Nayra terbelalak.
Carver Group adalah perusahaan ritel dan teknologi terbesar di dunia, dengan penghasilan di atas 600 miliar dolar pertahun. Perusahaan ini memiliki belasan ribu toko, dengan karyawan lebih dari 3 juta orang di seluruh dunia. Bahkan di tengah kondisi ekonomi yang terpuruk, Carver Group tetap menjadi yang teratas.
Lalu sekarang mereka bilang, pria yang ia tolong dan mengajaknya berkencan dengan memberi hadiah-hadiah mewah ini adalah CEO Carver Group? Mengapa Nayra tidak menyadarinya?
“Hei!” Nyonya Milla menepuk pundak Nayra, menyadarkannya sejenak dari keterkejutan.
“Apa kau tidak akan menjawabnya? Darimana kau mendapatkan semua ini?” wanita tua itu masih penasaran dengan semua hadiah, berupa sebuket bunga mawar juliet dan tiga tas Hermes yang Nayra dapatkan.
Ia tidak bisa terus di sini, ia harus menemui pria itu, pikir Nayra.
Tergesa-gesa, sambil meraih tas selempang kecil seharga 20 dolar, Nayra melesat pergi meninggalkan Nyonya Milla yang kebingungan bersama semua hadiah mewah, yang diabaikan Nayra.
Bukan karena Nayra tertarik dengan kekayaan Carver Group, tapi karena perusahaan itu berhubungan dengan misteri identitas Nayra sebenarnya, yang tidak sempat disampaikan ibunya sebelum ia meninggal. Kesimpulan ini ia dapatkan, setelah menemukan kartu nama usang yang berasal dari perusahaan itu, tersembunyi di dalam dompet lama sang ibu.
Oleh karena itu, selama lebih dari 10 tahun Nayra berusaha keras untuk masuk ke dalam perusahaan Carver Group, tapi tidak pernah berhasil. Jadi, ia hanya bisa tinggal di sekitar kompleks gedung utama perusahaan yang terletak di Wesley Valley, sebuah kawasan yang menjadi rumah untuk banyak pusat perkantoran perusahaan terbesar di dunia.
Meskipun Nayra hanya tinggal di pinggiran kawasan elit tersebut, tapi ia tetap harus mengorbankan semua tabungan untuk bisa tinggal di sana. Namun hingga kini, ia masih belum memperoleh informasi apapun yang berhubungan dengan identitasnya.
Mengetahui bahwa ternyata ia telah bertemu seseorang dari perusahaan itu, tentu Nayra harus menemuinya. Dengan harapan, bahwa ia bisa mengungkap misteri yang selalu mengganggunya selama 14 tahun ini.
Beberapa jam kemudian, Nayra telah sampai di depan kantor pusat perusahaan Carver Group yang seluas 20 hektar. Ia tiba-tiba merasa pusing dengan luasnya kantor, yang membutuhkan transportasi hanya untuk bisa pindah dari satu gedung ke gedung lainnya. Tapi karena ia sudah sampai di sana, jadi ia tetap meneruskan perjalanan hingga sampai di gedung utamanya, melalui celah dari salah satu area komersial untuk umum.
Sekarang, ia tidak tahu bagaimana cara memasuki gedung utama yang dijaga ketat oleh puluhan petugas keamanan itu. Apalagi, ia bukan siapa-siapa di sana.
“Permisi..” Nayra akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, pada salah satu petugas yang berdiri di luar gedung utama.
“Apakah saya bisa menemui Tuan Rehan Carver?”
“EH?!” Petugas keamanan itu menganga terkejut. Mungkin ia berpikir, siapa wanita asing yang hendak menemui bos besarnya?
“Siapa Anda?!”
Nayra kebingungan. “Ehm..”
“Apa Anda tidak tahu siapa Tuan Rehan Carver?! Beliau adalah CEO Carver Group! Jadi, mengapa beliau harus menemui Anda?!” teriak petugas tersebut, sebelum Nayra menjawab.
Wajahnya sudah tampak kesal, dengan sebatang rokok yang langsung ia hisap begitu ia selesai berteriak.
Beberapa petugas yang berada di sisi lain luar gedung ini, mulai bermunculan mengikuti suara petugas bernama Jeff itu –sesuai nama di kartu pengenalnya.
“Apa yang terjadi Jeff?” tanya salah seorang dari mereka.
Nayra ingin segera pergi dari sana, berpikir bahwa ia mungkin sudah masuk ke dalam kandang singa yang hendak menerkamnya.
“Wanita ini ingin menemui CEO kita katanya! Hahaha!” Suara Jeff terdengar lebih ceria, tapi itu untuk meledek Nayra.
“Apa?!! Kau serius?! Wanita ini?!” tanya yang lain dengan ekspresi tidak percaya, sambil melihat penampilan Nayra dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Jika ditotal, penampilan Nayra berdasarkan pakaian, aksesoris hingga riasannya, hanya mencapai kurang dari 100 dolar dan itupun masih di bawah gaji harian rata-rata pegawai perusahaan ini.
Mereka berusaha menahan tawa, teringat bahwa mereka pegawai perusahaan terbesar di dunia yang harus menjaga sikap. Meskipun begitu, Nayra tahu perkataan seperti apa yang muncul di benak mereka, karena itu terlihat jelas dari ekspresi wajah mereka yang mengejek.
Belum sempat Nayra membebaskan diri dari situasi itu, beberapa mobil mewah Porsche memasuki area tersebut dan Rehan keluar dari sana. Keempat petugas keamanan tadi langsung berlari menghampiri sang CEO, lalu membungkuk dalam sambil mengatakan beberapa kata yang tidak bisa Nayra dengar.
Pria itu hendak berjalan masuk ke dalam gedung, saat tiba-tiba ia berbalik ke arah Nayra dan menatapnya.
Nayra tertegun.
Apa yang harus ia katakan pada pria itu?
Namun, sedetik kemudian, pria itu kembali berbalik dan mulai berjalan lagi untuk memasuki gedung.
“Tunggu!” teriak Nayra, mengejutkan semua orang. Ia segera berlari ke arah Rehan, disusul keempat petugas keamanan yang langsung menghadangnya.
“Ada yang harus aku katakan tentang ajakanmu tadi!”
AJAKAN? Semua orang tercengang, kecuali Nayra dan Rehan yang sama-sama tahu apa maksudnya.
Rehan melambaikan tangan menyuruh semua orang mundur, lalu menarik Nayra begitu saja ke dalam lift gedung kantor, tanpa mengatakan sepatah katapun.
Nayra bisa melihat wajah terkejut semua orang, dengan berbagai spekulasi yang muncul tentang maksud dari ‘ajakan’ yang ia katakan. Nayra sedikit khawatir dengan tindakannya, tapi Rehan sepertinya terlalu dingin untuk ikut khawatir.
Mereka sampai di lantai 15 tempat kantor Rehan yang luasnya membutuhkan 10 menit untuk berkeliling, karena satu lantai itu adalah kantor untuknya sendiri.
Rehan langsung merebahkan tubuhnya di sofa emas, yang sesuai dengan nuansa kantor yang mewah. Melalui sudut matanya, ia menatap Nayra yang masih mematung di dekat pintu.
“Duduklah!” seru pria itu.
Perasaan Nayra agak kacau. Ia tidak menyangka ia akan merasa sangat terasingkan, karena kemewahan yang ia lihat selama beberapa jam ini.
“Tidak, terima kasih,” jawab Nayra sedikit lesu. “Aku hanya akan mengatakan maksud kedatanganku..”
Rehan yang sejak tadi menempelkan dirinya di sofa, mulai mencondongkan tubuhnya untuk menatap Nayra lebih dekat.
“Tentang ajakan.. kencanmu..” Nayra kembali berbicara, kali ini lebih gugup. “Aku akan.. menerimanya..”
Kedua alis Rehan terangkat. Ia kembali menempelkan tubuhnya di sofa, sambil sedikit mendongakkan kepalanya yang jauh lebih tinggi dari sofa itu.
“Setelah menolakku? Kenapa?” tanya Rehan, dingin seperti biasa.
Nayra sudah memprediksi pertanyaan Rehan dan menyusun berbagai alasan untuk menjawabnya, tapi pikirannya mendadak kosong.
Rehan mungkin akan mengira ia wanita matrealistis, yang hanya tertarik padanya karena status pria itu sebagai CEO Carver Group. Jadi, ia harus mencegah kesalahpahaman itu.
Tapi.. bagaimana caranya? Nayra mulai kalut.
“Aku hanya.. ingin memberimu kesempatan.. dan merasa bersalah.. karena langsung menolakmu..” balas Nayra, sambil mencoba menenangkan diri.
Rehan yang sejak tadi menunjukkan wajah datar, tiba-tiba tertawa keras.
Nayra mengedipkan matanya dengan cepat, gugup dengan perubahan suasana hati Rehan yang ia tidak tahu alasannya.
“Kau?! Memberiku kesempatan?!” seru Rehan, dengan mata melebar.
Nayra pikir, ia sedang bersikap sarkastis untuk keberaniannya memberi kesempatan pada seorang pria kaya raya, yang bisa dengan mudah mendapatkan wanita manapun.
“Tidak.. Aku yang akan memberimu kesempatan!” lanjut Rehan, sambil menyilangkan kedua tangannya.
“Nona Nayra.. Coba buat aku jatuh cinta padamu dalam 30 hari, maka kau bisa berkencan denganku. Tapi jika gagal, kau harus menjadi budakku!”
APA?!
“Mengapa aku harus menjadi budakmu?!” tanya Nayra, terkejut dengan kesempatan yang Rehan maksud. “Padahal, kau yang mengajakku berkencan lebih dulu?”Rehan tertawa lagi. “Karena kau telah menolakku! Dan sekarang, kau menyita waktu berhargaku untuk ajakan yang kau tolak. Jadi, tentu saja kau harus menerima konsekuensinya, Nona..”Nayra tak habis pikir. Rehan ternyata jauh lebih dingin dan kejam dari yang ia kira. Pria itu tidak lebih baik dari iblis!“Baiklah..” Nayra tidak mau kalah. “Aku akan menerima ‘kesempatan’ itu.. karena aku hanya perlu memastikan, untuk tidak berakhir menjadi budakmu ‘kan,
Mengapa Rehan datang ke sini?“Apa Anda tahu bahwa Anda bisa dihukum, karena menaikkan harga sewa secara sepihak?!” teriak Rehan.Semua mata memandangnya dengan takjub, meskipun teriakan Rehan cukup tidak sopan, terutama terhadap ibu-ibu yang mungkin seumuran dengan ibunya.“A..Anda s..si..apa?” tanya Nyonya Milla tergagap, mendengar suara teriakan Rehan, yang lebih keras dibanding dirinya.“Apa saya perlu mengatakan siapa saya, untuk didengar Anda?” Rehan sedikit mengecilkan suaranya, tapi masih dengan gayanya yang angkuh. “Saya akan membeli rumah ini!
Sudah berapa kali mulutnya ternganga hari ini? Nayra tidak bisa menghitungnya lagi. “TIDAKKKKK!!!” Jeritan itu bukan berasal dari Nayra, melainkan dari Nyonya Milla yang meraung-raung ingin masuk ke dalam rumah yang terbakar, tapi dengan keras dihentikan orang-orang di sekitarnya. “MILENA!!!” jerit Nyonya Milla lagi, lebih parau. Milena? Bukankah itu nama anak keduanya? “ITU DIA!” seru salah seorang di kerumunan, sambil menunjuk Nayra yang masih tercengang bingung. Nyonya Milla yang riasannya telah luntur karena air mata, segera berlari menghampiri Nayra dengan geram. “APA YANG SUDAH KAU LAKUKAN PADA ANAKKU?!!!” Nyonya Milla menarik kerah baju Nayra, dengan teriakan histerisnya yang tidak bisa ia mengerti. Mengapa Nyonya Milla menanyakan itu padanya? Di tengah suara-suara ribut yang menyalahkan Nayra, ia pun akhirnya tahu bahwa Milena ada di rumah Nayra yang sedang terbakar. Tapi, mengapa itu menjadi kesalahan Nayra? Belum sempat pertanyaannya terjawab, mobil pemadam kebaka
Semua orang sontak memandang David Roland yang masih bisa berjalan dengan gagah, meskipun harus bertumpu pada tongkatnya, terutama di tengah keterkejutan mereka.“Apa maksudmu Ayah?!” tanya wanita itu, sambil mendekati Tuan David dengan ekspresi seperti Kevin McCallister di film Home Alone.“Anakku ‘kan hanya Brian, jadi tidak mungkin ia cucumu!”Brian?Nayra yang masih mencoba memproses ucapan Tuan David terhadapnya, tiba-tiba merinding.Tunggu! Apa ini yang dimaksud perkataan terakhir ibu
“A..Apa yang kau..?”Sebelum Nayra menyelesaikan kalimatnya, Brian sudah berjalan cepat dengan satu telunjuk tangan di depan bibirnya.“Syut! Aku harus diam-diam datang ke sini!” bisiknya, membuat Nayra lebih tidak mengerti.
“Justru ia harus segera dilatih agar siap mewarisi perusahaan kita!” teriak Kakek David dengan suara seraknya, membuat semua orang terdiam, kecuali Brian yang masih sibuk dengan makanannya. Wajah ibu Brian tampak sangat kesal. “Lalu bagaimana dengan Brian? Dia ‘kan cucu Ayah juga!” Nayra melirik Brian yang sama sekali tidak peduli, dengan apa yang dibicarakan para orang tua ini. Sedetik kemudian, sebelum Nayra mengalihkan pandangannya, Brian membalas tatapan Nayra dengan mengangkat kedua alisnya seolah bertanya ‘Apa?’. Nayra pun menggelengkan kepala, heran. “Apa kau tidak suka dengan itu, Nayra?” tanya Kakek David, mengejutkan Nayra yang sempat kehilangan fokus. Apa ia melihat Nayra menggelengkan kepalanya dan salah paham dengan itu? “Ah..” Nayra tidak tahu harus berkata apa, sampai Brian tiba-tiba berbicara. “Dia mungkin hanya merasa tidak nyaman, jika Ayah yang harus mengajarinya tentang perusahaan,” ucap Brian dengan santai, sambil mengunyah steak tenderloin-nya. Nayra melir
“Brian..” bisik Nayra, setelah menoleh pada Brian lagi yang belum menyadari kehadiran wanita muda itu di kantornya.Brian mulai tersadar dan menatap wanita itu, mengikuti tatapan Nayra.“Ah.. Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Brian setengah terkejut. Sementara wanita muda yang baru saja membuka pintu, langsung berjalan menghampiri Brian dan menariknya menja
Dalam waktu singkat, Rehan sudah berjalan cepat menghampiri Nayra yang masih menggenggam tangan Brian. Tanpa berbicara, Rehan menarik tangan Nayra dan berusaha mengajaknya pergi dari sana.“Apa yang kau lakukan?!” Brian mencoba menghentikan Rehan, tapi dengan dingin Rehan menarik tangan Nayra lagi. Sementara Brian dihentikan Lucy dengan tangan kecilnya, “Fokus pada