Share

Misteri Rumah Lastri

"Mas, sudah di cek belum tadi kelapa yang ada di truk Adin?" ucap Lastri pada salah satu anak buahnya yang berada di dalam gudang kelapa.

"Sudah Bu! Tadi ada 10000 butir sudah berangkat kirim ke Jawa tengah," sahut karyawan itu kepada Lastri.

"Jangan lupa, pastikan semua barang sampai pada konsumen tepat waktu agar kwalitasnya masih bagus." Lastri menyodorkan tumpukan kertas kepada Parjo, asisten yang mengecek semua kelapa yang masuk dan keluar dari dalam gudang Lastri.

"Siap Bos!" sahut Parjo.

Siapa yang tidak mengenal Lastri, wanita pekerja keras yang gigih dan tidak gampang menyerah. Dulu, Lastri hanyalah seorang penjual arang batok kelapa. Tapi, kini ia sudah menjadi bos kelapa terbesar yang memasok kebutuhan kelapa di berbagai daerah di seluruh pulau Jawa, bahkan terkadang sampai ke luar negeri . Banyak lahan para penduduk Ranupani yang dibeli oleh Lastri untuk dijadikan kebun kelapa miliknya. Kini Lastri benar-benar sudah menjadi orang kaya seperti apa yang ia inginkan selama ini.

"Bu, makanan sudah siap!" ucap Indah yang sedari tadi berkutat di dapur memasak makanan untuk para karyawan yang bekerja di gudang Lastri.

"Iya Indah, biar nanti Parjo yang memberi tahu pada anak-anak!" sahut Lastri menarik bangku meja makan yang berada di dapur.

"Bagaimana keadaanmu, Indah? Sudah jauh lebih baik kan?" tanya Lastri melirik pada Indah.

"Udah Bu, tapi kata Dokter aku tidak hamil dan pendarahan yang terjadi hanya karena infeksi kandunganku saja," tutur Indah dengan wajah sedih.

"Masak iya?" Lastri menautkan kedua alisnya.

Indah berdehem, menjatuhkan bokongnya pada bangku.

"Sabar ya, Nak! Mungkin Dokter itu memang benar. Lain kali pastikan dulu kamu hamil atau tidak, jangan takut!" tutur Lastri bangkit dari bangku, lalu menepuk lembut bahu Indah dan berlalu.

Indah masih menatap punggung Lastri yang semakin menjauh. Mulutnya terkunci, hatinya ragu ingin menceritakan tentang mimpinya beberapa hari yang lalu pada Lastri.

Indah sudah seperti pembantu Lastri setiap wanita itu berada di rumah Ibunya. Tidak hanya memaksa, mulai dari membereskan rumah pun ia lakukan. Bagi Indah, terlalu menjenuhkan jika hanya duduk-duduk di rumah besar milik ibunya.

Indah menghentikan gerakan sapu yang berada di tangannya. Saat mencium aroma anyir yang tiba-tiba terendus oleh hidungnya.

"Bau apa ini?" batin Indah mengikuti sumber aroma tidak sedap yang berasal dari sebuah kamar yang terletak di lantai dua.

Indah memalingkan wajahnya di depan sebuah kamar. Aroma semacam darah itu semakin membuat perutnya terasa di aduk-aduk. Tapi sayangnya rasa penasaran membuat Indah membuka pintu kamar itu, untuk memastikan.

Deg!

Jantung Indah seperti lepas dari tempurungnya. Tidak ada apapun di dalam kamar itu. Hanya sebuah kamar kosong dan seketika itu juga aroma yang membuat Indah penasaran menghilang.

"Apakah aku salah mencium!" monolog Indah dalam hati dengan pikiran yang penuh tanya.

Bulu kudu Indah bergidik ngeri. Segera ia menarik gagang pintu yang berada di depannya lalu menutupnya.

"Indah!"

"Astaghfirullahaladzim, Ibu!"  Indah tercekat melihat Lastri tiba-tiba muncul di depannya.

"Ngapain kamu di kamar itu, Indah?" tanya Lastri dengan wajah tidak suka.

"Mau aku bersihkan, Bu!" lirih Indah.

"Nggak perlu! Kamu bersihin saja kamar yang lain, Indah!" desis Lastri kesal.

"Bu!" panggil Seno, suami Lastri yang menaiki anak tangga dengan tergopoh-gopoh.

"Ada apa, Bapak?" sergah Lastri menyambut kedatangan suaminya.

"Gawat Bu! Tadi para petani pada ngeluh, kalau panen kelapa kita ngak seperti biasanya. Musim kemarau panjang ini membuat hasil panen menjadi tidak stabil. Terus bagaimana ini, Bu?" beo Seno dengan wajah takut pada istrinya. Karena selama ini Seno hanya mampu membantu di kebun kelapa milik Lastri.

"Ya sudah, kita sabar saja dulu, Pak!" sahut Lastri dengan nada datar. Sesat ia melihat kesal pada Indah, kemudian berlalu.

"Ada apa dengan Ibumu, Indah? Sepertinya sedang marah?" tanya Seno kepada putrinya.

"Itu Pak, tadi Indah kan mau membersihkan kamar ini, tapi kata ibu tidak usah,"  jawab Indah menunjuk pada kamar yang berada di belakang punggungnya.

"Oh, begitu!" Seno menganggukan kepalanya. "Lain kali kamu jangan masuk ke kamar itu. Larangan besar dari Ibumu, Bapak saja tidak berani," tukas Seno.

"Baik, Pak!" jawab Indah.

Sebenarnya Indah memang tidak tinggal di rumah Lastri. Sengaja hari ini Prapto menitipkan istrinya itu kepada mertuanya. Karena hari ini ia akan pulang sedikit malam. Prapto takut jika Indah kumat ketika dirinya sedang tidak ada di rumah. Lagi pula, jarak rumah Indah dah ibunya cukup dekat, hanya beda kampung saja. Jadi, mudah untuk Prapto menjemputnya setelah pulang bekerja.

*****

Malam ini Prapto tidak menjemput istrinya. Sejak sore tadi, Prapto sudah memberikan kabar jika ia akan lembur dan tidak pulang ke rumah.

Indah masih menatap langit langit kamarnya. Entah sudah keberapa kakinya Indah menganti posisi tidurnya. Tapi rasa kantuk masih saja tidak kunjung datang.

Cekret!

Di dalam hening malam, suara derit pintu itu terdengar jelas oleh Indah yang masih terjaga. Namun, wanita itu justru takut dan enggan untuk melihatnya.

"Astaghfirullahaladzim, Ya Allah!" Indah menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.

Kini suara itu berganti menjadi desahan yang semakin jelas terdengar membuat jantung Indah bergemuruh semakin penasaran. Indah perlahan membuka selimut yang menutupi wajahnya, melirik waktu pada jam yang menempel pada dinding.

"Pukul satu!" batin Indah tanpa berani bersuara.

"Apakah itu Ibu dan Bapak yang sedang bercinta?" batin Indah.

"Tapi, masa iya suaranya sekeras ini. Tapi masa iya mereka tidak malu sama aku!" pikir Indah.

Duor .....

"Astaghfirullahaladzim!"  Indah semakin ketakutan. Tubuhnya bergetar, bibirnya tak berhenti sekalipun merapalkan doa.

"Allah, Allah, Allah!" ucap Indah.

Indah masih berada di atas pembaringan dengan perasaan was-was terus berpikir. Jika suara pukulan itu dari atap rumah, pasti besok pagi genteng rumah Lastri akan pecah. Jika suara itu dari teras rumah, kaca depan rumah Lastri pasti hancur. Begitu banyak terkaan dari benak Indah.

Tiba tiba suasana menjadi hening. Suara desahan itu pun juga menghilang. Kini yang ada hanya aroma melati yang menyeruak masuk ke dalam Indra  pernapasan Indah. Indah perlahan membuka selimutnya. Jantungnya berdebar sangat kencang. Namun, kedua kakinya seolah menjadi kaku tidak dapat digerakan sedikitpun.

Indah memberanikan diri turun dari atas ranjang dan mengikuti aroma melati yang semakin tajam. Tidak ada seseorang pun yang terlihat di rumah megah itu saat Indah keluar dari kamar. Hanya cahaya kuning lampu teras yang menembus masuk ke dalam rumah.

Indah menyeret langkah kakinya pelan. Sesaat ia menepis ribuan tanya yang berjejalan di dalam benaknya. Aroma melati itu menghentikan langkah Indah di depan kamar kosong larangan Ibunya.

"Iya, sepertinya dari sini!" monolog Indah yang mematung di depan pintu kamar.

Wajah indah terlihat ragu dan takut. Tangan yang sudah menempel pada gagang pintu, ragu untuk membukanya. Ia masih teringat tatapan tidak suka Lastri kepadanya tentang kamar Ini.

"Lebih baik aku membangunkan Bapak saja!" Indah memutar tubuhnya menuju kamar Seno yang juga berada di lantai atas.  Tidak jauh dari kamar kosong itu berada.

Perlahan Indah membuka sedikit pintu kamar Seno. Terlihat lelaki itu sedang terbaring di atas rajang sendiri seraya memeluk guling.

"Di mana Ibu?" pikir Indah penasaran.

"Indah!"

Indah melonjak, saat seorang menepuk lembut bahunya.

"Ibu!" sergah Indah dengan wajah ketakuatan.

"Apa yang kamu lakukan di sini, Indah?"

"Tidak Bu, aku hanya ...!" Tubuh Indah bergetar ketakutan.

"Kamu belum tidur?" selidik Lastri.

Indah menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Sekedar menepis rasa takut yang sedari tadi mendera.

"Iya Bu! Indah mau turun kok!" jawab Indah terbata dan berjalan meninggalkan Lastri di depan pintu kamarnya.

*******

Pagi buta Prapto sudah menjemput istrinya. Di sepanjang perjalanan Indah lebih banyak terdiam. Wanita itu masih teringat dengan kejadian yang semalam menimpanya.

"Kenapa rumah ibu baik-baik saja. Padahal suara semalam sangat keras sekali. Kenapa hanya aku yang mendengar suara itu. Bapak dan Ibu sepertinya tidak mendengarnya," gemuruh di dalam hati Indah.

"Dek, kok melamun saja! Ada apa?" tanya Prapto melirik pada kaca spion motor.

"Eh, iya Mas!" Indah tergeragap dengan wajah meringis.

"Mas, Mas tau nggak, rumah Ibu itu serem sekali Mas. Aku takut semalam!" adu Indah meletakkan dagunya di atas bahu Prapto.

"Halah, pasti seremnya karena nggak ada Mas, kan? Jujur saja deh!" ledek Prapto.

"Apa sih, Mas! Aku serius loh!" sahut Indah mencubit kecil pinggang Prapto.

******

Indah masih bersantai di ruang televisi  bersama Prapto. Malam ini, Prapto izin dari tempatnya bekerja. Semenjak sore tadi Indah mengeluhkan jika punggungnya terasa panas dan tidak enak badan.

"Mas!" panggil Indah.

"Iya, Dek!" sahut Prapto, netranya masih tertuju pada layar televisi yang berpendar.

"Kepalaku pusing Mas! Aku tidur duluan ya," pamit Indah meninggalkan Prapto setalah lelaki itu mengangguk.

Indah beranjak meninggalkan Prapto di ruang televisi. Lelaki itu terlihat asyik dengan acara lawak yang sedang berlangsung.

Brug! Brug! Brug!

Suara dari dalam kamar mengangetkan Prapto. Segera Prapto berlari untuk melihat apa yang sedang terjadi.

"Astaghfirullahaladzim, Dek Indah!"  Prapto berteriak memanggil istrinya. Berkali-kali Prapto memukul pintu kamar yang terkunci. Tapi ia tetap tidak bisa masuk.

"Argh!"

"A ....!"

Suara teriakan Indah terdengar jelas dari dalam kamar. Bahkan ia mengerang layaknya seekor harimau.

Prapto panik, ia berusaha mendobrak pintu kamar Indah. Namun usahanya tidak berhasil.

"Ustadz Zul, iya aku harus menghubungi Ustadz Zul!"

Prapto segera menyambar ponsel di atas meja televisi dan menghubungi Ustadz Zul.

"Assalamualaikum Ustadz, bisa ke rumah saya sekarang! Indah kesurupan lagi," sergah Prapto dengan suara memburu.

"Baik, saya akan segera ke sana!" sahut Ustadz Zul mengakhiri panggilan.

Prapto kembali menuju pintu kamar. Suara riuh mencekam dari dalam kamar membuatnya sangat mengkhawatirkan keadaan Indah.

"Bismillah!" lirih Prapto mengeluarkan seluruh tenaganya kemudian menendang pintu kamar. "Allahuakbar!"

Bruak!

Pintu kamar itu terlepas dari kusennya. Prapto segera berlari dan mencari keberadaan istrinya di dalam kamar. Semua barang-barang di dalam kamar itu hancur berantakan. Tapi, Indah tidak ada.

"Kih, kih, kih!" suara tawa melengking mengarahkan tatapan Seno pada wanita yang melayang di atas kepalanya.

"Astaghfirullahaladzim, Dek Indah!" Prapto terkejut, melihat Istrinya sudah berubah. Bola mata Indah berwarna hitam pekat menampakan seringainya.

"Jangan ganggu istriku, demit! Pergilah!" Usir Prapto tidak berani mendekat pada Indah.

"Dia adalah miliku!" Suara lelaki itu keluar dari mulut indah. Tubuh indah terpelanting membentur tembok kemudian tersungkur di lantai.

Prapto segera menghampiri istrinya untuk menolong Indah. Namun, seketika tangan Indah justru mencengkram leher Prapto.

"A ...! Lepaskan Dek!" Suara Prapto terbata. Kedua tangannya memegangi tangan Indah.

"Jangan mencampuri urusanku, atau kamu dan istrimu akan mati di tanganku!" ancam Jin yang berada di dalam tubuh Indah dengan mata yang hampir lepas dari kelopaknya.

****

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status