Beranda / Romansa / PLAYER / 2 Sang Playgirl

Share

2 Sang Playgirl

Penulis: Ans18
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-13 19:27:22

"Arla!"

Arla menjauhkan ponsel dari telinganya akibat suara teriakan dari seberang telepon yang membuat telinganya berdengung.

"La. Makan di luar yuk."

"Hmmm. Ok. Tapi aku yang milih tempat ya. Ada cafe yang mau kudatengin. Gimana?"

"Ok, see you at lobby. Aku lagi jalan ke kantormu."

Risma—sahabat Arla itu bekerja di kantor notaris yang jaraknya hanya dua gedung dari tempat Arla bekerja. Sudah hampir dua tahun ini mereka menyewa apartemen berdua, hubungan mereka sudah lebih dari sekadar sahabat. Teman satu atap lebih tepatnya.

Arla tergesa membereskan barangnya. Setelah itu, ia langsung menuju lobby, dan menemukan Risma yang sudah menunggunya di dekat pintu lobby.

"Yuk."

"Cafe baru, La?"

"Nggak tau juga sih baru atau nggaknya. Aku udah ke sana tadi siang. Makanannya enak. Tapi karena aku kenyang, jadi nggak bisa nyobain semuanya. Makanya pengen balik lagi."

Risma hanya mengangguk-angguk saja, mengekori Arla menuju ke mobilnya yang terparkir di barisan paling dekat dengan jalan raya.

Arla mengulum senyumnya sepanjang perjalanan. 'Kalau bisa ketemu lagi, berarti takdir.'

***

"Maaf, Kak. Non smoking areanya penuh."

"Yaaah." Arla mendesah kecewa. Hampir satu jam ia bergelut dengan padatnya jalanan ibu kota di saat rush hour, dan sekarang ia harus menerima kenyataan dengan tidak tersedianya tempat di cafe itu.

"Ya udah, La. Cari tempat lain."

"Don. Ada satu meja kosong di rooftop," ujar salah satu pramusaji yang baru turun dari tangga.

"Oh, ternyata ada yang kosong, Kak. Tapi di rooftop itu smooking area."

Arla dan Risma saling tatap, mempertimbangkan segala hal. Mereka memang tidak terlalu suka berada di smoking area, bau asap rokok itu mengganggu pernapasan mereka ditambah sisa asapnya yang pasti melekat di seluruh tubuh. Tapi perjalanan mereka sudah terlalu panjang untuk sampai ke café itu.

“Ya udahlah, kita tahan-tahan aja bentar. Karena di rooftop, moga-moga dapet meja yang arah anginnya nggak ke kita.”

Setelah Risma memberikan persetujuannya, barulah Arla mengangguk kepada pramusaji di depannya itu. Ia tidak menyangka kondisi café akan sangat ramai di malam hari. Ia kira kondisinya akan seperti siang hari—yang padat tapi masih selalu tersisa meja kosong karena banyak pelanggan makan terburu demi kembali menghadapi dunia kerja.

Keduanya menaiki tangga yang terletak di sudut café. Rooftop café itu terletak di lantai 3, dan saat melewati lantai 2, Arla mengedarkan pandangannya. Semua meja memang terisi penuh dan tidak ada orang yang dicarinya.

“Silakan, di sini, Kak,” ucap pramusaji yang mengantar mereka. “Untung cuma ada teman-teman bos, mereka nggak ngerokok, kalau ada yang ngerokok biasanya minggir di tempat yang agak jauh,” terang pramusaji itu yang membuat Risma mengangguk-angguk.

Namun tidak dengan Arla yang matanya sudah tertuju pada satu titik. Tidak sia-sia siang tadi ia mengorek informasi dari kasir di café itu.

Tadi siang, saat ia membayar makanan yang dipesannya dan dipesan Rista ke kasir, kasir itu dengan sopan mengatakan kalau makanan mereka ‘nanti’ akan dibayar oleh Ervin yang keluar dari tempat itu satu jam lebih dulu dibanding Arla. Arla sempat mengernyit bingung mendengar kata ‘nanti’ yang diucapkan kasir itu. Artinya Ervin benar-benar pelanggan reguler kalau sampai kasir pun percaya padanya.

Dan dengan kemampuan Arla berbicara—yang dia sendiri bingung didapatkannya dari mana—kasir itu mengeluarkan satu informasi penting untuk Arla, bahwa Ervin adalah sahabat dari pemilik café itu, yang hampir setiap hari dan setiap malam datang ke café.

“Kamu pesen apa, La?” tanya Risma yang sudah menentukan pilihan pesanannya dan menyampaikannya kepada pramusaji.

“Aglio olio.” Arla menimbang sesaat. Oh no, mulutnya akan bau bawang kalau nanti ia berkesempatan untuk bicara dengan Ervin. “Eh, nggak jadi, jangan aglio olio. Hmm … nasi daun jeruk aja sama lime ice.”

“Mata dikondisikan, Arla!” Risma bukannya tidak tahu kalau mata Arla sejak tadi tertuju pada sekumpulan lelaki muda bergaya eksmud yang duduk di dekat pagar rooftop.

Arla memutus pandangannya yang sejak tadi sedang mengamati sosok Ervin dan langsung beralih pada Risma. “Diiih posesif deh.”

“Ada yang kamu incer?”

Tawa renyah keluar dari mulut Arla. Ia memang tidak bisa menutupi apa pun dari temannya yang satu ini. Bagaimana pun juga hidup di dalam unit apartemen yang sama membuat kedekatan mereka layaknya kakak adik atau sahabat yang super duper dekat.

“Tapi yang satu ini kayaknya player deh, kalo dapet yang gini agak malesin sih sebenernya. Udahlah ngomongin yang lain aja.” Arla berusaha mengalihkan pembicaraan karena kalau mereka tetap pada pembahasan itu, kepala Arla tidak tahan untuk menoleh ke arah Ervin.

“Bentar, aku ke toilet dulu ya.”

***

“Rame terus ya café lu, Bas,” seru Adit yang memperhatikan dua wanita tiba di area rooftop.

“Thanks loh, kehadiran kalian juga berpengaruh banyak.” Bastian tergelak. Kapan lagi dia bisa memanfaatkan tampang teman-temannya kan.

Ervin ikut terbahak dan saat ia menoleh, sosok wanita—yang siang tadi menantangnya—muncul lagi.

“Damn it!” maki Ervin.

“Apa sih?” tanya Bas.

“Hah? Nggak, nggak.” Ervin menggeleng-geleng.

Shit! Dia belum sempat mencari nama panjang Arla. Siapa pula yang menyangka kalau pertemuan kedua mereka secepat ini.

Tapi kenapa Arla kembali lagi ke café itu? Apa Arla sengaja? Tapi dari mana Arla tahu kalau dirinya sering berkumpul bersama teman-temannya di café itu?

***

“Arla.” Ervin mengejar Arla yang sepertinya menuju toilet di lantai 1. Astaga! Gara-gara Arla ia harus naik turun tangga beberapa kali.

Ervin mengacak rambutnya dengan frustasi. ‘Kalo sampe gue nggak bisa deketin dia ….’

Arla sempat terkejut karena mendengar suara yang memanggilnya berasal dari ujung koridor di lantai 2. Ada sebuah pintu kayu bercat coklat gelap di sana. Sepertinya Ervin baru keluar dari ruangan itu.

“Hai, Vin. Ke sini lagi?” tanya Arla basa-basi. Kapan Ervin turun dari rooftop? Kenapa dia tidak menyadarinya?

“Kamu juga, ke sini lagi?”

“Makanannya enak, tadi siang kekenyangan mau nyoba menu yang lain, jadi ke sini lagi pas malem buat nyaba menu lain. Kamu?” pancing Arla.

“Ini café temenku sih. Aku sama temen-temen jadi sering ngumpul di sini sejak café ini buka.”

Arla mengangguk singkat, walau ia sudah tahu kenyataan itu. “Aku ke toilet dulu ya.”

Setelah menyelesaikan urusannya di kamar mandi, sambil berkaca dan merapikan diri, Arla tersenyum geli. ‘Dia pasti belum tau nama panjangku, makanya cuma ngajak ngobrol dan nggak berani lagi minta nomor hp. Lagian dia mau dapet dari mana nama panjangku? Kelurahan?’

Arla masih mempertahankan senyum gelinya saat keluar dari toilet, hingga senyuman itu luntur dengan sendirinya. Ervin bersandar di tembok, seperti sengaja menunggunya keluar dari toilet.

“Kamu—”

“Iya, aku nunggu kamu.”

Smooth! Arla semakin yakin kalau lelaki di hadapannya ini pro player, bukan dalam artian gamer—walaupun Arla juga tidak tahu, siapa tahu Ervin memang benar-benar pro player sebuah game—tapi yang ada di pikiran Arla adalah pro player untuk menaklukkan wanita.

“Ada apa? Oooh iya, aku belum ganti makan siang yang tadi kamu bayarin.”

Ervin terkekeh kecil. Apalah arti mentraktir mangsanya untuk makan siang di café milik Bastian. “Nggak usah. Kan aku yang nraktir.”

“Aku nggak ada alasan untuk nerima traktiranmu.”

Jual mahal! Ok!

“Sebagai permintaan maafku udah numpahin minuman ke rok kamu, Arlanda Aksara.”

Arla meneguk ludahnya dengan susah payah, sementara Ervin menyeringai sambil menyodorkan ponselnya ke arah Arla.

“Your number, please.”

‘What the hell! Apa laki-laki ini punya teman di dukcapil, kelurahan, atau kepolisian, sampai bisa tau nama panjangku dalam hitungan jam?’

“Da … dari mana kamu tau nama panjangku?”

“You don’t need to know, just give me your number.”

***

Risma menepuk-nepuk perutnya yang terlihat lebih buncit setelah mereka berdua berada di dalam mobil. “Kenyang banget, La. Emang enak banget makanannya, pantes cafénya rame.”

“Iya kan. Worth it lah ya ngabisin hampir sejam di jalan.”

Risma mengangguk-angguk antusias. “Pemandangannya juga cakep.”

Ganti Arla yang mengernyit bingung. “Perasaan kita tadi nggak deket pager rooftop deh. Kan yg deket pager rooftop ditempatin cowok-cowok.”

“Justru itu, pemandangannya cakep.”

Arla terbahak begitu menyadari apa yang tersirat di balik ucapan sahabatnya.

“Lengkap kan, makanan enak, pemandangan cakep, ada undian berhadiahnya lagi.

“Undian berhadiah?”

“Iya, tapi pas aku ke toilet, ada pegawai café yang ngasih aku lembaran survey buat diisi gitu. Nanti diundi di akhir bulan, hadiahnya macem-macem katanya.”

“Oh ya? Kok aku nggak diminta ngisi? Tadi siang juga nggak.”

“Punyamu kuisiin tadi. Orang pertanyaannya cuma suka atau nggak aja sama makanan yang dipesen, dan kulihat matamu sampe merem melek gitu pas makan, artinya suka kan, yaudah kuiisiin aja.”

“Oooh.” Arla menganguk-angguk paham, sampai … sesuatu menyadarkannya. “Survey-nya anonim?”

“Ya nggak lah, Arlaaa. Kan nanti ada undian berhadiahnya. Ya diminta ngisi nama lengkap sama nomor telepon.”

“Damn it! Pantes aja dia tau namaku. Trus kalo udah dapet nomor teleponku juga ngapain pake nanya lagi? Dasar player! Pasti mau show off doang.”

“Hah, siapa yang tau namamu? Siapa yang player?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
kyara
keturunan naren ya kann.. pro player jelass
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • PLAYER   200 Extra Part 2 ( Je T'aime Chaque Jour Davantage)

    "Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat

  • PLAYER   199 Extra Part 1 (Bagaimana Kalau Jiwa Player Mendarah Daging?)

    “Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang

  • PLAYER   198 Ancel Adhiputra Candra

    “Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge

  • PLAYER   197 Tinggal di Rumah Mertua

    Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut

  • PLAYER   196 Kita ke Rumah Sakit!

    “Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r

  • PLAYER   195 Bargain

    “Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status