Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!

Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!

Oleh:  Rachma  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
42Bab
1.6KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Cinta itu buta, ya mungkin itu adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan perasaan cinta kakaknya Zahra pada istrinya. Dika begitu mencintai Sinta walaupun sikap dan perilaku Sinta yang pemalas, suka memerintah, dan semena-mena pada Bu Ami yang merupakan mertuanya, sekaligus Ibu dari Dika dan Zahra. Dika akan tetap membela Sinta walaupun sebenarnya Sinta sudah melakukan kesalahan. Ibu Ami menganggap Sinta sudah seperti anak sendiri. Tetapi Sinta dengan teganya berbuat semena-mena pada Bu Ami. Bu Ami selalu sabar menghadapi perlakuan Sinta padanya, tetapi Zahra sebagai seorang anak tak terima jika ibunya diperlakukan seperti pembantu oleh Sinta. Bagaimana Zahra akan membela ibunya dari sikap semena-mena kakak iparnya?

Lihat lebih banyak
Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak! Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
42 Bab
Bab 1 Seperti Pembantu
Bab 1"Ibu! Ibu, sengaja merusak bajuku ini ya! " Aku yang baru menginjakkan kaki di teras rumah, terkejut mendengar suara bentakan dari Mbak Sinta, kakak iparku. Tanpa mengucapkan salam aku langsung melangkah cepat memasuki rumah. Setelah berada didalam rumah aku mencari asal suara tadi. Sepertinya dari arah dapur. Benar dugaanku di dapur aku melihat ibuku sedang tertunduk, dan didepannya terlihat Mbak Sinta yang sedang berkacak pinggang, dengan mata melotot melihat kearah ibuku. "Jawab, Bu! Ibu memang sengaja kan! " bentak Mbak Sinta lagi. Ibuku hanya diam diperlakukan seperti itu. Aku yang tak terima ibuku di perlakukan seperti itu, langsung melangkah cepat menghampiri ibuku. "Ini ada apa, Mbak! Mbak Sinta kenapa membentak Ibuku seperti itu! " tanyaku dengan penuh amarah. Siapa yang tidak akan marah kalau ibunya diperlakukan seperti itu. "Bagus, Anak manja sudah pulang! Bilangin tuh sama Ibu kamu, kalau ngerjain sesuatu itu yang benar, bukan seenaknya sendiri, " ucap Mbak Sin
Baca selengkapnya
Bab 2 Dibutakan Cinta
Ini adalah rumah milik orangtuaku, kenapa juga ibuku mau-maunya diperlakukan buruk oleh menantunya. Ibuku yang memiliki hak penuh atas rumah ini, ibu bisa dengan mudah mengusir menantu seperti Mbak Sinta itu. Tetapi tidak, ibuku malah dengan sabar menghadapi kelakuan menantunya yang super menyebalkan itu. Kalau aku jadi ibu, pasti sudah lama aku mengusir menantu seperti Mbak Sinta itu. Biarkan dia tinggal bersama orangtuanya aja. "Huss ..., kamu itu ngomong apa toh, Nak! " tegur ibuku yang sedang mengambil penggorengan. "Habisnya aku kesel banget sama Mbak Sinta. Lagaknya kayak bos besar. Huuh," ucapku kesal. "Sinta itu istri dari Mas mu, Nak. Jadi dia bukan orang lain dikeluarga kita. Jangan kamu ngomong ngusir-ngusir gitu. Nggak baik, " tutur ibuku yang sedang menggoreng ayam. "Terserah Ibu aja kalau gitu. Aku lapar mau makan dulu. " Aku segera mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan lauk kesukaanku ini, tahu balado. Aku in
Baca selengkapnya
Bab 3 Dasar tak tau malu!
Bab 3Pov Sinta"Tumben cepat, Dek? " tanya Mas Dika kala aku baru saja duduk di kursi sebelah Mas Dika. "Mas, aku ada kabar baik, " ucapku dengan senyum terkembang di bibirku. "Kabar baik? Apa itu, Dek? " tanya Mas Dika seraya menghadap ke arahku. "Sebentar, " ucapku seraya membuka dompetku, dan mengeluarkan isinya. "Aku dapat arisan, Mas, " ucapku sambil mengipaskan uang ku ke wajahku. Aroma uang ini begitu harum, yang membuat hatiku berbunga-bunga. Pokoknya aku akan habiskan uang ini untuk bersenang-senang. "Emang dapat berapa sih, Dek? Kok kelihatannya banyak banget. ""Ada tiga juta, Mas, " ucapku merasa senang. Siapa yang nggak seneng coba, kemarin habis dikasih jatah bulanan Mas Dika. Hampir semua gaji Mas Dika diberikan padaku. Terus sekarang dapat arisan. Sungguh beruntungnya diri ini. "Wah, banyak juga ya, Dek, " ucap Mas Dika ikut senang. "Iya dong, Mas. Po
Baca selengkapnya
Bab 4 Menghadapi kakak ipar
Bab 4"Bu, jadi kepasarnya? " tanyaku menghampiri ibuku di kamarnya. "Iya, Nak. Sebentar. Ibu siap-siap dulu, " jawab ibuku sembari melipat mukenanya. Mungkin ibu baru saja selesai sholat subuh. Karena memang ini masih sangat pagi. Kebetulan aku sedang halangan, jadi setelah bangun tidur aku segera mandi dan bersiap-siap mengantar ibuku ke pasar untuk membeli keperluan jualannya. Hari ini ibuku sudah mulai membuka warung kopi nya lagi, setelah beberapa hari libur tak jualan. Kemarin ibu mengatakan kalau pagi ini mau kepasar. Aku dengan senang hati menawarkan diri untuk mengantarnya. Karena hari ini memang siswa siswi kelas tiga sudah tak ada kegiatan di sekolah. Hanya tinggal menunggu ijazah keluar. Alhamdulillah aku dinyatakan lulus, dan aku juga bersyukur karena aku masuk dalam daftar siswa yang bisa mendaftar ke Universitas tanpa tes. Alias jalur undangan, yang diberikan untuk siswa siswi berpotensi. Tentunya masih tetap harus dis
Baca selengkapnya
Bab 5 Penyebab
"Astagfirullahaladzim ..., ada apa ini, Nak? " Aku menoleh ternyata ibu sudah berada di pintu masuk dapur, dengan ekspresi terkejut melihat hampir semua belanjaan berceceran di lantai. "Tanya sama menantu kesayangan Ibu itu, " ucapku menunjuk ke arah Mbak Sinta yang bersikap angkuh seolah-olah tak merasa bersalah. Ish, pengen ku cakar wajah Mbak Sinta itu. "Ini ada apa, Nak Sinta? " tanya ibu mendekat ke arah ku dan Mbak Sinta. "Tanya aja sama anak manja ini, " jawab Mbak Sinta acuh tanpa adanya sopan santun, seperti tak menghormati ibuku sebagai mertuanya. "Heh, Mbak Sinta! Jelas-jelas Mbak yang berantakin semua ini! Sekarang tanggung jawab, beresin semua ini!" bentakku dengan melotot ke arah Mbak Sinta."Enak aja, situ yang salah kenapa aku yang harus beresin, " ucap Mbak Sinta sambil memainkan kuku-kuku panjangnya. Aku juga heran dengan Mbak Sinta, dia punya bayi tapi kok malah memanjangkan kuku nya. Seperti tak takut kal
Baca selengkapnya
Bab 6 Lolos seleksi
"Apa? Apa yang kamu katakan tadi? Kamu mau mengganti uang itu? Ha ha ha, kamu mau mengganti uang itu dengan apa? Dengan daun? Atau dengan batu? Ha ha ha. Sudah deh, jangan bercanda! Ha ha ha. " Tawa mengejek dari Mbak Sinta menggelegar di ruang dapur ini. "Sudah, Nak. Nggak usah diperpanjang, biar ibu saja yang menanggungnya, " ucap ibuku yang masih mengalirkan air matanya. "Tapi, Bu ..., " ucapku memelas, tapi terpotong oleh elusan ibuku di lenganku. Dan gelengan lemah kepalanya. "Sudah deh, nggak usah drama gitu. Kamu anak manja sekarang beresin ini semua. Dan Ibu cepat buatkan aku sarapan. Aku mau rebahan dulu, capek meladeni anak manja ini, " ucap Mbak Sinta kemudian melenggang pergi. Hatiku rasanya sangat panas mendengar ejekan dari Mbak Sinta. Memang benar untuk sekarang aku belum bisa mengganti uang itu, tapi aku akan bertekad mengganti uang itu, agar ibuku tak diperlakukan semena-mena lagi. "Nak, yang sabar ya. Sudah ngg
Baca selengkapnya
Bab 7 Bujuk Rayu Sinta
Pov Sinta"Oh, ini, Dek. Zahra diterima kuliah di Universitas ternama, " jawab mas Dika kala aku ikut duduk di sebelah mas Dika. "Wah, iya, kah? Selamat ya Zahra, " ucapku pura-pura ikut senang. Padahal di hatiku mengatakan hal yang lain. Zahra terlihat cuek kepadaku, karena dia hanya memutar bola matanya menanggapi ucapan selamatku. Aku tak perduli hal itu, karena menurutku di terimanya Zahra di Universitas berarti biaya yang dikeluarkan mas Dika akan semakin banyak juga, sehingga jatah bulanan ku pasti akan berkurang lagi. Tidak bisa terjadi, hal ini jangan sampai terjadi. Aku harus cari cara agar mas Dika tak membiayai Zahra kuliah, apalagi tadi samar-samar aku mendengar kalau mas Dika akan membiayai semua biaya kuliah Zahra. "Memangnya berapa rupiah untuk biaya daftar ulangnya, Dek? " tanya mas Dika sambil mencomot gorengan yang berada di depannya. "Kurang tau aku, Mas, pastinya berapa. Tapi kata teman-temanku
Baca selengkapnya
Bab 8 Harapan semu
"Zahra! Sini! " Aku yang baru saja masuk ke rumah setelah menjemur cucianku, menoleh ke arah mas Dika yang sedang duduk di depan tv bersama secangkir kopi di depannya. "Ada apa, Mas. Aku mau naruh ember ke belakang dulu, " ucapku datar. Aku masih kesal dengan mas Dika, yang dari dulu selalu membela mbak Sinta, padahal jelas-jelas mbak Sinta yang memulai keributan di warung ibu kemarin. "Ya sudah. Nanti kalau sudah, kamu kesini lagi. Mas Dika mau bicara, " ujar mas Dika kemudian mengambil secangkir kopi yang berada di depannya lalu menyeruput nya. Aku tau itu kopi walau jarak ku berdiri dan mas Dika duduk tak terlalu jauh, dan aku bisa mencium aroma kopi yang biasa ibu buat. Melangkah ke kamar mandi ingin meletakkan ember yang aku bawa tadi, aku berpikir tumben mas Dika pagi-pagi memintaku bicara dengannya. Sepertinya ada hal serius yang akan di bicarakan. Biasanya pagi-pagi sebelum berangkat bekerja, pasti mbak Sinta akan bermanja-manja dulu dengan mas Dika. Tanpa rasa malu mbak S
Baca selengkapnya
Bab 9 Mencari Beasiswa
"Zahra! Kok malah diam sih? " Aku yang sedang memikirkan perasaan ibuku, jika tau aku tak melanjutkan pendidikan ku, seketika sedikit tersentak ketika Amanda menepuk lenganku. "Eh, iya, Man. Kenapa? Tadi kamu ngomong apa? " tanyaku melihat Amanda yang mengerucutkan bibirnya kesal. "Ish, kamu itu ya, Ra. Aku tadi tanya kenapa kok kamu nggak jadi melanjutkan kuliah? " tanya balik Amanda. "Hufft ..., aku tak ada uang untuk membayar biaya kuliah, Man." Aku tertunduk lesu. Sebenarnya awalnya aku memang ingin setelah lulus aku mau langsung cari pekerjaan. Tetapi melihat ibuku yang sangat berharap aku meneruskan pendidikan ku ke perguruan tinggi. Membuatku berusaha mewujudkannya.Tetapi aku bingung harus bagaimana, biaya kuliah termasuk mahal. Tidak mungkin aku harus membuat ibu semakin banting tulang mencari uang untuk biaya pendidikan ku itu. Sementara saudara satu-satunya yang aku punya sudah angkat tangan tak mau ikut
Baca selengkapnya
Bab 10 Tukang Gosip
"Kita berdoa saja, Ra. Semoga saja pengajuan beasiswa kita di terima. Tak perlu kampus yang ternama lah, yang biasa saja nggak apa asalkan kita tetap lanjut kuliah, " ujar Amanda membelokkan sepeda motornya ke gang menuju rumahku. "Ra! Ra! Ra! " teriak Amanda yang berada didepanku seraya melambatkan laju kendaraannya. Aku mendekatkan kepalaku ke kepala Amanda. "Ada apa sih, Man? Kok tiba-tiba manggil aku? ""Itu kan, kakak iparmu, kan? " tanya Amanda melihat ke depan. "Mana? " tanyaku celingukan. "Itu loh. Di teras rumah orang itu loh, " jawab Amanda. Aku kemudian melihat ke depan, dan benar saja mbak Sinta sedang duduk bersama ibu-ibu tetangga di depan rumah bu Sulis. Terlihat dia sedang menunjukkan tas berwarna merah kepada ibu-ibu lainnya. "Ini, loh, Bu. Bagus, kan? Harganya mahal loh, Bu, Ibu. "Terdengar suara mbak Sinta ketika aku dan Amanda sudah dekat dengan rumah tempat dimana mbak Sinta
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status