Beranda / Romansa / PLAYER / 4 Prisc ... Something in Her Name?

Share

4 Prisc ... Something in Her Name?

Penulis: Ans18
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-13 19:28:06

“Do something, Lil!” bisik Ervin.

Untung saja perhatian Priscilia sedang teralihkan ke etalasa sebuah toko jam tangan, hingga kasak-kusuk yang terjadi antara Ervin dan Lily luput dari perhatiannya.

“Aku juga?” Lily mendelik kesal pada Ervin. Job desk sekretarisnya semakin melebar ke mana-mana. Selain kerjaan kantor, sekarang ia juga bertugas membelikan baju untuk bakal calon pacarnya, mengingatkan Ervin jadwal bertemu dengan mereka agar tidak bentrok, mencarikan hadiah kalau salah satu wanitanya itu berulang tahun, dan sekarang ia juga harus memutar otak untuk membuat Arla tidak bertemu dengan Priscilia?

“Bastian—”

“Sialan lo!” Lily tahu ke mana arah pembicaraan Ervin kalau sudah menyebutkan nama Bastian. Itu tanda ancaman untuknya.

“Ajak Arla ke atas, makan apa kek. Aku sama Priscilia di lantai ini. Nanti aku ke atas juga buat nemuin Arla.”

“Lah, ngapain sih? Ribet amat.”

“Gue suka lihat matanya.”

Lily memutar kedua bola matanya dengan malas.

Ervin mengulum senyumnya saat melihat Lily menjauh, menghampiri Arla yang sedang menunggu di depan salah satu gerai crepes.

Ia memegang satu rahasia Lily yang membuatnya sering bisa bertindak semena-mena pada Lily. Dengan menyebut nama sahabatnya saja Lily bisa kalang kabut dan menurut untuk menjalankan perintahnya.

Begitulah nasib seorang Lily yang menyimpan perasaan pada lelaki bernama Bastian yang sialnya adalah sahabat Ervin.

***

“Siang, Mbak,” sapa Lily sambil tersenyum ramah.

Arla sempat terkesiap saat merasa seseorang memanggilnya. Setelah ia menoleh, ia mendapati seraut wajah yang tidak asing. “Mbak … yang kemaren kan? Sekretarisnya Ervin?”

Lily mengangguk. “Panggil Lily aja.”

“Kalau gitu panggil aku Arla juga aja, nggak usah pake embel-embel ‘Mbak’.”

“Kamu udah makan siang? Mau makan siang bareng?”

Arla mengernyitkan dahinya. Ok, ia memang kenal dengan Ervin, tapi itu hanya melalui dua kali pertemuan singkat. Mereka bahkan tidak bertukar pesan ataupun telepon meskipun Ervin sudah mendapatkan nomor ponselnya. Dan bukankah aneh kalau sekretaris Ervin yang hanya ditemuinya beberapa menit di pertemuan terakhir, kini malah mengajaknya makan siang bersama?

Mendapati raut kebingungan Arla, Lily kembali memutar otaknya untuk memberikan alasan yang membuat Arla tidak curiga.

“Aku mesti nungguin Ervin, daripada sendirian. Eh tapi kalo kamu nggak bisa, nggak apa-apa kok.”

“Ervin ada di sini?” tanya Arla penuh selidik.

“Lagi ketemu sama temennya sebentar.”

Menimbang-nimbang sesaat, akhirnya Arla memutuskan mengiakan ajakan Lily karena ada kemungkinan ia bisa bertemu Ervin siang itu.

“Kita mau makan di mana?” tanya Arla saat Lily menggiringnya naik ke eskalator. “Di lantai 4 cuma ada fast food loh,” ucap Arla memperingati.

“Hmm …. Kamu nggak makan fast food ya?” Sialan! Ervin benar-benar membuat Lily harus memutar otaknya, mengeluarkan kemampuan berbohongnya dan yang paling parah mengorbankan diet defisit kalorinya.

Padahal tadi ia mengiakan ajakan makan ramen karena berniat memesan ramen dengan kuah miso bening. Ia tinggal meminta mangkok tambahan kepada pramusaji, dan mengambil setengah porsi, sisanya akan ia berikan untuk Ervin. Dan bodohnya, ia baru sadar, kalau jadi melakukan hal itu, pasti Priscilia akan menatapnya penuh kebencian.

“I’m ok, aku makan apa aja. Makanya aku tanya kamu. Nggak mau di lantai 3 aja? Di lantai 3 banyak pilihan makanan,” jawab Arla. Ia memang pemakan segala.

“Aku lagi bayangin fried chicken yang crunchy.” Senyuman penuh dusta Lily lemparkan kepada Arla.

Arla tersenyum geli. “Ok kalo gitu.”

Lily menegarkan hatinya, sambil mengumpati Ervin di dalam hati, karena kemauan bosnya itu ia nanti tidak akan bisa makan malam dan harus melalui serangkain latihan di tempat gym demi mengikis habis kalori yang masuk ke dalam tubuhnya.

***

“Cil, aku ke toilet dulu ya,” pamit Ervin.

Ervin dan Priscilia pada akhirnya memilih restoran sushi karena Lily yang tidak jadi ikut makan bersama mereka. Priscilia sama sekali tidak menanyakan keberadaan Lily yang menurutnya cukup mengganggu. Ia justru terlihat senang bisa menghabiskan waktu berdua dengan Ervin.

“Nggak nanti aja abis makan sekalian?”

“Udah nggak tahan nih. Lagian kan sushi kamu belum habis, biar kamu nggak keburu-buru makannya.”

Priscilia akhirnya mengangguk, membiarkan Ervin berlalu dari hadapannya.

Ervin berjalan cepat, tergesa menuju gerai fast food yang berada satu lantai di atas tempat ia makan siang dengan Priscilia. Kemampuan Lily untuk satu ini patut ia acungi jempol, andai saja Lily tidak hanya magang di kantornya.

“Hai!” sapa Ervin ketika tiba di dekat meja yang ditempati Lily dan Arla.

Lily hanya menatap Ervin sekilas sambil menahan kekesalannya, sementara Arla tersenyum ramah kepada Ervin.

“Aku kaget loh waktu Lily bilang lagi sama kamu.” Ervin menarik satu kursi kosong dari meja sebelah dan menempatkannya di antara dua wanita itu.

“Iya, aku juga kaget waktu Lily nyamperin aku dan ngajak makan bareng.”

“Semalem aku mau wa kamu, tapi kayaknya udah kemaleman pas aku balik dari café, makanya aku belum sempet.”

Arla hanya mengangguk kecil sambil memperhatikan Lily yang sedang mencabik daging ayamnya seakan sedang melampiaskan kekesalan. Dan itu benar, karena Lily sedang membayangkan mencabik-cabik mulut Ervin.

“Kamu sebenernya tinggal daerah mana? Kemaren kita ketemu di Jakarta Barat, sekarang ada di Jakarta Selatan.”

“Aku ke sini karena kerjaan.” Arla senaja tidak memberikan jawaban pasti untuk membuat Ervin semakin penasaran dengannya.

“Berarti tinggal di Jakarta Barat?” Ervin masih belum mau menerima begitu saja jawaban Arla.

“Aku ke sana kemaren kan karena kerjaan juga, tapi pas malemnya ke sana karena suka sama makanan di café itu.”

“Jadi di mana kamu tinggal?”

Lily menginjak kaki Ervin dengan ujung heels-nya.

“Apaan sih, sakit Lil!”

“Ya kan Arla nggak mau ngasih tau, maksa amat sih.”

Kan, kan, inilah yang Ervin tidak suka jika Lily ikut makan dengannya. Pasti ia akan memorak-porandakan prosesi pendekatannya.

“Ngomong-ngomong, Lil, kamu katanya pengan fried chicken yang crispy, kenapa malah kulitnya nggak dimakan?” Arla menyadari ada sesuatu yang tidak beres tapi ia masih belum yakin.

“Save the best for the last, La.” Lily mengucapkannya dengan getir. ‘Damn you, Vin! Kulit ayam ditepungin itu berapa kalori? Gue bakal aduin ke Tante Rhea.’

Arla dan Lily masih melanjutkan makan siang mereka saat ponsel Ervin yang diletakkan di atas meja—dan sialnya di dekat piring Arla—bergetar.

Lagi-lagi Arla menangkap nama perempuan yang menghubungi Ervin di ponselnya. Entah itu Priska, Prisma, Priscila, yang jelas itu nama perempuan, Arla tidak sempat membaca lengkapnya karena Ervin tergesa meraih ponselnya, kemudian menjauh untuk mengangkat sambungan telepon itu.

“Aku … ke toilet dulu ya,” pamit Ervin kepada keduanya setelah menutup sambungan telepon.

Dari sudut matanya Arla bisa melihat Ervin yang hampir berlari keluar dari tempat makan fast food itu.

“Lil.”

“Hmm.”

Setengah jam yang mereka habiskan untuk mengobrol dan makan siang bersama cukup untuk membuat hubungan mereka dekat karena ternyata beberapa hobby mereka yang sama. Apa Lily akan menjawab jujur kalau Arla mengungkapkan pertanyaan yang ada di benaknya?

“Tadi katamu Ervin lagi nemuin temennya …, temennya itu cewek ya? Prisc … something in her name?”

Lily tersedak hebat begitu mendengar pertanyaan Arla. ‘Gimana dia bisa tau?’

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • PLAYER   200 Extra Part 2 ( Je T'aime Chaque Jour Davantage)

    "Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat

  • PLAYER   199 Extra Part 1 (Bagaimana Kalau Jiwa Player Mendarah Daging?)

    “Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang

  • PLAYER   198 Ancel Adhiputra Candra

    “Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge

  • PLAYER   197 Tinggal di Rumah Mertua

    Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut

  • PLAYER   196 Kita ke Rumah Sakit!

    “Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r

  • PLAYER   195 Bargain

    “Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah

  • PLAYER   194 The True Face of Pramono

    “Dirga rewel?” tanya Abiel yang baru menjemput Dirga sore hari. Ternyata ia benar-benar butuh ‘me time’. Jadi setelah pertemuannya dengan Pramono dan selingkuhannya itu, Abiel pergi ke salon langganannya untuk creambath. Meskipun pijatan dari pegawai salon itu tidak juga menghilangkan pusingnya, setidaknya ia punya waktu untuk melatih senyuman palsunya di depan Dirga—anak sematawayangnya.“Nggak. Sejak kapan Dirga rewel. Kalo udah ketemu sama Lashira tuh, baru saling ganggu, saling bikin nangis.” Arla mengajak Abiel untuk duduk di ruang makan. Ia mengambil satu pitcher es jeruk yang sudah disiapkannya di dalam kulkas.“Sekarang Dirga mana?”“Lagi ke minimarket bawah sama Mas Ervin.” Arla tahu kalau Abiel sedang ingin cepat angkat kaki dari apartemennya demi menghindari pembicaraan tentang Pramono dan perselingkuhannya. “Jadi, kamu apain dia? Udah beres masalahnya?”Abiel memilih diam.“Hubungan kita memang kayak Tom and Jerry, Biel. Tapi … kita tetep saudara. Aku juga akan tetep bela

  • PLAYER   193 Satu Aja Nggak Abis-Abis

    "Maaas, Abiel mau ke sini. Mau nitipin Dirga." Arla terburu menyusul Ervin yang berada di dapur untuk membuatkannya puding. Arla tersenyum melihat suaminya sedang video call dengan Bi Ijah demi mendapatkan tutorial yang meyakinkan. "Bisa? Sini aku aja.""No, no, udah tinggal nunggu mendidih kok. Tadi apa kata kamu? Abiel mau nitipin Dirga di sini?""Iya. Abiel mau ketemu sama Mas Pram dan dia nggak mau Dirga denger apa yang mereka omongin.""Ok, mumpung weekend, dan pas banget aku lagi bikin puding. Nanti kita ke bawah beli snack ya buat Dirga.""Nunggu Dirga dateng aja, biar dia yang milih snack-nya.""Ok. Done. Bi Ijah makasih ya, Bi. Ini tinggal kupindah ke wadah trus nunggu uap panasnya ilang, baru masukin ke kulkas kan. Sip." Ervin mengakhiri sambungan video call, lalu sibuk menuang puding buatannya ke wadah kaca. "Sabar ya, Sayang. Tunggu pudingnya dingin," ucap Ervin sambil mengusap perut istrinya yang kini mulai terlihat membuncit di dua puluh minggu kehamilannya.Entah siapa

  • PLAYER   192 Kamu yang Menang

    “Dek, jujur ya. Aku kelihatan gendut banget ya? Perutku kelihatan buncit kan?” Berulang kali Arla berkaca dan sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau ia tidak terlihat sedang hamil, tapi masih saja Arla gelisah. ‘Ini terakhir kalinya,’ batin Arla. Ia berjanji Yara—adik iparnya—adalah orang terakhir yang ia tanya.“Nggak kok, Kak. Masih lurus, lempeng. Nggak pake stagen, korset, atau semacamnya kan, Kak? Kasihan ponakan aku kegencet.”Arla terkekeh geli melihat raut wajah Yara yang benar-benar terlihat memelas. “Nggak, mana dibolehin sama kakakmu.”“Lagian begini aja masih kelihatan langsing kok. Kak Arla ngatur makan ya?”“Nggak juga, ini aja udah naik tiga kilo. Sempet diomelin kemaren karena bajunya mesti dirombak lagi.”“Ah iya, aku jadi keinget, karena Kak Arla lagi ngomongin baju. Mama udah tau apa yang dilakukan Anya. Mama mau ngamuk, untung ada Kak Aileen yang nenangin. Jadi Mama udah nggak make jasa butik dia lagi mulai sekarang.”Arla menghela napas. “Sebenernya kal

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status