Home / Romansa / PLAYER / 5 Pura-Pura Tidak Kenal

Share

5 Pura-Pura Tidak Kenal

Author: Ans18
last update Last Updated: 2024-07-13 19:28:27

“Arla. Gimana? Udah dapet kabar dari supplier pastry-nya?"

Arla yang tengah mengecek laporan triwulanan yang dikirimkan dari cabang menatap bingung ke arah bosnya yang baru datang ke kantor sore itu.

"Loh kok Ibu masuk? Bukannya kata Ibu hari ini mau di rumah aja?"

Wanita berusia lima puluhan yang masih terlihat sepuluh tahun lebih muda dari usianya itu berdiri anggun di hadapan Arla. "Bosen saya di rumah." Wanita itu tergelak. Beberapa pegawai yang melewatinya mengangguk singkat. Kehadiran bos besar di sore hari, dekat dengan jam pulang kantor, biasanya menjadi hal yang tidak menyenangkan, tapi bos mereka ini berbeda.  Work life balance-nya benar-benar dijaga. Jadi mereka tidak perlu khawatir kalau tetap ingin pulang tepat waktu selama pekerjaan mereka sudah selesai.

"Eh, jadi gimana, mereka sanggup buat jadi supplier pastry kita?"

Arla jadi mengingat Rista—yang merupakan perwakilan dari salah satu home catering cake dan pastry—yang saat itu ditemuinya di sebuah café, yang mengantarkannya bertemu dengan Ervin.

"Tim legal sedang menyiapkan perjanjiannya, Bu."

"Ok. Kamu nggak siap-siap pulang? Atau ngopi-ngopi dulu di bawah sana."

Gedung kantor tempatnya bekerja memang baru ditempati setahun belakangan. Sebelumnya, lima manager area bekerja tersebar di masing-masing kota (Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Timur, dan Jakarta Pusat). Mereka tidak punya kantor tetap, mereka bisa singgah dan mengerjakan pekerjaan mereka di mana pun ada cabang coffee shop brand mereka.

Tapi setahun lalu, tiba-tiba saja salah satu dari pendiri bisnis coffee shop yang sudah memiliki lebih dari 30 cabang di Jakarta itu, membeli sebuah gedung empat lantai. Lantai 1 dan 2 untuk coffee shop, lantai 3 dan 4 untuk ruangan kerja semua manajer yang tadinya tidak memiliki kantor tetap.

Arla adalah manajer yang dulunya meng-handle daerah Jakarta Timur dan sekarang resmi diangkat sebagai asisten salah satu dari tiga pendiri bisnis coffee shop dengan brand Amigos.

Rhea, Leny, dan Amee adalah tiga pendiri bisnis coffee shop Amigos. Sejak pembukaan cabang yang keenam, mereka bertiga sepakat untuk fokus kepada bisnis itu dan resign dari kantor masing-masing. Rhea sebagai Direktur Utama, Leny sebagai Direktur Operasional, dan Amee sebagai Direktur Pemasaran.

"Eh? Saya pulang nanti, Bu. Ini masih ngecek laporan triwulanan."

Helaan napas berat keluar dari wanita itu. "Inilah kenapa saya milih kamu jadi asisten saya. Tapi saya juga nggak mau kamu keasikan kerja, lupa kencan. Nikmati masa muda kamu, La."

Suara cekikikan terdengar dari sudut ruangan. Desti—asisten dari Direktur Pemasaran—tidak  mampu lagi menahan tawanya. Diikuti dengan tawa terbahak Yusi—asisten Direktur Operasional.

"Kenapa, Des?" tanya Rhea bingung.

"Kalau masalah kencan, Arla nggak perlu diingatkan, Bu."

Arla menggeram pelan, kesal dengan teman satu ruangannya yang menjatuhkan harga dirinya di depan wanita yang dikaguminya.

Oh, she's so perfect. Atitude-nya, keluarganya, semuanya. Wanita itu adalah panutan untuk Arla. Di atas itu semua, memiliki suami dengan karakter seperti suami bosnya itu adalah impian Arla. Bukan berarti dia mengincar suami bosnya. Dia masih punya prinsip meskipun semua orang memanggilnya ‘playgirl’. Tapi Arla tidak akan pernah mendekati suami orang.

"Ya udah kalo gitu, saya ke ruangan dulu ya, nunggu anak saya jemput nih, jarang-jarang suami saya ngebiarin anak saya jemput.”

“Biasanya harus bapaknya ya Bu yang antar jemput?” goda Arla.

Rhea tersenyum salah tingkah, memang se-absurd itu suaminya. Kalau anak-anaknya sudah siap memegang Candra Group, mungkin ia akan pensiun detik itu juga untuk mengekori istrinya ke mana-mana.

Arla mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ada ternyata lelaki di dunia ini yang bisa setia dengan satu wanita dan tidak menelantarkan keluarganya. Ada. Namun perbandingannya 1:100.

***

“Des, aku ke bawah ya, suntuk, ngantuk. Mau ngopi bentar.” Arla meregangkan otot-ototnya yang kaku karena seharian menekuri laporan coffee shop.

“Ok.”

“Kalo Bu Rhea nyari, langsung kasih tau aku ya.”

“Ok.” Desti mengiakan tanpa menoleh ke arah Arla karena kesibukannya sendiri. Baik dirinya maupun Arla setuju kalau pekerjaan sebagai asisten tiga bos besar itu rasanya lebih melelahkan dibanding saat menjadi manajer wilayah.

“Mau dibawain sesuatu kalo nanti aku balik?”

“Avocado coffee, less sugar, double shot.”

“Ok.” Arla kemudian benar-benar berlalu menuju lantai 1 coffee shop. Untungnya karena jam nanggung, suasana coffee shop itu tidak terlalu ramai. Dari sekitar dua puluh meja yang disediakan, hanya terisi lima meja. Keadaan itu akan berubah kalau jam pulang kantor tiba. Bisa dipastikan hampir semua meja terisi penuh.

Ia tadinya ingin memesan ice americano kepada Ardi—barista yang sudah dikenalnya, tapi Ardi menawarkan untuk mengajarinya membuat latte art demi meredakan stresnya.

“Boleh deh, Di. Udah lama nggak nyoba bikin latte art, ya selama ini belum pernah berhasil sih siapa pun barista yang ngajarin aku. Siapa tau kamu bisa berhasil, Di.”

Ardi, yang berusia beberapa tahun lebih muda dari Arla segera menyingkir, memberikan ruang lebih kepada Arla untuk mulai mengoperasikan mesin espresso di hadapannya sambil melakukan proses steam susu.

Mungkin Arla memang harus sering turun ke bawah dan menenggak segelas kopi kalau beban kerjanya sudah mulai menggila, terutama di akhir bulan.

***

“Ma. Aku udah sampe parkiran,” ucap Ervin melalui sambungan telepon.

Ervin sore itu harus menjemput mamanya karena sang Papa masih terjebak meeting penting. Selama ini, biasanya papanya sendiri atau sopir keluarga yang menjemput mamanya, tapi sore itu Ervin memang berada di cabang AB Department Store yang lokasinya hanya sepelemperan batu dengan kantor mamanya. Karena itu, dia lah yang bertugas menjemput mamanya.

“Bentar, Vin. Kerjaan Mama belum beres. Kamu naik sini ke kantor Mama, atau ngopi di bawah.”

Mempertimbangkan sesaat tawaran mamanya, akhirnya Ervin memutuskan untuk menunggu mamanya di bawah. “Aku ngopi aja deh ya, Ma. Tapi nanti kalo Mama udah kelar kerjaannya, langsung bilang ke aku, biar aku balik ke mobil duluan. Aku tunggu Mama di mobil.”

“Kenapa sih? Mama kan kesannya jadi kayak nyembunyiin brondong. Aneh-aneh aja kamu.”

Ervin tergelak di balik kemudinya. “Males Ma kalo pegawai Mama pada ngenalin aku.”

“Halah, bilang aja biar kamu bisa godain pegawai Mama yang cakep.”

“Kapan aku godain anak orang?”

Di dalam ruangannya, Rhea memutar kedua bola matanya dengan malas. Kenapa anaknya yang satu itu benar-benar mencontoh kelakuan suaminya? “Iya. Nggak pernah, Mama percaya kok.”

Ledakan tawa Ervin membuat Rhea kesal setengah mati. “Udah sana, Mama ngelarin kerjaan Mama dulu.”

Ervin masih terkekeh geli saat masuk ke dalam coffee shop. Ia sampai tidak memperhatikan Arla yang berdiri di balik mesin espresso dan menatapnya tanpa berkedip.

“Shit! Ardi, bilang ke anak-anak, pura-pura nggak kenal aku, selama aku ketemu temenku. Awas kalo ada yang nyapa aku!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PLAYER   200 Extra Part 2 ( Je T'aime Chaque Jour Davantage)

    "Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat

  • PLAYER   199 Extra Part 1 (Bagaimana Kalau Jiwa Player Mendarah Daging?)

    “Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang

  • PLAYER   198 Ancel Adhiputra Candra

    “Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge

  • PLAYER   197 Tinggal di Rumah Mertua

    Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut

  • PLAYER   196 Kita ke Rumah Sakit!

    “Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r

  • PLAYER   195 Bargain

    “Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status