintip dari kaca mobil, kepala manusia yang berada di dalam koper pak Parlin masih tergeletak pada bangku belakang mobil dengan mata melotot dan mulut mengangah."Aduh ...! Bagaimana ini!" lirih Yuda semakin ketakutan