Prapto membuka kedua matanya dengan perlahan. Satu tangannya memegang pelipis yang terasa nyeri akibat benturan semalam. Sinar surya yang masuk melalui sela-sela jendela semakin panas menyentuh pori-pori kulit Prapto.
"Indah!" Benak Prapto teringat dengan istrinya. Prapto bergegas bangkit dan berlari menuju kamar.
Cekriet!
Prapto mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk mencari keberadaan Indah. Hanya ada selimut tebal yang gumul di atas rajang.
"Indah buka ya?" pikir Prapto ragu dengan rasa penasaran. Perlahan Prapto pun mendekati ranjang. Jantungnya berdegup kencang saat tanganya bergetar hendak menarik selimut yang bergumul di atas ranjang.
"Alhamdulillah!" Prapto mengelus dada, saat melihat Indah yang berada di balik selimut itu.
"Ya Allah, Dek!" Prapto menjatuhkan pelukan pada tubuh Indah yang masih terlelap membuat Indah mengeliat dan tersadar.
"Ada apa sih, Mas!" lirih Indah dengan suara malas.
Prapto yang masih terharu menjatuhkan kecupan pada wajah Indah. "Mas, khawatir sekali dengan keadaanmu, Dek!" ucap Prapto.
"Aku masih mengantuk, Mas!" tutur Indah merubah posisi tidurnya memungungi Prapto.
"Ya sudah, tidur saja lagi!" balas Prapto menarik selimut menutupi Indah.
********
"Ini Bu, laporan keuangan kita bulan ini!" Parjo menyodorkan setumpuk nota kepada Lastri.
Lastri yang duduk pada bangku menjatuhkan tatapannya pada nota-nota yang berada di atas meja. "Parjo, bagaimana bisa omset kita turun dratis seperti ini?" sentak Lastri dengan wajah merah padam.
"Bagaimana tidak turun Bu, kalau pasar kelapa saat ini dikuasi oleh kelapa dari luar Jawa dengan harga yang jauh lebih murah daripada kelapa lokal," jelas Parjo.
"Ya tapi jangan hancur seperti ini dong!" sentak Lastri mengebrak meja dengan kasar. Matanya membulat penuh pada Prajo yang bergidik ngeri.
"Iya Bu! Se-sebenarnya pelanggan kita itu pada pindah ke kelapa lain!" tutur Parjo terbata dengan wajah' takut.
"Apa? Siapa yang sudah berani mengambil pelangganku, Parjo!" sentak Lastri menjatuhkan tatapan nyalang pada Parjo
Parjo meremas ujung baju yang ia kenakan. Sesekali satu tangannya mengusap pelipisnya yang berkeringat karena ketakutan.
Bruak!"
Parjo terhenyak saat Lastri memukul meja yang berada di depannya.
"Cepat katakan Parjo!" sentak Lastri menaikan nada suaranya. Wanita berusia hampir separuh baya itu menarik tubuhnya mendekat pada Parjo yang ketakutan.
"Itu Bu, kelapanya Pak Tejo, saudara Ibu!" cetus Parjo.
"Kurang ajar kamu, Mas!" hardik Lastri geram. Wajahnya merah menyala dengan amarah yang membuncah di ubun-ubun.
Parjo tidak bergeming. Lastri membuang semua nota-nota yang berada di atas meja kerjanya ke sembarang tempat.
"Lihat saja Mas! Apa yang akan aku lakukan padamu nanti!" monolog dalam hati Lastri geram.
****
Lastri mempercepat langkah kakinya menuju garasi. Melewati Bik Imah yang sedang sibuk menyapu halaman rumah mewah miliknya."Bibik, nanti bilang sama Bapak kalau Ibu pergi ke Magetan dulu ya!" tutur Lastri masuk ke dalam mobil.
"Baik Bu!" sahut pembantu yang mengarahkan tatapannya pada Lastri.
Lastri menyalakan mesin mobilnya, lalu menjalankan kuda besinya dengan kecepatan penuh. Menebus jalanan pajang menuju bukit Gunung Semeru.
"Aku tidak akan pernah membiarkan Mas Tejo menang. Jika usahaku hancur, maka Mas Tejo juga harus hancur!" Lastri menjatuhkan pukulan pada kemudi dengan kesal. Rasa marah semakin memenuhi dadanya yang bergemuruh.
Senja sudah menguning di ufuk barat. Menandakan jika malam mencekam akan segera tiba. Lastri masih terus mengemudikan mobilnya menembus hutan larangan. Hutan yang konon katanya menyimpan banyak misteri. Karena siapapun yang masuk ke dalam hutan itu mereka akan masuk ke dimensi lainnya.
Lastri menepikan mobilnya di tepi jalan menuju hutan. Dengan berani' Lastri masuk ke dalam hutan, dan berhenti di sebuah pohon besar yang berada di tengah hutan. Tanpa rasa takut, Lastri bersemedi di bawah pohon besar itu. Sementara suara lolongan anjing dan binatang malam semakin membuat suasana mencekam.
"Kanda! Kanda aku datang untukmu!" lirih Lastri setelah cukup lama ia bersemedi.
Lastri terus memejamkan kedua matanya seraya menyebut makhluk yang ia sebut dengan panggilan Kanda. Tidak ada rasa ketakutan dalam diri Lastri yang ada hanyalah rasa marah dah dendam.
"Lastri! Lastri!" Suara itu mengema di seluruh penjuru hutan.
Perlahan Lastri membuka kedua matanya saat suara yang tidak asing itu memangil namanya.
"Kanda!" Kedua mata Lastri berbinar, saat melihat lelaki tampan yang berdiri di depannya.
"Ada apa Nimas jauh-jauh datang ke sini?" ucap lelaki tampan itu pada Lastri yang berjalan menghampirinya.
"Kanda, tolonglah aku!" Wajah Lastri berubah sedih, sorot matanya terlihat pilu.
"Mampirlah dulu ke rumah kita dan ceritakanlah nanti di sana!" Lelaki bertelanjang dada itu melingkarkan satu tangannya pada bahu Lastri dan menuntunnya masuk ke dalam pohon besar yang mampu mereka tembus.
Sebuah istana kuno dengan beberapa lampu oncor yang berjajar di sepanjang jalan menjadi tujuan Lastri dan lelaki itu. Beberapa dayang berparas cantik pun berjalan menyambut kedatangan mereka.
Lelaki gagah itu membawa Lastri menuju sebuah kamar yang berada di dalam istana. Ia meminta Lastri untuk berbaring di atas rajang bertaburkan bunga mawar putih dan Lastri pun menurut.
"Kanda!" Lastri menahan dada bidang lelaki yang hendak menciumnya.
Tatapan birahi itupun terhenti. "Iya Nimas, kamu tidak perlu merisaukan apapun. Karena setelah kepulanganmu dari sini semua pelangganmu pasti akan kembali kepadamu. Sekarang layanilah aku layaknya suamimu sendiri!" ucap lelaki itu dengan nada lembut. Satu tangannya membelai mesra helaian rambut yang menutupi wajah Lastri.
"Tamat riwayatmu, Mas Tejo!" batin Lastri tertawa kemenangan.
Lelaki jelmaan genderuwo itu segera melancarkan aksinya pada Lastri. Ia mencumbui tubuh Lastri untuk kepuasan yang tanpa batas. Tak seperti manusia, Lastri harus menahan dirinya untuk beranjak meskipun sebenarnya ia sudah tidak sanggup lagi melanjutkan permainannya dengan lelaki jadi-jadian itu.
"Aku sudah tidak kuat kanda!" lirih Lastri, keringat membasahi sekujur tubuhnya. Lastri hanya meringis menahan sakit, kini desahan yang keluar dari mulutnya bukan karena kenikmatan melainkan karena rasa sakit.
Hampir tiga jam Lastri menjadi pemuas nafsu genderuwo suaminya itu. Lastri tergulai lemas di atas ranjang penuh mawar merah. Ia membaringkan tubuhnya pada lengan kekar lelaki gagah itu.
"Nimas!" Panggil genderuwo bernama Suro itu kepada Lastri yang masih meregangkan otot tubuhnya di sampingnya.
"Iya Kanda," Lastri melirik pada Suro yang sedang menatapnya.
"Aku bisa memberikan kamu lebih dari itu, Nimas! Tapi dengan satu syarat," ucap Suro membuat senyuman terbit dari bibir Lastri.
"Syarat? Katakanlah Kanda, aku akan memenuhinya asalkan Kanda menepati janji," sergah Lastri penasaran.
"Haha ...!" Lelaki itu terkekeh, satu tangannya membelai lembut wajah Lastri. "Asalkan kamu mau mengandung anakku, Lastri. Anak kita!" tegas Suro.
Mata Lastri membulat penuh, beberapa kali ia menelan salivanya.
"Sudah lama sekali kamu tidak memberikan aku janin dari anakmu. Itulah akibatnya usaha kamu merosot, Lastri. Dan semakin lama kamu tidak memberikan tumbal maka kamu lah yang akan menjadi tumbalku. Haha ...!"
Lastri bergidik ngeri, ia tidak bisa membayangkan jika harus hamil anak dari makhluk halus dan dirinya pun tidak mau jika harus menjadi tumbal suami gaibnya.
*********
Pagi buta Lastri telah tiba di rumahnya. Ia mendapati Indah dan Prapto duduk di ruang tamunya bersama dengan Seno. Terlihat wajah Indah yang sangat begitu pucat.
Lastri begitu terkejut saat memasuki pintu rumah. "Indah, ada apa ini?" sergah Lastri menjatuhkan tubuhnya pada bangku yang berada samping Seno.
"Indah kesurupan lagi, Bu!" tutur Seno menatap pada Istrinya.
"Brengsek! Siapa yang sudah melakukan ini padamu Indah?" sergah Indah dengan wajah kesal.
"Bagaimana kalau untuk sementara waktu biar Indah tinggal rumah kita saja dulu, Bu!" usul Seno.
Lastri terdiam sesaat menatap pada Indah dengan wajah berpikir. "Ya sudah, tidak apa-apa. Untuk sementara waktu biar Indah di sini tidak apa-apa," tutur Lastri di sambut anggukan lembut oleh Indah dan Prapto
****
Bersambung ....
Darah kental mengenang di sekitar kepala Seno. Bola mata melotot menahan dahsyatnya maut menjemput masih tersisa. Lidah Seno menjulur hingga bagian dagu, tubuhnya menegang dan kejang berkali kali.Indah meraung raung melihat jasad bapaknya yang kini ada di hadapannya. Tubuh yang bergetar ditahan oleh Prapto agar tidak mendekati jasad Seno yang baru saja menghembuskan nafas terakhir. Sementara Lastri, masih berdiri menyilangkan tangannya di depan dada tanpa rasa kehilangan sedikit pun.Seluruh karyawan Lastri berkerumun di halaman belakang rumah minimalisnya. Untuk menyaksikan kematian suami majikannya."Bapak! Huhuhu ...." Indah terus meraung, memanggil nama bapaknya berkali kali."Kenapa bisa begini? Ya ampun Bapak, huhuhu ... !" Kini giliran Lastri yang menangis histeris melihat jasad suaminya. Setelah beberapa saat ia diam terpaku.***Jenazah Seno sudah berada di ruangan tam
Prapto masih memandang langit-langit kamar. Ia sudah menganti beberapa kali posisi tidurnya. Namun, tepat saja rasa kantuk tak kunjung datang."Duh, bagaimana ini, aku nggak bisa tidur!" kesal Prapto pada dirinya sendiri."Wik ... wik ... wik ... bakaran!" Suara burung itu terdengar begitu nyaring di heningnya malam. Burung yang menurut kepercayaan orang Jawa adalah burung pembawa kematian."Duh, ada apalagi ini!" Siapa yang mau mati!" guman Prapto takut. Ia menarik selimut hingga menutupi seluruh wajahnya."Jangan! Jangan ambil anakku! Kembalikan, kembalikan dia padaku!" Indah mengigau dengan wajah ketakutan."Astaghfirullahaladzim!" Prapto megusap dada terkejut.Propto menarik selimut yang menutupi wajahnya. Lalu mengoyangkan tubuh Indah yang berbaring di sampingnya."Dek! Dek Indah! Bangun!" ucap Prapto serays mengoyangkan tubuh Indah.
Srek! Srek! Srek!Terdengar seseorang sedang berjalan di luar balkon kamar. Terlihat bayangan hitam terseok Seok dari jendela kamar"Siapa itu?" Teriak Lastri, netranya terus melotot ke arah jendela.Dadanya berdegup kencang, hampir saja jantung yang memompa darah itu berhenti. Bergegas Lastri menuruni ranjang dan menyibak tirai yang menutupi kaca jendela kamarnya."Meong ...!"Seekor kucing berwarna hitam melompat dari pembatas pagar rumah berlantai dua rumahnya.Lastri bernafas lega, segala hal buruk yang ada di benaknya hanyalah karena rasa ketakutannya.Lastri kembali menyandarkan tubuhnya pada dipan ranjang besar dimana setiap sisinya ada ukiran manik manik yang menyerupai bunga mawar."Tadi itu Pak Seno sempat teriak teriak Katanya ada ular di kamarnya. Terus dia lari keluar balkon, hingga akhirnya tubuhnya terpelanting keluar
Srek ... Srek ... Srek ...!Suara seseorang yang sedang mengasah benda tajam itu terdengar hingga ke dapur. Terdengar begitu nyaring membuat ngilu di pendengaran."Kamu itu sudah banyak menyusahkan aku. Jadi kamu harus mendapatkan balasannya!" desis Tejo sinis, sorot matanya jatuh pada pisau yang sedang diasah.Wini sedikit bergidik melihat kelakuan suaminya yang nampak dari pintu dapur. Kembali wanita itu mengaduk aduk sayur dengan tangan bergetar karena takut."Siapkan makan, aku lapar!" sergah Tejo ketus. Diletakan golok itu dengan kasar di atas meja makan lalu menjatuhkan tubuhnya pada bangku meja makan.Bergegas Wini mengambil piring kemudian mengisinya dengan nasi putih dari atas bakul. Lalu meletakannya di atas meja makan bersebelahan dengan lauk pauk yang telah Wini siapkan terlebih dahulu.Tejo manyantap makanan yang dihidangkan Wini dengan lahap. Sepe
Kabut Semeru masih menyelimuti desa Ranupeni. Desa asri yang terletak di lereng semeru. Seolah tajamnya sinar surya belum mampu menembus tebalnya kabut yang sedari tadi mengaburkan pandangan. Membuat udara semakin terasa mencacah tulang hingga ngilu.Prapto terus melajukan kedaraan meticnya menembus jalan yang berliku. Sajauh mata memandang hanya pohon pinus dan cemara yang berjajar rapi di sepanjang jalan."Pokoknya aku sudah tidak mau!" desis Prapto membuat kepulan kabut dari suara yang keluar. Lelaki itu terus meraik gas motor maticnya menuju rumah Ustadz Zul yang terletak lumayan jauh jika ditempuh dari rumah Lastri.Matahari mulai menunjukkan keperkasaannya, menghilangkan kabut yang mengaburkan pandangan hingga menjadi tetesan embun yang membasahi tiap pucuk daun teh yang terhapar luas. Wanita wanita dengan bakul di punggungnya dengan lihai memetik daun teh muda kemudain memasukkannya ke dalam bakul yang berada
Damar mengusap netranya dengan kedua tangan berkaki-kali. Berharap apa yang dilihatnya kali ini hanyalah ilusi. Seorang wanita cantik yang tidak memiliki talapak kaki itu turun dari kereta kuda yang ada di halaman belakang rumahnya. Wanita yang berdandan layaknya wanita jaman lagenda dulu itu terus berjalan menuju lantai atas rumahnya, mereka melayang-layang di udara. Di sampingnya berdiri beberapa dayang yang memiliki bola mata hitam penuh, dengan wajah pucat pasi. Membuat bulu kudu Damar seketika meremang.Selendang berwarna hijau itu terus berkibar, menyibak betis kakinya yang putih bagaikan pualam. Namun, tanpa telapak kaki. Serombongan makluk aneh itu terbang ke lantai atas rumah megahnya. Kemudian menembus kamar yang terletak bersebelahan dengan kamar Wini."Ya, Allah!" Batin Damar tercekat, ketika melihat dua orang yang berada di belakang kerata kuda. Tangannya terikat, wajahnya terlihat begitu pias. Seluruh tubuhnya terlihat membir
Jalanan sudah mulai sepi, meskipun senja masih meremang di ufuk barat. Lastri masih terus menginjak gas mobil jeeb warna merah kepunyaannya. Melajukannya dengan kecepatan tinggi menembus jalanan yang berliku. Jalan yang dikelilingi dengan tabing yang curam. Wanita itu berharap, bisa sampai di rumah Ki Gendeng tepat waktu.Setelah melewati pemukiman sepi penduduk, mobil jeeb merah itu mulai menembus hutan pinus yang tinggi menjulang. Sayangnya, Sorot lampu mobil itu tidak mampu menjangkau pandangan terlalu jauh. Membuat Lastri harus memperlambat laju kemudinya. Karena Medan yang dia lalui juga tidak cukup mudah. Jalanan berlumpur serta genangan air yang memenuhi jalanan membuat Lastri harus pandai-pandai memilah jalan.Wuk, wuk, wuk!Suara burung hantu itu terus mengikuti Lastri, semenjak mobil jeeb merah itu memasuki gelapnya hutan pinus, yang sebagian masyarakat kenal sebagai hutan telarang. Namun justru dipilih men
Udara terasa samakin dingin. Kabut yang menyelimuti daerah pegunungan Semeru masih terlihat begitu tebal, Lastri harus berjalan merayap melewati tikungan yang setiap sisinya adalah tebing-tebing yang curam. Hampir semalaman wanita itu tidak tidur, kantung matanya terlihat jelas bergelayut menghitam di bawah netra yang terus berfokus menatap jalan.Adzan subuh telah berkumandang, mobil berwarna merah itu baru saja memasuki halaman rumah minimalis miliknya. Suasa rumah Lastri masih begitu sepi, pasti Indah dan Prapto masih tertidur pulas. Benar saja, keluarga Lastri memang jarang sekali melaksanakan sholat.Tak! Tak! Tak!Suara hentakan kaki Lastri ketika wanita itu sedang manaiki anak tangga rumahnya. Dilihatnya kamar yang berada di sudut ruangan lantai itu pintunya sedang terbuka. Lastri mengeryitkan dahi, wanita itu kemudian berjalan mendekati kamar kosong yang berada di sudut ruangan. Lastri melongok ke dalam kamar